• Tidak ada hasil yang ditemukan

Formasi diskursif poskolonialitas masyarakat yang ditandai oleh hibriditas kultural dan menguatnya nilai-nilai individualisme merupakan sumber wacana yang akan dibaca dan dimaknai-kembali oleh para kreator film dalam praktik komodifikasi serta direpresentasikan ke dalam struktur dunia naratif. Artinya, bisa jadi poskolonialitas mendapatkan pemaknaan-pemaknaan baru oleh para sineas yang disesuaikan dengan kepentingan ekonomis dan ideologis industri perfilman sebagai bagian dari kapitalisme pasar, meskipun mereka juga harus bersiasat dengan kebijakan perfilman yang dibuat oleh rezim negara. Dengan kata lain, wacana dan pengetahuan yang dihadirkan dalam struktur dunia naratif film tidak hanya menormalisasi kepentingan ekonomi-politik pemodal, tetapi juga sebagai bentuk „siasat diskursif‟ dalam menghadapi idealisasi negara terhadap produksi pengetahuan melalui film sebagaimana dituangkan dalam kebijakan dan peraturan perundang-undangan. Dalam konteks itulah, pertimbangan ekonomi-politik film tetap dibutuhkan dalam kajian ini. Kajian ekonomi-politik film ataupun media mendasarkan konsepsi-konsepsi teoretisnya pada tesis base/superstructure Marxisme. Tesis utama yang diusung adalah bahwa basis ekonomi dan produksi akan menentukan superstructure—ideologi, agama, relasi sosial, politik maupun budaya. Kelas pemodal dengan kemampuan modal dan

alat produksinya menggerakkan mekanisme dan moda produksi yang melibatkan kreator dan buruh dalam organisasi dan praktik kerja untuk menciptakan benda-benda industrial yang mempunyai nilai tukar dan nila guna serta bisa memenuhi kebutuhan konsumen melalui proses sirkulasi, distribusi, dan konsumsi yang menyebabkan perubahan orientasi ideologi masyarakat sehingga mengakibatkan perubahan pada struktur dan praktik sosio-kultural (Marx, 1991, 1992; Lebowitz, 2002; Wood, 2003).

Mengikuti tesis tersebut, kajian ekonomi-politik film memosisikan produk film tidak semata-mata sebagai representasi yang mewacanakan pengetahuan partikular, tetapi ia terhubung dengan sistem organisasi produksi dan distribusi kapitalis, perubahan sosial, termasuk peran negara di dalamnya. Wasko (2004: 227), mengelaborasi pemikiran Mosco, memosisikan film sebagai bagian integral dari sistem industri dan masyarakat kapitalis, baik dalam produksi maupun distribusinya. Dalam proses produksi terdapat formula-formula komersil maupun diskursif yang menjadi acuan sineas dan pemodal agar sebuah film bisa diterima oleh pasar. Dalam proses distribusi perlu dilihat mekanisme-mekanisme apa yang digunakan untuk menjadikan film bisa meraup keuntungan dari segi komersil dan bagaimana peran dan keterlibatan negara. Yang tidak kalah pentingnya untuk dikaji adalah implikasi politiko-ideologis dari proses produksi dan kebijakan negara karena ia tidak pernah terlepas dari konteks ekonomi, sosial, kultural, dan politik yang berkontribusi bagi keberlangsungan dan reprodukis struktur dan relasi kuasa dalam sebuah negara.

Berdasarkan pemahaman tersebut, pembacaan terhadap cara pandang negara dan industri dalam memahami produksi dan distribusi film menjadi penting.

Termasuk di dalamnya adalah bagaimana respons para sineas terhadap kebijakan perfilman serta artikulasi mereka terhadap persoalan budaya dan kebangsaan sebagaimana diidealisasi negara. Namun demikian, dalam kajian ini saya tidak akan masuk ke dalam sistem organisasi, produksi, dan distribusi film, tetapi bukan berarti mengabaikannya. Titik ekonomi-politik film akan diarahkan pada bagaimana formasi diskursif poskolonialitas kultural dalam masyarakat di tengah-tengah sistem pasar yang memunculkan tegangan antara idealisasi pemodal dan sineas dengan idealisasi rezim negara. Dalam bingkai normatif, di tengah-tengah keinginan mereka untuk mendapatkan keuntungan dari industri perfilman, rezim negara masih memosisikan film sebagai medium untuk menyebarkan kekuatan budaya bangsa dan nasionalisme— sebuah idealisasi film pascakolonial16—di tengah-tengah popularitas budaya individual. Sementara, para pemodal dan sineas sebagai bagian dari sistem organisasi industri budaya kapitalis, tentu saja, menginginkan film yang mereka produksi bisa mendatangkan keuntungan komersil sekaligus bisa berfungsi untuk menyebarkan kepentingan ideologis mereka.17

