• Tidak ada hasil yang ditemukan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.4 Ekosistem Terumbu Karang

Ekosistem terumbu karang merupakan salah satu jenis ekosistem yang terdapat pada kawasan TWP Gili Matra. Perairan terumbu karang banyak dimanfaatkan oleh organisme penghuni terumbu karang sebagai daerah penyedia makanan, daerah perkembangan, daerah asuhan, dan daerah perlindungan (Radiarta et al. 1999).

Kondisi fisika dan kimia perairan

Pertumbuhan karang dipengaruhi oleh faktor fisika dan kimia perairan. Faktor fisika kimia perairan yang mempengaruhi kondisi terumbu karang seperti, kedalaman, suhu, dan salinitas. Persyaratan hidup karang batu seperti perairan yang cerah, salinitas tinggi, dan suhu (Djohar 1999). Faktor- faktor fisik yang mempengaruhi pertumbuhan terumbu karang juga berpengaruh besar terhadap struktur komunitas dan bentuk hidup terumbu karang (Djohar 1999). Nilai parameter fisika dan perairan dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Kondisi fisika kimia perairan pada tiga stasiun pengamatandi TWP Gili Matra

Stasiun Koordinat Kedalaman

(m) Suhu Salinitas (ppm) pH DO (mg/l) BOD (mg/l) S E TK 1 8.35616 116.04308 6 30.8 31 9.1 6.0 0.9 TK 2 8.35546 116.06242 7 31.7 32 9.5 5.0 1.4 TK 3 8.36220 116.08851 8 31.1 32 9.5 5.3 1.3 Sumber: Data primer (diolah) 2014

Kedalaman perairan pada tiga stasiun pengamatan berada pada kedalaman 6-8 meter. Suhu pada perairan berkisar antara 30.8-31.7 0C dan masih memungkinkan untuk pertumbuhan karang. Nybakken (1988) menyatakan bahwa untuk hidup binatang karang membutuhkan suhu air yang hangat berkisar antara 25-32 0C. Salinitas berkisar antara 31-32 ppm dan pH berkisar antara 9.1-9.5. Nilai DO yang didapat berkisar antara 5-6 mg/l.

BOD5 merupakan salah satu indikator pencemaran organik pada suatu

oleh bahan organik (Silalahi 2009). Nilai BOD yang didapat berkisar antara 0.9- 1.4 mg/l. Umumnya nilai BOD perairan laut sebesar 20 mg/l (Kepmen LH 2004). Jika dibandingkan dengan baku mutu perairan laut, maka nilai BOD yang didapat masih jauh lebih kecil. Hal ini dapat disebabkan oleh perbedaan parameter fisika seperti jarak titik dari daratan terdekat, suhu dan arus laut. Selain itu buangan hasil limbah domestik dan industri juga dapat mempengaruhi nilai BOD (Effendi 2003).

Terumbu Karang

Penelitian ini melakukan pengamatan terhadap ekosistem terumbu karang pada tiga titik pengamatan. Hasil pengamatan ekosistem terumbu karang dapat dilihat pada Tabel 11. Tutupan substrat dasar perairan di tiga lokasi pengamatan didominasi oleh kategori abiotik yang berupa pasir dan pecahan karang serta kategori karang mati. Hal ini diduga oleh kegiatan perikanan yang merusak pada masa lalu yaitu pengeboman ikan.

Tabel 11. Tutupan terumbu karang keras hidup, karang mati, biota lain, alga, dan abiotik pada tiga stasiun pengamatandi TWP Gili Matra

Kode Statisun Zona Kategori MI Karang keras hidup (%) Karang mati (%) Biota lain (%) Alga (%) Abiotik (%) Total (%) TK 1 Zona Pemanfaatan 9 38 4 10 38 100 0.81 TK 2 Zona Lainnya 5 18 5 1 71 100 0.76 TK 3 Zona Pemanfaatan 11 22 7 5 55 100 0.67 Rata-rata 8 26 5 5 55 100 0.75

