• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ekowisata di Bowele

Dalam dokumen STRATEGI PENGEMBANGAN PARIWISATA MELALUI docx (Halaman 123-200)

BAB IV HASIL PENELITIAN

4.9 Ekowisata di Bowele

Setelah memahami mengenai objek dan daya tarik wisata, kemasyarakatan, pengelolaan, pengembangan dan pemberdayaan masyarakat, maka terdapat tema – tema besar yang muncul dari kondisi ekowisata di Bowele ini yakni :

1. Objek dan daya tarik wisata di Bowele ini unik

2. Konflik internal pengelola menyebabkan kualitas jasa ekowisata yang diberikan belum intensif.

3. Strategi diferensiasi dipilih untuk mengatasi konflik yang terjadi. 4. Pemasaran wisata di Bowele adalah promosi.

5. Rencana pengembangan di wilayah ini mengikuti mekanisme pasar.

6. Pengembangan kemampuan penduduk lokal belum maksimal karena belum semua masyarakat peduli terhadap wisata.

PEMBAHASAN

5.1 Siapakah yang berperan sebagai pengambil keputusan strategis pengembangan wisata di Bowele ?

Rumusan masalah di atas akan dijabarkan dalam analisis pengelolaan dan pengembangan.

5.1.1 Kesimpulan Analisis Pengelolaan : Konflik internal pengelola menyebabkan kualitas jasa ekowisata yang diberikan belum intensif. Mengapa konflik internal ? Hal tersebut dikarenakan permasalahan yang terdapat pada pengelola wisata, pemerintah desa dan Perhutani berada pada satu lingkungan yang sama yakni lingkungan internal. Perhutani yang tampak menjadi pihak eksternal ternyata tetap menjadi bagian internal dari wisata ini. Hal tersebut dikarenakan, Bowele terletak pada wilayahnya perhutani, sehingga peran Perum Perhutani KPH Malang di wilayah ini patut dipertimbangkan. Oleh karena itu, seharusnya pihak pengelola di Bowele menjalin hubungan yang baik dengan para stakeholdernya.

A. Komunikasi dan Networking yang kurang baik

Sebagaimana yang dijelaskan oleh Nugroho (2015) networking di antara para stakeholder itu penting karena berhubungan dengan memberi dan menerima aliran manfaat kepada satu sama lain, terlebih di sektor ekowisata. Ekowisata mempertemukan dua atau lebih budaya yang berbeda. Wisatawan

memperoleh pengalaman berharga dari budaya lokal dan penduduk lokal melakukan proses edukasi tentang lingkungannya dan mendapatkan penghasilan. Sinergi tersebut juga dapat dipelihara dengan adanya dukungan dari kebijakan pemerintah dan adanya sektor swasta untuk membantu pengembangan wisata. Akan tetapi, Pertemuan budaya tersebut dapat berakhir pada kesalahpahaman apabila terjadi perbedaan persepsi. Oleh karena itu komunikasi dalam ekowisata penting untuk menyatukan motivasi – motivasi stakeholder ekowisata dan menciptakan pengelolaan ekowisata yang berkelanjutan (Eagles et al, 2002 dalam Nugroho, 2015).

B. Tidak Memahami Peran Para Stakeholder Terkait

Selain dari adanya komunikasi dan networking, Pengelola wisata Bowele juga seharusnya sudah memahami peran dan fungsi para stakeholder ekowisata.

a) Pemerintah memiliki peran strategis dalam mengembangkan kebijakan sektor ekowisata dan penunjangnya yang outputnya berupa kebijakan penetapan wilayah taman nasional, instrument fiskal dan monter atau pengembangan wilayah ekowisata. Oleh karena adanya otonomi daerah, Peran Pemerintah Kabupaten Malang untuk pengembangan pariwisata dan ekowisata menjadi sangat penting. Akan tetapi, berdasarkan keterangan dari informan terdapat peraturan pemerintah yang tidak mendukung pengembangan wilayah ekowisata.

