• Tidak ada hasil yang ditemukan

1.7. Kerangka Metodologis

1.7.1 Tentang Pilihan Data

Untuk kepentingan analisis yang lebih fokus dan terarah, saya akan menggunakan film-film Indonesia populer era 2000-an sebagai sumber data. Film-film

populer saya pilih karena mereka—mengikuti pemikiran cultural studies (Hall, 1986, 2002; Cardiff & Scannell, 1986; Davies, 1995: 113-114; Walton, 2008: 203-204; O‟Shaughnessy, 1990: 90-104)—merupakan tempat berlangsungnya proses relasi kuasa dan kemungkinan tegangan di dalam proses tersebut. Selain itu, karena ditujukan untuk kepentingan komersil, narasi film populer menghadirkan cerita dan tema yang mudah dipahami, sehingga makna-makna yang disuguhkan tampak sebagai kewajaran.

Adapun alasan saya memilih era 2000-an adalah karena para era tersebut terdapat kondisi sosio-historis berupa gerakan Reformasi 1998 dan penerapan sistem ekonomi-politik neoliberalisme yang berpengaruh pada poskolonialitas kultural—dari persoalan pendidikan, olah raga, gairah kebebasan kaum remaja/muda, menguatnya hasrat untuk sukses secara ekonomi, perkembangan media, hingga isu-isu masyarakat di wilayah pedalaman—dalam masyarakat sebagai sumber kreatif produksi film. Poskolonialitas tersebut misalnya bisa dijumpai dalam „gairah‟ nasionalisme melalui budaya populer, seperti olah raga. Para produser dan sineas menangkap peluang dari gairah tersebut melalui produksi film yang memiliki pola tematik “anak-anak/remaja, olah raga, dan nasionalisme”, seperti King, Garuda di Dadaku dan Tendangan dari Langit. Isu pendidikan bagi masyarakat pedalaman juga menjadi pola tematik yang menghasilkan beberapa film seperti Denias Senandung di Atas Awan dan Serdadu Kumbang. Belum lagi popularitas film-film remaja yang memiliki pola tematik “narasi diri dalam atmosfer kebebasan metropolitan”.

Pemilihan judul film akan menimbang kecenderungan mobilisasi makna ideologis dalam narasi yang saya pandang sesuai dengan “permasalahan” dan “hipotesis” dalam kajian ini. Pertama, permasalahan sosio-kultural di masyarakat lokal—

desa dan kampung—terkait tegangan antara tradisionalisme dan modernisme, semisal perbedaan pandangan antara anak-orang tua, terkait kebebasan, pendidikan, dan capaian-capaian kemajuan lainnya. Kedua, bagaimana individualisme mempengaruhi narasi-diri dan perspektif kaum remaja/kaum muda terhadap institusi sosial seperti keluarga serta perilaku mereka dalam menikmati kehidupan dan bagaimana kecenderungan individualisme mempengaruhi kebebasan narasi-diri di tengah-tengah modernitas. Keempat, sudut pandang baru dalam memaknai identitas bangsa dan nasionalisme di tengah-tengah pengaruh diskursif gerakan Reformasi dan peradaban pasar saat ini. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka film-film yang saya analisis adalah Denias, Senandung Di Atas Awan (sutradara John De Rantau, 2006), Garuda Di Dadaku (sutradara Ifa Isfansyah, 2009), Not for Sale (sutradara Nayato Fio Nuala, 2011), Susahnya Jaga Keperawanan di Jakarta (sutradara Joko Nugroho, 2010), dan Tiga Pejantan Tanggung (sutradara Iqbal Rais, 2011). Terdapat beberapa argumen yang menjadi landasan untuk memilih kelima film tersebut.

Film pertama, misalnya, mengangkat persoalan pendidikan modern di pedalaman Papua yang bersanding dengan persoalan nasionalisme dan uluran tangan pemodal internasional. Film kedua menarasikan persoalan olah raga dan nasionalisme yang disematkan ke dalam pikiran anak remaja serta menghadirkan institusi olah raga internasional untuk mewujudkan cita-cita si anak. Dari kedua film tersebut akan bisa dilihat bagaimana impian untuk menjadi modern dalam hal pendidikan dan menjadi sukses dalam olah raga, di satu sisi, harus berhadapan dengan budaya dan kuasa tradisional dan, di sisi lain, bersandingan dengan isu nasionalisme yang semakin cair di mana kehadiran pemodal internasional ikut berperan.