Sumber: Data primer (diolah) 2014

Tutupan karang keras hidup tertinggi terdapat pada stasiun TK 3 sebesar 11%, sedangkan tutupan karang keras hidup terendah terdapat pada stasiun TK 2 sebesar 5 %. Rata-rata penutupan karang keras hidup sebesar 8%. Hal ini menunjukkan bahwa nilai penutupan karang termasuk kategori 0-24.9% dengan kriteria penilaian buruk (Kepmen LH no 4 2001). Nilai indeks mortalitas yang didapat berkisar antara 0.67-0.81. Rata-rata indeks mortalitas yaitu sebesar 0.75. Nilai rata-rata indeks mortalitas hampir mendekati 1 yang artinya semakin mendekati 1 menunjukkan semakin banyaknya tutupan karang mati. Menurut Sofian (2004) bahwa jika nilai indeks mortalitas mendekati 1 menunjukkan bahwa terjadi perubahan yang berarti dari karang hidup menjadi karang mati.

Karang keras hidup yang terdapat pada stasiun pengamatan terdiri dari jenis acropora branching, acropora tabular, coral branching, coral encrusting, coral foliose, coral massive, coral millepora dan coral submassive. Karang mati tertinggi terdapat pada stasiun TK 1 dan terendah pasa stasiun TK 2. Jenis karang mati yang ditemukan yaitu dead coral with algae (DCA) dan recently dead coral (RDC). Biota lainnya yang terdapat di stasiun pengamatan dari yang terbanyak hingga yang terkecil yaitu jenis sponges, ascidians dan anemones, soft coral dan

zoanthids. Jenis alga yang ditemukan yaitu jenis halimeda, coraline algae, macro algae, dan turf algae.

Ikan Terumbu

Hasil pengamatan pada tiga stasiun pengamatan menunjukkan terdapat 77 jenis ikan terumbu yang berasal dari 10 famili. Jumlah jenis ikan terumbu tertinggi yaitu pada famili pomacanthidae sebesar 27 %. Jumlah jenis ikan terumbu terendah yaitu pada famili serranidae, kyphosidae, zanclidae, centriscidae, ostraciidae dan tetraodontidae sebesar 1 %. Berikut komposisi famili ikan terumbu disajikan pada Gambar 14.

Gambar 14. Komposisi famili ikan terumbu pada tiga stasiun pengamatan di TWP Gili Matra

Kelimpahan ikan terumbu merupakan jumlah ikan terumbu yang ditemukan pada suatu stasiun pengamatan persatuan luas transek pengamatan. Kelimpahan ikan terumbu dianalisis pada tiga stasiun pengamatan di kawasan TWP Gili Matra. Kelimpahan ikan terumbu pada masing-masing stasiun pengamatan dapat dilihat pada Gambar 15.

Gambar 15. Kelimpahan ikan terumbu pada tiga stasiun pengamatandi TWP Gili Matra 19% 2% 8% 18% 3% 27% 4% 3% 4% 4% 8% ACANTHURIDAE BALISTIDAE CHAETODONTIDAE LABRIDAE LUTJANIDAE POMACANTHIDAE SCARIDAE SIGANIDAE MULLIDAE NEMIPTERIDAE OTHERS 15 640 11 360 4 480 0 5000 10000 15000 20000 TK 1 TK 2 TK 3 K e li m p ah an (i n d /h a) Stasiun Pengamatan

Kelimpahan ikan terumbu tertinggi yaitu pada stasiun TK 1 sebesar 15 640 ind/ha, sedangkan kelimpahan ikan terumbu terendah terdapat pada stasiun TK 3 sebesar 4 480 ind/ha. Kelimpahan ikan yang tinggi di TK 1 dapat disebabkan oleh banyak terdapat biorock dan transplantasi karang di lokasi pengamatan TK 1. Biorock di lokasi TK 1 cukup banyak dan memiliki bentuk yang beranekaragam seperti bentuk bola/bulat, bentuk rumah dan persegi panjang. Dhahiyat (2003) menyatakan bahwa pembuatan bidang terumbu baru di daerah yang rusak dengan transplantasi karang, menunjukkan peningkatan habitat ikan karang. Nilai indeks keanekaragaman, keseragaman, dan dominasi ikan terumbu dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12. Indeks keanekaragaman, keseragaman, dan dominasi ikan terumbu pada tiga stasiun pengamatandi TWP Gili Matra

