• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 6 EFISIENSI TEKNIS DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI

6.1 Efisiensi Teknis dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi

6.1.1 Efisiensi Teknis Usahatani Padi di Indonesia

Jawa Timur merupakan provinsi dengan volume produksi yang tertinggi di Indonesia. Selain itu, pertumbuhan produktivitas lahan padi di Jawa Timur melebihi angka nasional. Berdasarkan data Statistik Indonesia (BPS, 2015a dan BPS, 2011) selama sepuluh tahun terakhir, peningkatan produktivitasnya sekitar 20,34 persen.

Tingginya produktivitas lahan selayaknya diiringi dengan efisiensi teknis yang juga tinggi. Jika dilihat dari angka rata-rata efisiensi, Jawa Timur memiliki tingkat efisiensi teknis sebesar 0,76. Artinya, rata-rata produktivitas yang dicapai RTU padi di provinsi tersebut sekitar 76 persen dari frontier-nya. Frontier tersebut merupakan produktivitas maksimum yang dapat dicapai dengan sistem pengelolaan yang terbaik (the best practiced) di Jawa Timur. Tingkat efisiensi seperti itu tergolong kategori sedang – tinggi. Sebagai perbandingan, rata-rata efisiensi teknis yang dicapai petani padi di Filipina (Dawson et al, 1989 dan Yao dan Liu 1998) dalam Sumaryanto (2003), berada pada kisaran 0,60 – 0,80. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa peluang untuk peningkatan produktivitas melalui aspek manajerial masih dapat ditingkatkan di provinsi ini, terutama bagi RTU yang masih memiliki tingkat efisiensi yang rendah.

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014

Di Jawa Timur, sekitar 52 persen RTU memiliki tingkat efisiensi yang cukup tinggi (lebih dari 0,80). Kemudian, sekitar 43 persen RTU memiliki efisiensi antara 0,50 - 0,80 atau terkategori sedang. Sedangkan sisanya masih terkategori efisiensi rendah, yaitu kurang dari 5 persen (Lampiran 22). Dengan komposisi RTU seperti itu, dapat terlihat bahwa lebih dari separuh usaha sudah mendekati titik produktivitas tertinggi. Kedepan, diperlukan solusi yang lebih baik untuk antisipasi tingkat efisiensi yang sudah tinggi di wilayah ini. Penelitian IRRI dan IFPRI (Pingali et al, 1997 dalam Sumaryanto, 2003) menunjukkan bahwa kesempatan untuk meningkatkan produktivitas usahatani padi semakin terbatas di sentra produksi padi di negara ASIA. Oleh sebab itu, perlu upaya percepatan pembukaan lahan sawah baru atau peningkatan teknologi pertanian. Sebagai informasi, luas lahan sawah di Jawa Timur selama sepuluh tahun terakhir menurun dari 1,12 juta ha di tahun 2003 menjadi 1,10 juta ha pada tahun 2013 (BPS, 2015a dan BPS, 2011). Dengan demikian, peningkatan teknologi pertanian menjadi mutlak dilakukan di Pulau Jawa.

Gambaran efisiensi di Jawa Timur hampir serupa dengan wilayah sentra padi lainnya, yaitu Jawa Barat. Kemiripan tersebut antara lain: pertama, Jawa Barat dan Jawa Timur memiliki nilai rata-rata efisiensi berkategori sedang. Kedua, produktivitas padi di Jawa Barat hampir sama dengan produktivitas padi di Jawa Timur, selisihnya hanya 1 kuintal per ha. Ketiga, rentang nilai efisiensi tertinggi dengan terendah di Jawa Timur dan Jawa Barat sama tinggi, yang menunjukkan variasi Gambar 6.1.

Produksi dan Produktivitas Padi di Jawa Timur, 2004-2014

yang cukup besar. Keempat, luas lahan sawah di Jawa Barat dan Jawa Timur mengalami penurunan selama sepuluh tahun terakhir. Hanya saja perbedaan terletak pada komposisi RTU menurut kategori efisiensi. Di Jawa Barat, RTU yang memiliki efisiensi tinggi hanya sepertiga dari keseluruhan RTU padi. Artinya, target peningkatan produktivitas padi melalui peningkatan kapabilitas manajerial petani di Jawa Barat masih diperlukan.

