• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ekowisata Sebagai Sasaran Model Kebijakan yang Berkelanjutan di Kecamatan Pangururan

BAB V ANALISA KEBIJAKAN PARIWISATA BERBASIS KEARIFAN LOKAL

ANALISA DAN PEMBAHASAN

5.3. Implementasi Kebijakan Pengembangan Pariwisata pada Objek- Objek-objek Wisata di Pangururan

5.4.2. Ekowisata Sebagai Sasaran Model Kebijakan yang Berkelanjutan di Kecamatan Pangururan

Perencanaan dan pengembangan sebuah model kebijakan yang tepat untuk Kecamatan Pangururan memerlukan sasaran yang jelas agar seluruh stakeholder mengarah ke jalan yang benar. Ekowisata dalam hal ini menawarkan keberlanjutan bukan hanya disebagian elemen saja, akan tetapi segala elemen dipertimbangkan dengan baik. Ekowisata memiliki keunggulan (dalam praktek terbaiknya) dalam kelestarian lingkungan dan sosial budaya, terutama dalam meningkatkan basis sumber daya alam dan budaya dari destinasi dan mempromosikan pertumbuhan (Dowling dan Fennell 2003:3). Ekowisata merupakan sasaran yang cocok untuk pengembangan pariwisata di Kecamatan Pangururan karena di Pangururan terdapat objek wisata alam, budaya dan kesenian.

111 Gambar 5.29 Model Proses Perencanaan dan Pengembangan Ekowisata yang Tepat di Kecamatan Pangururan Mengacu pada Konsep Drumm & Moore,2005

Penyusunan rencana harus memperhatikan 3 (tiga) tujuan pengembangan ekowisata yang dijelaskan, yaitu (1) menghindari ancaman terhadap target konservasi, (2) mengalokasikan pendapatan untuk konservasi, dan (3) mengoptimalkan manfaat bagi masyarakat lokal (Drumm dan Moore, 2005:91).

Model kebijakan yang dibentuk dari tujuan untuk menciptakan kawasan ekowisata pada Pangururan harus memperhatikan tiga faktor dalam penyusunan rencana.

Menghindari ancaman terhadap target konservasi seperti budaya dan alam di Kecamatan Pangururan wajib dilakukan karena merupakan ciri khas dari kawasan tersebut. Terjaganya budaya dan alam di Kecamatan Pangururan akan membentuk sebuah ekosistem yang baik antara manusia yang memanfaatkan alam dengan alam itu sendiri. Proses untuk penjagaan budaya dan alam memerlukan biaya yang tidak sedikit, sehingga para pemangku kepentingan yang memakai kekayaan alam dan

112 budaya di Kecamatan Pangururan harus mengalokasikan dana yang mereka peroleh dari kegiatan kepariwisataan untuk pelestarian budaya dan alam di Pangururan.

Masyarakat lokal Pangururan yang memegang peranan penting untuk menjaga lingkungan dan budaya harus diberdayakan dalam menjaga budaya dan lingkungan mereka sendiri sehingga pengikisan keunikan budaya dan alam yang terjadi karena proses kepariwisataan dapat dikurangi.

Tabel 5.2 Arahan Rencana Pengembangan Ekowisata di Kecamatan Pangururan Komponen Ekowisata di Kecamatan

Pagururan

Kontribusi terhadap

biodiversitas Pengembangan objek

wisata tetap memperhatikan

kelestarian lingkungan terutama pada wisata alam seperti :

1. Pantai Parbaba 2. Pantai Situngkir 3. Aek Rangat

Penataan kembali area objek wisata dengan penerapan kebijakan dan regulasi yang tegas dari pemerintah tentang pelestarian lingkungan dengan tujuan memberikan

ecolabeling dan

ecocertification.

dalam pengelolaan objek

wisata, penyedia akomodasi dan penyedia

makan-minum.

