• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Ada Apa Dengan Cinta?/AADC (sutradara Rudy Soedjarwo, 2001) memang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Ada Apa Dengan Cinta?/AADC (sutradara Rudy Soedjarwo, 2001) memang"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ada Apa Dengan Cinta?/AADC (sutradara Rudy Soedjarwo, 2001) memang hanyalah film remaja yang struktur dunia naratifnya1 bercerita tentang perempuan

remaja bernama Cinta yang berjuang mendapatkan cinta Rangga, teman satu SMA-nya. Meskipun demikian, menurut saya, film ini layak disebut sebagai “tonggak kebangkitan” film remaja/kaum muda di era 2000-an dengan beberapa alasan, bukan semata-mata karena pemeran Cinta—Dian Sastro Wardoyo—dipilih sebagai “Pemeran Terbaik Perempuan” dalam Festival Film Indonesia 2002. Pertama, keberhasilan AADC secara finansial karena menjadi box office2 telah mendorong para sineas lainnya

memproduksi film-film dengan pola tematik dan struktur dunia naratif serupa, seperti Eiffel I’m in Love, 30 Hari Mencari Cinta, dan lain-lain. Akibatnya, industri film kembali bangkit setelah sempat mati suri pada akhir 1990-an. Kedua, secara naratif AADC menghadirkan makna-makna tentang perempuan remaja yang berhak menikmati dunia dan cintanya, tanpa harus dibebani oleh kehadiran fungsi integratif keluarga atau generasi tua (Setiawan, 2008).

1 Struktur dunia naratif dalam kajian ini, mengikuti pendapat Stam, Bourgoyne, & Flitterman-Lewis (1999: 70-71) saya maknai sebagai rangkaian dua atau lebih peristiwa filmis—babak dalam film yang melibatkan tokoh, latar, kostum, sudut pengambilan gambar, dan lain-lain—yang terhubung satu sama lain sebagai kesatuan secara logis, melewati batasan waktu, serta dikaitkan oleh subjek makna.

2 Dalam 3 minggu pertama pemutaran, AADC, menurut produsernya, Mira Lesmana, berhasil menyedot 1,3 juta penonton. Ini hasil dari pemutaran di 24 layar bioskop (kemudian bertambah menjadi 76 layar) di 12 kota Indonesia. Bisa diperkirakan bahwa hasil yang didapat oleh produser paling tidak Rp. 4,5 milyar. Lihat Kristanto, 2006: 184.

(2)

Dengan demikian, dalam konteks film remaja/kaum muda, era 2000-an bisa dikatakan sebagai “babak baru” industri film karena selain mengkomodifikasi dinamika hidup generasi muda sebagai formula untuk mendapatkan keuntungan finansial para sineas juga menghadirkan makna-makna baru terkait narasi-diri tanpa harus memberi penekanan pentingnya kehadiran orang tua sebagai metafor kekuatan integratif. Hal ini tentu berbeda dengan narasi film remaja/kaum muda pada masa Orde Baru—khususnya di era 1970-an sampai dengan 1990-an—di mana orang tua berperan penting untuk mengintegrasikan tokoh remaja ke dalam konsep keharmonisan keluarga (Sen & Hill, 2002: 153). Perubahan representasi keluarga dalam narasi film era 2000-an bisa dibaca sebagai kecenderungan para sineas untuk membaca dan memaknai-ulang persoalan “budaya”3 dalam praktik komodifikasi.

Mereka berusaha melampaui model komodifikasi keluarga sebagai metafor budaya bangsa yang pada masa-masa sebelumnya menjadi bentuk kontrol rezim negara terhadap industri perfilman.4

3 Budaya dalam konteks kajian ini, mengikuti pemikiran Raymond Williams, dipahami sebagai cara hidup partikular yang mengeskpresikan makna dan nilai tertentu—tidak hanya dalam seni dan pembelajaran, tetapi juga dalam organisasi dan kehidupan sehari-hari—serta tidak terlepas dari struktur dan praktik sosial di masyarakat. Kajian tentang budaya dalam media, termasuk film di dalamnya, membutuhkan usaha untuk menganalisis teks guna menemukan makna sebagai cara hidup yang dipengaruhi oleh praktik sosial (konteks) yang bersifat dinamis. Lihat, Turner, 2003: 45-46.

4 Rezim Soekarno menerapkan kebijakan perfilman yang berwarna nasionalisme anti-kolonial. Para sineas komunis mendukung kebijakan tersebut dengan memproduksi realisme sosialis yang mengekspos permasalahan keseharian rakyat kecil—seperti kehidupan keluarga semasa revolusi fisik—dan mengutamakan kepentingan revolusioner, bukan cerita yang mengharu-biru seperti model Hollywood (Sen, 2003: 149-151; Roberts, 2000: 164; Siagian, 1957). Sementara, rezim Soeharto membuat kebijakan perfilman yang mengutamakan kepribadian dan budaya bangsa—dalam semangat ketertiban dan integrasi (Novi Kurnia, dkk, 2007)—agar para sineas tidak mewacanakan hal-hal yang bisa mengganggu pembangunan dan kekuasaan rezim. Dalam konteks itulah, ketertiban dan integrasi keluarga menjadi elemen penting dalam film Indonesia di era Orde Baru, termasuk dalam film remaja

(3)

Kalau kemudian keluarga diposisikan sebagai bentuk ketradisionalan, maka dengan menarasikan kaum remaja/kaum muda tanpa harus dikontrol oleh orang tua para sineas era 2000-an lebih memilih mengkomodifikasi dan mengartikulasikan kebebasan individual sebagai salah satu aspek penting modernitas (Setiawan, 2010). Secara ekonomis, pilihan itu diharapkan bisa menarik minat penonton karena narasi yang mereka suguhkan mendekati realitas yang berkembang dalam kehidupan kaum remaja/kaum muda, dari masalah percintaan sampai dengan gaya hidup. Secara ideologis, para sineas bisa menegosiasikan makna dan wacana tentang bagaimana menjadi modern kepada para penonton di tengah-tengah dinamika kultural yang berlangsung.

Modernitas5 dalam kehidupan masyarakat pascakolonial6 seperti Indonesia

memang masih menjadi permasalahan kultural tersendiri. Di satu sisi, masyarakat sejak zaman kolonial sudah terbiasa dengan budaya modern yang berorientasi ke Barat.7 Mereka ingin menjadi maju dan menempati posisi setara dengan masyarakat di

negara-negara maju (Lombard, 2000; Alisjahbana, 1998: 7-9). Di sisi lain, mereka tetap

5 Modernitas merupakan kondisi kehidupan yang menekankan pentingnya kebebasan, rasionalitas, kemajuan, dan kedaulatan individu, serta pembebasan diri dari doktrin agama, tradisi, dan kekuasaan yang menghambat kemajuan. Meskipun berkaitan erat dengan kolonialisme, masyarakat di seluruh dunia tetap menjadikannya orientasi utama. Pengetahuan modernitas diproduksi secara ajeg dalam praktik pemerintahan, pendidikan, ekonomi, media, dan budaya. Inilah yang menjadikan modernitas sebagai pengetahuan paling berpengaruh dalam kehidupan manusia. Lihat, Venn, 2006: 55-57; 2000: 17-19.

6 Dalam kajian ini istilah “pascakolonial” merujuk kepada periode historis selepas kemerdekaan, sedangkan istilah “poskolonial” merujuk kepada perspektif teoretis (poskolonialisme) atau kondisi kultural pascakolonial (poskolonialitas).

7 Istilah Barat dalam kajian ini bukan dimaksudkan sebagai kategori geografis, tetapi konstruksi wacana dan praktik kultural yang berasal dari negara-negara Eropa dan berkembang pesat di Amerika, seperti modernitas, kapitalisme, dan liberalisme. Barat menjadi bentuk peradaban yang mengendalikan perkembangan umat manusia. Wacana Barat masih kuat dalam pikiran masyarakat poskolonial, karena ia bersemayam sebagai figur imajiner yang terus dibayangkan. Lihat Venn, 2000: 44-45; Chakrabarty, 2000: 3-4; Hesse, 2002: 161-162.

(4)

ingin menjalankan sebagian budaya lokal,8 sehingga mengakibatkan dualisme kultural

(Faruk, 2007). Artinya, masyarakat di masa kolonial dan pascakolonial sudah terbiasa hidup dalam keberantaraan dan ambivalensi sebagai strategi kedirian untuk merasakan modernitas tanpa harus larut sepenuhnya dalam kuasa Barat (Bhabha, 1994).

Dalam tataran ideal, praktik budaya modern dalam kehidupan sehari-hari tidak akan menjadi masalah ketika masyarakat masih bisa menegosiasikan budaya lokal mereka di tengah-tengah poskolonialitas.9 Kondisi ideal inilah yang oleh Bhabha

disebut vernacular cosmopolitanism.10 Dalam konteks masyarakat Indonesia, kondisi ideal

ini menjadi problematis karena, di satu sisi, kuatnya hasrat kebebasan dan keterbukaan di tengah-tengah semangat Reformasi serta globalisasi yang menghadirkan tawaran-tawaran baru dalam hal konsumsi, gaya hidup, maupun ideologi bisa memperlemah eksistensi budaya lokal. Di sisi lain, kebebasan menjanjikan “ruang dan kesempatan baru” bagi aktualisasi diri setiap individu untuk menjalani kehidupan dan mengoptimalisasikan kemampuan demi mewujudkan impian tanpa dibebani rasa takut seperti yang berlangsung di masa Orde Baru.

8 Budaya lokal dalam konteks ini saya maksudkan sebagai nilai, keyakinan, aturan, dan praktik ritual, yang berkembang dalam masyarakat. Karena sudah biasa dilakukan secara turun-temurun, maka budaya lokal merupakan tradisi yang membedakan masyarakat di satu wilayah dengan masyarakat di wilayah lain.