Efisiensi yang sudah cukup tinggi di Pulau Jawa mengisyaratkan bahwa peningkatan teknologi dan perluasan wilayah pertanian menjadi solusi yang tepat untuk meningkatkan produksi padi. Kajian BPS (2015b) menyebutkan bahwa potensi tanaman pangan di luar Jawa terutama di Kawasan Timur Indonesia (KTI) masih terbuka lebar dengan beberapa alasan. Pertama, ketersediaan lahan di KTI yang masih luas. Luas lahan sawah di Maluku dan Papua terus meningkat dari tahun ke tahun. Kedua, produksi dan produktivitas padi di Sulawesi, Maluku dan Papua juga terus meningkat. Ketiga, Wilayah Timur memang patut untuk dieksplorasi lebih dalam untuk menyokong produksi pangan Pulau Jawa yang sudah mengalami percepatan transformasi struktural. Hasil kajian Analisis Tematik ST2013 Subsektor Transformasi Struktural Usahatani dan Petani Indonesia (BPS & MB-IPB, 2015c) menunjukkan bahwa dalam struktur PDRB subsektor pertanian, proporsi PDRB tanaman pangan (termasuk padi dan palawija) mengalami perubahan signifikan di Jawa. Dengan demikian, sentra tanaman pangan memang harus beralih ke luar Jawa.

Maluku merupakan salah satu provinsi dengan pertumbuhan produktivitas padi yang cukup tinggi di Indonesia. Seiring dengan hal tersebut, penambahan luas areal sawah juga cukup fantastis selama satu dekade terakhir. Peningkatan produktivitas padi per hektar dari tahun 2004 ke tahun 2014 adalah sebesar 46,71 persen. Sedangkan peningkatan luas lahan sawah nyaris 80 persen selama periode 2003-2013 (BPS, 2015a).

Kondisi produktivitas lahan yang kian meningkat perlu didukung oleh tingkat efisiensi teknis yang mumpuni. Berdasarkan hasil olah SPD 2014, tingkat efisiensi teknis Maluku menunjukkan angka yang sedang (sebesar 0,71), yang berarti bahwa rata-rata produktivitas yang dicapai RTU padi di provinsi ini adalah sekitar 71 persen dari frontier-nya. Frontier tersebut merupakan produktivitas maksimum yang dapat dicapai

Jika dilihat dari sebarannya, 18 persen RTU padi di Maluku masih memiliki peluang yang sangat besar untuk meningkatkan manajemen budidaya padi yang dilakukan. RTU tersebut berada pada kategori efisiensi yang rendah atau kurang dari 0,50 (Lampiran 37). Sekitar 38 persen RTU lainnya yang terkategori efisiensi sedang, juga masih dapat meningkatkan keterampilan managerialnya dalam mengelola faktor-faktor penting yang memengaruhi produktivitas.

Sulawesi Selatan merupakan provinsi yang juga potensial untuk pengembangan padi. Di provinsi ini, luas lahan sawah yang dimiliki adalah yang terbesar di Pulau Sulawesi (BPS, 2015a). Tidaklah mengherankan jika jumlah RTU padi di provinsi ini juga yang terbanyak, mencapai 596 370 RTU atau 64,97 persen dari keseluruhan RTU padi di Pulau Sulawesi (BPS, 2014). Rata-rata efisiensi teknis RTU padi di Sulawesi Selatan mencapai 0,72 (Lampiran 33). Lebih dari separuh usahatani padinya berada pada kategori efisiensi sedang (0,50 – 0,80).

Gambar 6.2.

Luas Lahan Sawah dan Produksi Padi di Maluku,

2003-2013

Sumber: ww.bps.go.id

Gambar 6.3.