Memberikan pelatihan keahlian kepada masyarakat, seperti :

1. Pelatihan berwiraswasta secara mandiri

2. Pelatihan Bahasa Inggris 3. Pelatihan pemberian

pelayanan yang baik dan berkualitas

4. Pelatihan keahlian tour guide Pangururan seperti

sejarah dan budaya,

Pemfokusan objek wisata sejarah dan budaya dalam pengembangan :

113 Ekowisata di Kecamatan

Pagururan

seperti sejarah Sopo Paromasan, Kain Tenun Ulos, dll

1. Peningkatan akses jalan menuju objek wisata sehingga mudah dicapai

2. Menyajikan cerita sejarah dan budaya lokal

dalam bentuk papan informasi di setiap objek wisata sehingga dapat dibaca wisatawan

Tindakan

bertanggung jawab dari wisatawan dan industri pariwisata

Pengelola wisata dan wisatawan harus memiliki rasa bertanggung jawab terhadap kelestarian lingkungan agar terjadinya keberlanjutan

Pengelola wisata harus selalu mengawasi objek wisata yang dikelola sehingga jauh dari polusi sampah dan tetap bersih.

Wisatawan diberi sanksi pidana ataupun denda jika melanggar aturan untuk melestarikan lingkungan.

Berkembangnya

usaha skala kecil Memberikan kemudahan akses bagi UMKM agar

masyarakat lokal mendapatkan akses untuk

menikmati hasil dari pengembangan

pariwisata

Pemberian insentif dan kemudahan peminjaman modal dari pemerintah agar masyarakat kecil dapat turut

melakukan kegiatan sumber daya baru dan terbarukan

Menggunakan sumber energi yang terbarukan seperti tenaga surya, angin ataupun air sehingga Kecamatan Pangururan dapat mengurangi emisi gas rumah kaca.

1. Pembangunan PLTA, PLTU maupun Panel Surya di Kecamatan Pangururan.

2. Pemberian insentif kepada

masyarakat yang menggunakan energi terbarukan untuk menjalankan kegiatannya.

114 Pembangunan berbasis masyarakat (community based tourism-CBT) merupakan model pembangunan yang memberikan peluang yang sebesar-besarnya kepada masyarakat pedesaan untuk berpartisipasi dalam pembangunan pariwisata (M.H.U. Dewi, 2013). Model kebijakan yang dibentuk harus memberdayakan masyarakat lokal secara maksimal, tetapi tidak menutup kemungkinan untuk menghadirkan investor. Pembangunan pariwisata di Kecamatan Pangururan yang berfokus pada atraksi wisata dan meberikan peran besar bagi masyarakat sebagai tuan rumah untuk memberikan pelayanan kepada wisatawan penting untuk dilaksanakan. Kerja sama lintas sektor di Kecamatan Pangururan dalam pariwisata juga penting agar masyarakat yang tidak mengambil keuntungan di sektor kepariwisataan tetap dapat menikmati efek dari kepariwisataan tersebut. Dalam konsep ekowisata, hal seperti kerja sama lintas sektor dapat dengan mudah dilakukan. Sebuah contoh praktisi ekowisata terbaik di Indonesia adalah di Bali, dimana pengusaha kuliner, resort dan hotel dapat menjalin kerja sama dengan para petani sebagai pemilik lahan agar tidak boleh menebang pohon miliknya yang ada disekitar hotel, membajak sawah dengan mesin, mengalihfungsikan lahan pertaniannya dan mengijinkan tamu untuk menggunakan pematang sawahnya sebagai jogging track (Sunaryo, 2013:43). Kerja sama seperti ini dapat diaplikasikan ke Kecamatan Pangururan dimana Pemerintah Daerah Kabupaten Samosir telah menetapkan bahwa sektor yang merupakan visi utama adalah pertanian dan pariwisata (sumber : https://samosirkab.go.id/visi-misi/). Dalam menjalankan visi misi tersebut, pemerintah Kabupaten Samosir harus berperan

115 sebagai pengawas agar pengelola dan masyarakat dapat menjalankan peran mereka masing-masing.

Gambar 5.30 Skematik Model Kebijakan Kepariwisataan Sumber : Dokumentasi Pribadi

116 BAB VI

PENEMUAN

Penemuan dari Penelitian ini dapat dilihat dalam tabel 6.1 Tabel 6.1 Penemuan

Permasalahan Penelitian

Keterkatitan Teori, Kebijakan dan identifikasi fakta serta

Interpretasi Data daya tarik wisata di Kecamatan Pangururan dengan mengidentifikasi jenis daya tarik wisata yang ada, seperti wisata budaya dan alam berguna untuk mengetahui ketertarikan wisatawan terhadap objek wisata yang ditawarkan.

