• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyebutan Asmâ al-Husnâ (Allâhu, Allâhu, Allâhu HAQQ) dalam dzikir (QS Al-A’râf [7]: 180)

DZIKIR DALAM PANDANGAN SYAIKH MUHAMMAD HISYÂM

C. Penyebutan Asmâ al-Husnâ (Allâhu, Allâhu, Allâhu HAQQ) dalam dzikir (QS Al-A’râf [7]: 180)

˵˯Ύ˴Ϥ˸γ˴΄˸ϟ΍

“al-Asmâ” adalah bentuk jamak dari kata

ϢγϹ΍

al-Ism”, yang biasa diterjemahkan dengan nama. Di dalam kamus al-Ashry berarti nama diri dari seseorang, binatang, atau sesuatu.94 Ia berakar dari kata

ϮϤδϟ΍

“al-Sumûw”yang berarti ketinggian, atau

ΔϤδϟ΍

“al-Simah “ yang berarti tanda. Memang nama merupakan tanda bagi sesuatu, sekaligus dijunjung tinggi.95

Kata

ϰ˴Ϩ˸δ˵Τ˸ϟ΍

“al-Husnâ” adalah bentuk muannats dari dari kata

ϦδΣ΃

“Ahsan” yang berarti terbaik. Penyifatan nama-nama Allah dengan kata yang berbentuk superlatif ini, menunjukkan bahwa nama-nama tersebut bukan hanya

94

Atabik Ali dkk, Kamus Kontemporer “al-‘Ashry”, (Yogyakarta: Multi Karya Grafika, cet. Ke-5), h. 125.

95

Quraish Shihab. Tafsîr al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, Maret, 2002), volume. 5, h. 305.

saja baik, tetapi yang terbaik dibandingkan dengan yang lainnya.96 Nama-nama tersebut hanya dimiliki dan disandang oleh Allah, jumlahnya sebanyak sembilan puluh sembilan, di mana dari setiap nama adalah gambaran tentang sifat-sifat yang dimiliki Allah (sesuai dengan sifat-sifat Allah). Semua makhluk-Nya juga dianjurkan berdoa kepada Allah dengan mempergunakan atau menyebut nama- nama Allah yang indah tersebut.

Imam Muslîm meriwayatkan,

˳β˴ϧ˴΃

˸Ϧ˴ϋ

˲Ζ˶ΑΎ˴Λ

Ύ˴ϧ˴ή˴Β˸Χ˴΃

˲ΩΎ͉Ϥ˴Σ

Ύ˴Ϩ˴Λ͉Ϊ˴Σ

˵ϥΎ͉ϔ˴ϋ

Ύ˴Ϩ˴Λ͉Ϊ˴Σ

˳Ώ˸ή˴Σ

˵Ϧ˸Α

˵ή˸ϴ˴ϫ˵ί

ϲ˶Ϩ˴Λ͉Ϊ˴Σ

˶Ϫ͉Ϡϟ΍

˴ϝϮ˵γ˴έ

͉ϥ˴΃

˵Ϫ͉Ϡϟ΍˵Ϫ͉Ϡϟ΍˶ν˸έ˴΄˸ϟ΍ϲ˶ϓ˴ϝΎ˴Ϙ˵ϳ

Ύ˴ϟϰ͉Θ˴Σ˵Δ˴ϋΎ͉δϟ΍˵ϡϮ˵Ϙ˴ΗΎ˴ϟ˴ϝΎ˴ϗ

˴Ϣ͉Ϡ˴γ˴ϭ˶Ϫ˸ϴ˴Ϡ˴ϋ˵Ϫ͉Ϡϟ΍ϰ͉Ϡ˴λ

“Nabi Muhammad saw. bersabda, “Hari kiamat tak akan datang sebelum ‘Allah , Allah ’ tak lagi diucapkan di atas bumi.”97

Imam Muslîm menempatkan hadis ini dalam bab yang berjudul, “Hilangnya Keimanan (iman) pada akhir zaman,” meski dalam hadis itu tak disebut-sebut tentang keimanan, ini menunjukkan bahwa ucapan “Allah , Allah” menunjukkan keimanan, sedangkan orang yang tak mengucapkannya tidak menunjukkan keimanan. Oleh sebab itu, orang yang menentang orang yang mengucapkannya benar-benar lebih buruk daripada orang yang hanya kehilangan iman dan tak mengucapkan “Allah, Allah.”