Sebaran RTU Padi menurut Kategori Tingkat Efisiensi Teknis di Provinsi Sulawesi Selatan, 2014 Sumber: ST2013-SPD, diolah

Bali merupakan provinsi dengan produktivitas lahan terbesar di Indonesia. Pada tahun 2014, produktivitas padi di Bali mencapai 60,12 kuintal per ha, atau sedikit lebih tinggi dari Jawa Timur yang mencapai 59,81 kuintal per ha (BPS, 2015a). Tingginya produktivitas lahan di provinsi ini sejalan dengan tingkat efisiensinya yang mencapai rata-rata 0,84 (Lampiran 24). Artinya, rata-rata produktivitas yang dicapai RTU padi di Provinsi Bali sudah cukup tinggi, atau mendekati frontier. Menurut Sumaryanto, Wahida, & Siregar (2003), tingkat efisiensi yang tinggi mencerminkan prestasi petani dalam keterampilan manajerial adalah cukup tinggi atau penguasaan informasi dan pengambilan keputusan dalam mengelola faktor-faktor penting yang memengaruhi kinerja produktivitas berada dalam level yang memuaskan. Namun, disisi lain, tingkat efisiensi yang tinggi juga merefleksikan bahwa peluang untuk meningkatkan produktivitas semakin kecil. Untuk kasus yang seperti terjadi di Bali, peningkatan produktivitas secara nyata membutuhkan inovasi teknologi yang lebih maju atau perluasan lahan.

Kemungkinan lainnya, tingginya efisiensi di Bali dipengaruhi oleh homogenitas pengusahaan budidaya padi. Homogenitas menyebabkan jarak antar amatan yang cukup dekat dengan frontier-nya. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, efisiensi dihitung melalui jarak posisi aktual terhadap frontier-nya. Homogenitas terlihat dari dari rentang antara tingkat efisiensi maksimum dan minimum yang hanya 0,43 (Lampiran 24). Tingkat efisiensi maksimum di Provinsi Bali mencapai 0,95 sementara nilai terrendah 0,52. Dengan nilai tersebut, otomatis tidak ada RTU padi yang berada pada kategori efisiensi rendah (di bawah 0,5). Sementara, sekitar 83,66 persen RTU padi di Bali berada pada kategori tinggi, sisanya berkategori sedang.

Homogenitas usahatani padi di Bali tidak terlepas dari subak yang mengatur tentang sistem pengairan sawah di Bali. Sistem pengairan ini sudah dikenal kurang lebih dari satu abad yang lalu. Di sisi lain, sistem pertanian di Bali mulai dari tanah, pemupukan, bagi hasil sampai pajak pun telah diatur (Windia, 2005) dalam (Dewi, Suamba, & Ambarawati, 2012).

Gambaran efisiensi teknis lainnya yang menarik terjadi di Kepulauan Riau. Di Provinsi tersebut, 57,35 persen RTU padi memiliki nilai efisiensi teknis pada kisaran lebih dari 0,8, kemudian 36,75 persen

merupakan RTU dengan efisiensi kisaran kurang dari 0,5 (Lampiran 18). Salah satu faktor tingginya efisiensi RTU padi di Riau adalah karena jumlahnya yang relatif sedikit dan seragam. Luas lahan sawah di provinsi ini sangatlah rendah bahkan terendah di Indonesia. Pada tahun 2014, luas areal sawah di Kepulauan Riau hanya 487 Ha dengan jumlah RTU padi hanya 506 rumah tangga (BPS, 2014). Dengan demikian, tingginya nilai efisiensi di Kepulauan Riau di sebabkan karena homogenitas dan jumlah RTU yang sedikit. Secara lebih rinci, gambaran efisiensi di masing-masing provinsi dapat dilihat di lampiran.

6.1.2 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Inefisiensi Usahatani Padi di Indonesia

Dengan diketahuinya tingkat efisiensi di suatu wilayah, maka dapat diketahui pula provinsi mana yang masih dapat meningkatkan produktivitasnya melalui aspek peningkatan pengetahuan petani maupun aspek kapabilitas manajerial maupun kelembagaannya. Aspek mana yang memengaruhi inefisiensi perlu diidentifikasi.

Dalam penentuan determinan efisiensi diperlukan peubah-peubah yang merepresentasikan aspek manajerial penggunaan input serta faktor-faktor lain seperti umur dan pendidikan petani, pinjaman, subsidi, keanggotaan kelompok tani, penyuluhan, jenis lahan (lahan irigasi atau non-irigasi) dan status lahan (milik sendiri atau non-milik sendiri). Dari hasil pengolahan SPD 2014, diperoleh hasil yang cukup Gambar 6.4.