Film ketiga menghadirkan kebebasan hidup kaum remaja di metropolitan yang didorong oleh bermacam persoalan, dari hasrat untuk budaya konsumsi hingga persoalan keluarga, sehingga memunculkan tegangan antara yang komunal dan yang individual. Film keempat secara spesifik mengangat persoalan migrasi perempuan muda dari desa ke kota untuk merasakan kesuksesan ekonomi. Siasat kultural dilakukan para tokoh dalam film ini di mana mereka berusaha meniru cara-cara metropolitan untuk sukses, tetapi tidak meninggalkan sepenuhnya kearifan lokal. Meskipun demikian, kota tetap menjadi orientasi dominan sedangkan yang desa harus ditinggalkan. Adapun film kelima menghadirkan cerita tentang pemuda metropolitan yang masuk ke dalam kehidupan pedalaman Kalimantan dengan permasalahan-permasalahannya. Para tokoh dengan segala nalar dan gaya hidup metropolitan harus menghadapi kehidupan pedalaman dan berjuang untuk ikut menyelesaikan permasalahan yang dihadapi warga.

Dari aspek industrial, partikularitas persoalan tersebut sangat sesuai dengan persoalan yang berkembang dalam kehidupan masyarakat Indonesia di era 2000-an, sehingga mendorong produser dan sineas untuk memfilmkannya dengan harapan untuk mendapatkan keuntungan komersil sekaligus menyebarkan pengetahuan ideal kepada penonton. Film Garuda di Dadaku, misalnya, ditonton oleh 1.371.131 penonton.18 Dengan aturan dari setiap karcis produser mendapatkan keuntungan Rp. 5.000,-, maka estimasi keuntungan berkisar Rp. 6.855.655.000. Besarnya jumlah

18 Lihat, “10 Film Indonesia peringkat teratas dalam perolehan jumlah penonton pada tahun 2007-2013 berdasarkan tahun edar film”, tersedia di http://filmindonesia.or.id/movie/viewer/2007-2013#.UeYA26zSOho, diunduh 16 Juli 2013.

penonton juga semakin memperluas penyebaran pengetahuan ideal yang dianggit oleh para sineas.

Saya memosisikan beberapa babak dalam film-film tersebut sebagai data primer yang membutuhkan „perlakuan khusus‟ agar sesuai dengan kepentingan analisis. Perlakuan khusus yang saya maksudkan adalah memilih secara teliti dan jeli “adegan-adegan visual” dan ““adegan-adegan percakapan antartokoh” berdasarkan alur cerita (awal-tengah-akhir) yang merepresentasikan permasalahan utama kajian ini. Tujuannya adalah untuk melihat dinamika artikulasi kultural dan negosiasi makna ideologis dalam struktur dunia naratif dan kemungkinan-kemungkinan dekonstruktif dalam struktur serta naturalisasi dan normalisasi pengetahuan individualisme yang disampaikan.

Karena penekanan analisis adalah pada relasi teks-konteks, maka pembacaan secara kritis terhadap kepentingan politis dalam narasi membutuhkan data penunjang atau sekunder untuk melihat kondisi sosio-historis masyarakat Indonesia pada era 2000-an. Data-data sekunder tersebut lebih berkaitan dengan impian kebebasan dan keterbukaan di era Reformasi, keberantaraan kultural, orientasi terhadap modernitas dan mekanisme pasar dalam kehidupan masyarakat, dan penerapan sistem ekonomi-politik neoliberalisme dalam negara dan industri film. Data-data tersebut diperoleh dari artikel ilmiah (majalah/surat kabar/jurnal), berita-berita media (surat kabar cetak/on line), maupun hasil-hasil penelitian yang bisa diakses.

Dokumen terkait