• Tidak ada hasil yang ditemukan

Membaca Poskolonialitas dalam Struktur Dunia Naratif

1.7. Kerangka Metodologis

1.7.2 Metode Analisis

1.7.2.1 Membaca Poskolonialitas dalam Struktur Dunia Naratif

Struktur dunia naratif film dibentuk dari relasi antarbabak yang terdiri dari banyak adegan. Dalam masing-masing adegan terdapat peristiwa naratif yang terdiri

dari dialog/konflik antar tokoh, latar, sudut pengambilan gambar, kostum dan make up, maupun ilustrasi musik. Kesatuan dari masing-masing elemen dalam satu adegan akan membentuk proses penandaan yang berhubungan dengan adegan lainnya sehingga membentuk struktur sebuah babak. Saya tidak akan menelaah semua babak, tetapi hanya memilih beberapa babak sesuai dengan alur narasi. Dalam konteks kajian ini, adegan dikategorikan ke dalam dua model: (1) visualitas dan (2) perpaduan antara visualitas dan percakapan (atau bisa juga monolog).

Visualitas berasal dari adegan dalam film yang diubah dalam bentuk rangkaian beberapa still photo. Meskipun dalam bentuk foto diam (gambar), visualitas yang dihadirkan diusahakan tidak menghilangkan aspek dinamika dan keutuhan penandaan yang terkait elemen tokoh (ekspresi wajah, gerak tubuh, dll), gesture komunikasi/konflik yang terjadi antartokoh, setting (tempat dan waktu), sudut pengambilan gambar, pencahayaan, dan kostum. Masing-masing gambar tidak berada dalam relasi penandaan mitis mandiri, meskipun masing-masing dari mereka adalah penanda mitis. Rangkaian gambar tersebut diposisikan berkorelasi dengan satu petanda (konsep): sebuah visualitas babak.19 Dalam babak yang penandaan mitis-nya membutuhkan pembacaan resiprokal—saling mendukung dan mempengaruhi satu sama lain—analisis akan saya arahkan pada visualitas dan percakapan/monolog.

19 Konsepsi ini dikembangkan dari pendapat Metz (dikutip dalam Stam, Burgoyne, Flitterman-Lewis, 1999: 46) ketika membicarakan tentang babak. Menurutnya, satu babak dalam film terdiri lebih dari satu pengambilan gambar (shot), tetapi bersifat kronologis, saling mengikuti, dan linear. Penanda dipecah-pecah ke dalam bermacam pengambilan gambar, tetapi petanda bersifat kontinyu. Sebagai contoh, adegan sepasang kekasih yang sedang melakukan candle light dinner di sebuah restoran mewah akan terdiri dari beberapa gambar, seperti situasi ruangan yang remang-romantis, long shot (LS) yang menampilkan dua tokoh secara bersama-sama, maupun close up (CU) yang menampilkan secara bergantian wajah mereka untuk memberikan penekanan pada ekspresi muka. Penekanan kepada makna-makna yang dianggit dalam pertemuan kedua tokoh tersebut menjadikan elemen-elemen visual lainnya dibaca menyatu dengan adegan yang dilakukan oleh mereka.

Mengikuti cara kerja strukturalis (Faruk, 2012; Barthes, 1989, 1977; Allen, 2003:53-61; Edgar & Sedgwick, 2002: 16-18), pemilihan babak-babak yang akan dianalisis lebih didasarkan pada pertimbangan kehadiran oposisi biner antarsubjek tokoh atau subjek makna, baik yang berlangsung dalam satu babak, atau antara babak satu dengan babak lainnya. Oposisi-oposisi biner itulah yang akan membentuk narasi film sebagai struktur penandaan mitis. Subjek kaum remaja atau anak-anak dengan segenap hasrat kebebasan, misalnya, akan beroposisi dengan subjek orang tua dengan segenap paradigma konservatifnya.

Dengan cara berpikir strukturalis, saya memosisikan babak sebagai submitos. Logikanya, mitos adalah keseluruhan rangkaian babak yang membentuk struktur film dengan pengetahuan ideologis yang dinaturalisasikan, sehingga babak adalah submitos yang di dalamnya terdapat oposisi biner atau beroposisi dengan submitos lainnya. Berikut adalah skema analisis dengan kerangka submitos dan mitos.