Sebaran RTU Padi menurut Kategori Tingkat Efisiensi Teknis di Provinsi Kepulauan Riau, 2014 Sumber: ST2013-SPD, diolah

menarik seperti tergambar dalam Tabel 6.1. Dari delapan peubah yang diuji pengaruhnya terhadap inefisiensi, mayoritas memiliki pengaruh yang signifikan negatif. Hal ini berarti semakin tinggi nilai variabel-variabel tersebut semakin berkurang inefisiensinya. Namun, keanggotaan kelompok tani dan status kepemilikan lahan cenderung memiliki pengaruh yang positif terhadap inefisiensi. Hal ini terlihat dari banyaknya jumlah provinsi yang memiliki koefisien positif keanggotaan kelompok tani dan status kepemilikan lahan dalam model inefisiensi teknis yang dibangun.

No Peubah inefisiensi Signifikan dan negatif Signifikan dan positif

(1) (2) (3) (4)

1 Umur Aceh, Sumut, Sumsel,

Bengkulu, Kepri, Jateng, DIY, Jatim, Kalsel, Kaltim dan Pap-ua Barat

Banten

2 Tingkat pendidikan Aceh, Sumut, Sumbar, Riau, Bengkulu, Lampung, Jabar, DIY, Jatim, Banten, NTT, Kalbar, Kalsel

Kalteng

3 Pinjaman Aceh, Sumut, Sumbar, Riau,

Jabar, Jatim, Banten, Kaltim Sumsel, Papua

4 Subsidi Sumut, Sumsel,

Bengku-lu, Banten, Kalteng, Kalsel, Kaltim, Malut, Papua Barat

Sumbar, Jateng, Jatim, Sultra

5 Penyuluhan Sumut, Sumbar, Sumsel, DIY,

Jatim, Kalbar, Kalsel, Kaltim, Sultra, Malut, Papua Barat

-6 Keanggotaan Kelompok Tani Lampung, Jateng, Jatim,

Kaltim, Sultra Aceh, Sumbar, Jabar, NTT, Kalteng, Kalsel, Sulsel, Malut

7 Jenis Lahan Aceh, Sumbar, Riau,

Bengku-lu, Babel, Jabar, Jateng, Bali, Sulsel, Papua Barat

Sumsel, NTT, Kalsel, Malut, Kalteng

8 Status Kepemilikan Lahan Riau Aceh, Sumut, Sumbar, Jateng,

Jatim, Kalteng, Kalsel, Papua Barat, Sulut

Pendidikan dan penyuluhan secara umum masih dapat Tabel 6.1. Sebaran Provinsi Menurut Jenis Peubah dan Arah Pengaruh (Signifikan Positif atau Negatif) Ter-hadap Inefisiensi

Usahatani Padi

terjadi. Hal ini terlihat dari koefisien regresi yang signifikan positif. Penyuluhan dan edukasi perlu diintensifkan di daerah-daerah atau provinsi yang masih banyak ditemukan usahatani tanaman padi yang belum efisien. Penyuluhan usahatani yang berbasis pada pengetahuan dan sumber daya lokal akan secara cepat meningkatkan usaha tanaman padi yang memiliki tingkat efisiensi teknis yang tinggi.

Faktor akses terhadap pinjaman modal juga berdampak baik bagi peningkatan efisiensi teknis. Akses yang mudah terhadap pinjaman modal dapat membantu petani untuk membeli input pertanian sesuai yang dianjurkan.

Uniknya, faktor umur justru memiliki pengaruh yang negatif terhadap inefisiensi, yang berarti bahwa semakin tua umur, maka semakin rendah tingkat inefisiensinya. Dengan kata lain, semakin tinggi umur meningkatkan tingkat efisiensi. Hal ini mengindikasikan bahwa pengalaman bertani adalah hal yang sangat penting. Menurut Sumaryanto, Wahida, & Siregar (2003), secara de facto teknik budidaya tanaman padi bagi penduduk perdesaan memang bukan merupakan teknologi yang asing, bahkan dalam batas-batas tertentu dapat dikatakan sudah menjadi bagian dari budaya. Budaya yang sudah turun temurun, memungkinkan untuk memperkuat pengalaman dalam bertani, sehingga semakin tinggi umur semakin banyak pengalaman bertani yang diperoleh. Dampaknya, semakin tua umur maka semakin efisien cara bertaninya.