Jadi kenapa mereka ada MOU atau kerja sama dengan perhutani. Sebetunya secara aturan, aturan itu permenhut 12 atau 22 saya lupa,… alasannya dari perhutani itu sudah ada mou dengan bupati terkait dengan

pengelolaan hutan oleh lkdph tetapi saya tidak tau mou ini bentuknya seperti apa” (Wawancara Bu Lani, 2016).

Meskipun teruntuk di Kabupaten Malang dan di Bowele, sudah ada rencana pembaharuan perjanjian kerjasama dan peraturan terkait perjanjian wilayah ekowisata tetapi pelaksanaannya itu lumayan lama, sehingga wisata di Bowele ini harus mengalami stagnansi terlebih dahulu.

“Cuma mungkin di wacana pemerintah di tahun 2017 ini ada regulasi pks kembali antara perhutani pemerintah sama desa bukan perhutani sama desa sama lmdh, tapi antar dinas sama desa 2017” (Wawancara Pak Sidik Fajar, 2016).

“dan hari ini banyu anjlok ditutup, secara resmi bukan ditutup, kan disana ada tulisan banyu anjlok ditutup tapi kan yang ngelakukan bukan desa bukan timlak tapi perhutani, karena wilayahnya perhutani (Wawancara Pak Muklis, 2016).

b) Perencana dan peneliti sebagai unsur pemerintah yang menjadi sumber saran atau produk akademik sebagai bahan perumus kebijakan. Disini merupakan peran dari SKPD Kabupaten Malang baik dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Malang, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Malang dan juga dari BUMN yang terkait yakni Perum Perhutani KPH Malang. Yang menjadi permasalahan diantara para pengelola adalah para pengelola dan para SKPD sendiri tidak mengetahui dasar penetapan prosentase dari tiket masuk yang ditetapkan oleh Perum Perhutani KPH Malang terhadap seluruh daya tarik wisata yang berada pada wilayah pengelolaannya.

c) Pengelola taman nasional atau ekosistem merupakan unsur pemerintah yang bertanggung jawab melaksanakan tugas manajemen operasional di lapangan. Seharusnya yang bertanggung jawab atas pengembangan dan

menjabat pemegang tanggung jawab manajemen ekosistem di daerah ini adalah Pemerintah Desa. Dalam hal Bowele, pengelola nya adalah LMDH, Pemerintah Desa, Pokdarwis, Pokmaswas dan tim pelaksana. Tugas utamanya adalah mengoperasikan hak yang diberikan kepadanya oleh pemerintah, mengorganisasikan minat dunia usaha swasta, koperasi, untuk berpartisipasi mengembangkan jasa ekowisata secra berkelanjutan dan memberikan mutu layanan dan kepuasan pengunjung. Akan tetapi pada pelaksanannya, Para pengelola ini hanya terfokus pada permasalahan bagi hasil dari tiket masuk ke wilayah ini. Rasa kecewa, tidak meratanya pembagian informasi, tidak adanya visi bersama yang membuat kerja para pengelola di tempat ini menjadi tidak singergis. Hal tersebut sungguh dapat terlihat dari keterangan – keterangan yang diperoleh peneliti dengan para informan. Ada informan yang banyak peneliti kutip hasil pemikiran nya, ada yang jarang. Ada informan yang paham betul mengenai ekowisata dan pengembangannya, ada informan yang merupakan bagian perangkat desa tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh pengelola lainnya. Pokdarwis yang lebih banyak mengetahui kondisi ekowisata merasa telah mengajak dan memberikan informasi kepada para

pengelola lainnya akan tetapi tidak ‘direken‟ oleh pengelola lainnya.