Lokasi Ikan Terumbu Indeks keanekaragaman (H') Indeks keseragaman (E) Indeks dominansi (D) TK 1 2.8060 0.7957 0.0922 TK 2 2.3588 0.7748 0.1558 TK 3 2.7042 0.8749 0.0880

Sumber: Data primer (diolah) 2014

Menurut Odum (1993) bahwa semakin besar nilai keanekaragaman (H’) menunjukkan komunitas semakin beragam dan indeks keanekaragaman tergantung dari variasi jumlah spesies yang terdapat dalam suatu habitat. Nilai indeks keanekaragaman tertinggi terdapat pada stasiun TK 1 sebesar 2.8060 dan terendah pada TK 2 sebesar 2.3588. Indeks keanekaragaman di tiga stasiun pengamatan tergolong dalam kategori 1 <H’< 3, yang artinya memiliki keanekaragaman sedang, penyebaran sedang dan kestabilan komunitas sedang. Menurut Brower et al. (1990), keanekaragaman jenis adalah suatu ekspresi dari struktur komunitas, dimana suatu komunitas dikatakan memiliki keanekaragaman jenis tinggi, jika proporsi antar jenis secara keseluruhan sama banyak.

Odum (1993) menyatakan bahwa indeks kemerataan/keseragaman (E) menggambarkan ukuran jumlah individu antar spesies dalam suatu komunitas ikan. Nilai indeks keseragaman menunjukan kestabilan suatu komunitas. Nilai indeks keseragaman tertinggi terdapat pada TK 3 dan terendah pada TK 2. Indeks keseragaman termasuk kedalam kategori 0.6 <E≤ 1.0, yang artinya memiliki keseragaman tinggi dan komunitas stabil. Nilai indeks dominansi tertinggi terdapat pada TK 2 dan terendah pada TK 3. Indeks dominansi termasuk kategori 0 <C< 0,5, yang artinya memiliki dominasi rendah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada semua lokasi pengamatan memiliki nilai dominansi yang rendah. Nilai dominansi yang rendah ini menujukkan nilai keseragamannya akan tinggi. Menurut Latuconsina et al. (2012), jika ada beberapa jenis dalam komunitas yang memiliki dominansi yang besar maka keanekaragamannya dan keseragamannya rendah.

4.5 Analisis Korelasi

Pengujian korelasi dilakukan dengan menggunakan analisis korelasi pearson dan spearman rank. Pengujian korelasi pearson merupakan ukuran derajat hubungan antara dua tabel dalam statistik parametrik (Hasanah 2013). Hasil uji korelasi pearson dan spearman rank didapatkan nilai korelasi yang tidak terlalu berbeda (Tabel 13).

Tabel 13. Nilai korelasi pearson dan spearman rank pada parameter jumlah wisatawan, jumlah nelayan, terumbu karang, kelimpahan ikan, dan BOD

X/Y Jumlah Pearson Spearman rank

wisatawan1 Terumbu karang2 BOD3 Jumlah wisatawan1 Terumbu karang2 BOD3 Jumlah nelayan 0.87 0.78 Kelimpahan ikan 0.15 0.02 Terumbu karang -0.16 -0.13

Ket: 1). P-value sebesar 0.13 dan 0.23, n=4, 2). P-value sebesar 0.72 dan 0.96, n=8, 3). P-value sebesar 0.69 dan 0.73, n=9

Sumber: Data primer (diolah) 2014

Nilai korelasi terbesar terdapat pada hubungan antara jumlah wisatawan dan jumlah nelayan yaitu sebesar 0.87 (pearson) dan 0.78 (spearman rank). Nilai tersebut berarti bahwa hubungan korelasi antara jumlah wisataan dan jumlah nelayan sangat kuat (0.70-0.89) (DeVaus 2002). Nilai korelasi terendah adalah pada hubungan antara tutupan terumbu karang dan kelimpahan ikan terumbu sebesar 0.15 (pearson) dan 0.02 (spearman rank). Hal ini berarti bahwa antara tutupan terumbu karang dan kelimpahan ikan terumbu terdapat hubungan lemah (0.10-0.29) dan kurang berarti (0.01-0.09) (DeVaus 2002).

