• Tidak ada hasil yang ditemukan

Badan Pusat Statistik. Analisis Tematik ST2013 Subsektor Estimasi Parameter dan Pemetaan Efisiensi Produksi Pangan di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Badan Pusat Statistik. Analisis Tematik ST2013 Subsektor Estimasi Parameter dan Pemetaan Efisiensi Produksi Pangan di Indonesia"

Copied!
222
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

ISBN : 978-979-064-872-2 No. Publikasi : 07310.1508 Katalog BPS : 1304045

Diterbitkan Oleh : Badan Pusat Statistik Tim Penyusun

Pengarah : Dr. Suhariyanto, Dr. Adi Lumaksono, M.A. Penanggung jawab : Dr Margo Yuwono, S.Si, M.Si

Editor : Harmawanti Marhaeni, M.Sc. Koordinator Penulis : Prof. Muhammad Firdaus

Penulis : Dr. Yusman Syaukat, Dr. Lukman Baga, Dr. Anna Fariyanti, Dr. Netti Tinaprilla, Dr. Farif A. Effendi, Hastuti, M.Si, Dr. Kadarmanto M.A., Iswadi, S.Si, MNat Res Econ., Ach. Firman Wahyudi, M.Si, Dian V. Panjaitan, M.Si, Achmad Fadillah, M.Si., Muhammad Fazri, M.Si., Ema Tusianti, SST., SAB., M.T., M.Sc., Zukha Latifah, SST., Khusnul Kotimah, SST.

Desain Cover : Oky Heryanto, A.Md, Rizal Herwin Wibowo, A.Md,Des

Desain Layout : Adi Nugroho, SST., Fera Kurniawati, SST., Anugrah Adi D.Y., SST., Christien Murtie Andries, SST., Khusnul Kotimah, SST., Zukha Latifah, SST.

Dicetak Oleh : CV. Josevindo Jakarta: Badan Pusat Statistik, 2015 xx +200 halaman; 17,6 x 25 cm

Dilarang mengumumkan, mendistribusikan, mengomunikasikan, dan/atau menggandakan sebagian atau seluruh isi buku ini untuk tujuan komersial tanpa izin tertulis dari Badan Pusat Statistik

(4)

Badan Pusat Statistik (BPS) telah mempublikasikan tiga buku analisis hasil Sensus Pertanian 2013 (ST2013), yaitu: Potensi Pertanian Indonesia yang merupakan hasil analisis hasil pencacahan lengkap tahun 2013; Analisis Sosial Ekonomi Petani di Indonesia yang disusun berdasarkan hasil Survei Pendapatan Rumah Tangga Usaha Pertanian (SPP) 2013; dan Analisis Kebijakan Pertanian: Implementasi dan Dampak Terhadap Kesejahteraan Petani dari Perspektif Sensus Pertanian 2013 yang memanfaatkan hasil Pencacahan Lengkap Rumah Tangga Usaha Pertanian dan SPP. Publikasi tersebut mempublikasikan hasil analisis Sensus Pertanian yang bersifat umum.

Dalam rangka mendapatkan analisis lebih mendalam lagi dan bersifat komprehensif, disusunlah publikasi Estimasi Parameter dan Pemetaan Efisiensi Produksi Pangan di Indonesia yang bertujuan menganalisis respon produksi terhadap perubahan harga produk itu sendiri dan perubahan harga produk lain, menganalisis respon permintaan input terhadap perubahan harga input itu sendiri dan harga input lain, menganalisis efisiensi produksi tanaman pangan dan faktor-faktor yang memengaruhinya, memetakan efisiensi produksi tanaman pangan menurut provinsi di Indonesia.

Kami mengucapkan terima kasih kepada tim peneliti dari Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor yang telah melakukan kajian ini serta semua pihak yang telah ikut berpartisipasi dalam menyukseskan ST2013 hingga tersusunnya buku ini, baik secara langsung maupun tidak langsung. Semoga buku ini dapat memberikan manfaat kepada segenap pengguna.

Jakarta, Desember 2015

Kepala Badan Pusat Statistik

Dr. Suryamin

(5)
(6)

Puji syukur Kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga Analisis ST2013 Tematik Subsektor: Estimasi Parameter dan Pemetaan Efisiensi Produksi Pangan di Indonesia dapat terselesaikan.

Publikasi ini terdiri dari 8 (delapan) Bab, yaitu Bab I. Pendahuluan; Bab II. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Pemikiran; Bab III. Metode Penelitian; Bab IV. Gambaran Umum Usahatani Padi, Jagung dan Kedelai (Pajale); Bab V. Estimasi Parameter Elastisitas Penawaran Output dan Permintaan Input; Bab VI. Efisiensi Teknis (Frontier) dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi Inefisiensi; Bab VII. Ringkasan dan Sintesis Hasil Penelitian; dan Bab VIII. Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan.

Kami mengucapkan terimakasih khususnya kepada Badan Pusat Statistik atas kepercayaan dan kerjasamanya bagi pelaksanaan kegiatan ini serta kepada seluruh pihak baik yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung bagi kelancaran ini. Kami berharap, publikasi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak khususnya di lingkup Badan Pusat Statistik dan pemerintah secara umum sebagai landasan dalam pengambil keputusan bagi penyempurnaan pelaksanaan birokrasi yang telah berjalan selama ini.

Akhir kata, atas perhatian dan kerjasamanya diucapkan terimakasih.

Bogor, Desember 2015

Dekan Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor

Dr. Yusman Syaukat

(7)
(8)

Indonesia merupakan negara dengan populasi penduduk yang tinggi dan menempati urutan populasi terbesar keempat di dunia. Tentu hal ini berkorelasi positif dengan tingginya kebutuhan pangan nasional. Oleh sebab itu, dibutuhkan strategi dan kebijakan pangan yang tepat melalui pemenuhan produksi pangan yang berkelanjutan. Kebijakan pangan merupakan isu strategis karena sangat berkaitan dengan kedaulatan bangsa. Dengan pengelolaan kebijakan yang tepat, Indonesia dapat menjadi role model of success state. Strategi kebijakan yang telah lama disusun dapat menyelesaikan permasalahan pangan adalah melalui swasembada pangan. Akan tetapi swasembada pangan beras yang pernah dicapai sejauh ini hanya bersifat sementara dan tidak berkelanjutan.

Adanya permasalahan teknis pertanian di Indonesia juga menjadi kendala dalam hal produksi pertanian nasional. Beberapa permasalahan teknis pertanian Indonesia yaitu : 1) Banyaknya kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai sumber pengairan utama pertanian, 2) Infrastruktur jaringan dan lahan irigasi yang masih buruk, 3) Tingginya alih fungsi atau konversi lahan pertanian mencapai 35 – 45 ribu ha/tahun (BKP, 2010), dan 4) Kepemilikan lahan petani yg relatif rendah, dengan produktivitas rata-rata baru mencapai ± 5 ton/ha (Kementan, 2013). Permasalahan dan kendala teknis tersebut sangat memengaruhi produksi yang pada akhirnya memengaruhi penawaran output komoditas.

Tujuan dan keluaran yang diharapkan dari analisis dan penelitian ini, adalah; 1) Menganalisis respon produktivitas terhadap perubahan penggunaan input, 2) Menganalisis respon permintaan input terhadap perubahan harga input itu sendiri, 3) Menganalisis efisiensi produksi tanaman pangan dan faktor-faktor yang memengaruhinya, 4) Memetakan efisiensi produksi tanaman pangan menurut provinsi di Indonesia.

Ringkasan Eksekutif

(9)

pada tiga komoditas pangan, yaitu padi, jagung, dan kedelai (PAJALE). Analisis Model Ekonometrika, yaitu Model Sistem Persamaan Simultan digunakan untuk menganalisis respon produksi pangan terhadap perubahan harga produk itu sendiri dan perubahan harga produk lain serta menganalisis respon permintaan input (pupuk, benih, dan pestisida) terhadap perubahan harga input itu sendiri dan harga input lain yang digunakan. Metode estimasi terhadap model yang digunakan adalah Two Stages Least Squares (2 SLS). Hasil analisis akan digunakan sebagai dasar perumusan kebijakan pencapaian swasembada pangan di Indonesia.

Elastisitas produktivitas komoditas padi, jagung, dan kedelai sebagian besar rasional, terutama untuk penggunaan input urea dan tenaga kerja. Untuk penggunaan input TSP, KCL, dan pestisida masih berlebihan dan tidak sesuai dengan kapasitas lahan yang ada. Sedangkan untuk penggunaan benih masih bisa ditingkatkan untuk meningkatkan produktivitas. Penggunaan input urea, TSP, dan tenaga kerja untuk komoditas jagung sudah rasional. Sedangkan untuk input seperti benih dan pestisida sudah melebihi kapasitas lahan yang ada. Untuk komoditas kedelai, penggunaan semua input yang dianalisis secara umum sudah rasional.

Elastisitas permintaan input komoditas padi menunjukkan

bahwa penggunaan input yang kurang responsif terhadap harga input itu sendiri adalah benih, urea, dan TSP. Untuk input tenaga kerja, sebagian besar provinsi kurang responsif terhadap peningkatan penggunaan tenaga kerja. Untuk komoditas jagung, penggunaan input benih dan tenaga kerja sebagian besar kurang responsif terhadap perubahan harga dan upah. Sedangkan penggunaan input TSP dan pestisida sangat responsif terhadap perubahan harga. Kedua input ini merupakan input komplemen saja dalam usahatani jagung sehingga dapat digantikan dengan input lain ketika terjadi kenaikan harga. Untuk komoditas kedelai, penggunaan input yang kurang responsif terhadap perubahan harga adalah benih dan tenaga kerja. Penggunaan TSP dan pestisida pada usahatani kedelai sudah melebihi kapasitas lahan yang ada.

(10)

Tingkat efisiensi teknis komoditas padi, jagung, dan kedelai sebagian besar nilai efisiensi teknis berada antara 0,5-0,8. Provinsi dengan tingkat efisiensi yang kurang dari 0,5 merupakan daerah yang harus menjadi perhatian utama untuk ditingkatkan. Untuk dapat meningkatkan efisiensi, dapat dilakukan dengan cara meningkatkan jumlah petani yang memperoleh penyuluhan, memperluas sawah irigasi, dan pengetahuan petani.