Peningkatan kualitas layanan (masyarakat sebagai tuan rumah) dan

infrastruktur (jalan, signage, akomodasi) di

Pangururan harus diintegrasikan agar produk

wisata yang ditawarkan dapat memberikan image dan citra yang baik.

Pengembangan dan peningkatan kualitas industri pariwisata di Kecamatan Pangururan harus sesuai dengan paradigma keinginan wisatawan pada zaman sekarang sehingga pembangunan pariwisata dapat mencapai target yang telah ditetapkan bersama.

117 Permasalahan

Penelitian

Keterkatitan Teori, Kebijakan dan identifikasi fakta serta

Interpretasi Data kearifan lokal di Indonesia

Isi dari beberapa kebijakan yang dikeluarkan pemerintah memiliki kesamaan pada tujuan yang harus dicapai dalam pembangunan pariwisata.

Kebijakan-kebijakan dari pemerintah harus memiliki unsur yang mendukung masyarakat sehingga masyarakat dapat mempercayai kebijakan

yang diterapkan tersebut.

Masyarakat sebagai salah satu stakeholder dalam pembangunan industri pariwisata di Kecamatan Pangururan harus memiliki keperdulian terhadap kebijakan yang diterapkan pemerintah.

Pemerintah yang merupakan memiliki kuasa

dalam pembentukan hukum harus berpihak pada kearifan lokal yang mana bukan hanya budaya yang terdapat di Kec.

Pangururan, akan tetapi juga alam dan lingkungan Kec. Pangururan.

Dampak dari pembangunan

dan pengembangan pariwisata harus positif terhadap lingkungan dan alam karena lingkungan dan alam merupakan daya tarik wisata di Kec.

Pangururan selain budayanya. Semua pemangku kepentingan dalam hal ini yaitu

118 Permasalahan

Penelitian

Keterkatitan Teori, Kebijakan dan identifikasi fakta serta

Interpretasi Data

Skematik

pemerintah, pengelola dan masyarakat harus perduli terhadap kelestarian alam sehingga keberlanjutan kegiatan kepariwisataan dapat terwujud di Kec.

Pangururan.

telah disahkan dan

diterapkan oleh pemerintah, tetapi pada

kenyataannya, Pemda Kab.

Samosir kurang tegas dalam penerapan kebijakan tersebut di Kec.

Pangururan. Efektivitas dari penerapan kebijakan juga dipengaruhi dukungan masyarakat dan pengelola objek wisata di Pangururan.

Kerjasama antar ketiga stakeholder akan mempengaruhi penerapan kebijakan tersebut sehingga

dapat dirasakan manfaatnya pada sektor

pariwisata Kec.

Pangururan.

Pemerintah dalam menerapkan kebijakan yang ada harus sesuai dengan norma dan tidak boleh bertentangan dengan budaya lokal di Kec.

Pangururan. Penyesuaian kebijakan pembangunan

119 Permasalahan

Penelitian

Keterkatitan Teori, Kebijakan dan identifikasi fakta serta

Interpretasi Data

Skematik

pariwisata yang berbasis sosial dan budaya Kec.

Pangururan akan dengan mudah diadaptasi oleh keseluruhan pemangku kepentingan dan membentuk suatu ekosistem kepariwisataan

yang berkelanjutan, juga menarik bagi wisatawan.

Model kebijakan yang ideal dalam rangka

mengembangkan pariwisata

Sebuah model kebijakan yang diterima oleh seluruh pemangku kepentingan Kec. Pangururan sangat

krusial dalam pengembangan pariwisata.

Kebutuhan akan model yang disepakati ini sangat mendesak dan dibutuhkan di Kec. Pangururan.

Pembentukan suatu model kebijakan dimulai dari kebutuhan akan wawasan dari seluruh stakeholder yang terdapat di Kec.

Pangururan. Wawasan ini akan membantu dalam mengurangi efek terhadap pengikisan kelestarian alam dan budaya di Kec.

Pangururan akibat dari pengembangan industri pariwisata disana.

Model kebijakan yang baik harus memiliki nilai-nilai dasar yang wajib untuk terpenuhi agar model ini dapat dilaksanakan dengan benar. Perencanaan model kebijakan pembangunan pariwisata Kec. Pangururan juga harus mengikuti nilai- s

120 Permasalahan

Penelitian

Keterkatitan Teori, Kebijakan dan identifikasi fakta serta

Interpretasi Data

Skematik

nilai dasar tersebut. Salah satu bentuk model kebijakan yang dapat dengan mudah diterapkan di Kec. Pangururan adalah kebijakan dengan sasaran

menuju ekowisata.