Disamping itu, Nabi Muhammad saw. berdoa kepada Allah dengan kata- kata berikut:

͋ϖ˴Τ˸ϟ΍

˴Ϫ˴ϟ˶·

˴Ϛ˸ϴ͉Β˴ϟ

(Aku menyahuti panggilan-Mu wahai Tuhan yang Mahabenar),98 dan

͊ϖ˴Τ˸ϟ΍˴Ζ˸ϧ˴΃

(Engkau Mahabenar).99

96

Quraish Shihab. Tafsîr al-Mishbah, volume. 5, h. 305.

97

Imam Muslîm meriwayatkan baik dalam Sahih-nya. Kitab Imân, bab Dzahâb al-Imân Akhir Zaman, “Hilangnya Iman pada akhir zaman,” (Kairo: Dâr al-Hadits, 1997), h.

Kata Haqq merupakan satu diantara asma-asma Allah yang disebutkan di dalam sembilan puluh sembilan asmâ al-Husnâ-Nya. Orang yang mengetahui bahwa Allah , Allah adalah dzikir yang diamalkan oleh Nabi Muhammad saw. juga tidak leluasa untuk keberatan dengan bentuk yang serupa dengan dzikir tersebut, seperti Haqq.Seperti dalam firman-Nya,

΍Ϯ˵ϧΎ˴ϛ

Ύ˴ϣ

˴ϥ˸ϭ˴ΰ˸Π˵ϴ˴γ

˶Ϫ˶΋Ύ˴Ϥ˸γ˴΃

ϲ˶ϓ

˴ϥϭ˵Ϊ˶Τ˸Ϡ˵ϳ

˴Ϧϳ˶ά͉ϟ΍

΍ϭ˵έ˴Ϋ˴ϭ

Ύ˴Ϭ˶Α

˵ϩϮ˵ϋ˸ΩΎ˴ϓ

ϰ˴Ϩ˸δ˵Τ˸ϟ΍

˵˯Ύ˴Ϥ˸γ˴΄˸ϟ΍

˶Ϫ͉Ϡ˶ϟ˴ϭ

˴ϥϮ˵Ϡ˴Ϥ˸ό˴ϳ

“Hanya milik Allah Asmâ al-Husnâ maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmâ al-Husnâ itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya, nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-A’râf [7]: 180).

Sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Hisyâm mengenai ayat ini yang dikutipnya dari Sahih Bukhâri,

“Allah said: “Wa lillâhi al-Asmâ al-Husnâ fad’uhu bihâ (to Allah belong the Most beautiful Names, so call Him with them)” (7;80). These names are not confined to ninety-nine, as Nawawi explicitly stated in his commentary on the hadith whereby the Prophet saw.100 said:

Inna lillahi ta’ala tis’atan wa tis’ina isman, mi’atan illâ wâhidan, man ahshaha dakhal al-jannah….101

“Allah berfirman: “Wa lillâhi al-Asmâ al-Husnâ fad’uhu bihâ” (“Allah memiliki nama-nama yang paling indah, maka berserulah dengannya”) (QS. Al-A’râf, 7:

98

Al-Nasâ’i. Sunan Al-Nasa’i, kitab al-Manâsik al-Hajj, bab. Kaifa al-Talbiya, (Kairo: Dâr al-Fikr, 1995), h. 125, no. 2743.

99

Ibnu Mâjah. Sunan Ibnu Mâjah, kitab. Manâsik, bab. Mâ Jâ’a fi al-Du’â idzâ Qâma al- Rajul min al-Lail (Kairo: Dâr al-Hadits, 1998), h. 5.

100

Syaikh Muhammad Hisyâm Kabbânî. Remembrance of Allah and Praising the Prophet, vol. 2, (United States of America: al-Sunna Foundation of America), 1998, h. 28.