Fenomena pengaruh yang positif keanggotaan kelompok tani terhadap inefisiensi teknis usahatani menunjukkan bahwa petani tidak secara aktif dalam kegiatan kelompok tani, atau hanya sebagai status. Pada beberapa kasus, petani menjadi anggota kelompok tani hanya untuk memperoleh bantuan atau subsidi (Kusnadi, Tinaprilla, Susilowati, & Purwoto, 2011).

Sedangkan hubungan yang positif antara kepemilikan lahan milik sendiri dengan inefisiensi menunjukan bahwa petani penggarap maupun penyewa menyadari benar bahwa keuntungan usahataninya akan memadai hanya jika mereka mampu mengelolanya secara efisien, sehingga usaha budidaya tanaman benar-benar serius dilakukan (Sumaryanto, Wahida, & Siregar, 2003). Dampaknya, petani yang memiliki lahan sewa atau sakap justru memiliki tingkat efisiensi yang lebih tinggi.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Jawa Timur merupakan salah satu sentra produksi padi. Oleh sebab itu, perlu diketahui faktor-faktor yang memengaruhi inefisiensi usahanya. Tingkat inefisiensi RTU padi di Jawa Timur dipengaruhi oleh semua faktor, kecuali jenis lahan. Adapun peubah yang memiliki pengaruh yang negatif adalah umur, tingkat pendidikan, pinjaman, penyuluhan, dan keanggotaan kelompok tani. Sedangkan peubah subsidi dan status kepemilikan lahan memiliki pengaruh positif. Artinya, dengan tidak mendapatkan subsidi dan tidak memiliki lahan sendiri justru usahatani lebih efisien. Status lahan yang berpengaruh signifikan namun bertanda positif mengisyaratkan bahwa di Jawa Timur status lahan non milik lebih efisien karena petani lebih mengeksplorasi lahan tersebut untuk menutup biaya sewa atau sakapnya sehingga diupayakan untuk menghasilkan produktivitas yang semakin tinggi. Pengaruh kepemilikan lahan bukan milik sendiri cukup besar dengan koefisien 1,53 (Lampiran 22). Sedangkan pengaruh subsidi yang tidak meningkatkan efisiensi, menunjukkan bahwa efisiensi yang tinggi terjadi pada RTU yang mandiri yang tidak mendapatkan fasilitas subsidi.

Di Jawa Barat, efisiensi rumah tangga usaha padi sangat dipengaruhi oleh pinjaman dengan koefisien 2,89 (Lampiran 19). Hal ini menyiratkan bahwa dengan meningkatnya akses masyarakat terhadap pinjaman dapat menurunkan inefisiensi teknis. Selain pinjaman, tingkat pendidikan dan jenis lahan irigasi juga memengaruhi penurunan inefisiensi. Hal yang menarik di provinsi ini adalah keanggotaan kelompok tani yang memiliki pengaruh positif terhadap inefsiensi. Hal ini sejalan dengan hasil kajian Kusnadi, Tinaprilla, Susilowati, & Purwoto (2011) berdasarkan Survei PATANAS 2010 yang salah satunya dilakukan di Provinsi Jawa Barat. Keanggotaan kelompok tani menyebabkan peningkatan inefisiensi.

Sebagai sentra padi di Kawasan Timur, gambaran efisiensi usaha padi di Sulawesi Selatan cukup unik. Dari delapan peubah yang dikaji sebagai determinan inefisiensi, hanya keanggotaan kelompok tani dan jenis lahan irigasi yang memengaruhi. Peubah lahan irigasi berpengaruh negatif terhadap inefisiensi, sedangkan peubah keanggotaan kelompok tani memiliki pengaruh yang sebaliknya. Artinya lahan irigasi mengurangi inefisiensi sedangkan kelompok tani justru meningkatkan inefisiensi.