Hubungan yang lemah antara tutupan terumbu karang dan kelimpahan ikan terumbu ini dapat disebabkan tidak semua ikan penghuni ekosistem terumbu karang memiliki keterkaitan langsung terhadap terumbu karang. Ikan-ikan yang memiliki keterkaitan langsung terhadap terumbu karang yaitu pada famili Chaetodontidae yang bergantung kepada karang hidup sebagai makananya dengan memangsa polip karang. Pada penelitian yang dilakukan di TWP Gili Matra ini ikan karang yang ditemukan tidak hanya pada Famili Chaetodontidae tetapi terdapat 9 famili lainnya dan Famili Chaetodontidae yang ditemukan hanya sebesar 8 %.

Nilai korelasi pada BOD dan tutupan terumbu karang bernilai negatif yaitu sebesar -0.16 (pearson) dan -0.13 (spearman rank). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Nababan (2009), yang menyatakan bahwa nilai korelasi antara BOD dan tutupan terumbu karang bernilai negatif yaitu sebesar - 0.588. Korelasi negatif ini berarti bahwa jika terjadi kenaikan BOD maka akan terjadi penurunan tutupan terumbu karang. Supranto (2000), menyatakan bahwa hubungan korelasi dikatakan negatif kalau kenaikan X pada umumnya diikuti oleh penurunan Y atau sebaliknya.

4.6 Kebutuhan Ruang Ekologis (Ecological Footprint)

Pendekatan ruang ekologis (ecological footprint) merupakan salah satu pendekatan yang digunakan untuk menduga daya dukung perikanan. Pemanfaat terhadap sumberdaya harus memperhatikan daya dukung lingkungan untuk menjaga keberlanjutan sumberdaya tersebut. Daya dukung lingkungan harus mempertimbangkan berbagai macam faktor seperti faktor sosial-budaya, ekonomi, psikologis, dan persepsi yang tergantung pada perhatian khusus (Simon et al. 2003).

Wackernagel dan Ress (1996) mendefinisikan Ecological Footprint (EF) sebagai area dari ruang produktif ekologi dalam beberapa kelas (termasuk area laut) yang akan diperlukan pada basis keberlanjutan, yaitu untuk menyediakan semua konsumsi energi dan material sumberdaya dan untuk menyerap semua limbah yang dibuang oleh populasi dengan teknologi yang digunakan. EF menyediakan modal alami yang dapat menentukan pada setiap skala, dari global sampai ke rumah tangga, berapa banyak layanan alam yang dialokasikan untuk mendukung entitas ini (Wackernagel 2001). Kajian EF perikanan dapat dilakukan dengan menggunakan data produksi hasil tangkapan pada setiap jenis ikan (Tabel 14).

Tabel 14. Produksi ikan hasil tangkapan nelayan di Desa Gili Indah (2012-2013)

No Nama Ikan

Produksi

(kg/tahun)1) Sistem Perairan2) Trophic Level3) 2012 2013 1 Baronang 800 500 B 2.8 2 Bawal 2 000 1 000 B 3.3 3 Cumi 300 200 A 3.2 4 Gurita 800 100 A 3.2 5 Ekor kuning 250 350 B 2.8 6 Kerapu/sunuk 100 100 B 2.8 TOTAL 2 250 1 250

Ket: 1) Data Hasil Tangkapan Desa Gili Indah (2012;2013) 2) (A) Tropical Shelves, (B) Coastal and Coral System 3) Pauly dan Christensen (1995)