9 Poskolonialitas merupakan kondisi kultural masyarakat pascakolonial yang diwarnai ambivalensi. Kesadaran untuk mentransformasi yang modern ke dalam yang tradisional sebenarnya bisa menjadi kekuatan bagi masyarakat untuk mengganggu kemapanan epistemologis Barat (Radhakrisnan, 2003: 1-2). Namun, poskolonialitas bisa menjadi makna dan praktik yang menyulitkan, ketika masyarakat sulit melepaskan diri dari kuasa Barat (Gandhi, 1998: 5-7).

10 Vernacular cosmpolitanism merupakan praktik kultural yang berlangsung dalam masyarakat pascakolonial di mana mereka berusaha menerjemahkan beragam budaya dan melintasi mereka sebagai cara untuk bertahan hidup. Masyarakat pascakolonial berada dalam proses “menjadi modern”, namun tidak menerima sepenuhnya konsep individualisme liberal—ambivalensi. Jadi, poskolonialitas membuka peluang hadirnya artikulasi hibrid, seperti “yang suci-di dalam-yang sekuler”, “fantasi psikis sebagai bagian dari rasionalitas sosial”, serta “yang lampau dalam yang kontemporer”. Lihat, Bhabha &

(5)

Dalam produksi film, perubahan formasi kultural dalam masyarakat merupakan konteks yang menjadi basis bagi para sineas untuk memproduksi beragam narasi dengan makna-makna yang tidak hanya sesuai dengan kepentingan ekonomis, tetapi juga kepentingan ideologis pemodal dan sineas.11 Agar tampak sebagai kewajaran dan

mendekati realitas, mobilisasi makna-makna untuk kepentingan ekonomis dan ideologis tentu membutuhkan struktur dunia naratif yang bisa mengkomodifikasi, mengartikulasikan, dan merepresentasikan beragam bentuk kultural, seperti budaya lokal (“yang Timur, yang tradisional, maupun “yang komunal”), budaya modern (“yang Barat, yang progresif, maupun yang bebas”), maupun budaya hibrid sebagai karakteristik poskolonialitas dalam masyarakat. Representasi ketradisionalan, modernitas, dan hibriditas kultural dalam struktur dunia naratif film itulah yang saya sebut sebagai budaya poskolonial.

“Membuka layar impian”, dengan demikian, merupakan usaha untuk membaca dan menganalisis dinamika dan kompleksitas struktur dunia naratif film-film populer Indonesia era 2000-an dalam mengkomodifikasi dan merepresentasikan budaya poskolonial yang berjalin-kelindan dengan kondisi sosio-historis serta disesuaikan dengan kepentingan ekonomi-politik sineas dan pemodal. Dengan mengetahui makna-makna ideal yang dianggit oleh sineas dalam struktur dunia naratif, akan bisa diketahui wacana dan pengetahuan seperti apa yang sedang dinegosiasikan oleh para

11 Saya mengembangkan pendapat ini dari argumen Louw (2001: 29) yang menggunakan logika Foucauldian tentang subjek diskursif. Ia mengatakan bahwa pekerja media (termasuk di dalamnya sineas) ditentukan oleh konteks mereka. Mereka bekerja dalam mesin produksi-makna, sehingga harus berperilaku dan bekerja dengan cara-cara yang sesuai dengan aturan institusi (dalam hal ini perusahaan film). Setiap perusahaan film sebagai institusi, tentu, mengembangkan serangkaian aturan dan wacana. Setiap sineas harus menghubungkan diri dengan praktik dan wacana yang sesuai dengan situs institusional tersebut.

(6)

sineas dalam memandang persoalan kultural—termasuk di dalamnya masalah nasionalisme—yang berjalin-kelindan dengan kondisi masyarakat di era 2000-an. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sebelumnya, saya mengasumsikan film Indonesia era 2000-an—dalam hal ini film populer12—menghadirkan makna-makna

terkait kebebasan dan perjuangan individual sebagai kekuatan untuk berkompetisi dalam kehidupan yang semakin dinamis dan cepat.

Untuk membaca kompleksitas budaya poskolonial dalam narasi film, perspektif kajian budaya, kajian media/film, dan kajian poskolonial—tanpa meninggalkan pertimbangan ekonomi-politik—akan saya gunakan untuk analisis dalam ranah teks dan konteks. Teks merupakan struktur dunia naratif film yang tersusun dari peristiwa-peristiwa filmis sebagai praktik penandaan dan diskursif yang merepresentasikan dan memproduksi pengetahuan partikular. Teks tersebut tidak berdiri sendiri, tetapi berjalin-kelindan dengan konteks, yakni kondisi sosio-historis berupa pengaruh gerakan Reformasi 1998, globalisasi, penerapan ekonomi-politik yang mengarah ke pasar bebas—baik dalam ranah industri budaya maupun kebijakan negara—serta dinamika industri perfilman pada era 2000-an. Dengan alur berpikir demikian, kepentingan ideologis yang hadir dalam industri perfilman sebagai praktik komodifikasi yang merepresentasikan budaya poskolonial akan bisa dibaca secara kritis, khususnya terkait keterhubungan wacana kebebasan dan perjuangan individual dengan relasi kuasa dalam kehidupan nyata, baik dalam lingkup nasional maupun internasional.

(7)

1.2 Permasalahan

Berdasarkan argumentasi-argumentasi di atas, permasalahan utama yang akan saya bahas adalah representasi budaya poskolonial dalam narasi film-film Indonesia era 2000-an. Untuk membahas permasalahan tersebut secara komprehensif, beberapa sub-masalah berikut akan mendapatkan penekanan:

1. Bagaimana struktur dunia naratif film Indonesia era 2000-an menempatkan representasi “yang Barat” dan “yang Timur” beserta konsep turunannya seperti “yang modern” dan “yang tradisional”, serta “yang metropolitan/global” dan “yang lokal”, dalam dunia imajiner?

2. Makna-makna ideologis dan wacana apa yang dimobilisasi dan dinaturalisasi untuk mendapatkan legitimasi secara naratif dan diskursif sebagai usaha untuk memproduksi budaya poskolonial melalui struktur dunia naratif film?

3. Pengetahuan ideologis apa yang dinegosiasikan dalam representasi budaya poskolonial? Konteks sosio-historis apa yang menjadi latar dari perkembangan industri film dan ikut berkontribusi dalam memproduksi pengetahuan ideologis tersebut?

4. Kebijakan ekonomi-politik perfilman apa yang dibuat rezim negara pada era 2000-an? Bagaimana tanggapan insan perfilman terhadap kebijakan tersebut? Bagaimana tegangan yang terjadi antara rezim negara dan insan perfilman? 5. Apa implikasi dari budaya poskolonial dan pengetahuan ideologis yang ada di

dalamnya terhadap konsep budaya nasional dan nasionalisme Indonesia di era 2000-an?

(8)

6. Bagaimana terbentuknya blok historis berbasis budaya poskolonial dan pengetahuan ideologis yang ada di dalamnya? Kepentingan ideologis siapa yang muncul dalam blok historis serta menggerakkan relasi kuasa hegemonik?

1.3. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Menganalisis representasi budaya poskolonial dalam narasi film Indonesia di era 2000-an sebagai usaha untuk menunjukkan bagaimana makna-makna dan kepentingan ideologis yang diidealisasikan dalam masyarakat beroperasi. 2. Menghasilkan kerangka teoretis dan metodologis baru yang menyandingkan

kajian budaya, kajian media/film, dan kajian poskolonial dengan tetap menimbang kajian ekonomi-politik.

3. Memunculkan konsepsi teoretis terkait budaya poskolonial Indonesia berbasis pada pembacaan struktur dunia naratif film dan konteks sosio-historis dan kultural masyarakat pada era 2000-an yang dipengaruhi oleh gerakan Reformasi dan penerapan sistem ekonomi-politik pasar oleh negara dan industri budaya.

1. 4 Tinjauan Pustaka

Sebagian besar kajian tentang film Indonesia memang lebih banyak mengambil latar waktu Orde Baru, meskipun sebagian kecil ada yang menggunakan periode kolonial, rezim Soekarno, dan era 2000-an. Terdapat beberapa kecenderungan tematik kajian yang telah dilakukan oleh para peneliti, baik dari dalam negeri maupun luar

(9)

negeri. Pertama, berorientasi pada pendekatan sosio-historis yang membicarakan perkembangan film dari waktu ke waktu; baik dalam konteks industri, kebijakan negara dan konflik politik yang terjadi, model narasi dan genre, dan para sineas (Salim Said, 1982). Kedua, fokus kajian kepada film di masa kolonial, utamanya tentang kontribusinya dalam menghadirkan pesona budaya Barat serta kebijakan rezim kolonial untuk mengendalikan industri film (Antariksa, 2005; Saputro, 2005). Ketiga, kajian lebih mengarah kepada pengaruh kuasa negara atau budaya masyarakat terhadap wacana-wacana yang dikembangkan dalam narasi film, baik dalam latar Orde Baru maupun pasca Reformasi (Sen & Hill, 2000; Sen, 2010; Sen, 1990; Setiawan, 2008; Irawanto, 1999; Heider, 1991; Clark, 2008; Heryanto, 2008; Van Heeren, 2012). Meskipun demikian, dalam beberapa kajian tersebut juga muncul pembicaraan persoalan kultural yang bisa saya gunakan sebagai perbandingan agar tidak terjebak dalam model kajian yang sama.