Ekowisata merupakan sebuah bentuk wisata yang mengedepankan kelestarian alam dan budaya dengan tetap memperhatikan kesejahteraan masyarakat lokal di Kec. Pangururan.

121 BAB VII

KESIMPULAN

Kecamatan Pangururan yang terletak di Kabupaten Samosir dengan berbagai potensi pariwisata kelas dunia yang dapat dikembangkan. Keragaman budaya yang dimiliki suatu negara seperti kesenian tradisional, upacara-upacara agama atau adat yang menarik perhatian wisatawan asing dan wisatawan Indonesia (Sugiarto &

R.J.Amaruli, 2018). Kecamatan Pangururan merupakan sebuah destinasi wisata yang berkelas karena memiliki berbagai objek wisata yang menarik, misalnya wisata alam, budaya dan sejarah. Keragaman dan kesenian budaya sangat melimpah pada Kecamatan Pangururan merupakan nilai jual yang memiliki tingkat ekonomi tinggi. Kampung Ulos Huta Raja misalnya, sebuah kawasan tempat berkumpulnya para penenun Ulos, kain tenun khas Batak yang merupakan ikon kebudayaan di Samosir. Pengembangan potensi daya tarik wisata di Kecamatan Pangururan dengan mengidentifikasi jenis daya tarik wisata yang ada, seperti wisata budaya dan alam berguna untuk mengetahui ketertarikan wisatawan terhadap objek wisata yang ditawarkan. Peningkatan kualitas layanan (masyarakat sebagai tuan rumah) dan infrastruktur (jalan, signage, akomodasi) di Pangururan harus diintegrasikan agar produk wisata yang ditawarkan dapat memberikan image dan citra yang baik.

Pergeseran paradigma pariwisata dari wisata massal ke wisata baru dibentuk dari pertanyaan-pertanyaan kaitan pariwisata dan keberlanjutan (sustainability) (A.

Ferdinal, 2018). Pengembangan dan peningkatan kualitas industri pariwisata di Kecamatan Pangururan harus sesuai dengan paradigma keinginan wisatawan pada

122 zaman sekarang sehingga pembangunan pariwisata dapat mencapai target yang telah ditetapkan bersama.

Isi dari beberapa kebijakan yang dikeluarkan pemerintah seperti Undang-undang No.10 Tahun 2009, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.50/2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010-2025 dan Peraturan Menteri Pariwisata Republik Indonesia No.14 Tahun 2016 tentang Pedoman Destinasi Pariwisata Berkelanjutan memiliki kesamaan pada tujuan yang harus dicapai dalam pembangunan pariwisata. Pihak pemerintah harus mempunyai kemampuan untuk mewadahi proses politik atau pengambilan keputusan mengenai norma dan kebijakan yang selanjutnya bisa diimplementasikan dalam bentuk regulasi dalam proses birokrasi pemerintahan (Sunaryo, 2013). Kebijakan-kebijakan dari pemerintah harus memiliki unsur yang mendukung masyarakat sehingga masyarakat dapat mempercayai kebijakan yang diterapkan tersebut. UU No.10 Tahun 2009, pasal 5 poin b dikatakan bahwa “Kepariwisataan diselenggarakan dengan prinsip menjunjung tinggi hak asasi manusia, keragaman budaya, dan kearifan lokal.”. Masyarakat sebagai salah satu stakeholder dalam pembangunan industri pariwisata di Kecamatan Pangururan harus memiliki keperdulian terhadap kebijakan yang diterapkan pemerintah. Pemerintah yang merupakan memiliki kuasa dalam pembentukan hukum harus berpihak pada kearifan lokal yang mana bukan hanya budaya yang terdapat di Kecamatan Pangururan, akan tetapi juga alam dan lingkungan Kecamatan Pangururan. Menurut Sunaryo (2013), kepariwisataan mendapatkan dukungan positif dari lingkungan dan kondisi lingkungan mendapatkan dampak positif dari kepariwisataan. Dampak

123 dari pembangunan dan pengembangan pariwisata harus positif terhadap lingkungan dan alam karena lingkungan dan alam merupakan daya tarik wisata di Kecamatan Pangururan selain budayanya. Peraturan Menteri Pariwisata Republik Indonesia No.14 Tahun 2016 tentang Pedoman Destinasi Pariwisata Berkelanjutan pasal 3 tentang ruang lingkup pedoman destinasi pariwisata berkelanjutan poin (d) yang meliputi pelestarian lingkungan destinasi pariwisata. Semua pemangku kepentingan dalam hal ini yaitu pemerintah, pengelola dan masyarakat harus perduli terhadap kelestarian alam sehingga keberlanjutan kegiatan kepariwisataan dapat terwujud di Kecamatan Pangururan.