Penelitian ini menunjukkan bahwa secara umum usahatani tanaman padi, jagung, dan kedelai masih memberikan keuntungan bagi petani. Rasio R/C pada umumnya di atas angka 1. Hal ini menunjukkan bahwa usahatani tanaman pangan masih digemari petani. Berdasarkan struktur biaya yang dikeluarkan petani dijumpai bahwa biaya tenaga kerja merupakan bagian terbesar. Hal ini mengindikasikan bahwa biaya tenaga kerja di daerah perdesaan telah menjadi semakin mahal dan atau semakin tidak mudah untuk mendapat tenaga kerja di sektor pertanian.

Distribusi elastisitas produktivitas padi, jagung, dan kedelai berdasarkan penggunaan input di Indonesia menunjukkan bahwa sebagian jenis input telah digunakan secara rasional pada sebagian besar provinsi, khususnya untuk penggunaan urea dan tenaga kerja. Distribusi elastisitas permintaan input untuk tanaman padi, jagung, dan kedelai menunjukkan bahwa penggunaan benih, urea, TSP dan tenaga kerja pada umumnya bersifat inelastis pada sebagian besar provinsi. Informasi ini mengindikasikan bahwa input benih dan tenaga kerja pada umumnya merupakan hal yang sangat penting yang dihadapi petani jika terjadi kekurangan.

Tingkat efisiensi teknis komoditas padi, jagung, dan kedelai sebagian besar berada diantara 0,5-0,8. Provinsi dengan tingkat efisiensi yang kurang dari 0,5 merupakan daerah yang harus menjadi perhatian utama dalam kebijakan. Untuk komoditas padi, jika pemerintah ingin meningkatkan efisiensi teknis produksi sebaiknya daerah yang menjadi perhatian utama adalah Provinsi Bangka Belitung, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Tenggara. Sedangkan untuk jagung, tingkat efisiensi yang kurang dari 0,5 (masih perlu ditingkatkan) di Provinsi Riau, Kalimantan Barat, Bali, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, dan Maluku Utara. Beberapa provinsi yang tingkat efisiensi yang kurang dari 0,5 untuk

(11)

petani.

Terdapat beberapa peubah yang signifikan pengaruhnya terhadap inefisiensi tanaman padi, jagung dan kedelai. Hal ini dijumpai pada peubah status pemilikan lahan dan keanggotaan kelompok tani. Untuk tanaman padi, terdapat 9 provinsi yang status lahan justru menjadikan inefisiensi produksi. Demikian juga terdapat 8 provinsi yang keanggotaan kelompok tani berpengaruh pada inefisiensi teknis. Hal ini perlu mendapatkan perhatian guna meningkatkan efektivitas penguatan kelembagaan petani melalui kelompok tani. Namun demikian peran kelompok tani ini lebih baik dijumpai pada tanaman jagung. Sementara peubah yang signifikan berpengaruh pada peningkatan efisiensi dijumpai pada peubah tingkat pendidikan, penyuluhan, umur dan jenis lahan (irigasi) yang masing-masing dijumpai pada 13, 11, 11 dan 10 provinsi. Sementara untuk tanaman jagung dan kedelai, jumlah peubah yang berpengaruh pada inefisiensi produksi tidak begitu banyak dijumpai. Semua informasi ini perlu mendapatkan perhatian bagi pengambil kebijakan baik di tingkat nasional maupun di tingkat provinsi dalam merumuskan kebijakan dan program yang terkait dengan pengembangan ketiga jenis komoditas tanaman pangan yang dianalisis.

Implikasi kebijakan yang dapat dilakukan antara lain; 1) Upaya meningkatkan produksi pajale (padi, jagung, dan kedele) dari sisi perubahan efisiensi teknis dapat dilakukan di daerah-daerah yang memiliki inefisiensi teknis tinggi, 2) Rekayasa sosial ekonomi seperti penyediaan kredit, subsidi, penyuluhan, keanggotaan kelompok tani penting dalam peningkatan efisiensi usahatani pajale, 3) Penyediaan irigasi juga penting dalam peningkatan efisiensi usahatani pajale, 4) Upaya peningkatan input produksi penting dalam mendorong efisiensi usahatani jagung. Untuk padi dan kedelai pengembangan lahan irigasi lebih penting.

(12)

Daftar Isi

Kata Pengantar ... iii

Ringkasan Eksekutif ... vii

Daftar Isi ... xi

Daftar Tabel ... xv

Daftar Gambar ... xix

BAB 1 PENDAHULUAN ... 3

1.1 Latar Belakang ... 3

1.2 Perumusan Masalah ... 6

1.3 Tujuan dan Keluaran yang Diharapkan ... 9

1.4 Ruang Lingkup ... 10

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ... 13

2.1 Teori Penawaran Output ... 13

2.2 Teori Permintaan Input ... 16

2.3 Teori Efisiensi Produksi ... 20

2.4 Tinjauan Studi Terdahulu ... 22

2.5 Kerangka Pemikiran ... 25

BAB 3 METODE PENELITIAN ... 29

3.1 Jenis, Sumber Data dan Variabel Penelitian ... 29

3.2 Analisis Penawaran Output dan Permintaan Input: Model Simultan... 29

3.3 Analisis Efisiensi Produksi: Fungsi Produksi Frontie Stokastik ... 36

3.3.1 Analisis Efisiensi Teknis dan Efek Inefisiensi Teknis ... 38

(13)

4.1.1 Struktur Ongkos Usaha Tanaman Padi Sawah ... 45

4.1.2 Struktur Ongkos Usaha Tanaman Padi Ladang ... 47

4.2 Struktur Ongkos Usaha Tanaman Jagung ... 48

4.3 Struktur Ongkos Usaha Tanaman Kedelai ... 49

BAB 5 ESTIMASI PARAMETER ELASTISITAS PRODUKTIVITAS DAN PERMINTAAN INPUT ... 53

5.1 Estimasi Parameter Usahatani Padi ... 54

5.2 Estimasi Parameter Usahatani Jagung ... 67

5.3 Estimasi Parameter Usahatani Kedelai... 78

BAB 6 EFISIENSI TEKNIS DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI INEFIIENSI (PENDEKATAN STOCHASTIC FRONTIER PRODUCTION FUNCTION) ... 93

6.1 Efisiensi Teknis dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi Inefisiensi Usahatani Padi di Indonesia ... 95

6.1.1 Efisiensi Teknis Usahatani Padi di Indonesia ... 95

6.1.2 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Inefisiensi Usahatani Padi di Indonesia ... 100

6.2 Efisiensi Teknis dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi Inefisiensi Usahatani Jagung di Indonesia ... 104

6.2.1 Efisiensi Teknis Usahatani Jagung di Indonesia .... 104

6.2.2 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Inefisiensi Usahatani Jagung di Indonesia ... 109

6.3 Efisiensi Teknis dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi Inefiiensi Usahatani Kedelai di Indonesia ... 113

6.3.1 Efisiensi Teknis Usahatani Kedelai di Indonesia .... 113

6.3.2 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Inefisiensi Usahatani Kedelai di Indonesia... 117

BAB 7 RINGKASAN PENELITIAN ... 123

BAB 8 KESIMPULAN DAN SARAN ... 131

8.1 Kesimpulan ... 131

(14)

DAFTAR PUSTAKA ... 137 CATATAN SINGKAT ... 151 LAMPIRAN ... 161

(15)
(16)

Tabel 1.1 Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Padi, Jagung

dan Kedelai di Indonesia pada Tahun 2010-2014... 6 Tabel 5.1 DIstribusi Elastisitas Produksi Padi berdasarkan Penggunaan Input

(Persen), 2014 ... 55 Tabel 5.2 Sebaran Provinsi menurut Kategori Elastisitas Produktivitas RTU Padi

terhadap Penggunaan Benih, 2014 ... 56 Tabel 5.3 Sebaran Provinsi menurut Kategori Elastisitas Produktivitas RTU Padi

terhadap Penggunaan Pupuk, 2014... 58 Tabel 5.4 Sebaran Provinsi menurut Kategori Elastisitas Produktivitas RTU Padi

terhadap Penggunaan Pestisida, 2014 ... 61 Tabel 5.5 Sebaran Provinsi menurut Kategori Elastisitas Produktivitas RTU Padi

terhadap Penggunaan TKSL, 2014 ... 62 Tabel 5.6 Persentase Provinsi menurut Kategori Elastisitas Permintaan Input Padi

terhadap Perubahan Harga dan Jenis Input di Indonesia (Persen), 2014 63 Tabel 5.7 Elastisitas Permintaan Input Usaha Tani Padi di Masing-Masing Provinsi

di Indonesia, Tahun 2014 ... 64 Tabel 5.8 DIstribusi Elastisitas Produksi Jagung berdasarkan Penggunaan Input

(Persen), 2014 ... 68

Daftar Tabel

(17)

Tabel 5.10 Sebaran Provinsi menurut Kategori Elastisitas Produktivitas RTU Jagung terhadap Penggunaan Pupuk, 2014... 70 Tabel 5.11 Sebaran Provinsi menurut Kategori Elastisitas Produktivitas RTU Jagung

terhadap Penggunaan Pestisida, 2014 ... 73 Tabel 5.12 Sebaran Provinsi menurut Kategori Elastisitas Produktivitas RTU Jagung

terhadap Penggunaan TKSL, 2014 ... 74 Tabel 5.13 Persentase Provinsi Menurut Kategori Elastisitas Permintaan Input

Jagung terhadap Perubahan Harga dan Jenis Input di Indonesia, 2014 . 75 Tabel 5.14 Elastisitas Permintaan Input Usaha Tani Jagung di Masing-Masing Provinsi

di Indonesia, Tahun 2014 ... 76 Tabel 5.15 DIstribusi Elastisitas Produksi Jagung berdasarkan Penggunaan Input