Salim Said dalam bukunya Profil Perfilman Indonesia (1982) membicarakan perkembangan film Indonesia—dari masa kolonial, rezim Soekarno, dan rezim Orde Baru—dengan menekankan pada proses produksi dan jumlah film yang diproduksi serta pelaku industri film. Ia juga mengupas kecenderungan para sineas—dari zaman Hindia Belanda hingga zaman awal kemerdekaan—untuk meniru film-film Hollywood, Bollywood, ataupun film-film asing lainnya sebagai formula untuk mengeruk keuntungan; baik dalam struktur naratif maupun tematik, walaupun sudah disesuaikan dengan konteks lokal. Fokus terhadap aspek industri perfilman menjadikan kajian Said kurang menyentuh persoalan kultural seperti pengaruh budaya asing di dalam narasi dan praktik diskursif film.

(10)

Dengan menggunakan latar kolonial, Antariksa melalui tulisannya, “Bioskop dan Kemajuan Indonesia Awal Abad XX” (2005), membahas kehadiran bioskop dan film pada awal abad ke-20 yang menjadi salah satu tonggak zaman kemajuan Hindia-Belanda. Bioskop dan film menjadi “gairah budaya baru” yang menandakan masuknya rakyat ke dalam jejaring modernitas. Kajian Antariksa, paling tidak, bisa menjadi bukti akademik bahwa persoalan “memandang dan meniru Barat” yang terjadi hari ini merupakan kelanjutan dari proses yang terjadi pada masa kolonial. Apa yang masih kurang diungkapkan oleh Antariksa adalah konteks kehidupan kultural dalam masyarakat kolonial Hindia-Belanda, utamanya terkait bagaimana mereka memaknai, meniru, dan mempraktikkan modernitas yang dibawa penjajah.

Saputro melalui tulisannya “Melihat Ingatan Buatan, Menonton Film Indonesa 1900-1964” (2005) menelaah kehadiran penonton dari zaman kolonial hingga era kepemimpinan Soekarno. Penonton merupakan pihak yang harus tetap dikontrol, diawasi, dan diarahkan, sehingga institusi sensor sejak zaman kolonial hingga rezim pascakemerdekaan di bawah Soekarno tetap dibutuhkan. Di samping itu, Saputro juga menjelaskan tegangan politik berbasis budaya bangsa yang menyertai perkembangan film Indonesia di masa Soekarno. Film-film Hollywood dianggap membahayakan nalar penonton karena mengumbar kebebasan individual. Sayangnya, kajian Saputro kurang mengekspos lebih jauh lagi persoalan diskusif yang berlangsung dalam narasi film dan kondisi kultural masyarakat.

Berbeda dengan ketiga penulis sebelumnya, Karl Heider dalam bukunya Indonesian Cinema: National Culture On Screen (1991), menggunakan analisis antropologis untuk melihat bagaimana budaya direfleksikan dalam film-film

(11)

Indonesia, dengan titik tekan pada film-film di era Orde Baru. Heider menawarkan dua pola dalam melihat persoalan budaya dalam narasi film Indonesia. Pertama, pertentangan antara orientasi individual dan kelompok. Pola ini merupakan satu cara pandang dalam narasi film yang menentang budaya individual dan tetap memimpikan tipe budaya tradisional yang lebih mengedepankan kolektivitas kelompok. Kedua, pertentangan antara keberaturan dan ketidakberaturan (order vs disorder). Pertentangan dua kutub ini merefleksikan pola pikir dan orientasi kultural masyarakat yang tidak menyukai pertentangan dan konflik terbuka, sehingga memilih pada keberaturan hidup yang akan membahagiakan. Meskipun tidak menjelaskan mengapa pertentangan orientasi kultural itu muncul dan ada tidaknya relasi kuasa yang coba membatasi munculnya stereotipisasi pola kultural tersebut, kajian Heider, paling tidak, bisa memberikan satu konsep awal terkait kehadiran “yang tradisional” dan “yang modern” yang bisa saya kembangkan lebih lanjut dalam kajian ini, tentu dengan menimbang aspek kontekstual yang berbeda dari masa Orde Baru.

Budi Irawanto dalam bukunya, Film, Ideologi, dan Militer (1999), menggunakan analisis semiotika untuk membahas representasi militerisme dalam film-film bergenre militer yang berlatar perjuangan tentara pada masa-masa revolusi bersenjata. Menurutnya, film-film bergenre militer merupakan aparatus hegemonik rezim Orde Baru yang menegaskan superioritas faksi militer dalam sistem kepemerintahan dan kebangsaan. Meskipun masih kurang dalam menjelaskan kompleksitas tegangan militer-sipil dalam film, kajian Irawanto bisa dijadikan perbandingan untuk melihat militerisme yang mungkin masih muncul dalam genre non-militer dalam film Indonesia era 2000-an.

(12)

Khrisna Sen dan David T. Hill, pada Bab “National Cinema: Global Image, Contested Meaning” dalam Media, Culture, and Politics in Indonesia (2000), secara singkat menjelaskan peran Lembaga Sensor Film (LSF) sebagai kepanjangan tangan rezim Orde Baru dalam menentukan layak atau tidaknya sebuah film ditayangkan secara luas, khususnya terkait pilihan tema dan struktur dunia naratifnya. Pelaku industri film diharuskan memproduksi film yang merepresentasikan kehidupan moral dan kultural untuk menghindari benih-benih disintegrasi sehingga film menjadi medium untuk mengendalikan pola pikir dan perilaku masyarakat. Akibatnya, film-film yang menghadirkan konflik serius di antara para tokoh akan „disesuaikan‟— dipotong atau diganti—oleh LSF sehingga bisa berubah menjadi narasi yang bersifat normatif dengan mengedepankan aspek solusi bijak. Meskipun tidak membicarakan pengaruh modernitas dalam kehidupan masyarakat, karya akademik Sen dan Hill bisa menjadi contoh bagaimana kajian naratif bisa bersanding dengan kajian ekonomi-politik (dalam hal ini kekuasaan rezim negara melalui kebijakan perfilman).

Meskipun diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia setelah 15 tahun penerbitan pertamanya dalam edisi bahasa Inggris, buku Krishna Sen, Kuasa dalam Sinema: Negara, Masyarakat (2010) merupakan karya akademis yang sangat berharga dalam kajian film Indonesia. Dengan menggunakan perspektif kajian komunikasi massa/media, cultural studies, dan ekonomi-politik, Sen mengungkapkan dinamika, tegangan, dan kepentingan ideologis dalam industri film Indonesia. Warna kental dari kajiannya adalah pembacaan terhadap kuasa rezim dalam mengendalikan struktur dunia naratif dan makna-makna ideologis yang harus disesuaikan dengan kepentingan nasional. Beberapa wacana konsensual tentang keluarga, jender, integrasi, dan

(13)

keharmonisan selalu mewarnai narasi film Indonesia di masa Orba. Kajian mendalamnya tentang stereotipisasi peran domestik perempuan menjadi kontribusi tersendiri dalam kajian jender dengan objek material film/media. Selain itu, Sen juga menganalisis film-film yang menampilkan kritik terhadap kemiskinan dan ketidakadilan di tengah-tengah masyarakat. Secara jeli, Sen melihat kritik-kritik tersebut berjalin-kelindan dengan tumbuhnya kelas menengah Indonesia yang bersikap kritis terhadap rezim, namun masih menggunakan perspektif elitis. Akibatnya, persoalan pemerataan ekonomi belum banyak diungkap. 13 Meskipun kurang

mengungkapkan bagaimana kapitalisme beroperasi di level negara dan industri film, model analisis Sen yang menyandingkan beberapa pendekatan kritis, paling tidak, bisa menjadi rujukan awal bagi cara kerja untuk melihat kepentingan ideologis yang beroperasi dalam narasi film Indonesia era 2000-an.

Ikwan Setiawan (2008) dalam tesis S-2, berjudul Perempuan dalam Layar Bergerak: Representasi Perempuan dan Pertarungan Ideologis dalam Film Indonesia Era 2000-an (Analisis Semiotika Barthesian dan Wacana Foucauldian), menyinggung sedikit persoalan poskolonialitas dalam kaitannya dengan perempuan dan peran serta perjuangan jender yang mereka jalani. Dengan menggunakan beberapa film populer era 2000-an, Setiawan memang tidak memfokuskan kajiannya pada representasi budaya poskolonial dalam film, tetapi melihat persoalan poskolonialitas sebagai bagian kecil dari pertarungan ideologis yang melibatkan para perempuan Indonesia. Banyak pengaruh diskursif dari Barat yang mulai dilakoni oleh tokoh perempuan dalam film, meskipun

13 Paparan tentang perilaku rezim Orde Baru terhadap narasi film dan munculnya makna-makna kritis dengan sudut pandang kelas menengah terhadap persoalan sosial di masyarakat juga diungkap oleh Sen dalam artikelnya, “Persoalan-persoalan Sosial dalam Film Indonesia”, dalam Prisma, 4, 1990.

(14)

ada juga film yang mewacanakan keberantaraan yang memadukan perspektif Barat dan Timur dalam relasi perempuan dan laki-laki. Karena terlalu memfokuskan kajian pada aspek representasi perempuan dan pertarungan ideologis dengan laki-laki, kajian ini masih sangat kurang dalam memposisikan kehadiran pengaruh kebebasan perempuan berperspektif Barat yang mulai menguat dalam kehidupan perempuan Indonesia saat ini. Pembicaraan tentang tegangan kehadiran “yang Barat” di tengah-tengah perempuan dan budayanya serta kemungkinan munculnya hibriditas kultural terkait anggitan jender dalam film masih belum dieksplorasi secara maksimal.