Kebijakan-kebijakan telah disahkan dan diterapkan oleh pemerintah, tetapi pada kenyataannya, Pemda Kab. Samosir kurang tegas dalam penerapan kebijakan tersebut di Kecamatan Pangururan. Efektivitas dari penerapan kebijakan juga dipengaruhi dukungan masyarakat dan pengelola objek wisata di Pangururan.

Prinsip dari penyelenggaraan yang baik adalah adanya koordinasi dan sinkronisasi program antar pemangku kepentigan yang ada serta pelibatan partisipasi aktif yang sinergis antar semua pihak (pemerintah, pengelola wisata dan masyarakat) (Sunaryo, 2013:77). Kerjasama antar ketiga stakeholder akan mempengaruhi penerapan kebijakan tersebut sehingga dapat dirasakan manfaatnya pada sektor pariwisata Kecamatan Pangururan. Pemerintah dalam menerapkan kebijakan yang ada harus sesuai dengan norma dan tidak boleh bertentangan dengan budaya lokal di Kecamatan Pangururan. Penyesuaian kebijakan pembangunan pariwisata yang berbasis sosial dan budaya Kecamatan Pangururan akan dengan mudah diadaptasi

124 oleh keseluruhan pemangku kepentingan dan membentuk suatu ekosistem kepariwisataan yang berkelanjutan, juga menarik bagi wisatawan.

Sebuah model kebijakan yang diterima oleh seluruh pemangku kepentingan Kecamatan Pangururan sangat krusial dalam pengembangan pariwisata. Kebutuhan akan model yang disepakati ini sangat mendesak dan dibutuhkan di Kecamatan Pangururan. Disepakatinya suatu model dan paradigma pembangunan kepariwisataan tertentu akan menjadi strategis dan penting ketika semua pemangku kepentingan yang bergerak dalam dunia kepariwisataan membutuhkan kesamaan berpikir, bersikap maupun strategi bertindak, sehingga masing-masing pihak tidak berjalan menurut intuisi, penafsiran dan kepentingan masing-masing (Sunaryo, 2013). Pembentukan suatu model kebijakan dimulai dari kebutuhan akan wawasan dari seluruh stakeholder yang terdapat di Kecamatan Pangururan. Wawasan ini akan membantu dalam mengurangi efek terhadap pengikisan kelestarian alam dan budaya di Kecamatan Pangururan akibat dari pengembangan industri pariwisata disana. Seperti yang disebutkan Sunaryo, tentang wawasan yang harus dimiliki pemangku kepentingan, yaitu (a) partisipatif, (b) kepatuhan dan penegakan pada peraturan, (c) transparansi informasi, (d) daya tanggap, (e) Orientasi pada konsensus, (f) bersikap adil, (g) efektifitas dan efisiensi, (h) akuntabilitas dan pertanggung jawaban dan (i) visi strategis. Model kebijakan yang baik harus memiliki nilai-nilai dasar yang wajib untuk terpenuhi agar model ini dapat dilaksanakan dengan benar. Perencanaan model kebijakan pembangunan pariwisata Kecamatan Pangururan juga harus mengikuti nilai-nilai dasar tersebut. Salah satu bentuk model kebijakan yang dapat dengan mudah diterapkan di Kecamatan

125 Pangururan adalah kebijakan dengan sasaran menuju ekowisata. Ekowisata merupakan sebuah bentuk wisata yang mengedepankan kelestarian alam dan budaya dengan tetap memperhatikan kesejahteraan masyarakat lokal di Kecamatan Pangururan.

126 DAFTAR PUSATAKA

Affandy,Bobby. (2015) Potensi Wisata Alam Di Pematang Tanggang Desa Negeri Kelumbayan Kabupaten Tanggamus.