(Persen), 2014 ... 79 Tabel 5.16 Sebaran Provinsi menurut Kategori Elastisitas Produktivitas RTU Kedelai

terhadap Penggunaan Benih, 2014 ... 80 Tabel 5.17 Sebaran Provinsi menurut Kategori Elastisitas Produktivitas RTU Kedelai

terhadap Penggunaan Pupuk, 2014... 82 Tabel 5.18 Sebaran Provinsi menurut Kategori Elastisitas Produktivitas RTU Kedelai

terhadap Penggunaan Pestisida, 2014 ... 84 Tabel 5.19 Sebaran Provinsi menurut Kategori Elastisitas Produktivitas RTU Kedelai

terhadap Penggunaan TKSL, 2014 ... 85 Tabel 5.20 Persentase Provinsi menurut Kategori Elastisitas Permintaan Input

Kedelai terhadap Perubahan Harga dan Jenis Input di Indonesia, 2014 . 86 Tabel 5.21 Elastisitas Permintaan Input Usaha Tani Jagung di Masing-Masing Provinsi

(18)

Tabel 6.1 Sebaran Provinsi menurut Jenis Peubah dan Arah Pengaruh (Signifikan Positif atau Negatif ) terhadap Inefisiensi Usahatani Padi, 2014 ... 96 Tabel 6.2 Sebaran Provinsi menurut Jenis Peubah dan Arah Pengaruh (Signifikan

Positif atau Negatif ) terhadap Inefisiensi Usahatani Jagung, 2014 ... 104 Tabel 6.3 Sebaran Provinsi menurut Jenis Peubah dan Arah Pengaruh (Signifikan

(19)
(20)

Gambar 2.1 Kurva Derived Demand dan Primary Demand ... 17

Gambar 2.2 Trend dan proyeksi jumlah penduduk di Indonesia ... 18

Gambar 2.3 Pergeseran Kurva Permintaan Input ... 19

Gambar 2.4 Fungsi produksi Stochastic Frontier ... 21

Gambar 2.5 Kerangka Pemikiran ... 26

Gambar 4.1 Struktur Ongkos Usaha Tanaman Padi Sawah per Musim Tanam per hektar ... 46

Gambar 4.2 Struktur Ongkos Usaha Tanaman Padi Ladang per Musim Tanam per hektar ... 47

Gambar 4.3 Struktur Ongkos Usaha Tanaman Jagung Per Musim Tanam Per hektar ... 48

Gambar 4.4 Struktur Ongkos Usaha Tanaman Kedelai Per Musim Tanam Per hektar ... 49

Gambar 5.1 Peta sebaran Provinsi menurut Kategori Elastisitas Produktivitas RTU Padi terhadap Penggunaan Benih, 2014 ... 56

Gambar 5.2 Peta sebaran Provinsi menurut Kategori Elastisitas Produktivitas RTU Padi terhadap Penggunaan Urea, 2014 ... 58

Gambar 5.3 Peta sebaran Provinsi menurut Kategori Elastisitas Produktivitas RTU Padi terhadap Penggunaan TSP, 2014 ... 59

Gambar 5.4 Peta sebaran Provinsi menurut Kategori Elastisitas Produktivitas RTU Padi terhadap Penggunaan KCL, 2014 ... 60

Gambar 5.5 Peta sebaran Provinsi menurut Kategori Elastisitas Produktivitas RTU Padi terhadap Penggunaan Pestisida, 2014 ... 61

Gambar 5.6 Peta sebaran Provinsi menurut Kategori Elastisitas Produktivitas RTU Padi terhadap Penggunaan Tenaga Kerja, 2014 ... 62

Gambar 5.7 Peta sebaran Provinsi menurut Kategori Elastisitas Produktivitas RTU Jagung terhadap Penggunaan Benih, 2014 ... 69

Gambar 5.8 Peta sebaran Provinsi menurut Kategori Elastisitas Produktivitas RTU Jagung terhadap Penggunaan Urea, 2014 ... 71 Gambar 5.9 Peta sebaran Provinsi menurut Kategori Elastisitas Produktivitas RTU

Daftar Gambar

(21)

Jagung terhadap Penggunaan Tenaga Kerja, 2014 ... 74 Gambar 5.12 Peta sebaran Provinsi menurut Kategori Elastisitas Produktivitas RTU

Kedelai terhadap Penggunaan Benih, 2014 ... 80 Gambar 5.13 Peta sebaran Provinsi menurut Kategori Elastisitas Produktivitas RTU

Kedelai terhadap Penggunaan Urea, 2014 ... 81 Gambar 5.14 Peta sebaran Provinsi menurut Kategori Elastisitas Produktivitas RTU

Kedelai terhadap Penggunaan TSP, 2014 ... 83 Gambar 5.15 Peta sebaran Provinsi menurut Kategori Elastisitas Produktivitas RTU

Kedelai terhadap Penggunaan Pestisida, 2014 ... 84 Gambar 5.16 Peta sebaran Provinsi menurut Kategori Elastisitas Produktivitas RTU

Kedelai terhadap Penggunaan Tenaga Kerja, 2014 ... 86 Gambar 6.1 Produksi dan Produktivitas Padi di Jawa Timur, 2004-2014 ... 96 Gambar 6.2 Luas Lahan Sawah dan Produksi Padi di Maluku, 2003- 2013 ... 98 Gambar 6.3 Sebaran RTU Padi menurut Kategori Tingkat Efisiensi Teknis

di Provinsi Sulawesi Selatan, 2014 ... 98 Gambar 6.4 Sebaran RTU Padi menurut Kategori Tingkat Efisiensi Teknis di

Provinsi Kepulauan Riau, 2014 ... 100 Gambar 6.5 Produksi Jagung di Sepuluh Provinsi Tertinggi (Ribu Ton), 2014 ... 105 Gambar 6.6 Produktivitas Jagung di Sepuluh Provinsi dengan Volume Produksi

Tertinggi (Kuintal/Ha), 2014 ... 106 Gambar 6.7 Sebaran RTU Jagung menurut Kategori Tingkat Efisiensi Teknis di

Provinsi Jawa Timur, 2014 ... 106 Gambar 6.8 Sebaran RTU Jagung menurut Kategori Tingkat Efisiensi Teknis di

Provinsi Lampung, 2014 ... 107 Gambar 6.9 Sebaran RTU Jagung menurut Kategori Tingkat Efisiensi Teknis di

Provinsi NTB, 2014 ... 108 Gambar 6.10 Sebaran RTU Jagung menurut Kategori Tingkat Efisiensi Teknis di

Provinsi Sulawesi Selatan, 2014 ... 109 Gambar 6.11 Produksi dan Produktivitas Kedelai di Indonesia, 2004- 2014 ... 113 Gambar 6.12 Produksi Kedelai di Pulau Jawa menurut Provinsi, 2004 dan 2014 ... 114 Gambar 6.13 Sebaran RTU Kedelai menurut Kategori Tingkat Efisiensi Teknis Provinsi

Aceh, 2014 ... 115 Gambar 6.14 Sebaran RTU Kedelai menurut Kategori Tingkat Efisiensi Teknis Provinsi

(22)
(23)
(24)

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara dengan jumlah populasi penduduk yang banyak dan menempati urutan populasi terbesar keempat di dunia. Menurut data BPS (2014), jumlah penduduk Indonesia telah mencapai 252 juta jiwa. Pertumbuhan populasi penduduk Indonesia akan terus meningkat karena adanya tingkat pertumbuhan penduduk yang mencapai 1,2 persen per tahun atau setara dengan 3,8 juta jiwa per tahunnya (BPS, 2010). Menurut teori Malthus, pertumbuhan populasi bersifat exponensial dan pertumbuhan produksi pangan bersifat linear. Diprediksikan bahwa pada tahun 2035 populasi penduduk Indonesia akan mencapai 400 juta jiwa. Tentu hal ini berkorelasi positif dengan banyaknya kebutuhan terhadap pangan nasional. Menurut data BPS (2010), suplai pangan Indonesia diprediksi pada tahun 2035 hanya dapat memenuhi kebutuhan pangan (total) 100 juta jiwa penduduk Indonesia. Oleh sebab itu, dibutuhkan strategi dan kebijakan pangan yang tepat melalui pemenuhan produksi pangan yang berkelanjutan.

Kebijakan pangan merupakan isu strategis karena sangat berkaitan dengan kedaulatan bangsa. Dengan pengelolaan kebijakan

“Komoditas padi, jagung, dan kedelai masih dapat diunggulkan sebagai komoditas dalam mencapai swasembada pangan nasional.”

PENDAHULUAN

BAB

1

(25)

kebijakan yang telah lama disusun dapat menyelesaikan permasalahan pangan adalah melalui swasembada pangan. Walaupun dinyatakan bahwa pada tahun 1984 dan 2008 Indonesia telah mencapai swasembada salah satu komoditas utama yaitu beras, tetapi pada kenyataannya sampai saat ini Indonesia masih membutuhkan impor beras dari negara lain untuk memenuhi kebutuhan konsumsi nasional. Artinya bahwa swasembada pangan beras yang telah tercapai sejauh ini hanya bersifat sementara dan tidak berkelanjutan.

Indonesia memiliki potensi yang sangat besar dalam mencapai swasembada pangan berkelanjutan. Diperlukan dorongan dan kekuatan dalam menerapkan kebijakan yang tepat, efektif, dan efisien berdasarkan kepada kondisi dan potensi pertanian bangsa Indonesia. Berikut beberapa potensi Indonesia menuju swasembada pangan berkelanjutan, yaitu:

1) Sumber Daya Alam (SDA): Lahan pertanian termanfaatkan lebih dari 7,7 juta ha (BPN, 2010). Diduga masih tersedia lebih dari 20 juta ha lahan terlantar dan lahan dibawah tegakan hutan yang berpotensi sebagai penghasil bahan pangan (Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Lahan Pertanian, 2009).

2) Sumber Daya Manusia (SDM): sepertiga penduduk Indonesia

bekerja di sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan (BPS, 2014b). 3) Penelitian dan Pengembangan: Adanya lembaga riset pemerintah

dan perguruan tinggi untuk mengembangkan efisiensi dan nilai tambah produksi pertanian, lebih dari 189 varietas baru tanaman pangan telah ditemukan untuk menjadi sumber keanekaragaman pertanian yang potensial.