Produksi perikanan di Desa Gili Indah didominasi oleh ikan bawal. Jumlah tangkapan ikan dari Tahun 2012 ke 2013 mengalami penurunan sebesar 1000 kg yaitu 2 250 kg (2012) dan 1 250 kg (2013). Penelitian ini menggunakan analisis EF untuk menghitung penggunaan atau pemanfaatan area maksimal agar sumberdaya tetap lestari dan berkelanjutan. Pendekatan ini dapat digunakan sebagai indikator batas biofisik dan keberlanjutan (Costanza 2000). Analisis EF di Desa Gili Indah dihitung dengan membandingkan nilai EF pada Tahun 2012 dan nilai EF Tahun 2013 (Tabel 15).

Nilai produktivitas primer (PPR) pada Coastal and Coral System lebih tinggi daripada Tropical Shelves pada Tahun 2012 maupun 2013. Tingginya nilai PPR pada Coastal and Coral System ini disebabkan oleh jenis ikan hasil tangkapan di Desa Gili Indah lebih didominasi oleh ikan-ikan yang tergolong pada Coastal and Coral System. Terdapat empat jenis ikan hasil tangkapan yang

tergolong Coastal and Coral System, dan hanya dua jenis ikan saja yang tergolong Tropical Shelves (Desa Gili Indah 2012;2013).

Tabel 15. Kebutuhan ruang ekologis sistem perikanan di Desa Gili Indah

Karakteristik 2012 2013

PPR Coastal and Coral System (kg) 52 401.40 28 829.69

PPR Tropical Shelves (kg) 19 370.92 5 282.98 Jumlah Penduduka 3 684 3 694 Jumlah Wisatawanb 383 736 426 050 Total Penduduk 387 420 429 744 EF (km2/kapita) 0.3 x 10-6 0.1 x 10-6 Kebutuhan Ruang (km2) 0.12 0.05

Luas Zona Perikanan Berkelanjutanc (km2) 18.97 18.97

Cakupan (kali) 0.006 0.003

Ket: a) Desa Gili Indah (2012;2013); b) Dispar 2013 Unpublished Data; c) KP3K-KKP 2013.

Nilai EF pada tahun 2012 ke tahun 2013 mengalami penurunan sebesar 0.2 x 10-6 km2/kapita. Pada tahun 2012 estimasi nilai EF sebesar 0.3 x 10-6 km2/kapita dengan luasan area yang dibutuhkan adalah 0.12 km2 atau sekitar 0.006 kali luas kawasan TWP Gii Matra. Nilai EF mengalami penurunan pada tahun 2013 menjadi 0.1 x 10-6 km2/kapita dengan luasan area yang dibutuhkan sebesar 0.05 km2 atau sekitar 0.003 kali luas kawasan TWP Gii Matra. Penurunan nilai EF dari Tahun 2012 ke 2013 dapat disebabkan oleh peningkatan total penduduk Gili Indah. Total penduduk yang digunakan dalam perhitungan EF (km2/kapita) merupakan total jumlah masyarakat setempat dan jumlah wisatawan. Kebutuhan ruang ekologis mengalami penurunan dari tahun 2012 ke tahun 2013 sebesar 0.07 km2. Penurunan kebutuhan ruang ekologis ini dapat disebabkan oleh penurunan produksi ikan hasil tangkapan. Dong-dong et al. (2010) menyatakan bahwa luas lahan yang dibutuhkan untuk dimanfaatkan oleh suatu populasi sangat bergantung pada sistem produksi ekologis dan pola konsumsi sumberdaya. Berikut disajikan tabel perbandingan nilai EF dan kebutuhan ruang pada daerah lain (Tabel 16). Tabel 16. Perbandingan kebutuhan ruang ekologis perikanan dengan daerah lain

Lokasi EF (km2/kapita) Kebutuhan Ruang (km2)

Biocapacity (BC) (km2)