16 Secara ideal, film bagi bangsa pascakolonial memiliki kontribusi strategis untuk menyebarkan gagasan-gagasan kolektif tentang bagaimana menjadi bangsa dengan subjektivitas baru yang terlepas dari pengaruh-pengaruh ideologis kolonialisme (Berry dikutip dalam Zhang, 2004: 6). Terdapat beberapa cara yang bisa dilakukan para sineas untuk menyukseskan proyek kebangsaan tersebut. Pertama, merepresentasikan nostalgia masa lampau yang penuh keemasan dan budaya lokal sebagai kekuatan kolektif (McMillin, 2007: 77-78; Higson, 2000: 60-61). Kedua, menarasikan semangat kebangsaan, pembangunan, penguatan kedaulatan dan integrasi, serta mempersiapkan bangsa untuk berpartisipasi dalam kehidupan antarbangsa (Hallin, 1998: 155-157). Ketiga, membicarakan persoalan kultural dalam konteks yang tidak kaku, tetapi dinamis dan terkadang penuh kontestasi di tengah-tengah pengaruh ragam budaya dan teknik filmis dari luar, meskipun secara naratif tetap menegaskan identitas kolektif melalui pola dan rangkaian narasi bersifat lokal (Berry & Farquhar, 2006: 1-8; Yearwood, 1987). 17 Secara umum para pemodal dan sineas berada dalam satu faksi ketika membicarakan kepentingan komersil dan ideologis, meskipun tetap ada hirarki yang berbeda di antara mereka. Menurut Louw (2001: 32-34), penyebaran pengetahuan ideologis tertentu terjadi karena (1) kuatnya patronase terhadap kepentingan pemodal dalam industri budaya yang hanya menghendaki wacana tertentu; (2) kecenderungan wacana dari para kreator dan pekerja; dan (3) tekanan dari relasi kuasa lainnya, semisal negara maupun institusi agama. Terkait tekanan negara ataupun institusi agama, hal itu akan

Itulah mengapa kajian poskolonial yang mengunggulkan wacana hibriditas dalam praktik representasi maupun diskursif perlu diuji secara kritis karena bisa jadi industri perfilman mempunyai logika yang berbeda dengan idealisasi poskolonialisme. Poskolonialitas dalam masyarakat yang ditandai dengan impian terhadap budaya modern tanpa meninggalkan sepenuhnya budaya tradisional, perkembangan kapitalisme pasar, maupun proyek budaya bangsa dan nasionalisme tentu akan menjadi sumber diskursif yang akan diartikulasikan dalam struktur naratif film yang berbeda dengan cara pandang negara. Hal itu tidak bisa dilepaskan dari posisi industri film sebagai bagian dari kapitalisme pasar itu sendiri. Menurut Fulton (2005: 5-7), narasi formulaik media pada abad kapitalisme akhir berusaha menaturalisasi kepentingan ideologis neoliberal dengan cara menciptakan subjek-subjek yang koheren dengan tawaran akan pembebasan dan kebebasan untuk menentukan pilihan dalam jejaring pasar. Sebagai produk yang sangat dekat dengan kehidupan, tentu saja para pemodal dan sineas memiliki prinsip-prinsip artikulasi untuk mengakomodasi beragam kecenderungan wacana dan pengetahuan dalam masyarakat, termasuk idealisasi negara, meskipun tetap menegosiasikan pengetahuan ideal berkebudayaan dan berkebangsaan di tengah pasar.

Pembacaan terhadap kompleksitas struktur naratif film, praktik dan formasi diskursif, serta ekonomi-politik, pada akhirnya, akan membantu untuk membaca relasi kuasa yang berlangsung. Dalam kerangka pikir demikian, film merupakan “sebuah

menjadikan para sineas bersiasat secara naratif dan diskursif untuk menetralisir persoalan yang terjadi. Pembatasan kreativitas dalam film termasuk produksi pengetahuan partikular, juga terjadi karena sistem industri budaya tetap menempatkan kreator dalam posisi subsistem. Para kreator bertugas untuk membuat film yang bisa memenuhi kebutuhan estetik masyarakat sehingga bisa mendatangkan

media untuk menciptakan konsensus dan kuasa melalui artikulasi beragam kepentingan kelompok/kelas, wacana, dan permasalahan yang berlangsung dalam masyarakat”. Mengikuti pemikiran Kellner (1995: 1) tentang budaya media, struktur naratif film bukan hanya menyediakan bermacam materi dan citra tentang permasalahan sehari-hari, tetapi juga menegosiasikan pengetahuan yang bisa membantu pemahaman penonton dalam memaknai budaya dan menciptakan identitas ideal di tengah-tengah kapitalisme pasar saat ini.

Dengan memproduksi pengetahuan ideal berbasis permasalahan kultural dalam masyarakat, struktur naratif dan praktik diskursif film, mengikuti pemikiran Hall (1997b: 425-426), akan mempertemukan kepentingan ideologis bermacam kelompok/kelas—termasuk di dalamnya negara—dalam sebuah blok historis. Terbentuknya blok hitoris dalam narasi film menjadikan perbedaan-perbedaan kelas lebur. Namun, kelas penguasa tidaklah hilang, tetapi bertransformasi menjadi kelas pemimpin. Tentu saja, kategori kelas dalam narasi tidak dimunculkan secara vulgar, tetapi lebih dihadirkan melalui tokoh tertentu dengan wacana-wacana yang ia sampaikan. Kehadiran blok historis yang diikat oleh pengetahuan ideal sebagai konsensus akan mempermudah berlangsungnya relasi kuasa-hegemonik. Hegemoni merupakan relasi kuasa yang dibangun dengan kepemimpinan intelektual, kultural, dan moral, sehingga prinsip artikulasi dan negosiasi menjadi lebih dominan karena kelas pemimpin mengutamakan penerimaan kuasa secara konsensual (Gramsci, 1981: 191-192; Laclau & Mouffee, 1981: 226; Boggs; 1984: 161; Bennet, 1986: xv; Williams, 2006: 134-137; Hall, 1997c: 425-426; Howson & Smith, 2008; Boothman, 2008; Fontana, 2008; Hall, 1982: 87-88).

1.6 Hipotesis

Berdasarkan permasalahan, tujuan, dan landasan teoretis di atas, hipotesis yang akan saya uji secara kritis dalam kajian ini adalah bahwa di dalam kompleksitas representasi budaya poskolonial yang menghadirkan budaya modern dan budaya lokal dalam struktur dunia naratif film beoperasi individualisme yang dianggit sebagai orientasi ideal bagi masyarakat di tengah-tengah pengaruh ekonomi-politik neoliberalisme.

Dokumen terkait