Melalui potensi-potensi pertanian tersebut Indonesia dapat mewujudkan program swasembada pangan. Namun, yang juga perlu diperhatikan bahwa dari sisi penawaran program kebijakan yang dijalankan harus berfokus kepada komoditas-komoditas yang menjadi unggulan dari sisi produksi demi tercapainya pemenuhan pangan. Selain itu, dari sisi permintaan program kebijakan juga harus berfokus pada

“ Indonesia memiliki potensi yang sangat besar dalam mencapai swasembada pangan berkelanjutan.”

(26)

komoditas-komoditas yang memiliki kejelasan pasar baik dalam lingkup skala industri pangan maupun konsumsi rumah tangga.

Untuk mewujudkan program swasembada pangan di Indonesia terdapat tiga komoditas dalam program swasembada pangan di Indonesia yaitu padi, jagung dan kedelai. Komoditas padi, jagung dan kedelai memiliki luas panen, produksi dan produktivitas yang cenderung meningkat setiap tahun. Tabel 1.1 menunjukkan perkembangan luas panen, produksi dan produktivitas ketiga komoditas pangan tersebut.

Berdasarkan Tabel 1.1 diketahui bahwa ketiga komoditas masih dapat diunggulkan sebagai komoditas dalam mencapai swasembada pangan nasional. Terkait dengan program swasembada, pemerintah saat ini menyusun program kerja yang dikenal dengan Nawacita. Salah satu program yang tercantum dalam Nawacita ke enam (6) adalah meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit bersama bangsa-bangsa lainnya. Target pemerintahan Jokowi-JK dalam rangka mewujudkan kedaulatan pangan adalah tercapainya swasembada pangan dalam kurun waktu 3 tahun selama masa pemerintahannya. Hal ini disampaikan dalam berbagai kegiatan kerja di daerah-daerah. Tahun 2015, pemerintah juga mengumumkan program prioritas pencapaian swasembada pangan dengan mengalokasikan APBN untuk bidang pertanian sebesar 23,5 triliun rupiah. Besarnya dana yang diperlukan untuk mencapai swasembada merupakan hal yang harus diperhatikan. Sehingga kedepannya pengeluaran dana tersebut akan mampu menciptakan efisiensi produksi tanaman pangan.

(27)

Tahun Padi Jagung Kedelai (1) (2) (3) (4) Luas Panen(Hektar) 2010 13.253.450,00 4.131.676,00 660.823,00 2011 13.203.643,00 3.864.692,00 622.254,00 2012 13.445.524,00 3.957.595,00 567.624,00 2013 13.835.252,00 3.821.504,00 550.793,00 2014 13.797.307,00 3.837.019,00 615.685,00 Produksi(Ton) 2010 66.469.394,00 18.327.636,00 907.031,00 2011 65.756.904,00 17.643.250,00 851.286,00 2012 69.056.126,00 19.387.022,00 843.153,00 2013 71.279.709,00 18.511.853,00 779.992,00 2014 70.846.465,00 19.008.426,00 954.997,00 Produktivitas(Kuintal/Hektar) 2010 50,15 44,36 13,73 2011 49,80 45,65 13,68 2012 51,36 48,99 14,85 2013 51,52 48,44 14,16 2014 51,35 49,54 15,51

Berdasarkan penjelasan di atas, berbagai upaya untuk merumuskan kebijakan swasembada pangan di Indonesia menjadi penting dilakukan. Penelitian mengenai Estimasi Parameter dan Pemetaan Efisiensi Produksi Pangan di Indonesia merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk menciptakan swasembada pangan di Indonesia pada tahun-tahun berikutnya.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan hasil penelitian Kajian Strategis dan Kebijakan Pertanian (KSKP) IPB (2015), terdapat lima isu strategis umum yang Sumber: Badan Pusat Statistik Tahun 2015 Tabel 1.1

Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Padi, Jagung dan Kedelai di Indonesia Tahun 2010-2014

(28)

menjadi tantangan dalam mewujudkan swasembada pangan, antara lain: sumber daya manusia pertanian, sumber daya alam/fisik, kelembagaan, teknologi, dan kebijakan. Pertama, kualitas sumber daya manusia pertanian di Indonesia yang dianggap kurang. Sebanyak 60,8 persen petani di Indonesia berumur 45 tahun keatas, dan 73,97 persen petani memiliki tingkat pendidikan sampai SD atau tidak tamat SD (BPS, 2014a). Persaingan dengan sektor jasa menjadi akibat kelangkaan tenaga kerja di bidang pertanian sebab penilaian masyarakat terhadap pertanian sebagian besar tidak menyenangkan, pemuda lebih memilih bekerja di sektor jasa dan industri dibandingkan dengan pertanian, terutama pertanian padi.

Kedua, sumber daya alam pertanian kini semakin menurun kuantitas dan kualitasnya. Meskipun terdapat undang-undang sebagai payung hukum untuk mencegah alih fungsi lahan pertanian, tetap saja konversi lahan pertanian menjadi non pertanian seluas 110 Ha pertahun terus terjadi. Ironisnya, lahan pertanian pangan yang menghidupi 91,91 juta jiwa hanya meningkat dari 7,77 juta ha pada tahun 1986 menjadi 8 Juta ha pada tahun 2012, dengan laju pertumbuhan 2,9 persen. Sementara itu lahan perkebunan yang hanya dimiliki sedikit orang meningkat dari 7,77 juta ha menjadi 21,41 juta ha, yang meningkat sekitar 144 persen.

Kondisi jaringan irigasi strategis nasional di Pulau Jawa sebagai lumbung pangan nasional mengalami kerusakan yang parah, sehingga perbaikan irigasi menjadi penting dilakukan (BPN, 2011). Revitalisasi irigasi yang memang baru kali ini menjadi andalan pemerintah menunjukkan fakta bahwa sumber-sumber air berkurang hampir di semua daerah, meskipun irigasi baik tapi sumber airnya tidak ada, dan itu merupakan suatu kesia-siaan. Selain itu, rusaknya agroekosistem yang menyebabkan ledakan populasi hama akibat penggunaan bahan-bahan kimia dalam pertanian belum bisa teratasi. Sebab aplikasi pertanian berkelanjutan menggunakan bahan alami dan sistem penyeimbangan ekosistem belum menjadi perhatian utama yang serius bagi pemerintah saat ini.

Ketiga, kelembagaan pertanian yang solid dan terkoordinasi dengan baik adalah salah satu kunci penguatan posisi petani untuk mewujudkan swasembada pangan. Namun, kenyataan di lapangan, Sumber: Badan Pusat Statistik Tahun 2015

(29)

organisasi tani tersebut. Hanya organisasi tani yang diakui pemerintahlah yang mendapatkan fasilitas. Tidak hanya tentang kelembagaan tani, lembaga pertanian pemerintah juga tidak luput dari masalah.Di lembaga perlindungan tanaman, 60 persen pegawai Peramalan Organisme Pengganggu Tumbuhan (POTP) berusia diatas 50 tahun.

Keempat, inovasi teknologi pertanian saat ini telah banyak dilakukan melalui penelitian dan riset di berbagai Perguruan Tinggi. Namun penggunaan teknologi tersebut hanya sampai pada sebatas uji coba, dan sangat sedikit diimplementasikan untuk kepentingan nasional secara nyata. Hal tersebut kemudian menjadi tantangan dan peluang bagi pemerintah untuk melaksanakan swasembada pangan berkelanjutan, dengan melakukan inovasi dan teknologi pertanian dan upaya standarisasi.

Kelima, berbagai kebijakan pangan saat ini dengan fokus kepada pencapaian swasembada pangan, jelas terlihat bahwa peningkatan produksi menjadi yang utama. Tidak mengherankan jika infrastruktur dan mekanisasi menjadi agenda besarnya, seperti pembangunan waduk dan pembagian alat-alat pertanian di berbagai daerah. Begitu pula dengan subsidi pupuk dan benih yang dilakukan dengan mengoptimalkan distribusinya. Namun ada hal yang tidak kalah menarik, yaitu pemberlakuan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk komoditas padi baru melalui Inpres No. 15 tahun 2015 menjadi Rp 3700/ Kg. Faktanya di berbagai daerah, pemberlakuan HPP ini belum berfungsi, sebab petani masih mampu menjual gabahnya dengan harga yang lebih tinggi melalui tengkulak. Kelima isu strategis tersebut penting untuk diperhatikan dalam mencapai swasembada pangan.

Selain itu adanya permasalahan teknis pertanian di Indonesia juga menjadi kendala dalam hal produksi pertanian nasional. Beberapa permasalahan teknis pertanian Indonesia melalui: 1) Banyaknya kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai sumber pengairan utama pertanian, terdapat 458 DAS mengalami kerusakan (Kemenhut, 2010), 2) Infrastruktur jaringan dan lahan irigasi yang masih buruk dari 7,7 juta ha lahan berpengairan teknis, hanya 40 – 50 persen saja yang layak digunakan (BPN, 2011), 3) Tingginya alih fungsi atau konversi lahan pertanian mencapai 35 – 45 ribu ha/tahun (BKP, 2010), dan 4) Kepemilikan lahan Rumah Tangga Usaha (RTU) yang relatif rendah, yaitu rata-rata hanya 0,34 ha (BPS, 2010), dengan produktivitas padi rata-rata baru mencapai ± 5 ton/ha (Kementan, 2013).

“ Berbagai kebijakan pangan saat ini dengan fokus kepada pencapaian swasembada pangan, jelas terlihat bahwa peningkatan produksi menjadi yang utama.”

(30)

Permasalahan dan kendala teknis tersebut sangat memengaruhi produksi yang pada akhirnya memengaruhi penawaran output komoditas. Permasalahan produksi ini dapat berimbas kepada harga sendiri dan harga komoditas lain. Selain penting menganalisis pasar output, juga penting untuk menganalisis kondisi pasar input pertanian Indonesia (lahan, pupuk, benih dan pestisida). Dukungan pasar input yang kondusif dapat mendukung peningkatan produksi komoditas pertanian. Adapun salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengukur perubahan permintaan input dan penawaran output terhadap harga adalah nilai elastisitas. Sehingga dapat diketahui besarnya respon produksi dan permintaan input terhadap perubahan harga komoditas atau input itu sendiri dan harga komoditas atau input lainnya. Pada akhirnya perumusan mengenai implikasi kebijakan disesuaikan dengan hasil analisis mengenai estimasi elastisitas permintaan input dan penawaran output.

