• Tidak ada hasil yang ditemukan

Siapa yang terkait mengelola Bowele

BAB IV HASIL PENELITIAN

4.6 Pemahaman Bidang Pengelolaan

4.6.1 Siapa yang terkait mengelola Bowele

Untuk mengelola daya tarik wisata di Bowele, sebagaimana dipaparkan pada bagian sebelumnya, terdapat tiga lembaga yang turut ambil bagian dalam pengelolaan tempat ini. Tiga lembaga tersebut adala LMDH (lembaga masyarakat desa hutan) dari Perum Perhutani KPH Malang, Pokmaswas (Kelompok masyarakat pengawas) dari Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Malang dan Ladesta (lembaga desa wisata) dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Malang.

a. LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan)

Oleh karena mayoritas kawasan pantai yang ada di Kabupaten Malang ini banyak yang berada pada wilayah Perum Perhutani, Siapapun yang hendak

mengelola atau membangun atau memanfaatkan harus ada kerja sama dengan pihak Perum Perhutani KPH Malang. Oleh karena Desa Purwodadi berada di lahan hutannya perhutani dan Perhutani memiliki aturan main bahwa untuk memanfaatkan wilayah hutan harus melibatkan LMDH, maka terbentuklah LMDH di wilayah Desa Purwodadi.

“…jadi kawasan pantai yang ada di kabupaten malang itu adalah masuk dalam kawasan Perum Perhutani KPH Malang, nah karena masuk kawasan Perum Perhutani KPH Malang maka dengan sendirinya siapa siapa yang mau mengelola atau membangun atau memanfaatkan harus ada kerja sama dengan pihak perhutani. Alasannya dari perhutani ini yang saya dengarkan dari teman teman, perhutani itu sudah ada mou dengan bupati terkait dengan pengelolaan hutan oleh lkdph(Wawancara Bu Lani, 2016).

Lembaga masyarakat desa hutan, berdasarkan keterangan dari para informan, adalah lembaga perwakilan perhutani untuk mengelola wilayah perhutani yang ada di desa yang dibentuk berdasarkan surat keterangan dari kepala desa. Pengelolaan yang dimaksudkan adalah terkait cukai dan biaya atas pemanfaatan lahan perhutani oleh masyarakat setempat. Pengelola wisata di tempat ini banyak yang tidak respect terhadap lembaga ini karena pengelola lainnya beranggapan LMDH hanya mengambil uang saja dan pro ke perhutani padahal lembaga desa.

“dulu kan lmdh bergerak di cukai, cukai yang tanah – tanah serobotan, tanah hutan yang ditanemi masyarakat, tanah ketelan, .. kami kembangkan wisata jadinya ramai, sehingga mereka kan melirik itu, sehingga wes ganda booking nya, juga ke wisata, alasannya kan ini tanah – tanah ku, padahal namanya aja udah lembaga masyarakat desa hutan, lah lembaga desa kan itu harusnya tunduk ke desa. Tapi oknum oknum nya ga gitu, pro kesana, itu yang membuat pak inggih kecewa, sehingga mencuekkan disana, gak menggebu – gebu lah istilahnya” (Wawancara Pak Sidik, 2016).

Tanggapan yang senada juga disampaikan oleh Pak Tomi selaku Sekretaris Desa Purwodadi

“LKDPH itu kan lembaganya kehutanan, tapikan untuk personilnya pake SK Kepala Desa itu kan lembaga desa, bagaimanapun kita harus patuh kepada desa, kan aturan diatas sudah ada sekian sekian prosentasenya sudah ada, PKS kan gitu, tapi rupa – rupanya gak jalan juga, dia lebih memihak kepada perhutani. Dan LKDPH ini tidak berjalan sebagaimana mestinya. LKDPH itu malah kayak musuh istilahnya untuk desa, hanya materi yang dipikirkan hanya tiket bukan pengembangannya(Wawancara Pak Sidik, 2016).

b. Ladesta

Selain LMDH, Lembaga lainnya yang mengelola Desa Purwodadi adalah Ladesta. Ladesta ini adalah lembaga desa wisata. Ladesta merupakan lembaga berbadan hukum yang mengikat perjanjian kerjasama antara Desa, LMDH dan Perum Perhutani KPH Malang terkait tiket masuk ke wilayah bowele. Selain itu ladesta juga merupakan lembaga yang nantinya mengelola desa wisata di Desa Purwodadi.

“Kebetulan kan saya sebagai sekretaris lembaga desa wisata itu, jadi kan untuk eksekutor nya di desa itu kan ladesta. Jadi untuk ladesta krn sudah berbadan hukum, disitu kan bisa MOU, sedangkan dengan instansi lain” (Wawancara Pak Muklis, 2016).