Vitasurya, V. R. (2016). Local Wisdom For Sustainable Development Of Rural

Asmin, Ferdinal. (2018). Ekowisata Dan Pembangunan Berkelanjutan:

Dimulai Dari Konsep Sederhana.

Sahya, A. (2014). Kebijakan Publik. Bandung, Pustaka Setia.

Singsomboon, T. (2014). Tourism Promotion And The Use Of Local Wisdom Through Creative Tourism Process.

Dewi, M. H. U. (2013). Pengembangan Desa Wisata Berbasis Partisipasi Masyarakat Lokal Di Desa Wisata Jatiluwih Tabanan, Bali. Jurnal Kawistara, 3(2).

Kurniawati, R., & Mm, M. (2013). Modul Pariwisata Berkelanjutan. Tersedia Pada.

Yogyakarta. Procedia-Social And Behavioral Sciences, 216(6), 97-108.

Weaver Db. (2001). Ecotourism As Mass Tourism: Contradiction Or Reality? Cornell Hotel And Restaurant Administration Quarterly. 42(2):104-112.

Drumm A Dan Moore A. (2005). Ecotourism Development: A Manual For Conservation Planners And Managers. Volume I: An Introduction To Ecotourism Planning (Second Edition). Virginia. The Nature Conservancy.

Wood Me. (2002). Ecotourism: Principles, Practices, And Policies For Sustainability. Paris. United Nation Envi-Ronment Programme.

127 Tourism, Case On Kalibiru And Lopati Village, Province Of Daerah Istimewa

Eskamurti, E. (2016). Pengaruh Implementasi Kebijakan Pariwisata Terhadap Kesejahteraan Masyarakat (Studi Pada Masyarakat Sekitar Objek Wisata Alam Air Terjun Jumog Di Desa Berjo Kabupaten Karanganyar.

Sunaryo, B. (2013). Kebijakan pembangunan destinasi pariwisata: konsep dan aplikasinya di Indonesia (No. 1). Penerbit Gava Media Kebijakan Pembangunan Destinasi Pariwisata: Konsep dan Aplikasinya di Indonesia.

128 LAMPIRAN 1

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2011 TENTANG

RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN NASIONAL TAHUN 2010 – 2025

Pasal 2

(4) Visi pembangunan kepariwisataan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a adalah terwujudnya Indonesia sebagai negara tujuan pariwisata berkelas dunia, berdaya saing, berkelanjutan, mampu mendorong pembangunan daerah dan kesejahteraan rakyat.

Pasal 10

(1) DPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a ditentukan dengan kriteria:

a. amerupakan kawasan geografis dengan cakupan wilayah provinsi dan/atau lintas provinsi yang di dalamnya terdapat kawasan-kawasan pengembangan pariwisata nasional, yang diantaranya merupakan KSPN;

b. memiliki Daya Tarik Wisata yang berkualitas dan dikenal secara luas secara nasional dan internasional, serta membentuk jejaring produk wisata dalam bentuk pola pemaketan produk dan pola kunjungan wisatawan;

c. memiliki kesesuaian tema Daya Tarik Wisata yang mendukung penguatan daya saing;

d. memiliki dukungan jejaring aksesibilitas dan infrastruktur yang mendukung pergerakan wisatawan dan kegiatan Kepariwisataan; dan

e. memiliki keterpaduan dengan rencana sektor terkait.

(2) KSPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b ditentukan dengan kriteria:

a. memiliki fungsi utama pariwisata atau potensi pengembangan pariwisata;

b. memiliki sumber daya pariwisata potensial untuk menjadi Daya Tarik Wisata unggulan dan memiliki citra yang sudah dikenal secara luas;

c. memiliki potensi pasar, baik skala nasional maupun khususnya internasional;

129 d. memiliki posisi dan peran potensial sebagai penggerak investasi;

e. memiliki lokasi strategis yang berperan menjaga persatuan dan keutuhan wilayah;

f. memiliki fungsi dan peran strategis dalam menjaga fungsi dan daya dukung lingkungan hidup;

g. memiliki fungsi dan peran strategis dalam usaha pelestarian dan pemanfaatan aset budaya, termasuk di dalamnya aspek sejarah dan kepurbakalaan;

h. memiliki kesiapan dan dukungan masyarakat;

i. memiliki kekhususan dari wilayah;

j. berada di wilayah tujuan kunjungan pasar wisatawan utama dan pasar wisatawan potensial nasional; dan

k. memiliki potensi kecenderungan produk wisata masa depan.