Lebih lanjut, sangat penting untuk menganalisis efisiensi produksi komoditas-komoditas pangan untuk mendukung program kebijakan swasembada pangan. Dalam rangka mewujudkan swasembada pangan yang berkelanjutan, perbaikan dari sisi penawaran terutama dalam hal peningkatan produktivitas sangat diperlukan. Analisis efisiensi produksi dan produktivitas komoditas pangan ini juga sangat terkait dengan efektivitas program pemberian subsidi input (benih dan pupuk). Sehingga, diharapkan kedepannya dapat memberikan rumusan implikasi kebijakan berdasarkan temuan hasil analisis efisiensi produksi dan efektivitas subsidi input (pupuk dan benih).

1.3 Tujuan dan Keluaran yang Diharapkan

Adapun tujuan dan keluaran yang diharapkan dari analisis dan penelitian ini, adalah:

1) Menganalisis respon produksi terhadap perubahan penggunaan

input.

2) Menganalisis respon permintaan input terhadap perubahan harga input itu sendiri.

3) Menganalisis efisiensi produksi tanaman pangan dan faktor-faktor yang memengaruhinya.

(31)

Keluaran yang diharapkan dari analisis dan penelitian ini, adalah:

1) Informasi parameter elastisitas produksi dan elastisitas permintaan input.

2) Peta tematik efisiensi produksi tanaman pangan nasional.

1.4 Ruang Lingkup

Analisis dan penelitian difokuskan kepada beberapa komoditas pangan yaitu padi, jagung, dan kedelai. Data utama analisis yang digunakan adalah data Sensus Pertanian 2013 (ST 2013), dan survei-survei pendukungnya seperti Survei Rumah Tangga Usaha Tanaman Padi (SPD) 2014 dan Survei Rumah Tangga Usaha Tanaman Palawija (SPW) 2014 yang meliputi input dan output usahatani padi, jagung, dan kedelai serta harga input dan output. Adapun cakupan wilayah dalam kajian ini adalah semua provinsi di Indonesia yang menjadi sentra produksi komoditas terpilih.

“ Data utama analisis yang digunakan adalah data Sensus Pertanian 2013 (ST 2013), dan survei-survei pendukungnya seperti SPD dan SPW 2014.”

(32)

2

Tinjauan Pustaka

dan Kerangka

(33)
(34)

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA

PEMIKIRAN

BAB

2

“ Fungsi produksi frontier menggambarkan output maksimum yang dapat dicapai dari setiap tingkat penggunaan input.”

2.1

Teori Penawaran Output

Analisis penawaran output dan permintaan input yang konsisten dengan perilaku optimasi dapat menggunakan pendekatan yang berbeda tetapi ekuivalen. Kedua pendekatan tersebut adalah pendekatan primal dan pendekatan dual. Walaupun kedua pendekatan tersebut dapat memberikan informasi yang sama, namun banyak peneliti lebih menyukai pendekatan dual baik mengggunakan fungsi keuntungan maupun fungsi biaya. Pendekatan dual dengan multi-input dan multi-output lebih banyak digunakan karena analisis beberapa input dan beberapa output dapat digabung, namun masing-masing input dan output tetap dapat dianalisis.

Selain itu, pendekatan dual lebih mudah dalam mendapatkan persamaan penawaran output dan permintaan input dengan cara penurunan secara parsial dari fungsi keuntungan atau biayanya dibandingkan dengan pendekatan tradisional/primal. Pendekatan dual juga lebih mudah dalam menurunkan spesifikasi fungsional untuk pendugaan ekonometrika atas persamaan penawaran output dan permintaan input secara konsisten (Beattie dan Taylor, 1985). Pendekatan dual dengan fungsi keuntungan juga dapat menghindari bias karena persamaan simultan. Hal ini disebabkan dalam fungsi keuntungan semua peubah eksogen terletak pada sebelah

(35)

menggunakan pendekatan dual (fungsi keuntungan), yaitu: (1) fungsi penawaran output dan permintaan input dapat diturunkan secara langsung dengan mudah, dan (2) penurunan fungsi penawaran output dan permintaan input dari fungsi keuntungan memberikan hasil yang sama jika fungsi tersebut diturunkan dari fungsi produksi. Fungsi produksi merupakan fungsi yang menggambarkan hubungan teknis atau fisik antara input dan output. Dalam produksi multi-input multi-output, fungsi produksinya menggambarkan hubungan beberapa input dan beberapa output. Menurut Doll dan Orazem (1984) dalam proses produksi pertanian terdapat tiga kategori input: (a) input variabel, seperti benih, pupuk, obat-obatan dan tenaga kerja; dan (b) input tetap, seperti luas lahan. Lebih lanjut, produksi pertanian juga dipengaruhi oleh perkembangan teknologi, infrastruktur (seperti pembagunan fasilitas irigasi dan jalan) dan kelembagaan.

Apabila Q adalah produksi suatu komoditas, X adalah jumlah input variabel yang digunakan, sedangkan luas lahan, teknologi, dan infrastruktur dikelompokkan dalam input tetap Z dan oleh karena dalam pendekatan multi-input dan multi-output, teknologi produksi diduga merupakan jointness teknologi, maka hubungan antara input dan output sering disebut sebagai fungsi kemungkinan produksi (production possibilities frontier). Hubungan ini dinyatakan secara implisit dalam bentuk fungsi produksi transformasi (production transformation function) berikut (Doll dan Orazem, 1984):

F(Q, X, Z) = 0 ...2.1

Dimana, Q adalah vektor kuantitas output, X adalah vektor kuantitas input variabel, dan Z adalah vektor kuantitas input tetap.

Apabila diasumsikan bahwa Rumah Tangga Usaha (RTU) dalam aktivitas produksinya bertujuan untuk memperoleh keuntungan yang maksimum, maka dalam jangka pendek keuntungan merupakan selisih antara permintaan total dikurangi dengan biaya variabel total. Pada tingkat harga input dan harga output tertentu, maka RTU akan berusaha memaksimumkan L sebagai berikut:

... 2.2

Dimana, P adalah harga-harga output, R adalah harga-harga input, dan

𝐋𝐋 = ∑ 𝐏𝐏𝐢𝐢𝐐𝐐𝐢𝐢− ∑ 𝐑𝐑𝐡𝐡𝐗𝐗𝐡𝐡− 𝐧𝐧 𝐡𝐡=𝟏𝟏 𝐦𝐦 𝐢𝐢=𝟏𝟏 𝛄𝛄𝐅𝐅(𝐐𝐐, 𝐗𝐗, 𝐙𝐙) “Fungsi produksi merupakan fungsi yang menggambarkan hubungan teknis atau fisik antara input dan output.”

(36)

γ adalah pengganda Langrange. Syarat yang diperlukan (necessary condition) untuk maksimisasi keuntungan adalah turunan pertama parsial (first order condition) terhadap Q, X, dan γ sama dengan nol, yaitu sebagai berikut :

... 2.3

... 2.4

Dari persamaan 2.3 dapat ditentukan bahwa keuntungan maksimum dapat dicapai pada tingkat transformasi produk (rate of product

transformation=RPT) sama dengan rasio harga input. Apabila memenuhi

syarat kecukupan (second order condition), maka dari persamaan 2.3 dan 2.4 dapat ditentukan nilai-nilai Q, X, dan γ yang optimal. Nilai output, input dan pengganda Lagrange yang optimum merupakan fungsi dari:

Q=Y*(P, R, Z) ...2. 5 X=X*( P, R, Z). ...2. 6 γ= γ*( P, R, Z) ...2. 7

Dengan mensubstitusikan persamaan 2.5, 2.6 dan 2.7 ke dalam persamaan 2.2 akan diperoleh keuntungan maksimum dengan persamaan berikut: 𝝅𝝅 = ∑ 𝐏𝐏𝐢𝐢𝑸𝑸𝒊𝒊∗(𝐏𝐏, 𝐑𝐑, 𝐙𝐙) − ∑ 𝐑𝐑𝐡𝐡𝑿𝑿𝒉𝒉∗ 𝐧𝐧 𝐡𝐡=𝟏𝟏 𝐦𝐦 𝐢𝐢=𝟏𝟏 (𝐏𝐏, 𝐑𝐑, 𝐙𝐙) ...2.8

Keuntungan tersebut dapat dinyatakan dalam bentuk fungsi dari harga-harga output, harga-harga-harga-harga input variabel dan input tetap sebagai berikut:

π=π*(P,R,Z) ...2. 9

dimana tanda * menyatakan nilai output dan input optimum atau memberikan hasil keuntungan yang maksimum. Persamaan fungsi keuntungan memiliki empat karakteristik, yaitu: (1) kontinu, dapat diturunkan dua kali, cembung dan

δL δQi= Pi-γ. δF(Q, X, Z) δQi = 0 ‹Ǧγ Q Z X Q F   ( , , ) ൌͲ

(37)

prinsip Hotteling’s Lemma, maka turunan pertama dari persamaan 2.8 akan menghasilkan nilai yang sama dengan turunan pertama dari persaman 2.9 yaitu:

...2.10

...2.11

Persamaan 2.10 dan 2.11 berturut-turut merupakan fungsi penawaran output dan fungsi permintaan input.

2.2 Teori Permintaan Input

Fungsi penawaran output dan permintaan input pada penelitian ini diturunkan langsung dari fungsi keuntungan. Dengan menggunakan prinsip

Hotteling Lemma, turunan parsial keuntungan maksimal terhadap perubahan harga output merupakan fungsi penawaran output dan turunan parsial keuntungan maksimal terhadap perubahan harga input merupakan fungsi permintaan input. Menurut Debertin (1986), bahwa permintaan input pada suatu proses produksi pertanian tergantung atas beberapa faktor seperti: (1) harga output yang diproduksi, (2) harga input produksi yang bersangkutan, (3) harga input subtitusi dan komplementernya, dan (4) parameter fungsi produksi itu sendiri, khususnya elastisitas produksi dari masing-masing input.