Pembangunan irigasi di Sulawesi Selatan sangat dibutuhkan untuk peningkatan produksi padi karena Sulawesi Selatan juga merupakan salah satu sentra produksi padi yang diunggulkan di Indonesia. Kondisi air pada saat ini menjadi isu penting mengingat perubahan iklim yang sulit diduga. Irigasi sebagai prasarana produksi juga banyak yang sudah rusak dan tidak diperbaiki karena investasi yang cukup mahal. Dengan demikian, pembenahan irigasi sebagai sumber air untuk budidaya padi sangat dibutuhkan dan dapat meningkatkan efisiensi teknis di wilayah ini.

Pentingnya irigasi juga terlihat di Bali. Di provinsi ini, hanya jenis lahan yang memengaruhi efisiensi. Eksistensi sistem pengairan Subak terbukti sangat memengaruhi kinerja manajerial petani dalam peningkatan produktivitasnya.

Sementara itu, di Provinsi Jambi, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tengah, Gorontalo dan Sulawesi Barat, inefisiensi usaha tidak dipengaruhi oleh peubah apapun. Perlu penelitian lebih lanjut untuk kasus seperti ini.

6.2 Efisiensi Teknis dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi Inefisiensi Usahatani Jagung di Indonesia

6.2.1. Efisiensi Teknis Usahatani Jagung di Indonesia

Jagung merupakan salah satu sumber karbohidrat yang bisa menjadi makanan alternatif pengganti beras. Oleh sebab itu, produksi jagung diharapkan terus meningkat untuk memenuhi kebutuhan keragaman pangan dan pakan lokal. Upaya percepatan produksi komoditas pangan termasuk jagung sudah diupayakan sejak era 90-an, mulai dengan program MT 1996/1997, Gerakan Mandiri Peningkatan Produksi Padi, Kedelai dan Jagung (GEMA PALAGUNG), Upaya Khusus Peningkatan Ketahanan Pangan Nasional (UPSUS PKPN), Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian (PRIMATANI), Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT), dll (Fadwiwati, Hartoyo, Kuncoro, & Rusastra, 2014).

Upaya peningkatan produksi dan produktivitas jagung perlu didukung oleh kajian mengenai efisiensi teknis dan faktor-faktor yang memengaruhinya. Harapannya, dengan diketahui tingkat efisiensi di suatu wilayah, dapat diidentifikasi daerah mana yang masih bisa “Produksi jagung

diharapkan terus meningkat untuk memenuhi kebutuhan keragaman pangan dan pakan lokal.”

meningkatkan produktivitas jagungnya melalui pemanfaatan teknologi yang telah ada, dan daerah mana yang sudah memiliki efisiensi teknis yang sudah tinggi. Bagi wilayah yang memiliki efisiensi teknis yang sudah tinggi, diperlukan terobosan baru dan perbaikan kelembagaan produksi dalam peningkatan produksi jagung di wilayah tersebut.

Di Indonesia, wilayah-wilayah yang memiliki produksi dan produktivitas jagung tertinggi diantaranya Jawa Barat, Jawa Timur, Lampung, Nusa Tenggara Barat (NTB), Sulawesi Selatan, dan Gorontalo. Oleh sebab itu, ulasan analisis efisiensi jagung akan difokuskan pada provinsi tersebut. Untuk provinsi lainnya, analisis dapat dilakukan dengan menganalisis data-data yang tersaji pada lampiran.

Jawa Barat merupakan provinsi dengan produktivitas jagung yang tertinggi di Indonesia meski bukan produsen jagung terbesar. Pertumbuhan produktivitas jagung di Jawa Barat cukup signifikan selama sepuluh tahun terakhir. Pada tahun 2004, produktivitas jagung baru berkisar 45,84 kuintal/ha, namun pada tahun 2014 meningkat hingga mencapai 73,24 kuintal/ha (BPS, 2011 & BPS, 2015a). Jumlah RTU jagung di provinsi ini sebetulnya hanya mencapai 200.917 rumah tangga (BPS, 2014), atau sepersepuluh dari RTU jagung di Jawa Timur yang merupakan produsen jagung terbesar di Indonesia. Dengan kondisi tersebut, tidaklah mengherankan jika hasil olah data SPW 2014 menunjukkan bahwa efisiensi teknis usahatani jagung di tanah Sunda ini juga tinggi, yaitu mencapai 0,75. Jika dilihat sebarannya, 43,28 persen Gambar 6.5. Produksi Jagung di Sepuluh Provinsi Tertinggi (Ribu Ton), 2014 Sumber: BPS (2015a)

usahatani jagung masih dapat ditingkatkan produktivitasnya dengan optimalisasi teknologi yang ada.