Adegan-adegan/ Penanda Petanda Adegan-adegan/ Penanda Petanda Babak/Tanda filmis Penanda mitis: Makna & Bentuk

Konsep Babak/Tanda filmis Penanda mitis: Makna & Bentuk

Konsep

Penandaan Mitis (sub-mitos 1) Penandaan Mitis (sub-mitos 1)

Penandaan Mitis (Mitos)/Keseluruhan narasi: film

Alur analisis semiotika mitos-Barthesian berdasarkan skema tersebut bisa diuraikan sebagai berikut. Pertama, mengkaji adegan-adegan yang ada dalam setiap babak secara

linguistik/denotatif dan memposisikannya sebagai “tanda global”. Kedua, memosisikan tanda global tersebut sebagai “makna/bentuk” (penanda mitis) yang berhubungan dengan “konsep” dalam proses “penandaan mitis” atau “submitos”. Ketiga, analisis berlanjut dengan membaca rangkaian submitos-submitos yang sudah ada untuk menemukan kecenderungan pengetahuan ideologis yang dinaturalisasi melalui mitos.

Analisis terhadap masing-masing babak akan menjadi „pintu masuk‟ untuk melihat dinamika artikulasi dan negosiasi yang berlangsung dalam struktur dunia naratif film. Konsepsi tersebut bisa memungkinkan terjadinya proses saling menunda keutuhan struktur, serta, tentunya juga, kemapanan masing-masing makna-ideologis yang dibayangkan utuh. Dalam fase ini cara baca dekonstruksi akan digunakan. Hal itu, mengikuti cara baca Derridean (Derrida, 1997, 1989; Lucy, 2004; Culler, 1985; Borradori, 2000; Leledakis, 2000; Saul, 2001; Cilliers, 2005, bukan dimaksudkan untuk mengatakan bahwa dalam film tidak ada struktur, tetapi lebih kepada munculnya proses saling menunda antarbabak dan antarmakna-ideologis sebagai akibat dinamika artikulasi dan negosiasi yang menjadi karakteristik poskolonialitas kultural. 20

20 Faruk (2002: 30) memberi contoh bagaimana analisis dekonstruksi terhadap karya sastra: “Sebagai contoh dapat dilihat oposisi antara desa dengan kota, Timur dengan Barat, Rapiah/Kerabat dengan Corrie/Kekasih, dalam Salah Asuhan. Gerakan Hanafi ke kota, ke Barat, ke Corrie, hanya membuat lelaki itu menderita, berada dalam keterpecahan, keterpisahan, dari “Sang Sumber”, “pusat”, yang...menentramkan. Untuk meniadakan penderitaan tersebut, Hanafi harus pulang. Itulah sebabnya setelah mati, mayatnya dibawa kembali ke desanya, ke “Sang Sumber”. Akan tetapi, kembalinya mayat Hanafi ke desa tidak dengan sendirinya berarti tersatukan dan terleburkana seluruh dirinya ke tempat asalnya…Ia membunuh diri karena ingin menyusul Corrie yang sudah mati mendahuluinya. Karena itu, sementara “tubuh”-nya kembali ke Rapiah, ke Kerabat; “roh”-nya tetap tinggal di kota, pada diri Corrie. Kesatuan antara Hanafi dan “pusat” dengan “Sang Sumber”, dengan tempat asalnya merupakan kesatuan yang “tertunda” karena “Sang Sumber” merupakan “petanda” yang tidak pernah ada walau perlu ada, merupakan “jejak” belaka.”

Pembacaan dekonstruksi terhadap kemapanan submitos, berguna untuk melihat bagaimana struktur dunia naratif di dalam proses artikulasi beragam bentuk kultural dan kepentingan ideologis dalam masyarakat bisa memunculkan tegangan yang saling menunda keutuhan makna ideologis. Tegangan tersebut berguna untuk mendekatkan narasi film dengan poskolonialitas masyarakat yang memang sangat kompleks. Pemunculan peristiwa-peristiwa yang saling menunda makna-ideologis antarbabak merupakan strategi untuk mewajarkan negosiasi pengetahuan-ideologis film (mitos) yang dibangun dari rangkaian makna-ideologis pada masing-masing babak (submitos).

Dokumen terkait