Permintaan terhadap input (derived demand) timbul karena suatu usaha ingin melakukan proses produksi untuk menghasilkan output tertentu. Derived

demand merupakan permintaan akan suatu produk yang akan dipergunakan

sebagai input dalam produksi barang atau jasa oleh perusahaan lain. Dalam hal ini, permintaan benih, pupuk, dan faktor produksi lainnya dikategorikan sebagai derived demand dalam rangka meningkatkan produksi dari tanaman pangan seperti padi, jagung dan kedelai untuk mencapai target swasembada. Inilah sebabnya permintaan benih, pupuk, dan faktor produksi lainnya (input) merupakan permintaan turunan (derived demand) dari permintaan tanaman pangan yang dianalisis. Di sisi lain permintaan tanaman pangan merupakan permintaan primer (primary demand) yang timbul karena adanya kebutuhan

𝜹𝜹𝜹𝜹 𝜹𝜹𝑷𝑷𝒊𝒊= 𝜹𝜹𝜹𝜹 ∗ (𝑷𝑷, 𝑹𝑹, 𝒁𝒁) 𝜹𝜹𝑷𝑷𝒊𝒊 = 𝑸𝑸𝒊𝒊 ∗(𝑷𝑷, 𝑹𝑹, 𝒁𝒁) 𝜹𝜹𝜹𝜹 𝜹𝜹𝑹𝑹𝒉𝒉= 𝜹𝜹𝜹𝜹 ∗ (𝑷𝑷, 𝑹𝑹, 𝒁𝒁) 𝜹𝜹𝑹𝑹𝒉𝒉 = 𝑿𝑿𝒉𝒉 ∗(𝑷𝑷, 𝑹𝑹, 𝒁𝒁) “Permintaan terhadap input (derived demand) timbul karena suatu usaha ingin melakukan proses produksi untuk menghasilkan output tertentu.”

(38)

manusia atau konsumen akhir. Input suatu usaha dikategorikan menjadi dua (Boediono, 2000), yaitu:

1. Input antara (Intermediete inputs) adalah input yang digunakan oleh suatu usaha, yang merupakan output dari usaha. Contohnya pupuk dan pestisida.

2. Input primer (primary inputs) adalah input yang bukan merupakan output dari usaha lain dari perekonomian. Contohnya tenaga kerja, tanah, kapital, dan kepengusahaan. Input primer identik dengan apa yang sering disebut sebagai faktor produksi.

Jika dilihat melalui kurva, kurva derived demand (Dd) terletak dibawah kurva primary demand (Dp) atau consumer demand. Sehingga harga dan kuantitas primary demand relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan derived demand. Hal ini terjadi karena adanya pengolahan atau proses lebih lanjut dari input menjadi output akhir.

Derived demand dapat diturunkan dari fungsi produksi dengan asumsi bahwa produsen memaksimalkan keuntungan. Sementara itu, fungsi produksi merupakan hubungan fisik antara output (Y) dengan input (X) serta faktor tetapnya (A).

Y = f( X1, X2, X3, X4, ….., Xn | A) ... 2.12 Keuntungan (π) merupakan pengurangan dari Total Revenue (TR) dikurangi Total Variabel Cost (TVC) dan Total Fixed Cost (TFC).

π = TR – TVC – TFC ...2.13 π = (P.Y(X) – (P.X) – TFC ...2.14 Dp Dd 0 Pp Harga (P) Kuantitas (Q) Pd Qd Qp Gambar 2.1. Kurva Derived Demand dan Primary Demand Sumber : Boediono (2000)

(39)

π terhadap x sama dengan nol (dπ/dx= 0) sehingga persamaan 2.14 berubah menjadi

dY/dx=Px/Py ...2.15

Untuk memudahkan dalam memahami persamaan2.15, maka dapat merubah bentuknya menjadi

VMP = Px ...2.16

VMP (Value of Marginal Product) merupakan nilai dari Marjinal Physical Product (MPP). Lebih jauh lagi, dapat menurunkan persamaan 2.15 menjadi fungsi permintaan input (X*) seperti pada persamaan 2.17. Dimana permintaan input merupakan fungsi dari harga input (Px), harga output (Py) dan faktor tetap (A).

X* = f(Px,Py, A) ...2.17

Dari persamaan 2.16 diketahui pula jika harga input naik atau harga output turun maka rasio antara Px dengan Py akan meningkat. Sehingga menyebabkan kurva (Px1/Py1) bergeser ke kiri atas menjadi (Px2/Py2) atau dapat dilihat lebih jelas pada Gambar 2.2. Kemudian jika ditarik garis yang sejajar dengan kurva (Px2/Py2) sehingga bersinggungan dengan kurva TPP (slope kurva TPP sama dengan Kurva Pr), maka akan diketemukan sebuah titik pada kurva

Gambar 2.2. Penurunan Kurva Permintaan Input

(40)

TPP (Gambar 2.2). Keterangan :

TPP = Total Physical Product

X* = Derived Demand atau permintaan input

Titik-titik yang merupakan persinggungan antara kurva TPP dengan (Px/Py) jika diteruskan melalui garis vertikal ke bawah, maka akan membentuk sebuah kurva permintaan input (Gambar 2. 2). Kemudian dari kedua gambar tersebut, disimpulkan bahwa jika harga input naik dan harga outputnya diasumsikan konstan maka jumlah input yang diminta akan semakin berkurang tetapi di sisi lain harga inputnya akan semakin meningkat. Begitu pula sebaliknya, jika harga input turun dan harga outputnya diasumsikan konstan maka jumlah input yang diminta akan semakin bertambah dengan harga inputnya yang semakin menurun cateris paribus (pergerakan di sepanjang kurva permintaan input).

Seperti halnya kurva permintaan umum konsumen, kurva permintaan input dapat pula bergeser. Pergeseran bisa terjadi ketika harga output itu sendiri berubah nilainya. Dimana jika harga output itu sendiri naik dan harga inputnya diasumsikan konstan maka nilai setiap rasio harga (Px/Py1, Px/Py2,Px/, Px/Py3) akan turun.

Hal ini menyebabkan kurva-kurva rasio harga tersebut bergeser ke kanan (Gambar 2.3). Kurva-kurva rasio yang baru tersebut jika disinggungkan dengan kurva produksi awal akan menghasilkan sejumlah titik persinggungan kurva. Titik-titik tersebut jika diteruskan ke bawah menggunakan garis bantu akan menghasilkan kurva permintaan input yang baru (X1*), dimana kuantitas

(41)

(Gambar 2.3). Keterangan :

TPP = Total Physical Product

X* = Derived Demand atau permintaan input 2.3 Teori Efisiensi Produksi

Efisiensi merupakan kajian dalam lingkup teori produksi. Konsep utama dalam teori ekonomi produksi adalah fungsi produksi. Fungsi produksi menerangkan hubungan teknis (technical relationship) antara sejumlah input yang digunakan dengan output dalam suatu proses produksi. Secara matematis model umum fungsi produksi dapat dirumuskan sebagai berikut:

Y= f( X1, X2, .... Xn) ...2. 18 dimana:

Y = jumlah output (produksi)

Xi = jumlah input ke-i yang digunakan, i= 1,2,…, n

Coelli, Rao dan Battese (1998) menyatakan bahwa fungsi produksi

frontier adalah fungsi produksi yang menggambarkan output maksimum

yang dapat dicapai dari setiap tingkat penggunaan input. Jadi apabila suatu usahatani berada pada titik di fungsi produksi frontier artinya usahatani tersebut efisiensi secara teknis. Jika fungsi produksi frontier diketahui maka dapat diestimasi inefisiensi teknis melalui perbandingan posisi aktual relatif terhadap batasnya(frontier-nya).

Fungsi produksi, f(x), menjelaskan transformasi input menjadi output dan menggambarkan output maksimal yang dapat diperoleh dari berbagai vektor input. Pada tingkat teknologi tertentu, suatu usahatani menggunakan input, x≡(x1,... xn), yang dibeli pada harga tetap w≡(w1 ,..., wn)>0, untuk memproduksi output tunggal ‘y’ , yang dapat dijual pada harga tetap ‘p’ > 0.

Fungsi ini secara ekuivalen dapat digambarkan oleh fungsi biaya, c(y, w)≡ minx {w’x | f (x)≥ y, x≥ 0}. Fungsi ini mendefinisikan biaya minimal yang diperlukan untuk memproduksi tingkat output tertentu ‘y’, pada tingkat harga input ‘w’. Implikasi yang timbul dari penggunaan fungsi biaya untuk mendeskripsikan teknologi secara akurat adalah spesifikasi dari fungsi biaya tersebut harus ekuivalen dengan spesifikasi fungsi produksi. Fungsi biaya dapat dikatakan sebagai dual dari fungsi produksi karena semua informasi

“Fungsi produksi frontier adalah fungsi produksi yang menggambarkan output maksimum yang dapat dicapai dari setiap tingkat penggunaan input.”

(42)

ekonomis yang relevan dengan teknologi bersangkutan dapat diperoleh dari fungsi produksi.

Meeusen dan van den Broeck (1977) dalam Coelli, Rao dan Battese (1998) mengemukakan fungsi stochastic frontier yang merupakan perluasan dari model asli deterministik untuk mengukur efek-efek yang tidak terduga (stochastic frontier) di dalam batas produksi. Dalam fungsi produksi ini ditambahkan random error, vi , ke dalam variabel acak non negatif (non-negatif random variable), ui. Model fungsi produksi stochastic frontier dapat dinyatakan sebagai berikut:

...2.19

Stochastic frontier disebut juga composed error model karena error term

terdiri dari dua unsur, dimana In yi=0+jlnxji + i = vi - ui dan i = 1, 2, .. n. Variabel vi adalah

spesifik error term dari observasi ke-i. Variabel acak vi berguna

untuk menghitung ukuran kesalahan dan faktor-faktor yang tidak pasti seperti cuaca, pemogokan, serangan hama dan sebagainya di dalam nilai variabel output, bersama-sama dengan efek gabungan dari variabel input yang tidak terdefinisi di dalam fungsi produksi. Variabel acak vi merupakan variabel

random shock yang secara identik terdistribusi normal dengan rataan (µi ) bernilai 0 dan variansnya konstan atau N(0,𝜎𝜎 v2), simetris serta bebas dari u

i.