“jadi gini lembaga desa wisata itu dibentuk di SK kan oleh kepala desa, dilaporkan kepada dinas, dinas akan membuat pengukuhan seperti itu, nah untuk pengembangan desa wisata ini, ya oleh lembaga itu tadi, lembaga desa wisata, (Wawancara Bu Lani, 2016).

“ladesta, ladesta itu dulu nya dari pokdarwis pokmaswas dan kelautan, mempunyai gagasan dijadikan ikatan ladesta, lembaga desa wisata. Yang artinya disitu punya kegiatan yang berkaitan yaitu mengenai peningkatan pariwisata agar kedepan lebih baik lebih meningkat baik dan lebih ada keuntungan baik di bidang usaha untuk masyarakat purwodadi termasuk pengruus yang berkecimpung, dan juga menyangkut kegiatan kegiatan sosial melalui kegiatan sosial.” (Wawancara Pak Madyo, 2016).

c. Pokmaswas

Pokmaswas atau kelompok masyarakat pengawas dibentuk dikarenakan untuk menjaga kelestarian ekosistem di Bowele, membantu menjaga keamanan perairan dan pesisir di Bowele, sehingga nelayan – nelayan di Bowele ini tidak kehabisan ikan. Pokmaswas juga berkoordinasi dengan paguyuban nelayan, warung dan komunitas anak pantai untuk menjaga kebersihan, keamanan bibir pantai Lenggoksono yang merupakan pintu masuk bagi para wisatawan.

“…kalo pokmaswas jelas, sifatnya khusus dari daerah pesisir baik dari terumbu karang , pelanggaran – pelanggaran hukum yang ada di daerah perairan, juga untuk menjaga udang windu yang disana itu termasuk pengawasannya pokmaswas.” (Wawancara Pak Kasembadan, 2016). Pokmaswas ini berada dalam pembinaan dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Malang dan Provinsi, sebagaimana yang disebutkan

oleh Pak Kasembadan selaku ketua Pokmaswas di tempat ini “ada dari kelautan , dari kelautan provinsi”. Berdasarkan keterangan yang dihimpun dari Pak Kasembadan, Pokmaswas ini diberi tanggung jawab sebagai penerima pertanggungjawaban dari kelompok nelayan dan pokdarwis. pokmaswasnya membawahi pokdarwis dan nelayan. Kalo ada binaan tentang wisata pokdarwis yang menjalankanPokmaswas bertanggung jawab terhadap pengaturan jadwal nelayan, menghimbau nelayan

bagaimana cara ‘menambang‟ yang baik dan menghimbau para perahu

d. Pokdarwis.

Pokdarwis berada dalam binaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Malang. Pokdarwis bertindak sebagai bidang promosi dari wisata Bowele.

“pokdarwis itu konsentrasi desa wisata, pengembangan desa wisata melalui homestay. Kami berusaha tahan wisatawan itu untuk tinggal di homestay.” (Wawancara Pak Muklis, 2016).

“saya di pokdarwis, saya harus jadi setengah agen wisata, harus mencari, gak sosial lagi secara umum(Wawancara Pak Sidik, 2016).

Oleh karena banyaknya lembaga yang mengelola wisata di tempat ini, Lembaga – lembaga tersebut tidak berjalan sesuai dengan fungsinya masing – masing. Adanya kenyataan bahwa Perhutani berhak menarik biaya atas pariwisata di tempat ini dimana prosentase pembagian yang ditetapkan oleh Perhutani membuat pendapatan dari wisata ke desa dan ke lembaga pengelola lainnya kecil. “pendapatan kan gini, jadikan kita kalo kita ngomong pendapatan kan ngomong ke PKS, jadi 100% dari retribusi itu kita bagi, jadi 38% untuk LMDH, untuk perhutani, 30 % untuk pengelola tiga lembaga itu tadi, lalu 20 % DPPKA dinas perpajakan, lalu sisa 12 %, 2 % untuk desa, 5% untuk semacam badan usahanya perhutani KOPKAR, Muspika 3% sisanya 2% untuk pelaku gak tau(Wawancara Kepala Desa Purwodadi, 2016).