101

Syaikh Muhammad Hisyâm Kabbânî. Remembrance of Allah and Praising the Prophet, vol. 2. Lihat juga, Bukhâri. Imam Bukhâri, (Beirut: Dâr al-Hadits, t.t), bab. Ma Yajûzu min al-Isytirâth wa al-Tsâniya fi al-Iqrâr, h. 59, dan Inna Lillâh Mi’at Ism Illa Wâhidan, h. 125.

180). Nama-nama ini tidak terbatas hanya berjumlah 99, seperti yang tegas dinyatakan oleh Nawawi dalam ulasannya tentang hadis Nabi Muhammad saw.:

˵Α˴΃

Ύ˴Ϩ˴Λ͉Ϊ˴Σ

Ύ˴ϧ˴ή˴Β˸Χ˴΃

˶ϥΎ˴Ϥ˴ϴ˸ϟ΍

Ϯ

˲ΐ˸ϴ˴ό˵η

˴Γ˴ή˸ϳ˴ή˵ϫ

ϲ˶Α˴΃

˸Ϧ˴ϋ

˶Ν˴ή˸ϋ˴΄˸ϟ΍

˸Ϧ˴ϋ

˶ΩΎ˴ϧ͋ΰϟ΍

Ϯ˵Α˴΃

Ύ˴Ϩ˴Λ͉Ϊ˴Σ

˴ϝϮ˵γ˴έ

͉ϥ˴΃

˴μ˸Σ˴΃

˸Ϧ˴ϣ

΍˱Ϊ˶Σ΍˴ϭ

Ύ͉ϟ˶·

˱Δ˴΋Ύ˶ϣ

Ύ˱Ϥ˸γ΍

˴Ϧϴ˶ό˸δ˶Η˴ϭ

˱Δ˴ό˸δ˶Η

˶Ϫ͉Ϡ˶ϟ

͉ϥ˶·

˴ϝΎ˴ϗ

˴Ϣ͉Ϡ˴γ˴ϭ

˶Ϫ˸ϴ˴Ϡ˴ϋ

˵Ϫ͉Ϡϟ΍

ϰ͉Ϡ˴λ

˶Ϫ͉Ϡϟ΍

˴Ϟ˴Χ˴Ω

Ύ˴ϫΎ

˴Δ͉Ϩ˴Π˸ϟ΍

“Sesungguhnya Allah memiliki 99 nama, seratus kurang satu; barang siapa yang menghafalnya atau membacanya akan masuk ke dalam surga.”

Menurutnya juga, dengan kalimat

˲Ϊ˴Σ˴΃

˵Ϫ͉Ϡϟ΍

˴Ϯ˵ϫ

˸Ϟ˵ϗ

(QS. Al-Ikhlâs [112]: 1), kata “Hu”adalah seluas samudera, tak terbatas, tidak bisa digapai oleh siapapun, bahkan Nabi Muhammad saw. pun tidak mengetahuinya. Karena “Hu” itulah disambung dengan kata “Allah”, maka dibawahnya ada asmâ al-Husnâ yang dikenal dengan berbagai macam nama-nama-Nya yang indah.102

Ayat di atas mengajak manusia berdoa atau menyeru-Nya dengan sifat atau nama-nama yang terbaik itu. Salah satu makna perintah ini adalah ajakan untuk menyesuaikan kandungan permohonan dengan sifat yang disandang untuk menyesuaikan kandungan permohonan dengan sifat yang disandang Allah Menyebut sifat-sifat yang sesuai, bukan saja dapat mengundang pengabulan doa, tetapi juga akan melahirkan ketenangan dan optimisme dalam jiwa si pemohon, karena permohonan itu lahir dari keyakinan bahwa ia bermohon pada Tuhan yang memiliki apa yang dimohonkannya itu.