Variabel acak ui merupakan variabel non negatif dan diasumsikan terdistribusi In yi=0+jlnxji + i

Gambar 2.4. Fungsi Produksi Stochastic Frontier

(43)

i

menangkap efek inefisiensi. Struktur dasar dari model stochastic frontier

digambarkan seperti pada Gambar 2.4.

2.4 Tinjauan Studi Terdahulu

Penelitian terdahulu banyak yang sudah menggunakan model penawaran output dan permintaan input. Hasil penelitian Darmansyah (2003) menyebutkan bahwa permintaan komoditas tanaman pangan di pasar domestik kurang responsif oleh harga sendiri kecuali jagung. Pengaruh harga barang lain terhadap permintaan komoditas: jagung bersubstitusi dengan beras, ubi kayu bersubstitusi dengan ubi rambat, gula berkomplemen dengan gula sintetis dan beras bersubstitusi dengan terigu.

Sementara itu, juga terdapat studi-studi komoditas jagung dengan menggunakan model fungsi keuntungan. Studi yang dilakukan oleh Okuruwa,

et.al., (2009) tentang efisiensi ekonomi padi dengan pendekatan fungsi keuntungan menyimpulkan bahwa: (1) varietas padi berpengaruh signifikan terhadap peningkatan keuntungan usahatani; (2) peningkatan efisiensi teknis usahatani dilakukan melakukan akselerasi program dalam penyediaan varietas padi unggul/modern, ketersediaan pupuk dan lahan usahatani. Pada studi ini, peubah yang diamati meliputi peubah harga output, peubah harga input (benih, tenaga kerja, dan pupuk) serta peubah dummy skala usahatani.

Sementara studi dengan menggunakan model fungsi profit dalam mengestimasi efisiensi ekonomi diantara petani tanaman pangan dilakukan oleh Adeleke, et.al., (2008) di Oyo State Nigeria yang menyimpulkan antara lain: (1) tenaga kerja pria memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap pendapatan usahatani, (2) rata-rata petani dapat meningkatkan keuntungan usahatani sebesar 57,8 persen melalui perbaikan efisiensi teknis dan alokatif, (3) kegiatan usahatani skala kecil cukup menguntungkan, dan sumberdaya yang digunakan pun sangat efektif. Peubah yang diamati pada studi ini adalah harga output, harga input variabel (benih, pupuk, tenaga kerja,dan pestisida), dan peubah tetap (pendidikan formal, pengalaman usahatani, luas lahan, dan ukuran keluarga rumah tangga tani).

Di Indonesia sendiri telah banyak penelitian yang dilakukan untuk efisiensi usahatani padi pada daerah-daerah tertentu. Fabiosa, et al. (2004) meneliti dampak guncangan ekonomi makro pada efisiensi petani padi kecil di Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa efisiensi produktif mengalami penurunan sebesar 7-22 persen selama krisis, terutama karena penurunan efisiensi teknis. Ditemukan bahwa efisiensi alokasi sedikit meningkat dan

“Penelitian terdahulu banyak yang sudah menggunakan model penawaran output dan permintaan input.”

(44)

menjadi bagian dari menurunnya efisiensi teknis. kesimpulannya bahwa faktor efisiensi teknis dan alokasi usahatani padi adalah luas lahan yang lebih besar dan tingkat pendidikan pemilik pertanian yang lebih tinggi.

Brzdik (2006) menggunakan DEA untuk menduga efisiensi teknis dan efisiensi ekonomi terhadap usahatani padi di Jawa Barat selama periode akhir program Bimas (akhir 1970-an dan awal 1980-an). Hasil penelitian menunjukkan bahwa usahatani padi di Jawa Barat relatif tidak efisien dengan potensi pengurangan input dari 23 persen menjadi 42 persen untuk menghasilkan produksi beras yang sama. Sebagian besar RTU contoh beroperasi mendekati efisiensi ekonomi dan rata-rata efisiensi ekonomi mencapai 90 persen. Kesimpulannya bahwa tingginya fragmentasi lahan adalah sumber inefisiensi teknis selama periode akhir dari era intensifikasi, yang dikenal sebagai Revolusi Hijau.

Namun selama masa recovery economy, kondisi usahatani padi mulai membaik. Hasil penelitian Sumaryanto, et al (2001) menunjukkan bahwa tingkat efisiensi teknis usahatani padi bervariasi antar wilayah, dengan kisaran 0,64-0,80. Penelitiannya mendukung penelitian Wahida (2005) yang menggunakan tingkat aplikasi pendekatan stochastic production frontier untuk menghitung efisiensi teknis usahatani padi dan palawija. Rata-rata tingkat efisiensi teknis bagi usahatani padi dan palawija berturut-turut 0,76 untuk padi; 0,8 untuk jagung dan 0,53 untuk kedelai.

Selain itu juga didukung oleh penelitian yang dilakukan Daryanto (2000), yang menggunakan analisis stochastic frontier untuk menganalisis efisiensi teknis RTU padi yang menggunakan beberapa sistem irigasi pada tiga musim tanam berbeda di Jawa Barat. Sistem irigasi yang dibandingkan terdiri dari sistem irigasi teknis, setengah teknis, sederhana dan desa. Fungsi produksi dugaan yang digunakan adalah fungsi produksi translog stochastic frontier, dengan model efek inefisiensi teknis non-netral. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa rata-rata nilai inefisiensi teknis dari RTU sampel berada pada kisaran 59 persen hingga 87 persen, dan terdapat pada setiap RTU sampel disemua sistem irigasi dan musim tanam, semua variabel penjelas di dalam model efek inefisiensi teknis fungsi produksi stochastic frontier, secara signifikan memengaruhi inefisiensi teknis, dan ukuran lahan dan rasio tenaga kerja, memberikan pengaruh yang tidak sama terhadap inefisiensi teknis RTU di setiap sistem irigasi dan musim tanam.

(45)

Tujuan penelitiannya yaitu menyajikan gambaran pertumbuhan luas panen, produktivitas, dan produksi padi sawah di Indonesia dan sumber pertumbuhannya selama periode 1980-2001. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah produktivitas Total Faktor Produksi dengan indeks Tornqvist-Theil. Hasil analisis menunjukkan bahwa sebagai sumber pertumbuhan pada tingkat nasional, Intensitas Pertanaman mempunyai peranan penting dengan peningkatan laju pertumbuhan dari 0,05 persen per tahun selama 1990-1994 menjadi 3,17 persen selama 1995-1998. Sementara itu luas lahan dan produktivitas mengalami laju pertumbuhan yang cenderung menurun bahkan pada periode 1995-2001 telah mengalami pertumbuhan negatif. Indeks TFP menunjukkan bahwa fluktuasi penggunaan total faktor produksi tidak berpengaruh nyata terhadap laju pertumbuhan produksi. Hal ini mengindikasikan terjadinya leveling off produktivitas. Oleh karena itu diperlukan strategi kebijakan peningkatan produksi melalui pengembangan riset teknologi pertanian, pengendalian konversi lahan pertanian ke non-pertanian dan pengembangan infrastruktur.

Swastika (1996) menggunakan fungsi produksi frontier stochastic translog untuk mengukur perubahan teknologi dan perubahan efisiensi teknis serta kontribusinya terhadap pertumbuhan produktivitas faktor total pada padi sawah irigasi di Jawa Barat. Variabel penjelas yang disertakan dalam model ini adalah vektor input yang terdiri dari benih, pupuk, pestisida, tenaga kerja, dan penggunaan traktor, serta dummy waktu sebagai proxy dari perubahan teknologi tahun 1988 dan 1992. Pendugaan fungsi produksi frontier dilakukan dengan metode Maximum Likelihood Estimation (MLE). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan teknologi dari tahun 1980 sampai 1988 sebesar 42,72 persen. Kenaikan produktivitas faktor total dari tahun 1980-1988 diduga disebabkan oleh perbaikan tingkat penerapan teknologi dari awal Insus sampai Supra Insus. Setelah Supra Insus, tidak ada lagi terobosan teknologi baru, baik dari segi kultur teknis maupun varietas baru yang berpotensi hasil melebihi varietas-varietas sebelumnya. Selain stagnasi teknologi, juga disebabkan penurunan genetik varietas-varietas yang ada, penurunan kualitas dan kesuburan tanah, dan serangan hama pada musim tanam 1992. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa perubahan teknologi selama periode analisis cenderung bias ke arah pengurangan benih dan tenaga kerja serta peningkatan pemakaian pupuk, pestisida, dan traktor.

Tinaprilla (2012) menggunakan data PATANAS 2010 dengan basis komoditi padi di lima provinsi sentra dengan 592 observasi. Penelitian ini menggunakan model produksi frontier parametric stokastik yang dirancang

(46)

untuk mengatasi masalah error (vi) pada frontier parametric deterministik. Dari hasil ditemukan bahwa di seluruh provinsi sentra dan rata-rata Indonesia (pool data) usahatani padi dikatakan telah efisien terutama di Jawa Barat. Namun jika dibandingkan dengan metafrontier sebagai potensi maksimum nasional (TE=0.7116) maka seluruh provinsi sentra menjadi turun efisiensinya dengan indeks TE* hanya sekitar 70 persen, bahkan beberapa provinsi menjadi tidak efisien karena turun pada nilai TE* kurang dari 70 persen (Jawa Barat dan Sulawesi Selatan).

Secara keseluruhan, jika dilihat dari alat analisis, maka sebagian besar peneliti menggunakan SFPF dengan fungsi produksi Cobb Douglas melalui prosedur MLE. Hal ini membuktikan bahwa metode tersebut adalah terbaik untuk analisis usahatani padi dibanding ketiga metode lainnya yang telah direvisi.

2.5. Kerangka Pemikiran

Pentingnya swasembada pangan di Indonesia diatur dalam UU 18/2012 dan UU 39/2013. Namun dalam mencapai swasembada pangan tersebut terdapat berbagai kendala yang dihadapi. Pemerintah memiliki anggaran yang terbatas untuk menjalankan berbagai program pencapaian swasembada pangan, di sisi lain RTU masih sangat membutuhkan berbagai bantuan sehingga subsidi menjadi sangat dibutuhkan. Selain itu, juga terdapat berbagai permasalahan berupa: kualitas sumber daya manusia pertanian di Indonesia berkurang, sumber daya alam pertanian kini semakin menurun kuantitas dan kualitasnya, lemahnya kelembagaan pertanian, lemahnya inovasi teknologi pertanian dan kebijakan peningkatan produksi menjadi yang utama.