Masih dalam latar era 2000-an, Marshall Clark dalam artikelnya “Indonesian cinema: exploring cultures of masculanity, censorship, and violence” (2008), mengeksplorasi bagaimana makna maskulinitas dihadirkan dalam film Indonesia era 2000-an. Argumen yang ia kembangkan adalah bahwa sedikit longgarnya rezim sensor oleh negara—meskipun tidak demikian dengan sensor oleh kelompok sosial-keagamaan—ikut mempengaruhi produksi maskulinitas dan kekerasan dalam film Indonesia. Hal tersebut berjalin-kelindan dengan budaya endemik kekerasan yang masih berlangsung dalam masyarakat serta menegaskan dominasi kekerasan maskulin dalam ruang privat dan publik, baik yang terkait persoalan ekonomi, politik, dan agama. Kajian Clark, meskipun dilakukan dengan pembacaan yang kurang detil terhadap aspek penandaan, berhasil menghubungkan pembacaan tekstual dengan praktik kekerasan maskulin yang terus meningkat pasca gerakan Reformasi.

Dengan lokus berbeda, Ariel Heryanto dalam artikelnya “Citizenship and Indonesian ethnic Chinese in post-1998 films” (2008) mengkaji perkembangan baru penggambaran etnis minoritas, khususnya Cina, dalam film-film Indonesia selepas

(15)

gerakan Reformasi. Dengan menelusuri secara kontekstual persoalan ke-Cina-an pada masa Orde Baru dan kelanjutannya di masa Reformasi, Ariel menggunakan beberapa film yang menggambarkan tokoh Cina-Indonesia—Ca-bau-kan (sutradara Nia Dinata, 2002) dan Gie (sutradara Riri Riza, 2005)—untuk melihat bagaimana subjektivitas kewarganegaraan mereka dibentuk dalam narasi film. Lebih jauh Ariel menjelaskan bahwa kedua film tersebut berusaha membuat gambaran yang menyimpang dari dan menentang terhadap konsepsi stereotip minoritas Cina, tetapi dalam beberapa aspek masih terjebak ke dalam stereotipisasi yang selama ini berkembang. Selain itu, Gie lebih menekankan bagaimana etnis Cina mengakomodasi proyek kebangsaan di dalam subjektivitas mereka yang secara umum masih dipermasalahkan. Paling tidak, film-film Indonesia era 200-an memberikan gambaran yang beragam terkait warga Cina dalam formasi kebangsaan Indonesia. Hal tersebut berjalin-kelindan dengan perjuangan masyarakat Cina untuk mendapatkan legitimasi dan pengakuan dalam kebijakan negara, ketimbang mendekonstruksi keseluruhan ide etnisitas, ke-Cina-an, ke-pribumi-an, dan konsepsi resmi kebangsaan. Tulisan Ariel, meskipun tanpa menyentuh persoalan ekonomi-politik film secara spesifik, mampu memberikan gambaran, betapa persoalan etnisitas tetap menjadi permasalahan aktual yang berlangsung dalam masyarakat dan dalam produksi film di era ketika rezim otoriter sudah ambruk.

Buku Katinka Van Heeren, Contemporary Indonesian Film: Spirits of Reform and ghost from the past (2012), menurut saya, merupakan karya akademis termutakhir yang bisa menandingi karya akademis Khrisna Sen. Dengan menggunakan analisis wacana kritis yang dikembangkan Fairclough, Van Heeren memfokuskan kajiannya pada praktik mediasi, praktik diskursif, dan praktik naratif film yang berlangsung dalam

(16)

film Indonesia di era Orde Baru dan era Reformasi. Dalam analisis terhadap praktik mediasi, Van Heeren menganalisis aspek produksi, distribusi, penayangan, dan konsumsi, termasuk di dalamnya, aspek sensor yang melibatkan negara maupun yang melibatkan kelompok sosial-keagamaan. Sementara, untuk praktik diskursif, ia memfokuskan kepada struktur naratif, strategi retorik, serta moda distribusi dan penayangan film di masa Orde Baru dan Reformasi. Adapun untuk urusan praktik naratif, ia memfokuskan kepada sirkulasi genre-genre populer dan komposisi cerita dalam genre film. Sayangnya, buku ini lebih banyak memfokuskan kepada dua genre yang berkembang dalam industri perfilman Indonesia pada era Reformasi, yakni film hantu dan islami, sehingga untuk film-film bergenre lain seperti anak-anak dan kaum remaja kurang mendapatkan penekanan. Selain itu, beban konteks sosio-historis menjadikan Van Heeren tidak memberikan penekanan kepada struktur naratif dan praktik diskursif, tetapi lebih banyak mengeksplorasi praktik di luar narasi—persoalan sensor dan tanggapan sineas serta maupun pertentangan sineas dan kelompok sosial-keagamaan—sehingga ia kehilangan fokus kepada produksi subjek, wacana, serta relasi kuasa yang berlangsung di dalamnya. Namun, paling tidak, karya akademis ini bisa menjadi model, meskipun harus banyak dikritisi dan dimodifikasi, ketika seorang pengkaji hendak menggunakan analisis wacana kritis dengan model yang dikembangkan Fairclough, khususnya untuk melihat bagaimana wacana terhubung dengan praktik kultural.

Paling tidak, kajian-kajian di atas bisa memberikan gambaran bahwa sampai saat ini masih belum ada usaha akademis untuk membicarakan persoalan budaya poskolonial dalam film Indonesia era 2000-an. Realitas itulah yang, sekali lagi,

(17)

mendorong saya mengkaji representasi budaya poskolonial dalam narasi film dengan menekankan pembacaan kontekstual/ulang-alik. Model pembacaan tekstual-kontekstual akan membantu dalam membuka kompleksitas persoalan kultural dan ideologis dalam struktur dunia naratif film yang berjalin-kelindan dengan persoalan-persoalan serupa dalam kehidupan masyarakat saat ini.

1.5 Kerangka Teoretis

Untuk bisa menjawab permasalahan dan memenuhi tujuan dalam kajian ini serta menghasilkan analisis dan temuan yang berbeda dari kajian-kajian sebelumnya, saya akan menggunakan kerangka konseptual yang berasal dari beberapa pendekatan— kajian budaya dan media/film, dan kajian poskolonial dengan tetap menimbang ekonomi-politik—sebagai acuan dalam kerja-kerja analitik. Paling tidak, terdapat tiga argumen mengapa saya menggunakan pendekatan-pendekatan tersebut. Pertama, budaya poskolonial yang dimaksudkan dalam kajian ini adalah anggitan makna dan wacana dalam struktur dunia naratif film Indonesia era 2000-an yang menormalisasi kepentingan ideologis partikular dan relasi kuasa melalui praktik representasi—produksi makna melalui bahasa (Hall, 1997a). Kedua, representasi budaya poskolonial merupakan kompleksitas yang dibangun melalui praktik representasi—penandaan dan diskursif—yang menghadirkan “yang tradisional” dan “yang modern” yang memungkinkan berlangsungnya proses saling melintasi dalam peristiwa naratif sehingga menghadirkan ambivalensi dan menghasilkan hibriditas kultural sebagai karakteristik poskolonialitas. Ketiga, produksi budaya poskolonial dalam struktur dunia naratif tidak bisa dilepaskan dari kondisi sosio-historis dalam masyarakat, yakni

(18)

pengaruh diskursif gerakan Reformasi, penerapan sistem ekonomi-politik negara dan industri budaya, dan arus globalisasi yang semakin mengarah ke mekanisme pasar bebas. Berikut saya paparkan beberapa teori yang akan memperkuat penerapan keempat pendekatan tersebut dalam analisis.

1.5.1 Film dan Politik Representasi: Eks-nominasi Ideologi dan Normalisasi Kuasa

Film merupakan seni audio-visual yang menyampaikan cerita tentang kompleksitas dunia yang direka-ulang kepada para penonton melalui dialog dan peristiwa yang melibatkan para pemain di dalamnya (Cavell, 2006; Spharshott, 2006; Arnheim, 1957). Implikasinya, film adalah struktur dunia naratif yang di dalamnya berlangsung proses penandaan audio-visual dengan teknik-teknik filmis—semisal pengadeganan pemain, sudut pandang kamera, teknik editing, tata cahaya, tata musik, dan lain-lain—yang menyampaikan dan memapankan makna-makna partikular yang berjalin-kelindan dengan persoalan dalam masyarakat (Turner, 1988: 56-58; Ponech, 2009; Andrew, 1984: 64-65). Persoalan-persoalan dalam masyarakat tentu tidak ditampilkan apa adanya, tetapi melalui proses representasi; praktik penandaan yang memproduksi makna-makna atau realitas baru yang lebih menarik dan mudah diterima oleh khalayak yang lebih luas (Hall, 1997a: 15-19, 1982: 64). Pemahaman tersebut menjadikan representasi filmis, mengikuti pemikiran Hall (1982: 65-66), sebagai proses ideologis yang memobilisasi dan menegosiasikan makna-makna terkait permasalahan partikular melalui praktik penandaan yang menjadikan mereka tampak wajar; seolah-olah tanpa kepentingan.

Teori semiotika mitos yang dikembangkan Roland Barthes bisa menjadi piranti untuk membaca penandaan filmis yang menghadirkan makna-makna kultural. Mitos

(19)

merupakan moda penandaan atau sistem komunikasi yang menggunakan penandaan level denotatif sebagai titik-pijak untuk membaca pesan atau konsep yang dihadirkan secara natural; seolah-olah sudah begitu adanya, tanpa kepentingan (Barthes, 1983: 109-116). Produk-produk budaya populer seperti film merupakan medium yang berkontribusi secara signifikan bagi perkembangan masyarakat kontemporer karena sifatnya yang massif dan bisa menampilkan penandaan mitis yang mendepolitisasi makna atau konsep yang bersifat ideologis. Proses itulah yang Barthes disebut sebagai eks-nominasi, proses pengaburan kepentingan ideologis dari kelompok atau kelas partikular dalam masyarakat melalui bermacam praktik representasi dalam budaya populer (Barthes, 1983: 138-139; Fiske, 2002: 43).