Sedangkan, perangkat desa merasa kegiatan atau program yang telah diikuti oleh Pokdarwis, yang sudah direncanakan pokdarwis tidak diberitahukan kepada mereka. Tim pelaksana juga sampai saat ini belum berhasil menjadi koordinator dari para pengelola di tempat ini, karena sampai saat ini belum ada kebijakan yang terealisasi dari timlak. LMDH yang merupakan badan

utusan perhutani untuk menangani desa juga tidak dapat menjalin hubungan dengan baik dengan masyarakat dan pengelola sehingga LMDH terkesan menjadi musuh bersama di Bowele ini.

d) Sektor swasta adalah stakeholder yang mengoperasikan usaha ekowisata. Sektor swasta menyediakan berbagai fasilitas dan akomdasi, infromasi dan produk pariwisata, tujuan wisata, program pendidikan dan pelatihan dan kualitas pelayanan, degan tujuang dapat menarik wisatawan dan memberikan kepuasan dan pengalaman yang berharga. Sektor swasta disini terdiri dari mulai jawa trasnportasi, biro perjalanan, hotel dan restoran, souvenir, operator dan penunjang lainnya. Dalam Nugroho (2015) sektor swasta disebutkan sebagai operator, mereka yang menjalankan operasional program – program pendidikan, pelatihan, pertolongan, pengamanan hingga pengembangan SDM. Sampai saat ini di Bowele tidak ada unsur campur tangan pihak swasta meskipun dapaat menjadi operator dari wisata. Perangkat desa berkeinginan agar memberdayakan masyarakat disini dan tidak menerima adanya investasi. Perangkat desa takut kalau adanya investor masuk, pihak swasta yang akan menguasai. Akan tetapi, pihak swasta juga sebenarnya memainkan peran penting. Pihak swasta dalam ekowisata memainkan peran juga untuk memberdayakan pelaku ekonomi penduduk lokal, beriteraksi sebaik – baiknya dengan pengelola ekowisata dan unsur pemerintah. Sebagian keuntungan atau transaksi dari pihak swasta memang peruntukannya untuk pajak kepada pemerintah pusat dan daerah. Keuntungan, investasi dan pajak adalah mata rantai manfaat ekonomi, yang jika

dimanfaatkan optimal menjadi kunci keberhasilan keberlanjutan pengelolaan usaha (Nugroho, 2015).

e) Pengunjung atau wisatawan menjadi indikator terpenting keberhasilan dalam pembangunan ekowisata. Pendorong utama permintaan jasa ekowisata, wisatawan dari luar wilayah dapat memberikan suntikan aliran ekonomi lokal dan memberikan insentif bagi pengelolaan lingkungan yang lebih baik. Pengunjung yang terlayani dengan baik akan menjadi media promosi ekowisata, media pengembangan budaya dan media untuk membayar upaya konservasi yang tersedia. Peneliti telah mewawancarai wisatawan dengan pertanyaan close end , Karakterisitik wisatawan yang ada adalah rata – rata usia wisatawan adalah 20 – 60 tahun. Mayoritas wisatawan berasal dari wilayah sekitar Jawa Timur, pendapatan nya mayoritas berkisar di satu sampai tiga juta. Mayoritas wisatawan yang datang ke tempat ini pekerjaannya adalah mahasiswa. Wisatawan mengetahui daya tarik wisata bowele ini dari teman, word of mouth berperan penting dalam promosi wisata di Bowele. Tujuan wisatawan ke daerah ini adalah untuk berwisata menikmati keindahan alam. Mayoritas dari wisatawan tidak menginap dan hanya mengestimasikan pengeluaran biaya untuk wisata Rp 150.000 – Rp 200.000. Wisatawan maksimal berkunjung ke tempat ini hanya dua kali. Kesan mereka terhadap atraksi wisata di Bowele adalah menyenangkan, akan tetapi terkait akses untuk mencapai tempat ini mayoritas wisatawan beranggapan sulit. Hal tersebut dikarenakan akses jalannya berkelok – kelok, sempit, rambu penerangan jalan tidak sudah ditemukan. Komentar yang diberikan oleh

wisatawan mayoritas adalah untuk memperbaiki akses jalan, kemudian disusul oleh penambahan fasilitas wisata, kebersihan dan keamanan, kemudian disusul memperindah daerah wisata dan meningkatkan promosi dan yang terakhir adalah adanya pemangkasan biaya.