Sementara, Jawa Timur yang merupakan provinsi dengan produksi jagung tertinggi pada beberapa tahun terakhir, memiliki produktivitas lahan yang tidak sebanyak di Jawa Barat. Volume jagung yang dihasilkan provinsi ini mencapai 5,74 juta ton di tahun 2014, sementara produktivitasnya baru mencapai 47,72 kuintal per ha (BPS, 2015a). Dengan melihat kondisi tersebut, sesungguhnya potensi Jawa Timur untuk meningkatkan produktivitas lahan sebetulnya masih terbuka lebar.

Berdasarkan hasil SPW 2014, efisiensi teknis usahatani jagung di Jawa Timur baru mencapai 0,58 (Lampiran 22). Artinya, masih ada peluang untuk meningkatkan efisiensi sekitar 42 persen melalui perbaikan faktor-faktor yang signifikan memengaruhi tingkat inefisiensinya. Target RTU yang masih dapat meningkatkan efisiensi teknis adalah RTU yang masih memiliki efisiensi teknis sedang dan rendah, yaitu sebanyak 83,77 persen. Gambar 6.6. Produktivitas Jagung di Sepuluh Provinsi dengan Volume Produksi Tertinggi (Kuintal/ha), 2014 Sumber: BPS (2015a) Sumber: ST2013-SPW, diolah Gambar 6.7. Sebaran RTU Jagung menurut Kategori Tingkat Efisiensi Teknis di Provinsi Jawa Timur, 2014

Di Pulau Sumatera, sentra produksi jagung berdasarkan data hasil laporan statistik pertanian tanaman pangan dan survei ubinan yang dilakukan BPS di tahun 2014 berada di Lampung, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Volume produksi jagung di Lampung selalu lebih dari 1 juta ton selama satu dekade terakhir. Bahkan di tahun 2014 mencapai 1,72 juta ton. Sedangkan produksi jagung di Sumatera Utara mencapai 1,2 juta ton dan di Sumatera Barat baru mencapai separuhnya dari Sumatera Utara (BPS, 2015a). Namun, jika dilihat produktivitas lahannya, Sumatera Barat merupakan provinsi di Pulau Sumatera yang memiliki produktivitas tertinggi dan menduduki posisi kedua ditingkat nasional di tahun 2014. Sementara produktivitas lahan jagung di Lampung masih jauh dari Sumatera Barat, Sumatera Utara dan Sumatera Selatan. Dengan kondisi demikian, sebetulnya produktivitas jagung di Lampung masih dapat ditingkatkan.

Jumlah RTU jagung di Lampung berdasarkan hasil pendataan lengkap Sensus Pertanian 2013 tercatat sekitar 103.426 RTU (BPS, 2014). Sementara berdasarkan hasil pendataan SPW 2014, sekitar 51,82 persen usahatani terkategori dalam efisiensi sedang dan 20,26 persen terkategori dalam efisiensi rendah. Dengan mengasumsikan tidak ada perubahan yang signifikan dalam jumlah RTU jagung selama tahun 2013-2014, maka dapat dikatakan bahwa ada sekitar 72,08 persen RTU jagung atau setara dengan 7,5 juta RTU yang dapat meningkatkan efisiensi teknisnya melalui determinan yang memengaruhinya.

Faktor-Sumber: BPS (2015a) Sumber: ST2013-SPW, diolah Gambar 6.8. Sebaran RTU Jagung menurut Kategori Tingkat Efisiensi Teknis di Provinsi Lampung, 2014 Sumber: ST2013-SPW, diolah

faktor yang dapat meningkatkan level efisiensi di Provinsi Lampung akan dibahas pada subbab berikutnya.

NTB merupakan provinsi yang cukup unik. Produksi jagung di