Dalam perspektif mitos-Barthesian, film bisa dikonseptualisasikan sebagai “struktur dunia naratif audio-visual sebagai praktik penandaan yang menaturalisasi dan mendepolitisasi—dalam praktik eks-nomisasi—makna-makna ideologis agar tampak menjadi sebuah kewajaran, seolah-olah tanpa kepentingan politis”. Dalam konsep tersebut, ideologi bukan lagi menjadi konsep deterministik ataupun kesadaran palsu, tetapi “menyebar sebagai praktik representasi” (Althusser, 1971: 162-177; Hall, 1997b; van Dijk, 1995: 284; Heck, 2005: 110) yang terstruktur dalam narasi film berupa peristiwa-peristiwa naratif adegan dalam babak dengan partikularitas latar, dialog, konflik, sudut pengambilan gambar, dan lain-lain.

Mobilisasi makna-makna ideologis yang disebarkan melalui struktur dunia naratif film, tidak bisa dilepaskan begitu saja dari persebaran wacana terkait permasalahan partikular yang berkembang dalam masyarakat pada periode historis partikular. Dalam hal itulah, pemikiran wacana Foucauldian bisa menjadi titik-hubung antara teks/struktur dunia naratif dan konteks sosio-historis, termasuk poskolonialitas

(20)

kultural dalam masyarakat dan penerapan sistem ekonomi-politik. Sementara, semiotika mitos-Barthesian memosisikan film sebagai struktur dunia naratif yang menyampaikan dan memobilisasi makna-makna ideologis, wacana Foucauldian memosisikan makna-makna tersebut sebagai pembentuk subjek—wacana, individu, dan pengetahuan—dalam praktik diskursif yang berjalin-kelindan dengan formasi diskursif dalam masyarakat.

Dalam pandangan Foucault (2002: 177), paling tidak, terdapat dua pengertian terkait wacana. Pertama, wacana merupakan sekelompok pernyataan—bisa berupa teks maupun gambar dengan beragam variannya—yang membicarakan sebuah objek bermakna, semisal wacana klinis, wacana ekonomi, wacana tentang sejarah alamiah, dan wacana psikiatris. Kedua, wacana sebagai sekelompok pernyataan terbatas yang berkaitan dengan formasi diskursif yang sama. Pengertian tersebut mengimplikasikan adanya keberagaman—persamaan dan perbedaan—dalam hal wacana tetapi masih terhubung dalam kesamaan objek/topik (Foucault, 2002: 52-58; Hall, 1997a: 44).

Proses pembentukan wacana mensyaratkan beberapa elemen yang saling terkait satu sama lain. Pertama, person yang berhak dan mampu membicarakan persoalan-persoalan partikular—dalam artian menamai, mengklasifikasi, menganalisis, dan memecahkan permasalahan yang muncul—dan institusi sebagai medan penyemai wacana (Foucault, 2002: 72-83). Kedua, praktik diskursif, yakni seperangkat prosedur atau sistem dalam proses produksi wacana yang menentukan batasan ataupun aturan yang menjadikan wacana-wacana sebagai kerangka pikir bagi subjek individu maupun masyarakat sehingga siapa yang tidak mengikuti mereka akan diposisikan sebagai liyan (Foucault, 1981; Young, 1981: 48-49). Praktik diskursif yang digerakkan person-person

(21)

tertentu—akademisi, sastrawan, seniman, sineas, dan lain-lain—akan terkait dengan praktik diskursif lain dalam sebuah formasi yang menghasilkan pengetahuan serta membentuk subjek-subjek diskursif di dalam wacana (Foucault, 1980: 194-196).

Kapasitas wacana dan pengetahuan untuk membentuk subjek diskursif melalui beragam batasan dan argumen-argumen yang bisa terterima oleh nalar itulah yang melahirkan dan mendukung kuasa. Namun, hal itu tidak berarti bahwa kuasa tidak ikut menentukan pengetahuan. Kuasa juga mempunyai peran yang sangat kuat untuk menentukan dalam kondisi apa sebuah pengetahuan bisa diaplikasikan atau tidak; kuasa dan pengetahuan saling berhubungan serta tidak dapat dipisahkan— kuasa/pengetahuan (Hall, 1997a: 49; McHoul & Grace, 1993: 59). Bisa dikatakan, relasi kuasa—dalam kaitannya dengan pengetahuan—berlangsung dalam pola menyebar karena memiliki beragam mekanisme yang mampu menjadikannya sebagai sesuatu yang normal dalam periode dan masyarakat partikular (Foucault, 1998: 94-95).

Dengan mekanisme yang demikian, kuasa tidak lagi dipahami sebagai paksaan karena subjek masyarakat mendapatkan wacana dan pengetahuan yang bersifat menjelaskan terkait permasalahan tertentu dengan pertimbangan-pertimbangan ilmiah, sehingga mereka akan memposisikannya sebagai kebenaran dan kebutuhan. Dengan kata lain, kuasa dibangun melalui mekanisme “pendisiplinan” dengan rujuan-rujukan wacana dan pengetahuan yang sesuai dengan kondisi dan permasalahan yang ada dalam masyarakat pada periode historis partikular (Wickman, 2008;Widder 2004: 412). Individu-individu dalam masyarakat, dengan demikian, diciptakan sebagai subjek-subjek manusia yang berada dalam relasi kuasa melalui wacana dan

(22)

pengetahuan yang menyebar di semua titik—keluarga maupun institusi-institusi lainnya—dengan mengedepankan rasionalitas (Focault, 1989).

Mengikuti alur pemikiran Foucauldian, film bisa didefinisikan sebagai “struktur dunia naratif yang diproduksi para sineas dalam institusi industri perfilman di mana di dalamnya berlangsung praktik diskursif yang memproduksi wacana dan pengetahuan tentang permasalahan-permasalahan partikular yang berjalin-kelindan dengan permasalahan-permasalahan dalam masyarakat pada latar historis partikular, sekaligus sebagai bentuk mekanisme kuasa”. Dengan kerangka film sebagai wacana dan kuasa/pengetahuan yang menekankan praktik diskursif dalam pembentukan subjek dan mekanisme kuasa dalam rentang historis partikular, perlu pula dibaca permasalahan-permasalahan yang berlangsung dalam masyarakat, termasuk di dalamnya persoalan sosial, ekonomi, politik, dan kultural yang menjadi sumber material bagi para sineas dalam memproduksi narasi film. Maka, sekali lagi, wacana merupakan jembatan yang menghubungkan struktur dunia naratif yang diproduksi para sineas dengan konteks sosio-historis dari produksi film, yakni permasalahan-permasalahan riil dalam masyarakat dan kepentingan ekonomi-politik yang melibatkan rezim negara dan pemodal. Artinya, sebagai person-person yang berhak berbicara dan bersuara melalui film, para sineas akan membuat struktur dunia naratif yang memobilisasi makna-makna sebagai pembentuk subjek yang berhubungan dengan permasalahan-permasalahan riil dalam masyarakat tanpa melupakan pertimbangan ideologis dan komersil.

(23)

1.5.2 Poskolonialitas Kultural dalam Pusaran Neoliberalisme

Salah satu permasalahan aktual dalam ranah kebudayaan yang berimplikasi pada permasalahan-permasalahan lain seperti ekonomi, sosial, dan politik adalah poskolonialitas. Mengapa demikian? Karena dalam poskolonialitas masyarakat bekas jajahan diwarnai secara dominan oleh dualitas tragis (Mbembe, 2001: 12) atau kegandaan psiko-kultural (Quayson, 2000: 16-17). Di satu sisi, masyarakat pascakolonial berusaha mengapropriasi budaya modern dari bekas penjajah dengan bermacam turunannya karena menjanjikan aspek-aspek kemajuan—dari persoalan pendidikan, politik negara, hingga ekonomi (Baxi, 2005: 540-544; Venn, 2006: 69). Lebih jauh lagi, modernitas dilembagakan dalam sistem pemerintahan dan direpresentasikan dalam narasi media sebagai sebuah rezim kebenaran, sehingga sebagai subjek ia menjadi visi dan idealisasi bagi subjek masyarakat pascakolonial untuk terus mendamba dan mengharapkan diri mereka menjadi modern (Venn, 2000: 49; 2006: 55). Di sisi lain, mereka masih belum bisa lepas sepenuhnya dari ikatan komunal dan budaya lokal sebagai kekuatan kolektif yang diwariskan secara turun-temurun.

Dualitas psiko-kultural merupakan subjektivitas baru yang menandai dan menjadi karakteristik masyarakat pascakolonial di mana tidak mungkin lagi ditemukan jalan untuk kembali ke sebuah kemurnian atau kemasalampauan genius, meskipun tidak sepenuhnya pula budaya residual ditinggalkan. Kegandaan psiko-kultural memunculkan kompleksitas permasalahan dalam praktik kebangsaan dan budaya di masa pascakolonial apabila tidak bisa disiasati secara strategis. Dalam membincang tentang budaya nasional, misalnya, Fanon (1963: 232-233) mengingatkan bahwa konsep budaya nasional memang bisa menggunakan masa lampau, tetapi menuntut

(24)

pemikiran emansipatoris modern untuk membuka masa depan yang lebih baik bagi masyarakat pascakolonial, bukannya menggunakan secara mentah-mentah budaya tradisional.