f) Stakeholder selanjutnya adalah penduduk lokal. Penduduk lokal ini sebagai subyek dan objek dari pengembangan ekowisata. Sebagai subyek, pola pikir, kelembagaan lokal dan kearifan penduduk lokal dapat dijadikan patokan dalam proses perencanaan. Akan tetapi, proses perencanaan di Bowele ini berdasarkan penjabaran pada bagian sebelumnya, umumnya berasal dari angan – angan dan harapan serta ambisi dari masing – masing pihak pengelola. Sebagai objek wisata, penduduk lokal dan lingkungan juga perlu sentuhan pengelolaan agar tecapai tujuan konservasi dari ekowisata dan bermanfaat bagi banyak orang. Penduduk lokal seharusnya diberikan kesempatan untuk mengidentifikasi, mengolah, dan menjual produk jasa wisata yang khas sesuai dengan lingkungannya. Sajian budaya lokal dengan kemasan spesifik merupakan sumber ilmu pengetahuan yang sangat berarti bagi pengunjung. Akan tetapi, mayoritas penduduk disini belum paham terkait budaya lokal. Sebagai contoh, mayoritas warung yang berjualan di pinggir pantai menjual makanan pecel, bakso, cilok, ayam goreng, indomie, yang tidak sesuai dengan khasanah lokal dan pantai. Seharusnya yang dijual berupa ikan bakar, nasi tiwul, air kelapa, kopi asli penduduk setempat.

g) Stakeholder selanjutnya adalah lembaga swadaya masyarakat dan media massa. Di Bowele belum terdapat lembaga swadaya masyarakat yang

menelaah potensi dan mengembangkan wilayah potensial. Penelaah potensi dan mengembangkan wilayah potensial dilakukan oleh Pokdarwis beserta teman – teman universitas seperti Himapar, FPIK UB. Untuk media massa, Bowele sudah bekerja sama dengan baik, beberapa kali masuk program

televisi nasional, diliput oleh majalah internasional “Ulin – Ulin” dan masih

banyak lagi.

C. Kemampuan Kepemimpinan Kepala Daerah Perlu Ditingkatkan Untuk mengatasi konflik kepentingan, Kemampuan kepemimpinan seorang Kepala Daerah diperlukan dengan sangat. Ekowisata perlu diperkuat oleh sosok pemimpin yang mampu menjalankan visi, misi dan strategi dalam konservasi lingkungan (Prieto et al, 2009 dalam Nugroho, 2015). Kepemimpinan memandu berbagai organisasi dan institusi ekowisata untuk saling bekerjasama mengembangkan visi konservasi memerlukan semua pihak untuk berperean menjadi wirausaha sosial dalam wadah organisasi ekowisata. Kepemimpinan di daerah ekowisata diharapkan mampu menghasilkan nilai tambah dari daerah, mampu mempromosikan keunggulan komparatif melalui inovasi infrastruktur lokal, manajemen, pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dan pemasaran ekowisata (Fodor dan Sitanyi, 2008 dalam Nugroho, 2015).

Oleh karena itu dalam Manajemen Ekowisata, Pemimpin daerah beserta para pengelola haruslah berhasil memecahkan permasalahan untuk pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan. Permasalahan yang terjadi adalah sektor ekowisata lahir dari permintaan jasa rekreasi yang spesifik, yang

bukan sepenuhnya dilandasi aspek ekonomi sehingga harga bukan variabel yag penting. Konsumen ekowisata adalah orang yang datang berwisata untuk memperoleh kepuasan, pengetahuan, manfaat lain bagi kepentingan konservasi. Sehingga, Kegiatan manejemen ekowisata mencakup manajemen wisata untuk mensinergikan sektor penunjang ekowisata, menetapkan tujuan wisata, menyiapkan akomodasi hingga mengoptimalkan pemasaran produk wisata yang memerlukan kerjasama diantara para stakeholder agar penawaran ekowisata dapat mengimbangi aspek permintaan.