Pasal 14

(1) Pembangunan Daya Tarik Wisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b meliputi:

a. Daya Tarik Wisata alam;

b. Daya Tarik Wisata budaya; dan

c. Daya Tarik Wisata hasil buatan manusia.

(2) Pembangunan Daya Tarik Wisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan berdasarkan prinsip menjunjung tinggi nilai agama dan budaya, serta keseimbangan antara upaya pengembangan manajemen atraksi untuk menciptakan Daya Tarik Wisata yang berkualitas, berdaya saing, serta mengembangkan upaya konservasi untuk menjaga kelestarian dan keberlanjutan sumber dayanya.

Pasal 18

Arah kebijakan penyediaan dan pengembangan sarana transportasi angkutan jalan, sungai, danau dan penyeberangan, angkutan laut, angkutan udara, dan angkutan kereta api sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a, meliputi:

a. pengembangan dan peningkatan kemudahan akses dan pergerakan wisatawan menuju destinasi dan pergerakan wisatawan di DPN; dan

130 b. pengembangan dan peningkatan kenyamanan dan keamanan pergerakan

wisatawan menuju destinasi dan pergerakan wisatawan di DPN.

Pasal 19

(1) Strategi untuk pengembangan dan peningkatan kemudahan akses dan pergerakan wisatawan menuju destinasi dan pergerakan wisatawan di DPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf a, meliputi:

a. meningkatkan ketersediaan moda transportasi sebagai sarana pergerakan wisatawan menuju destinasi dan pergerakan wisatawan di DPN sesuai kebutuhan dan perkembangan pasar;

b. meningkatkan kecukupan kapasitas angkut moda transportasi menuju destinasi dan pergerakan wisatawan di Destinasi Pariwisata sesuai kebutuhan dan perkembangan pasar; dan

c. mengembangkan keragaman atau diversifikasi jenis moda transportasi menuju destinasi dan pergerakan wisatawan di Destinasi Pariwisata sesuai kebutuhan dan perkembangan pasar.

Pasal 20

Arah kebijakan penyediaan dan pengembangan prasarana transportasi angkutan jalan, sungai, danau dan penyeberangan, angkutan laut, angkutan udara, dan angkutan kereta api sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b, meliputi:

a. pengembangan dan peningkatan kemudahan akses terhadap prasarana transportasi sebagai simpul pergerakan yang menghubungkan lokasi asal wisatawan menuju destinasi dan pergerakan wisatawan di DPN;

b. pengembangan dan peningkatan keterhubungan antara DPN dengan pintu gerbang wisata regional dan/atau nasional maupun keterhubungan antar komponen daya tarik dan simpul-simpul pergerakan di dalam DPN; dan c. pengembangan dan peningkatan kenyamanan perjalanan menuju destinasi

dan pergerakan wisatawan di dalam DPN.

131 Pasal 21

(1) Strategi untuk pengembangan dan peningkatan kemudahan akses terhadap prasarana transportasi sebagai simpul pergerakan yang menghubungkan lokasi asal wisatawan menuju destinasi dan pergerakan wisatawan di DPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf a, meliputi meningkatkan:

a. ketersediaan prasarana simpul pergerakan moda transportasi pada lokasi-lokasi strategis di DPN sesuai kebutuhan dan perkembangan pasar; dan b. keterjangkauan prasarana simpul pergerakan moda transportasi dari

pusat-pusat kegiatan pariwisata di DPN.

(2) Strategi untuk pengembangan dan peningkatan keterhubungan antara DPN dengan pintu gerbang wisata regional dan/atau nasional maupun keterhubungan antar komponen daya tarik dan simpul-simpul pergerakan di dalam DPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf b, meliputi mengembangkan dan meningkatkan:

a. jaringan transportasi penghubung antara DPN dengan pintu gerbang wisata regional dan/atau nasional maupun keterhubungan antar komponen daya tarik dan simpul-simpul pergerakan di dalam DPN; dan

b. keterpaduan jaringan infrastruktur transportasi antara pintu gerbang wisata dan DPN serta komponen yang ada di dalamnya yang mendukung kemudahan transfer intermoda.

(3) Strategi untuk pengembangan dan peningkatan kenyamanan perjalanan menuju

(3) Strategi untuk pengembangan dan peningkatan kenyamanan perjalanan menuju