Sementara, terkait konsep nasionalisme, Chateerje (1993: 41-51) menjelaskan bahwa nasionalisme tidak bisa semata-mata digerakkan oleh kepentingan anti-kolonial, tetapi harus dibangun secara jeli, liat, dan kritis di tengah-tengah subjektivitas pascakololonial yang berlangsung—perang posisi. Kekuatan nasionalis harus bisa membaca secara objektif struktur kelas dalam negara—baik borjuis, militer, petani, buruh, maupun intelektual—beserta kepentingan mereka untuk kemudian memformulasikan agenda politik dan wacana ideologis yang bisa menjadi konsensus baru secara nasional dan membentuk aliansi strategis dalam negara. Sebagai proyek ideal, nasionalisme pascakolonial memang akan berhadapan dengan perkembangan kapitalisme yang menghadirkan banyak kontradiksi. Dalam kondisi itu, pemikir nasionalis harus bersiasat dalam “momen manuver” yang menuntut kemampuan konsolidasi historis dari “yang nasional” dengan cara mengkritisi “yang modern”; sebuah persiapan untuk memperluas produksi kapitalis dengan mengambil jalan ideologi anti-kapitalisme; “pengembangan sebuah tesis dengan cara menginkorporasi bagian yang menjadi antitesis”.

Dalam kajian poskolonial/poskolonialisme, kompleksitas kultural dalam masyarakat pascakolonial—baik dalam ranah diskursif maupun praksis—yang dihasilkan dari perjumpaan dengan “yang Barat” atau “yang modern” mendapatkan tempat utama. Kuatnya kehendak untuk menjadi modern bukan berarti meniadakan kemampuan subversif mereka terhadap modernitas yang diasumsikan bisa

(25)

memusnahkan secara menyeluruh aspek-aspek tradisional dalam masyarakat pascakolonial. Beberapa konsep kunci yang memungkinkan kemampuan bersiasat masyarakat pascakolonial, sebagaimana dijelaskan Bhabha, adalah ambivalensi, mimikri, dan hibriditas.

Mimikri merupakan proses kultural yang memberi peluang berlangsungnya agensi subjek pascakolonial untuk memasuki kuasa dominan sekaligus bermain-main di dalamnya dengan menunjukkan subjektivitas kultural yang menyerupai budaya dominan tetapi tidak sepenuhnya sama (Bhabha, 1984: 126). Sebagai artikulasi ganda, mimikri memunculkan ambivalensi terus-menerus sebagai bentuk kesadaran agensi yang memunculkan apropriasi dan inapropriasi subjektivitas dalam medan kuasa dominan. Dengan cara tersebut, liyan melakukan perbaikan diri dengan cara belajar dalam institusi pendidikan maupun membiasakan diri dengan gaya hidup modern, tetapi mereka tetap bisa menegosiasikan kedirian kultural yang berbeda. Kondisi itulah yang menjadikan mimikri sebagai ancaman sekaligus ejekan terhadap budaya dan kuasa dominan karena ia hadir dalam visi ganda dan ambivalensi yang mengganggu kebenaran epistemologis kekuasaan berbasis binerisme (Bhabha, 1984: 129-130).

Ketika mimikri berlangsung dalam produk-produk representasional yang mengganggu konstruksi keutuhan wacana dan pengetahuan sebagai dalam sebuah relasi kekuasaan berbasis oposisi biner, efek lanjutnya adalah ketidakadaan atau ketidakhadiran budaya yang bersifat otentik atau murni. Bhabha menyebut produk budaya yang demikian sebagai “hibriditas”. Namun, apa yang harus dipahami adalah bahwa hibriditas bukan sekedar wacana tentang percampuran antarbudaya—seperti dalam pengertian asimilasi, sinkretisme, ataupun kreolisasi. Lebih dari itu, konsep hibriditas merupakan proyek untuk mensubversi secara diskursif budaya dan kuasa

(26)

dominan (Bhabha 1994: 112-115). Dengan hibriditas kultural, masyarakat pascakolonial bisa keluar dari asumsi-asumsi stereotip tentang subjektivitas mereka yang bersifat diskriminatoris yang di masa lampau menjadi siasat kolonial untuk bisa menguasai mereka. Selain itu hibriditas juga menjadi situs untuk mempermainkan tanda-tanda kultural dari kuasa dominan melalui peniruan dan percampuran yang tidak sepenuhnya. Dengan cara seperti itu, mereka bisa melakukan pemaknaan-pemaknaan ulang terhadap budaya ataupun kuasa—dalam orientasi perlawanan— karena tidak mengakui budaya dan kuasa tersebut secara sepenuhnya.

Dengan pemahaman-pemahaman tersebut, subjektivitas hibrid bisa dibaca sebagai negosiasi gagasan dan praktik kultural yang mengartikulasikan lokalitas dan modernitas dalam ruang ketiga demi kepentingan politiko-kultural masyarakat pascakolonial. Mereka bisa menarasikan sebagian budaya tradisional, meskipun harus masuk dan bermain dalam formasi diskursif budaya dominan (Huddart, 2007). Hibriditas mempunyai fungsi politiko-kultural sebagai usaha untuk mengkontestasi budaya dominan melalui “operasi ganda yang ganjil”, yakni percampuran elemen-elemen kultural dari budaya dominan (Barat/modern) dan budaya lokal yang semula saling berkonflik menjadi struktur-struktur baru dalam produksi kultural yang diulangi secara terus-menerus; sebuah repetisi struktural (Young, 1995: 23-25). Konsep peniruan, pengejekan, kegandaan, keberantaraan, hibriditas kultural, dan potensi-potensi politisnya banyak mempengaruhi formasi diskursif kajian poskolonial (Bhabha, 1995; Loomba, 2000; López, 2001; Leela Gandhi, 1998; Young, 2003; Huggan, 2008: 6; Ahluwalia, 2002: 196-197; Sankaran Krishna, 2009).

(27)

Konsep-konsep teoretis di atas tentu harus diuji secara kritis karena wacana poskolonialitas yang diproduksi dalam praktik diskursif sastra maupun media populer tidak bisa dilepaskan dari kondisi kontekstual. Apakah benar hibriditas masih bisa menjadi kekuatan strategis ketika masyarakat semakin terbiasa dengan arus budaya modern dari negara-negara maju yang menawarkan bermacam nilai-nilai ideal bagi kehidupan dalam globalisasi dan neoliberalisasi? Apakah benar wacana hibriditas bisa menjadi bentuk resistensi terhadap kuasa dominan ketika industri budaya yang memiliki kepentingan komersil dan ideologis mengartikulasikan mereka dalam produk-produk naratif? Dua pertanyaan tersebut menuntut pemahaman lebih terhadap kondisi kontekstual berupa glonbalisasi dan penerapan ekonomi-politik dalam ranah kebijakan negara maupun industri budaya, khususnya industri film.

Globalisasi dalam sektor ekonomi-politik menunjukkan bahwa negara-negara maju dengan ditopang korporasi transnasional serta institusi finansial dan politik internasional melakukan praktik imperialisme sehingga sebagian besar negara pascakolonial mengalami eksploitasi sekaligus ketergantungan terhadap mereka, utamanya dalam hal kebijakan nasional—mengedepankan fungsi pasar dan mengurangi wewenang pemerintah (Steger, 2006: 38-40; Edwards, 2007: 262-263; Stallings, 2007: 214; Kien, 2004: 473-477; Gills, 2002: 164-171; Pieterse, 2004). Dalam konteks kultural globalisasi neoliberal memunculkan tesis tentang imperialisme kultural di mana industri budaya menyebabkan “homogenisasi kultural”—utamanya komodifikasi dalam bentuk, model, dan representasi—di negara-negara Dunia Ketiga/pascakolonial (Banerjee, 2002: 519-520; Sparks, 2007: 145-147; Wise, 2008: 34-35).

(28)

Dalam kondisi tersebut, neoliberalisme yang secara genealogis memodifikasi liberalisme yang berprinsip pada kebebasan pasar menjadi sistem ekonomi-politik utama yang digerakkan oleh negara maju dan disebarluaskan kepada negara-negara pascakolonial serta membawa pengaruh-pengaruh diskursif dan praksis dalam kehidupan masyarakat. Menurut Rachel S. Turner (2008: 4-5), terdapat empat prinsip ekonomi-politik neoliberalisme dalam kehidupan bernegara. Pertama, kemutlakan aturan pasar bebas yang diasumsikan menjamin efisiensi dan efektifitas sumber ekonomi serta menjamin kebebasan individual. Kedua, berkomitmen kepada penguatan Rechtsstaat yang menekankan aturan negara hukum sebagai instrumen regulasi yang mengatur relasi-relasi konfliktual di antara individu-individu otonom dalam masyarakat pasar di mana fungsi negara hanylah mengamankan kohesi dan stabilitas sosial melalui pelestarian kemerdekaan individual. Ketiga, minimalisasi peran dan regulasi negara. Keempat, kepemilikan pribadi yang memberi penghormatan mutlak terhadap hak intelektual ataupun kekayaan individual yang tidak bisa digunakan secara semena-mena untuk kepentingan kolektif.

Dari keempat prinsip tersebut, individualisme merupakan pengetahuan kunci yang menjadi landasan diskursif dan praksis dari neoliberalisme. Individualisme yang berkembang dalam neoliberalisme merupakan modifikasi dan transformasi dari konsep otonomi-individual yang dikembangkan dalam liberalisme. Menurut Stopford (2009: 1 & 30-31), konsep diri-otonom akan menjadikan individu-individu berkemampuan menilai, bersikap kritis, dan mempermasalahkan nilai-nilai komunitas yang mengikat mereka, sehingga mereka akan memiliki pilihan-pilihan otonom dalam menjalani hidup—apakah harus menggunakan sebagian budaya komunitas yang sesuai

(29)

dengan situasi terkini atau menggunakan budaya baru yang lebih bisa mensejahterakan. Menguatnya kebebasan dan diri-otonom dalam masyarakat akan memberikan individu peluang baru untuk memaknai subjektivitas mereka di tengah-tengah kuasa modernitas dengan menggunakan pilihan-pilihan yang bisa diterima nalar dan bisa mendukung capaian ideal.