Kecamatan Una-Unaa 0.0004 0.055 8.45

Desa Oleleb 0.002 1.96 3.21

Desa Gili Indah 0.1 x 10-6 0.05 18.97

Ket: a) Sulistiawati 2012, b) Djau 2012 Sumber: Data primer (diolah) 2014

EF perikanan untuk Desa Gili Indah memiliki nilai yang cukup kecil jika dibandingkan dengan daerah lainnya. Hal ini dapat disebabkan oleh lebih kecilnya jumlah produksi ikan hasil tangkapan dan perbedaan jumlah penduduk di Desa Gili Indah. Jumlah produksi ikan hasil tangkapan ini berhubungan dengan jumlah

nelayan dan alat tangkap yang digunakan. Djau (2012) menyatakan bahwa besarnya kebutuhan ruang ekologis bagi perikanan sangat dipengaruhi oleh produksi perikanan dan populasi penduduk. Nilai EF perikanan ini dapat digunakan sebagai indikator keberlanjutan dengan membandingkan nilai EF terhadap luas lahan produktif yang tersedia.

Haberl et al. (2001) menjelaskan bahwa EF dari populasi tertentu dapat dibandingkan dengan luas lahan yang tersedia pada tingkat global atau regional, biasanya disebut sebagai 'biocapacity' (BC). BC adalah ukuran dari kapasitas area produktif yang tersedia di dunia secara keseluruhan, di suatu negara atau di area yang lebih kecil (Lewan 2000). Nilai BC yang digunakan dalam penelitian ini adalah total luas perairan pada zona perikanan berkelanjutan yang merupakan daerah produktif bagi nelayan mencari ikan. EF menilai besarnya total area bioproduktif yang dibutuhkan agar kegiatan pemanfaatan oleh masyarakat dapat dilakukan secara berkelanjutan di semua daerah di bumi (Haberl et al. 2004).

Perbandingan tingkat konsumsi dengan jumlah area bioproduktif yang tersedia (darat maupun laut) digunakan untuk menunjukkan kemungkinan terlampaui atau tidaknya ambang batas keberlanjutan (Wiedmann dan Barrett 2010). Schaefer et al. (2006) menyatakan bahwa jika nilai EF > BC maka disebut overshoot dan jika nilai EF < BC maka disebut undershoot. Perbandingan nilai EF dan BC secara diagramatik dapat dilihat pada Gambar 16.

Luasan (km2)

0,00 0,05 0,10 5,00 10,00 15,00 20,00 BC

EF

Gambar 16. Perbandingan EF dan BC secara diagramatik

Nilai EF pada Desa Gili Indah adalah sebesar 0.1 x 10-6 km2/kapita. Jika total penduduk Desa Gili Indah pada Tahun 2013 sebesar 429 744 jiwa maka luasan EF sebesar 0.55 km2. Jika dibandingkan dengan luas perairan TWP Gili Matra sebesar 18.97 km2, maka kondisi ini disebut sebagai undershoot. Stanley (2010) menyatakan bahwa kondisi undershoot disebut sebagai keadaan perikanan yang belum tereksploitasi (under-exploited). Hal ini berarti bahwa pemanfaatan EF perikanan masih lebih kecil dari luasan lahan yang tersedia sehingga masih terdapat ruang agar sumberdaya dapat berkembang biak dan mempertahankan fungsi ekologisnya.

Pendekatan EF statis ini merupakan indikator ruang ekologis dan mampu memberikan perkiraan batas penggunaan sumberdaya dalam skala ruang. Namun, pendekatan ini juga memiliki beberapa kelemahan dalam pendugaan daya dukung perikanan. Hal ini dikarenakan perhitungan EF statis hanya didasarkan pada jumlah produksi atau hasil tangkapan ikan. Moffat (2000), menyatakan bahwa terdapat beberapa keterbatasan dalam penggunaan ecological footprint, yaitu (1) hasil dari ecological footprint ini kurang dapat memberikan nasihat dalam memecahkan masalah penggunaan sumberdaya oleh manusia; (2) ecological footprint merupakan ukuran statis, sehingga diperlukan perhitungan dinamis; (3) mengabaikan perubahan teknologi penangkapan.

4.7 Penilaian Perikanan di TWP Gili Matra Menggunakan Indikator EAFM

Dokumen terkait