Untuk itu, dengan menggunakan data Sensus Pertanian tahun 2013 penelitian ini menganalisis respon produksi terhadap perubahan harga produk itu sendiri dan perubahan harga produk lain; menganalisis respon permintaan input terhadap perubahan harga input itu sendiri dan harga input lain; menganalisis efisiensi produksi tanaman pangan dan faktor-faktor yang memengaruhinya; dan memetakan efisiensi produksi tanaman pangan menurut provinsi di Indonesia.

Terkait dengan tujuan penelitian untuk menganalisis respon produksi pangan terhadap perubahan harga produk itu sendiri dan perubahan harga produk lain serta menganalisis respon permintaan input (pupuk, benih, dan

(47)

Gambar 2.5. Kerangka Pemikiran

Keterangan: : Hubungan Satu Arah : Respon positif Metode estimasi terhadap model yang digunakan adalah Two Stages LeastSquares (2 SLS). Hasil analisa akan digunakan sebagai dasar perumusan kebijakan pencapaian swasembada pangan di Indonesia, dan diharapkan bermanfaat untuk efisiensi tiga komoditas pangan di Indonesia (Gambar 2.5).

(48)
(49)
(50)

3.1 Jenis, Sumber Data, dan Variabel Penelitian

Data yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder yang diperoleh dari beberapa instansi terkait, seperti Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Pertanian (Kementan). Adapun data yang digunakan untuk menjawab tujuan penelitian bersumber dari data Survei Rumah Tangga Usaha Padi (SPD) 2014 dan Survei Rumah Tangga Usaha Palawija (SPW) 2014. Variabel utama yang digunakan dalam penelitian meliputi variabel produksi, luas lahan, harga input, penggunaan benih, penggunaan pupuk, penggunaan tenaga kerja, dan penggunaan obat-obatan yang disesuaikan dengan teknik budidaya monokultur serta komoditas yang dibudidayakan (padi, jagung, dan kedelai).

3.2 Analisis Penawaran Output dan Permintaan Input: Model Simultan

Sebuah Model menunjukkan representasi dari fenomena aktual (Intriligator et al., 1998). Perumusan model ekonomi permintaan input dan penawaran output komoditas pertanian ini dibangun dengan menggunakan pendekatan ekonometrika. Hal ini dikarenakan dalam

BAB

3

METODE PENELITIAN

“Model ekonomi permintaan

input dan penawaran output pada komoditas terpilih dibangun dengan model persamaan simultan untuk masing-masing provinsi.”

(51)

pendekatan ekonometrika terdapat interaksi antara teori ekonomi, data yang diamati dan metode statistik, atau dengan kata lain sebagai analisis kuantitatif dari fenomena ekonomi yang aktual yang didasarkan kepada pengembangan teori dan pengamatan lapangan (Verbeek, 2000; Gujarati, 1978; Intriligator et al., 1998). Dengan demikian model ekonomi permintaan input dan penawaran output komoditas pertanian dalam penelitian ini dibangun dengan berlandaskan teori dan empiris sesuai dengan data hasil penelitian.

Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa permasalahan

(issue) saling memengaruhi satu sama lain dan saling berkaitan

atau bersifat simultan. Oleh karena itu, dalam menganalisis model ini digunakan pendekatan sistem persamaan simultan dengan mengestimasi persamaan-persamaan yang terkait keputusan produksi.

Berdasarkan penjelasan di atas, dengan menggunakan pendekatan ekonometrika dimungkinkan untuk melakukan

proxy terhadap variabel sehingga diperoleh model yang dapat

menggambarkan dunia nyata dan dapat dijelaskan secara empiris (Pradhan dan Quilkey, 1985).

Terkait dengan tujuan penelitian, untuk menganalisis respon produksi pangan terhadap perubahan harga produk itu sendiri dan perubahan harga produk lain serta menganalisis respon permintaan input (pupuk, benih, dan pestisida) terhadap perubahan harga input itu sendiri dan harga input lain digunakan Model Ekonometrika, yaitu Model Sistem Persamaan Simultan. Metode estimasi terhadap model yang digunakan adalah Two Stages Least Squares (2 SLS) diolah dengan menggunakan software SAS Versi 9.1.

Adapun fungsi produksi yang digunakan pada penelitian ini yaitu fungsi produksi dalam bentuk logaritma natural. Komoditas-komoditas yang dianalisis adalah komoditas utama tanaman pangan yaitu padi, jagung, dan kedelai. Fungsi produksi tersebut akan dibangun untuk masing-masing provinsi sehingga hasilnya adalah 33 fungsi produksi

Secara umum, produksi komoditas tanaman pangan diduga dipengaruhi oleh harga komoditas tersebut, harga komoditas alternatif, penggunaan benih, penggunaan pupuk, penggunaan tenaga kerja,

“Dengan menggunakan pendekatan ekonometrika dimungkinkan untuk melakukan proxy dengan model yang dapat menggambarkan dunia nyata”

(52)

penggunaan obat-obatan. Persamaan fungsi umum produksi komoditas tanaman pangan diklasifikasikan berdasarkan teknik budidaya monokultur.

3.2.1. Model Persamaan Simultan

Model ekonomi permintaan input dan penawaran output komoditas pertanian dalam pertanian ini dianalisis dengan menggunakan model persamaan simultan digunakan untuk petani yang mengusahakan hanya satu komoditas tanaman pangan pada lahan garapannya. Sehingga pada penelitian ini terdapat lima persamaan simultan yang dibagi menurut tiga jenis komoditas tanaman pangan yang dianalisis. Model ekonometrika yang dibangun sudah dilakukan respesifikasi (perubahan model yang dibangun) untuk mendapatkan model yang memenuhi kriteria ekonomi (kesesuaian tanda parameter estimasi).

Fungsi Produktivitas Tanaman Pangan

...(3.1) Keterangan: j i Q = Produktivitas (kg/ha) QBENj

i = Jumlah benih (kg/ha)

QUREA j

i = Jumlah pupuk urea (kg/ha)

QTSP j

i = Jumlah pupuk TSP (kg/ha)

QKCLj

i = Jumlah pupuk KCL (kg/ha)

QPES j

i = Jumlah pestisida (kg/ha)

QTKSLj

i = Jumlah tenaga kerja setara laki-laki (dalam dan luar keluarga(HOK/ha)

α0 = Intercept

α123,..,α10 = Parameter variabel independen

i = Petani ke-i (i =1,2,3,...n)

j = Komoditas ke -j (j = 1,2,3 ; 1 = padi, 2 = jagung,

3 = kedelai)

i = Error term

Qji QBEN QUREA QTSP QKCL QPES QTK

j i j i ji ij ij = +α α0 123456 SSLij i

(53)

Nilai dugaan parameter yang diharapkan adalah:

α

1

, α

2

3

,...,α

6

> 0

Fungsi Pemintaan Input Fungsi Permintaan Benih

QBENij= +α α0 1PBENij+α2PUREAij+α3PTSPij+α4PKCLij+α5PPESij+α6PPTKSLiji...(3.2)

Nilai dugaan parameter yang diharapkan adalah:

α

1,

α

2

3

,...,α

6

< 0

Dimana:

α0 = Intercept

QBEN j

i = Jumlah benih (kg/ha)

PBENj i = Harga benih (Rp/kg) PUREAj i = Harga urea (Rp/kg) PTSPj i = Harga TSP (Rp/kg) PKCLj i = Harga KCL (Rp/kg) PPPEs j i = Harga pestisida (Rp/kg) PTKSL j

i = Upah tenaga kerja langsung dan tidak langsung (Rp/HOK)

i = Error term

Fungsi Permintaan Pupuk Urea

QUREAij= +α α0 1PUREAij+α2PBENij+α3PTSPij+α4PKCLij+α5PPESij+α66PTKSLiji...(3.3)

Nilai dugaan parameter yang diharapkan adalah:

Gambar

Tabel 5.17 dan Gambar 5.14 menunjukkan bahwa terdapat 19 provinsi  yang menggunakan pupuk TSP dengan baik dan efisien (nilai elastisitas  antara 0 dan 1)
Tabel 5.18 dan Gambar 5.15 menunjukkan bahwa terdapat  16 provinsi yang telah efisien dalam pemakaian pestisida untuk  menghilangkan gangguan tanaman karena hama dan penyakit  serta gangguan gulma
Tabel 6.2. menunjukkan sebaran provinsi menurut peubah  yang signifikan memengaruhi inefisiensi usahatani jagung di Indonesia

Referensi

Dokumen terkait

Puji syukur kehadirat Allh SWT karena atas limpahan rahmat dan karunia- Nya laporan Dasar – dasar Program Perencanaan dan Perancangan Arsitektur (DP3A) Tugas Akhir yang

(3) Bangunan baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam lingkup batas deliniasi non fisik adalah bangunan gedung dan/atau bangunan bukan gedung yang dibuat oleh

Pembelajaran IPS harus mampu meletakkan nilai-nilai kecakapan sosial bagi peserta didik, Pembelajaran IPS dalam historiografi pendidikan barat masa Hindia Belanda

Tesis yang berjudul PENGARUH PEMBERIAN PROPOFOL INTRAVENA 10 mg/kgBB, 25 mg/kgBB dan 50 mg/kgBB TERHADAP EKSPRESI KASPASE 3 MENCIT BALB/C DENGAN CEDERA ini

lingkungan Sekertariat daerah Propinsi Sulawesi Tengah terlihat kopi paste dari usulan tahun lalu sehingga menyulitkan dalam menetapkanya dari fakta tersebut dapat

Dari kasus AIDS yang dilaporkan sampai dengan 30 Desember 2006, ternyata penularan terbanyak terjadi melalui penggunaan jarum suntik bersama/tercemar virus HIV pada

Kaliprau, Pemalang melalui potensi yang dimiliki serta diharapkan menjadi produk khas dari Desa Kaliprau. Meskipun persaingan yang cukup ketat dalam pasar kosmetik