Selain itu, agar individu bisa mendapatkan keuntungan maksimal, ia harus mengembangkan diri-otonomnya sebagai diri-penuh-skill. Stopford (2009: 115-116) menjelaskan bahwa kondisi penuh-skill bisa dicapai melalui tindakan-tindakan rasional, yakni pendidikan, sehingga seorang individu bisa menguasai kompetensi tertentu dan menjadikannya pribadi unggul.14 Dengan penguasaan tersebut, ia akan

menjadi fokus bagi tindakan-tindakan rasional yang diarahkan dan diproyeksikan bagi pencerahan kehidupan individualnya, bukan komunitasnya. Kalaupun komunitas merasakan akibat positif dari tindakan rasionalnya, itu merupakan akibat dari bertemunya tindakan-tindakan antarindividu dalam masyarakat yang diberikan kebebasan untuk melakukan pilihan-pilihan yang masuk akal dan berdaya-guna.

Adapun modifikasi yang dilakukan adalah individualisme yang lebih dilekatkan kepada mekanisme pasar sebagai rezim kebenaran. Dalam kapitalisme neoliberal, individu dituntut memiliki “speasialisasi” skill yang memudahkannya untuk melakukan “kompetisi” dengan individu-individu lain dalam sebuah mekanisme pasar yang menjamin “kebebasan” dan “efisiensi” untuk memperoleh keuntungan finansial yang menjadi kepemililikan pribadi. Untuk bisa mencapai kondisi tersebut, setiap individu dituntut untuk tidak terlalu terikat dengan aturan-aturan negara karena akan

14 Terima kasih kepada Prof. Dr. Faruk, S.U., yang memberikan masukan tentang konsep pribadi unggul yang menjadi salah satu karakteristik dari individualisme dalam pemikiran liberalisme.

(30)

merusak kemampuan kompetisi dan menghalangi mereka masuk ke dalam budaya korporasi, khususnya yang dihadirkan oleh korporasi transnasional yang memang melampaui batas-batas geopolitis negara (Peter Dicken, 2007). Meskipun demikian, kehadiran negara tetap penting bagi keberlangsungan individualisme untuk memperkuat kebijakan yang mempermudah dan menjamin kebebasan semua individu untuk berkompetisi serta menjamin keberlangungan pasar bebas, baik dalam lingkup domestik/nasional maupun transnasional (Munck, 2005: 63; Clarke, 2005: 50-51; Lapavitsas, 2005; Duménil & Lévy, 2005: 9; Palley, 2005: 20-24; Harvey, 2007: 64-87; England & Ward, 2007: 12; Howard & King, 2008: 219-220).

Formasi diskursif individualisme yang mengutamakan kebebasan, pendidikan, penghormatan terhadap hak-hak individual, skill-tinggi, dan kompetensi yang sesuai dengan mekanisme pasar dan budaya korporasi diyakini sebagai rezim kebenaran yang diwacanakan dan dipraktikkan secara ajeg di dalam banyak institusi pendidikan, perusahaan, maupun media; tidak hanya pada level transnasional tetapi juga nasional. Selain itu, sebagian besar negara pascakolonial juga sudah menerapkan neoliberalisme sebagai sistem ekonomi-politik mereka.15 Akibatnya, neoliberalisme menjadi ideologi

dan sistem ekonomi-politik yang diidealisasi bisa menjamin tercapainya kesejahteraan karena memungkinkan setiap individu bebas berkompeteisi dan berinvestasi berbasis aturan pasar. Dalam realitas demikian, poskolonialitas kultural yang menjadi penanda kekuatan masyarakat pascakolonial berada dalam “pusaran neoliberalisme” di mana

15 Ada beberapa faktor yang mendukung keberhasilan neoliberalisme sebagai ekonomi-politik global, yakni: [a] kesiapan aparatus intelektual, institusi, dan strategi gerakan untuk penyebarannya secara internasional (Plehwe & Walpen, 2006: 27-45; Hull, 2006: 142-154; Harvey, 2007: 22; Carroll & Carson, 2006: 52-68; Weller & Singleton, 2006: 71-85); [b] eksploitasi ekonomi dan ketergantungan teknologi dan kultural menciptakan elit-elit nasional yang berada dalam kuasa institusi kapitalisme internasional serta memperkuat mekanisme pasar bebas, sehingga menyebabkan amnesia historis dan politis (Bhabha & Comaroff, 2002: 16; Kapoor, 2008: 4-6); dan, [c] desakan institusi keuangan internasional kepada negara-negara pascakolonial untuk mengadopsi neoliberalisme karena diasumsikan

(31)

endapan terhadap ketradisionalan dan impian terhadap modernitas bisa diinkorporasi, dikomodifikasi, dan dipasarkan secara luas dalam produk-produk industri budaya, termasuk film. Inkorporasi dan komodifikasi terhadap budaya tradisional merupakan salah satu karakteristik neoliberalisme yang membedakannya dengan liberalisme yang menolak budaya tradisional.

1.5.3 Ekonomi-Politik Film

Formasi diskursif poskolonialitas masyarakat yang ditandai oleh hibriditas kultural dan menguatnya nilai-nilai individualisme merupakan sumber wacana yang akan dibaca dan dimaknai-kembali oleh para kreator film dalam praktik komodifikasi serta direpresentasikan ke dalam struktur dunia naratif. Artinya, bisa jadi poskolonialitas mendapatkan pemaknaan-pemaknaan baru oleh para sineas yang disesuaikan dengan kepentingan ekonomis dan ideologis industri perfilman sebagai bagian dari kapitalisme pasar, meskipun mereka juga harus bersiasat dengan kebijakan perfilman yang dibuat oleh rezim negara. Dengan kata lain, wacana dan pengetahuan yang dihadirkan dalam struktur dunia naratif film tidak hanya menormalisasi kepentingan ekonomi-politik pemodal, tetapi juga sebagai bentuk „siasat diskursif‟ dalam menghadapi idealisasi negara terhadap produksi pengetahuan melalui film sebagaimana dituangkan dalam kebijakan dan peraturan perundang-undangan. Dalam konteks itulah, pertimbangan ekonomi-politik film tetap dibutuhkan dalam kajian ini. Kajian ekonomi-politik film ataupun media mendasarkan konsepsi-konsepsi teoretisnya pada tesis base/superstructure Marxisme. Tesis utama yang diusung adalah bahwa basis ekonomi dan produksi akan menentukan superstructure—ideologi, agama, relasi sosial, politik maupun budaya. Kelas pemodal dengan kemampuan modal dan

(32)

alat produksinya menggerakkan mekanisme dan moda produksi yang melibatkan kreator dan buruh dalam organisasi dan praktik kerja untuk menciptakan benda-benda industrial yang mempunyai nilai tukar dan nila guna serta bisa memenuhi kebutuhan konsumen melalui proses sirkulasi, distribusi, dan konsumsi yang menyebabkan perubahan orientasi ideologi masyarakat sehingga mengakibatkan perubahan pada struktur dan praktik sosio-kultural (Marx, 1991, 1992; Lebowitz, 2002; Wood, 2003).

Mengikuti tesis tersebut, kajian ekonomi-politik film memosisikan produk film tidak semata-mata sebagai representasi yang mewacanakan pengetahuan partikular, tetapi ia terhubung dengan sistem organisasi produksi dan distribusi kapitalis, perubahan sosial, termasuk peran negara di dalamnya. Wasko (2004: 227), mengelaborasi pemikiran Mosco, memosisikan film sebagai bagian integral dari sistem industri dan masyarakat kapitalis, baik dalam produksi maupun distribusinya. Dalam proses produksi terdapat formula-formula komersil maupun diskursif yang menjadi acuan sineas dan pemodal agar sebuah film bisa diterima oleh pasar. Dalam proses distribusi perlu dilihat mekanisme-mekanisme apa yang digunakan untuk menjadikan film bisa meraup keuntungan dari segi komersil dan bagaimana peran dan keterlibatan negara. Yang tidak kalah pentingnya untuk dikaji adalah implikasi politiko-ideologis dari proses produksi dan kebijakan negara karena ia tidak pernah terlepas dari konteks ekonomi, sosial, kultural, dan politik yang berkontribusi bagi keberlangsungan dan reprodukis struktur dan relasi kuasa dalam sebuah negara.

Berdasarkan pemahaman tersebut, pembacaan terhadap cara pandang negara dan industri dalam memahami produksi dan distribusi film menjadi penting.

(33)

Termasuk di dalamnya adalah bagaimana respons para sineas terhadap kebijakan perfilman serta artikulasi mereka terhadap persoalan budaya dan kebangsaan sebagaimana diidealisasi negara. Namun demikian, dalam kajian ini saya tidak akan masuk ke dalam sistem organisasi, produksi, dan distribusi film, tetapi bukan berarti mengabaikannya. Titik ekonomi-politik film akan diarahkan pada bagaimana formasi diskursif poskolonialitas kultural dalam masyarakat di tengah-tengah sistem pasar yang memunculkan tegangan antara idealisasi pemodal dan sineas dengan idealisasi rezim negara. Dalam bingkai normatif, di tengah-tengah keinginan mereka untuk mendapatkan keuntungan dari industri perfilman, rezim negara masih memosisikan film sebagai medium untuk menyebarkan kekuatan budaya bangsa dan nasionalisme— sebuah idealisasi film pascakolonial16—di tengah-tengah popularitas budaya individual.