Syaikh Abdul Qâdir al-Jailâni menjelaskan atas ayat ini,

)

˴ϭ

(

ϥϭΪΣϮϤϟ΍

˯Ύϓήόϟ΍

˯ϼπϔϟ΍

ΎϬϳ΃΍ϮϤϠϋ΍

)

˶Ϫ͉Ϡ˶ϟ

(

ϪΗ΍Ϋ

ϲϓ

ΩήϔΘϤϟ΍ΪΣϮΘϤϟ΍

)

ϰ˴Ϩ˸δ˵Τ˸ϟ΍

˵˯Ύ˴Ϥ˸γ˴Ϸ΍

(

ΎϴϠόϟ΍

ΕΎϔμϟ΍

ΎϬϴϠϋ

ΐΗήΘΗ

ϲΘϟ΍

,

΍

έΎΛϵ΍

ΎϬϴϠϋ

ΔΒΗήΘϤϟ΍

ϭ

ΩΎδϔϟ΍

ϭ

ϥϮϜϟ΍

ϢϟΎϋ

ϲϓ

ΔΛΩΎΤϟ

102

Wawancara langsung dengan Syaikh Hisyâm Kabbânî pada forum kuliah umum di Auditorium Prof. Dr. Harun Nasution UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pada tanggal 14 Juni 2011.

ϯήΧϷ΍

ϭ

ϰϟϭϷ΍

Γ΄θϨϟ΍

ϭ

ΐϴϐϟ΍

ϭ

ΓΩΎϬθϟ΍

)

˵ϩ˸Ϯ˵ϋ˸ΩΎ˴ϓ

(

ϥϭΪΣϮϤϟ΍

ΎϬϳ΃

ϪϧΎΤΒγ

)

Ύ˴Ϭ˶Α

(

΍ϭΪϨγ΃

ϭ

Ε΍άϟΎΑϭϻϭ΍ΎϬϴϟ·ΔϨ΋ΎϜϟ΍ΙΩ΍ϮΤϟ΍

.

˺˹˼

bahwa, “Ketahuilah wahai orang-orang yang tinggi mulia dalam bertauhid,

˶Ϫ͉Ϡ˶ϟ,

Allah memiliki keesaan di dalam dzat-Nya

, ϰ˴Ϩ˸δ˵Τ˸ϟ΍

˵˯Ύ˴Ϥ˸γ˴΄˸ϟ΍

nama-nama yang indah yang di dalamnya terdapat susunan sifat-sifat yang tinggi, susunan yang terdiri dari sisa-sisa kejadian baru dan kerusakannya, kesaksian, keghaiban, dan kejadian alam awal, dan lainnya.

Ύ˴Ϭ˶Α

˵ϩϮ˵ϋ˸ΩΎ˴ϓ,

maka berdoalah atau menyerulah kepada-Nya – asmâ al-Husnâ, Maha Suci Dia, wahai orang-orang yang bertauhid dengan nama-nama-Nya , dan sandarkanlah segala kejadian alam (musibah atau bencana) dengan memohon kepada-Nya melalui perantara sifat-sifat-Nya yang mulia, yakni Asmâ al-Husnâ.

Terlihat jelas perbedaanya, Syaikh Abdul Qâdir al-Jailâni memberikan penjelasan terhadap ayat ini dengan corak ke-isyârian-nya. Sedangkan Syaikh Hisyâm Kabbânî, ia memberikan pandangannya terhadap ayat ini dengan sebuah hadis yang dikutipnya dari sahih Imam Bukhâri, melalui ayat ini, ia mengaplikasikan, bahwa berdzikir, menghafal, dan juga membaca dengan menggunakan asmâ al-Husnâ merupakan hal yang sangat baik, jika hal ini dilakukan, maka si pelaku dzikir akan mendapatkan balasan surga dari Allah. Mengenai hal ini penulis menyimpulkan bahwa Syaikh Hisyâm Kabbânî tidak selalu memberikan pandangannya terhadap suatu ayat dengan warna isyâri atau corak tasawuf seperti kedudukannya sebagai seorang mursyid Tarekat yang

103

Abdul Qâdir al-Jailâni. Tafsîr al-Jailâni, (Istanbûl: Markaz al-Jailâni li al-Buhûts al- ‘Ilmiyyah, 2009), jilid. 2, h. 173.

memiliki otoritas dan kemampuan memandang suatu ayat dengan dimensi batiniah.