Untuk mampu melakukan manajemen ekowisata dengan baik, pengelola dan pemerintah desa yang merupakan bagian dari manajemen operasional dari Bowele memahami tentang faktor – faktor yang membentuk kepuasan konsumen ekowisata. Berikut ini adalah faktor – faktornya :

1. Tujuan wisata. Semakin banyak tujuan ekowisata ditemukan, makin banyak tempat – tempat yang dapat dilindungi dari ancaman kerusakan.

2. Produk ekowisata. Produk ini mencakup materi, akomodasi dan souvenir. Materi berbentuk pendidikan atau pelatihan yang menghasilkan perubahan psikomotorik yang berkesan. Karakteristik lokal dan nilai kesederhanaan dapat mewarnai akomodasi tanpa harus kehilangan unsur higienis dan kesehatan. Suvenir dapat berasal dari bahan imitasi ataupun asli dari Bowele, yang penting memberikan kesan lokal dan mendalam.

3. Promosi. Promosi adalah bagian manajemen terpenting karena sesungguhnya variabel harga bukan yang utama dalam memasarkan ekowisata. Kesadaran masyarakat agar tertarik dan ingin menyaksikan

fenomena ekowisata yang dijadikan target utama dari promosi. Materi promosi sebaiknya menjelaskan jadwal kunjungan, jumlah anggota minimal dalam rombongan, jumlah akomodasi, kemampuan pendudukan lokal. Selama ini pengelola bowele sudah melakukan kegiatan promosi yang baik, akan tetapi selama ini mereka tidak membatasi jumlah rombongan dan menjelaskan informasi terkait akomodasi secara jelas.

4. Pengendalian rombongan. Karakteristik operasional manajemen operasional ekowisata adalah jumlah rombongan pengunjung rendah, pelayanan berkualitas, menghasilkan nilai tambah yang tinggi. Akan tetapi hal tersebut tidak terjadi di wisata Bowele. Hal tersebut juga didasari oleh ketersediaan sumber daya manusia akan adanya specialist guide belum ada. Ditambah dengan, pengelola di tempat ini masih setengah hati dalam mengelola ekowisata di tempat ini dan memang membuka diri pada banyaknya kunjungan wisata.

5. Sikap partisipasi penduduk lokal. Penduduk lokal berpartisipasi dalam menjual produk wisata, akomodasi maupun souvenir. Akan tetapi usaha pembuatan kripik pisang dan penumbukan kopi belum terlalu digencarkan oleh masyarakat. Kripik pisang yang diolah masyarakat setempat dijual di Bowele dan mereka mengirimkan untuk daerah Bali. Selain itu kripik pisang yang dapat menjadi oleh – oleh dari Bowele ini juga belum mendapat ijin perdagangan.

“ada untuk kripik pisang sudah ada di warung – warung, kita disini jual bubuk kopi dan kripik pisang, kripik pisangnya udah kita kirim ke Bali. Orang

orang kita selalu produksi, beli nya di warung warung sekitar sini. Namanya Kripik Bowele” (Wawancara Pak Muklis, 2016).

5.1.2 Kesimpulan Analisis Pengelolaan : Pemasaran wisata di Bowele adalah promosi.

Pada bagian sebelumnya telah dipaparkan pemasaran jasa yang telah dijalankan di Ekowisata Bowele. Akan tetapi sebelum membahas mengenai pemasaran jasa, terlebih dahulu membahas mengenai segmenting, targeting dan positioning dari pemasaran jasa yang ada di Bowele ini.

A. Segmenting, Targeting dan Positioning Bowele a. Segmenting

Sebagaimana yang diketahui segmentasi pasar adalah membagi pasar menjadi kelompok pembeli yang dibedakan menurut kebutuhan, karakteristik atau tingkah laku yang mungkin membutuhkan produk yang berbeda. Berdasarkan pembagian segmentasi pasar yang diberikan oleh Ratnasari dan Aksa (2011), Segmentasi pasar yang sesuai dengan kondisi di Bowele seharusnya adalah Pemasaran dengan pembedaan. Pemasaran dengan pembedaan memudahkan perusahaan mengidentifikasi beberapa segmen dalam pasarnya dan menerapkan bauran pemasaran yang berbeda bagi tiap segmen pasar tersebut.