Tidak berjalan dengan baik dikarenakan adanya rasa kecewa

“semua gak jalan. Dari tupoksi nya, …… Cuma greget desa ini diapakno itu yang kurang bersatu dari perhutani, desa menggebu nanti menguntungkan perhutani, kan itu pemikiran sini, tapi oleh pak kades itu wes dicuekin ae, namanya juga wong, akhirnya yang menikmati kan mereka, itu yang bikin kita ga semangt” (Wawancara Pak Sidik, 2016).

dan ketidakmerataan pembagian informasi, tidak berjalan sesuai tupoksinya sehingga muncul rasa kecurigaan dan saling tuding menuding.

Istilahnya dalam pemikirannya, hanya uang uang uang, Jadi dia dalam berlembaga itu kurang, … terus terang saja saya blank itu, program desa wisata itu program yang kayak gimana sih, saya belum paham betul, Makanya

saya bingung desa wisata, ada pokdarwis. Jenengan ada ladesta. Terus apa bedanya ?... lah iyo, padahal pokdarwis dan ladesta juga orang yang sama” (Wawancara Pak Carik, 2016).

ladesta ini kan gagasan pak muklis, tapi struktur pembukuan kegiatannya gak punya, Cuma formalitas aja, Cuma namanya aja yang berkekuatan hukum, tanpa tindakan gak ada artinya(Wawancara Pak Madyo, 2016).

Gagasan Pak Madyo di atas juga disebutkan oleh Pak Carik yang menyatakan “gak pernah, karena harapan kami kan gini, sampe saat ini jangan kan kami yang selaku pengawas pendamping pendukung, lah ladesta sendiri fungsinya apa gak tau. Anggotanya bingung apa selama ini actionnya ladesta terhadap desa, gak ada”.

e. Tim Pelaksana

Berangkat dari keadaan tersebut, Desa membentuk satu lembaga yang dinamakan tim pelaksana yang bertanggung jawab sebagai koordinator dari ketiga lembaga tersebut. Berikut ini penjelasan pembentukan dari Tim Pelaksana oleh Pak Madyo, ketua tim pelaksana “diawali dari perosalan yang muncul, dimana dari berbagai pihak ini ingin mengelola pariwisata, diantaranya ada 3 lembaga, lmdh, ladesta dan pokmaswas. Jadi disitukan ada saling berebutan gitukan saya yang harus mengelola dan seterusnya, ingin menguasai intinya gitu”. Tim pelaksana bentukan desa ini diharapkan dapat menjadi koordinator dari tiga lembaga tersebut, mengambil keputusan berdasarkan hasil musyawarah kesepakatan dari tiga lembaga tersebut dan memberikan arah pengembangan dari Bowele. Tim Pelaksana juga yang bertanggung jawab atas sharing pendapatan dari tiket masuk. Akan tetapi dalam pelaksanaannya, Timlak pun mengalami kesulitan. Kesulitan yang dihadapi oleh timlak adalah ketika pengambilan

para lembaga – lembaga tersebut mengatasnamakan dinas yang membina atau atasannya. Oleh karena itu setiap rancangan yang disusun oleh timlak hanya sebagian kecil saja yang sudah terlaksana, yang lainnya masih berupa wacana, belum ada yang terealisasi. Berikut ini adalah bagian yang sudah terlaksana.

“kalo sejauh ini, memang yang dihasilkan belum ada, tapi setidak tidaknya dulu, itu seperti perahu dengan perahu anggota wisata kerah karep e dewe, sekarang sudah tidak. Yang semula itu orang yang bukan orang nelayan beli perahu, harus keluar tidak boleh melakukan aktivitas penambangan, sedangkan peraturan yang saya buat yang berhak dan wajib menjadi pelaku wisata dan pengelola adalah masyarakat purwodadi, kecuali ada pertimbangan khusus dan mau mematuhi peraturan yang dibuat bersama(Wawancara Pak Madyo, 2016).

Pak Madyo selaku ketua pokmaswas lanjut menuturkan kesulitan – kesulitan yang dihadapi dalam mengkoordinatori tiga lembaga ini

“ pelaku – pelakunya dari tiga lembaga itu, nah disitu sulitnya karena mementingkan kepentingannya sendiri sendiri, kadang itu yang terjadi, … dibawah ini tetapi masih ada konflik, anggota lmdh itu aku kata atasan ngene, lah awakmu kalo di wisata itu ngomong nya gak ngomong selalu atasan perhutani perhutani, … lmdh seketika atasannya berbicara ini harus gini itu selalu andalin atasannya perhutani, lalu apa itu seperti pokmaswas juga gitu, saya dari dinas gitu katanya, … benturan, benturan nya sama perhutani kalau gak nurut sama saya, teman teman saya gak ngerti, iku menteri ku, sing pokmaswas ngomong lek segoro itu tek pokmaswas, pantai itu, pokmaswas”.

Dokumen terkait