Sejarah Tarekat Naqsyabandiyah memiliki dasar tersendiri dalam menggunakan kalimat Allahu, Allahu, Allahu Haqq dalam melakukan ritual dzikir. Dijelaskan di dalam Silsilah Rantai Emas Naqsyabandi Haqqânî, disana diceritakan dengan sangat jelas bahwa Naqsyabandi memiliki rahasia yang telah diturunkan ke dalam hati para wali Naqsyabandi. Ini terjadi pada masa Abû Bakar al-Siddiq disaat malam perjalanan hijrah ke Madinah bersama Nabi Muhammad saw., dan Alî bin Abî Thâlib yang menggantikan Nabi Muhammad saw. di ranjangnya. Di perjalanan mereka bersembuyi di Gua Tsur. Syaikh Nâzim, guru dari Syaikh Hisyâm Kabbânî, yang juga Grandsyaikh ke-40 dari silsilah Guru Rantai Emas Hisyâm berkata:104

“Kemudian Allah meminta Nabi agar memeritahkan Abû Bakar al-Siddiq memanggil semua Guru Rantai Emas yag menjadi pewaris Abû Bakar. Para Grandsyaikh Rantai Emas dari masanya hingga masa Mahdi. Seluruhya dipanggil dari dunia ruh. Kemudian ia diperintahkan memanggil ke 7. 007 Wali Naqsyabandi. Dan Nabi memanggil ke 124. 000 nabi”.

“Melalui perintah Nabi Muhammad saw., Abû Bakar al-Siddiq memerintahkan seluruh Grandsyaikh mengumpulkan semua pengikutnya untuk hadir secara spiritual. Kemudian Abû Bakar al-Siddiq memerintahkan semua Syaikh menggandeng tangan pengikutnya untuk menerima inisiasi (bai’at). Ia menaruh tangannya di atas tangan mereka, dan kemudian Allah meletakkan tangan-Nya. Kekuatan tangan Abû Bakar al-Siddiq di atas mereka semua. Allah sendiri meletakkan talqîn al- Dzikr ke lidah semua yang hadir. Perintah Allah selanjutnya kepada Nabi ialah meminta Abû Bakar al-Siddiq agar memerintahkan semua Wali yang hadir untuk mengulang apa yang mereka dengar dari suara kekuatan: ALLAHU ALLAHU ALLAHU HAQQ

ALLAHU ALLAHU ALLAHU HAQQ

104

Syaikh Muhammad Hisam Kabbânî. Classical Islam and the Naqsabandi Sufi Tradition, (United States of America: Islamic Supreme Council of America, 1995), h. 79-80. Lihat juga, Mawlana Syaikh Hisyam Kabbânî ar-Rabbani. Silsilah Rantai Emas 1, (T. Pn: Rabbani Sufi Institute of Indonesia, t. t), h. 19-20.

ALLAHU ALLAHU ALLAHU HAQQ

“Semua yang hadir mengikuti Syaikh mereka dan para Syaikh mengkuti apa yang mereka dengar dari ucapan Nabi. Kemudian Allah SWT. mengajarkan rahasia dzikir, yang dikenal dengan Khatm al-Khwajagan, kepada Abdul Khaliq al-Ghujduwani,105 yang memimpin dzikir pertama diantara para wali jalan ini. Nabi Muhammad saw. memberitahu Abû Bakar al-Siddiq, yang kemudian memberitahu semua wali bahwa Abdul Khaliq adalah pemimpin al-Ghujduwâni adalah pemimpin dari Khatm al- Khawajagan.Setiap orang diberi kehormatan untuk menerima cahaya dan rahasia dari Khwjaga Abdul Khaliq al-Ghujduwani, dihadapan semua wali, Abû Bakar al-Siddiq, Nabi Muhammad saw., dan Allah”

Penulis juga telah melakukan wawancara langsung dengan Syaikh Hisyâm Kabbânî, “…kata Haqq dengan ayat

͊ϖ˴Τ˸ϟ΍

˵ϡ˸Ϯ˴ϴ˸ϟ΍

˴Ϛ˶ϟ˴Ϋ

(QS. Al-Naba’ [78]: 39), manusia menyatakan dengan sesadar-sadarnya bahwa Allah-lah yang Maha Benar, dan manusia hanyalah hamba-hamba yang lemah yang selama ini berjalan di jalan kebatilan.106