Bowele saat ini masih melakukan pemasaran tanpa pembedaan dalam artinya pemasaran missal dimana tidak ada pembagian yang khusus atau segmen tertentu dalam pasar. Akan tetapi, Bowele memiliki potensi untuk melayani dua tipe segmen pasar, yakni pariwisata massa dan wisata minat

khusus. Pemasaran jasa untuk kedua jenis wisatawan pada dua segmen pasar yang berbeda ini tentu berbeda, oleh karena itu diperlukan pendekatan pemasaran jasa yang berbeda.

b. Targetting

Untuk targeting pasar sasaran, Bowele apabila menggunakan pemasaran dengan pembedaan, operator wisata ditempat ini memilih beberapa segmen dan merancang barang untuk masing – segmen. Misalnya untuk pariwisata massa, pengelola membuat target pasarnya adalah keluarga dan mahsiswa dengan atraksi wisata berkunjung ke obyek wisata dan desa wisata. Untuk wisata minat khusus, pengelola membuat target pasarnya adalah turis mancanegara dan pecinta wisata minat khusus.

c. Positionning

Untuk Positioning, Bowele dapat memposisikan wisatanya sebagai wisata yang penting, berbeda dan unggul untuk segmen pasar pariwisata massa. Untuk segmen pasar wisata minat khusus, Wisata Bowele dapat memposisikan wisatanya sebagai wisata yang berbeda, harga terjangkau dan menguntungkan. (Kotler, 2009 : Ratnasari & Aksa, 2011). Jika strategi diferensiasi dijalankan, maka proses positioning pemasaran yang tepat untuk segmen pariwsata massa adalah . Pengelola bowele melakukan positioning struktur dari proses jasanya adalah dengan mengurangi kompleksitas untuk spesialisasi dimana sumber daya difokuskan pada penawaran jasa yang lebih sempit sehingga distribusi

dan kontrol lebih mudah dan lebih ahli. Untuk segmen pasar wisata minat khusus, positioning struktur dari proses jasanya adalah dengan meningkatkan keragaman, kustomisasi dan fleksibilitas sehingga penetapan harga tinggi menjadi timbal balik yang seimbang (Ratnasari & Aksa, 2011).

B. Bauran Pemasaran Jasa a. Produk (Jasa)

Dari segi bauran pemasarannya, Jasa yang ditawarkan oleh Bowele belum sesuai dengan produk jasa ekowisata. Hal tersebut dikarenakan produk ekowisata mencakup materi, akomodasi dan suvenir. Materi mencakup pendidikan atau pelatihan yang menghasilkan perubahan psikomotorik yang berkesan bagi pengunjung dan disini belum ada sovuvenir yang memberikan kesan lokal kepada wisatawan.

b. Harga

Dari segi pricing, Bowele saat ini menerapkan flexible pricing dan relationship pricing. Harga jasa ekowisata di Bowele ini pertama ditentukan dari kegiatan tawar menawar oleh wisatawan degan para wisatawan (flexible pricing ) dan juga ditentukan dari keseluruhan jasa yang disediakan untuk pelanggan sehingga tidak terlalu mahal tetapi juga menguntungkan penambang (relationship pricing). Akan tetapi untuk jasa ekowisata, teknik penetapan harga lebih baik menggunakan value – based pricing. Hal tersebut bertujuan untuk memposisikan jasa bahwa harga yang dibayarkan itu sesuai dengan benefit yang dirasakan dari wisatawan.