Sementara, para pemodal dan sineas sebagai bagian dari sistem organisasi industri budaya kapitalis, tentu saja, menginginkan film yang mereka produksi bisa mendatangkan keuntungan komersil sekaligus bisa berfungsi untuk menyebarkan kepentingan ideologis mereka.17

16 Secara ideal, film bagi bangsa pascakolonial memiliki kontribusi strategis untuk menyebarkan gagasan-gagasan kolektif tentang bagaimana menjadi bangsa dengan subjektivitas baru yang terlepas dari pengaruh-pengaruh ideologis kolonialisme (Berry dikutip dalam Zhang, 2004: 6). Terdapat beberapa cara yang bisa dilakukan para sineas untuk menyukseskan proyek kebangsaan tersebut. Pertama, merepresentasikan nostalgia masa lampau yang penuh keemasan dan budaya lokal sebagai kekuatan kolektif (McMillin, 2007: 77-78; Higson, 2000: 60-61). Kedua, menarasikan semangat kebangsaan, pembangunan, penguatan kedaulatan dan integrasi, serta mempersiapkan bangsa untuk berpartisipasi dalam kehidupan antarbangsa (Hallin, 1998: 155-157). Ketiga, membicarakan persoalan kultural dalam konteks yang tidak kaku, tetapi dinamis dan terkadang penuh kontestasi di tengah-tengah pengaruh ragam budaya dan teknik filmis dari luar, meskipun secara naratif tetap menegaskan identitas kolektif melalui pola dan rangkaian narasi bersifat lokal (Berry & Farquhar, 2006: 1-8; Yearwood, 1987). 17 Secara umum para pemodal dan sineas berada dalam satu faksi ketika membicarakan kepentingan komersil dan ideologis, meskipun tetap ada hirarki yang berbeda di antara mereka. Menurut Louw (2001: 32-34), penyebaran pengetahuan ideologis tertentu terjadi karena (1) kuatnya patronase terhadap kepentingan pemodal dalam industri budaya yang hanya menghendaki wacana tertentu; (2) kecenderungan wacana dari para kreator dan pekerja; dan (3) tekanan dari relasi kuasa lainnya, semisal negara maupun institusi agama. Terkait tekanan negara ataupun institusi agama, hal itu akan

(34)

Itulah mengapa kajian poskolonial yang mengunggulkan wacana hibriditas dalam praktik representasi maupun diskursif perlu diuji secara kritis karena bisa jadi industri perfilman mempunyai logika yang berbeda dengan idealisasi poskolonialisme. Poskolonialitas dalam masyarakat yang ditandai dengan impian terhadap budaya modern tanpa meninggalkan sepenuhnya budaya tradisional, perkembangan kapitalisme pasar, maupun proyek budaya bangsa dan nasionalisme tentu akan menjadi sumber diskursif yang akan diartikulasikan dalam struktur naratif film yang berbeda dengan cara pandang negara. Hal itu tidak bisa dilepaskan dari posisi industri film sebagai bagian dari kapitalisme pasar itu sendiri. Menurut Fulton (2005: 5-7), narasi formulaik media pada abad kapitalisme akhir berusaha menaturalisasi kepentingan ideologis neoliberal dengan cara menciptakan subjek-subjek yang koheren dengan tawaran akan pembebasan dan kebebasan untuk menentukan pilihan dalam jejaring pasar. Sebagai produk yang sangat dekat dengan kehidupan, tentu saja para pemodal dan sineas memiliki prinsip-prinsip artikulasi untuk mengakomodasi beragam kecenderungan wacana dan pengetahuan dalam masyarakat, termasuk idealisasi negara, meskipun tetap menegosiasikan pengetahuan ideal berkebudayaan dan berkebangsaan di tengah pasar.

Pembacaan terhadap kompleksitas struktur naratif film, praktik dan formasi diskursif, serta ekonomi-politik, pada akhirnya, akan membantu untuk membaca relasi kuasa yang berlangsung. Dalam kerangka pikir demikian, film merupakan “sebuah

menjadikan para sineas bersiasat secara naratif dan diskursif untuk menetralisir persoalan yang terjadi. Pembatasan kreativitas dalam film termasuk produksi pengetahuan partikular, juga terjadi karena sistem industri budaya tetap menempatkan kreator dalam posisi subsistem. Para kreator bertugas untuk membuat film yang bisa memenuhi kebutuhan estetik masyarakat sehingga bisa mendatangkan

(35)

media untuk menciptakan konsensus dan kuasa melalui artikulasi beragam kepentingan kelompok/kelas, wacana, dan permasalahan yang berlangsung dalam masyarakat”. Mengikuti pemikiran Kellner (1995: 1) tentang budaya media, struktur naratif film bukan hanya menyediakan bermacam materi dan citra tentang permasalahan sehari-hari, tetapi juga menegosiasikan pengetahuan yang bisa membantu pemahaman penonton dalam memaknai budaya dan menciptakan identitas ideal di tengah-tengah kapitalisme pasar saat ini.

Dengan memproduksi pengetahuan ideal berbasis permasalahan kultural dalam masyarakat, struktur naratif dan praktik diskursif film, mengikuti pemikiran Hall (1997b: 425-426), akan mempertemukan kepentingan ideologis bermacam kelompok/kelas—termasuk di dalamnya negara—dalam sebuah blok historis. Terbentuknya blok hitoris dalam narasi film menjadikan perbedaan-perbedaan kelas lebur. Namun, kelas penguasa tidaklah hilang, tetapi bertransformasi menjadi kelas pemimpin. Tentu saja, kategori kelas dalam narasi tidak dimunculkan secara vulgar, tetapi lebih dihadirkan melalui tokoh tertentu dengan wacana-wacana yang ia sampaikan. Kehadiran blok historis yang diikat oleh pengetahuan ideal sebagai konsensus akan mempermudah berlangsungnya relasi kuasa-hegemonik. Hegemoni merupakan relasi kuasa yang dibangun dengan kepemimpinan intelektual, kultural, dan moral, sehingga prinsip artikulasi dan negosiasi menjadi lebih dominan karena kelas pemimpin mengutamakan penerimaan kuasa secara konsensual (Gramsci, 1981:

191-192; Laclau & Mouffee, 1981: 226; Boggs; 1984: 161; Bennet, 1986: xv; Williams,

2006: 134-137; Hall, 1997c: 425-426; Howson & Smith, 2008; Boothman, 2008; Fontana, 2008; Hall, 1982: 87-88).

(36)

1.6 Hipotesis

Berdasarkan permasalahan, tujuan, dan landasan teoretis di atas, hipotesis yang akan saya uji secara kritis dalam kajian ini adalah bahwa di dalam kompleksitas representasi budaya poskolonial yang menghadirkan budaya modern dan budaya lokal dalam struktur dunia naratif film beoperasi individualisme yang dianggit sebagai orientasi ideal bagi masyarakat di tengah-tengah pengaruh ekonomi-politik neoliberalisme.

1.7. Kerangka Metodologis

Untuk melakukan analisis yang bisa menjawab permasalahan, memenuhi tujuan, dan membuktikan hipotesis berdasarkan landasan teoretis di atas, saya akan menggunakan kerangka metodologis multiperspektif yang bersiat ulang-alik, tekstual-kontekstual. Mengikuti pemikiran Saukko (2003: 25), pilihan untuk menggunakan beberapa pendekatan teoretis sebagai kerangka metodologis merupakan kesengajaan agar bisa menganalisis secara kritis representasi budaya poskolonial dalam struktur dunia naratif film Indonesia era 2000-an. Selain itu, dialog antarpendekatan saya harapkan memunculkan “terobosan baru” dalam hal metodologi. Apa yang saya maksud sebagai terobosan baru adalah bagaimana mendialogkan pendekatan-pendekatan untuk menghasilkan sintesa metodologis baru yang akan menjadi panduan dalam melakukan analisis.

1.7.1 Tentang Pilihan Data

Untuk kepentingan analisis yang lebih fokus dan terarah, saya akan menggunakan film-film Indonesia populer era 2000-an sebagai sumber data. Film-film

Referensi

Dokumen terkait

Informasi Stock Split dan Likuiditas Saham (Kurniawati, 2003) Abnormal return saham dan volume perdagangan saham Uji Beda Dua Rata- Rata Pemecahan saham

Setelah pengukuran dilapangan telah dilaksanakan, maka terdapat suatu proses yang dinamakan pengolahan data koordinat lapangan, untuk pekerjaan ini penulis menggunakan

Yang terjadi pertumbuhan nilai total ekspor komoditas berasal dari kenaikan harga, bukan dari kenaikan produksi.. Kedua, dibanding negara lain, Indonesia menerima

Di Aceh, Lampung, Banjarmasin, Banjarbaru, Banyuwangi, Sentani, dan Makassar, curah hujan dengan interval 1-25 mm mempunyai frekuensi yang lebih rendah pada periode La

Penelitian ini meliputi pembuatan bekasam (lama fermentasi 10 hari), analisis kimia dan mikrobiologi selama fermentasi (pengukuran pH, total asam tertitrasi, kadar garam,

Dari percobaan dan pembahasan hasil pelarutan dolomit dengan asam sulfat dapat disimpulkan bahwa ekstraksi magnesium dan kalsium dari mineral dolomit dapat

Penerapan teknologi informasi memungkinkan adanya perubahan yang pesat di bidang pengetahuan. Proses belajar dapat diperoleh tanpa di batasi ruang dan waktu untuk meningkatkan

Apa saja kebutuhan user dalam pembuatan rancangan konsep aplikasi mobile game yang persuasif untuk memotivasi mahasiswa untuk berolahraga. Bagaimana pembuatan