Tarekat-tarekat yang tersebar begitu banyak di seluruh dunia, memiliki cara sendiri dan berbeda-beda dalam melakukan aktifitas dzikir, khususnya tarekat Naqsyabandiyah Haqqânî, seringkali menyebut-nyebut Asmâ al-Husnâ dalam aktifitas dzikirnya, ini menjadi sangat penting, terlebih menyebut Allahu, Allahu, Allahu Haqq, sebab fakta sejarah Naqsyabandiyah telah menyebutkan bahwa asma ini memiliki dasar dan makna yang amat mendalam, yakni, bertemunya

105

Abdul Khâliq al-Ghujduwâni dilâhirkan di Ghujdawan, sebuah kota dekat Bukhâra (sekarang Uzbekistan). Disanalah ia tinggal, hidup, dan dimakamkan. Ayahnya adalah Syaikh Abdul Jamîl, salah seorang ulama terkenal di zaman Byzantin, baik dalam pengetahuan eksternal dan internal. Ibunya adalah seorang putri, anak dari raja Seljuk Anatolia.

Dia dikenal sebagai Syaikh dengan berbagai keajaiban yang bersinar bagai matahari, dan seorang guru dengan tingkatan tertinggi di zamannya. Ia pemilik pengetahuan yang sempurna dalam sufisme dan ma’rifat. Ia dianggap sebagai sumber air terjun jalan sufi terhormat ini dan sumber mata air Khwajagan. Lihat selengkapnya, Syaikh Muhammad Hisyâm Kabbânî. Classical Islam and the Naqsabandi Sufi Tradition (United States of America: Islamic Supreme Council of America, 1995), h. 145.

106

Wawancara langsung dengan Syaikh Hisyâm Kabbânî pada forum kuliah umum di Auditorium Prof. Dr. Harun Nasution UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pada tanggal 14 Juni 2011.

seluruh mursyid tarekat dari jalur ini dengan Sayyidinâ Abû Bakar al-Siddiq yang diperintahkan oleh Allah melalui Nabi Muhammad saw. untuk melakukan bai’at seluruh mursyid dari Mata Rantai Emas.

Hal ini bisa terdengar hingga saat ini karena Syaikh Hisyâm Kabbânî mendapatkan bimbingan langsung dari gurunya, Syaikh Nâzim ‘Adil al-Haqqânî yang menurut sejarah – telah di bai’at oleh Sayyidinâ Abû Bakar al-Siddiq menjadi mursyid tarekat Naqsyabandi Mata Rantai Emas ke-40. Masing-masing Syaikh memiliki tugas yang sama, yaitu menyerukan dan mengajak manusia di seluruh pelosok dunia, dimanapun berada, untuk selalu berada di dalam jalan Allah.

Mengenai sejarah di atas, amat erat kaitannya dengan bai’at. Bai’at adalah suatu janji atau membuat perjanjian. Bai’at adalah pernyataan sanggup dan setia murid di hadapan gurunya untuk mengamalkan dan mengerjakan segala kebajikan yang diperintahkannya, serta tidak melakukan maksiat-maksiat yang dilarang gurunya.107

Penulis tidak mengatakan bahwa terdapat kelemahan atau kekurangan di dalam Tarekat Naqsyabandi Haqqânî, akan tetapi penulis beranggapan bahwa terdapat perbedaan tata cara bai’at yang diberikan seorang guru kepada seorang murid dalam jalan ini – bahwasannya dalam sebuah Tarekat, seorang mursyid atau guru tidak dengan mudah memberikan bai’at terhadap murid. Hal ini disebabkan karena bagi seorang guru, hidup bertarekat tidaklah mudah, dan seorang guru memanggul amanah yang begitu besar terhadap tanggung jawabnya sebagai

107

Totok Jumantoro, dan Samsul Munir Amin, “Bai’at” dalam Kamus Ilmu Tasawuf (T. tp: Amzah., 2005, h. 23.

seorang mursyid.108 Sedangkan, penulis melihat dalam Tarekat ini – terlihat seorang guru sangatlah mudah dalam memberikan bai’at kepada murid atau pengikutnya.

Dokumen terkait