c. Promosi

Dari segi promosi, Promosi adalah bagian manajemen terpenting dalam memasarkan ekowisata. Bagaimana menciptakan kesadaran masyarakat agar tertarik dan ingin menyaksikan fenomena ekowisata yang dijadikan target utama dari promosi. Materi promosi sebaiknya menjelaskan jadwal kunjungan, jumlah anggota minimal dalam rombongan, jumlah akomodasi, kemampuan pendudukan lokal. Selama ini kegiatan promosi jasa yang dilakukan pengelola bowele masih terfokus pada kegiatan promosi penjualan. Oleh karena materi promosi yang harus dilakukan adalah sifatnya memberikan informasi selengkap – lengkapnya terkait ekowisata di Bowele, maka strategi promosi jasa yang dapat digunakan adalah dengan advertising dengan iklan yang bersifat memberikan informasi (informative advertising) melalui majalah, surat kabar, direct mail, interactive marketing (facebook, instagram dan web – web wisata seperti couchsurfing), personal selling kepada jasa tour dan travel, public relation melalui event dan pameran, serta menguatkan positive word of mouth.

d. Place (Lokasi dan Saluran Distribusi)

Dari sisi lokasi dan saluran distribusi, Lokasi Bowele memang cukup jauh. Oleh karena Wisata ini pelanggan yang mendatangi perusahaan, maka seharusnya lokasi dari Wisata Bowele ini mudah dijangkau. Akan tetapi jalan menuju ke lokasi, berdasarkan wawancara singkat dengan beberapa wisatawan, itu sempit, berkelok – kelok, tidak ada pengaman

bahu jalan, minim penunjuk arah. Oleh karena jasa wisata ini bersifat inseparability sehingga manajemen distribusi jasa merupakan refleksi dari kualitas jasa itu. Kontak antara pelanggan dan penyedia jasa akan membentuk persepsi pelanggan. Oleh karena itu baik dari penyedia jasa (operator) dan perantara (intermediary) di Bowele ini harus dapat memberikan pelayanan yang terbaik.

e. People

Dari sisi people yang dimaksud adalah orang – orang yang terlibat dalam lancarnya proses wisata. Modifier adalah orang – orang cukup sering berhubungan dengan wisatawan seperti orang yang bertugas di TIC, loket masuk, warung. Influencers adalah mereka yang secara langsung kontak dengan wisatawan seperti guide, penambang, ojeg, pemilik homestay, pokdarwis, pokmaswas. Isolated people adalah orang yang tidak sering bertemu dengan pelanggan seperti perangkat desa, lmdh, tim pelaksana. Cara pihak tersebut berinteraksi langsung dan tidak langsung sebagai service provider akan mempengaruhi kualitas jasa yang diberikan. Kelalaian dalam perencanaan, pengembangan , pelaksanaan serta pengawasan terhadap sumber daya manusia yang dimiliki tidak akan menguntungkan daerah wisata. Akan tetapi, Pengawasan, perencanaan dan pengembangan sumber daya manusianya dapat dikatakan kurang. Hal tersebut dapat dilihat dari meskipun sering diadakan pelatihan, akan tetapi masyarakat masih saja ada yang masa bodoh dengan wisata, belum semua masyarakat mengerti tentang ekowisata (Ratnasari & Aksa, 2011).

f. Proses

Dari sisi proses, Wisatawan yang menikmati sensasi alam di Bowele harus menghasilkan perubahan psikomotorik yang berkesan. Oleh karena itu, dalam proses atau aktivitasnya, proses ekowisata ditempat ini dapat menggunakan pilihan proses dengan increase divergence. Increase divergence adalah proses yang condong ke penetrasi pasar deagn cara menambah services yang diberikan melalui mengubah langkah dan tahap dalam proses. Pengelola Bowele seharusnya menciptakan alur kedatangan wisatawan yang pertama itu ke TIC, lalu memutuskan paket wisata apa yang hendak dinikmati, apakah menuju objek wisata langsung atau ke desa wisata dan ke obyek atau wisata minat khusus.

Dalam dokumen STRATEGI PENGEMBANGAN PARIWISATA MELALUI docx (Halaman 123-200)

Dokumen terkait