• Tidak ada hasil yang ditemukan

Elaborasi lebih jauh atas temuan-temuan dan rekomendasi-rekomendasi Komisi

ANALISIS ATAS TEMUAN-TEMUAN DAN REKOMENDASI-REKOMENDASI KOMISI

5.1. Elaborasi lebih jauh atas temuan-temuan dan rekomendasi-rekomendasi Komisi

Di dalam kesimpulan akhirnya Komisi boleh jadi berhasil menetapkan bahwa memang telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi menjelang dan setelah konsultasi popular di Timor-Leste pada bulan Agustus 1999. Namun demikian, terdapat beberapa hal penting yang luput dari perhatian Komisi ketika menyusun rekomendasi finalnya. Hal ini menjadi penting untuk dibahas guna mengukur apakah rekonsiliasi yang hendak dicapai sungguh merupakan rekonsiliasi melalui kebenaran yang mutlak atau sekedar rekonsiliasi diplomatis atau rekonsiliasi sebagai proyek politik antara Indonesia dan Timor-Leste.

5.1.1. Terbatasnya akses atas dokumen-dokumen terkait

Penyebutan “lembaga-lembaga Indonesia terkait”24

dalam Kerangka Acuan Komisi tidak berarti bahwa Komisi memiliki kewenangan untuk mempelajari

23 Kerangka Acuan, supra, n. 5, Tujuan, butir 12. 24 Kerangka Acuan, supra, n. 5, butir 14(a)(ii).

BAB V

laporan-laporan kepolisian atau intelijen militer yang terkait dengan peristiwa-peristiwa pelanggaran hak asasi manusia. Sekalipun istilah tersebut dapat ditafsirkan sebagai kewenangan Komisi untuk mempelajari laporan-laporan kepolisian dan intelijen militer tetapi kepolisan dan militer tetap bisa menolak jika ada permintaan dari Komisi dengan alasan tidak ada perintah resmi membuka laporan kepolisian dan intelijen militer. Hal ini terbukti dari tidak dibukanya akses atas dokumen-dokumen TNI.25

Pada taraf tertentu, pembatasan terhadap akses atas dokumen terkait, khususnya dokumen-dokumen TNI, tidak dapat dipungkiri berdampak pada proses pencarian kebenaran yang dilakukan Komisi. Pada hakekatnya, kebenaran konklusif yang ditetapkan hanya berdasarkan pelanggaran yang sudah dilaporkan dan didokumentasikan dalam pelbagai dokumen yang ditelaah ulang oleh Komisi. Ini berarti bahwa pelanggaran yang terjadi tetapi belum atau tidak dilaporkan tidak dapat dijadikan dasar pertimbangan Komisi. Tidak ada ketentuan di dalam Kerangka Acuan yang menetapkan bahwa Komisi memiliki wewenang untuk menerima laporan baru.

ANALISIS ATAS TEMUAN-TEMUAN DAN REKOMENDASI-REKOMENDASI KOMISI

5.1.2. Penegasian terhadap pemenuhan hak korban

Tidak tampak adanya perhatian yang komprehensif pada kebutuhan-kebutuhan dan hubungan-hubungan korban, pelaku dan masyarakat. Harus dicatat bahwa mandat Komisi harus tidak diinterpretasikan secara sempit, dalam pengertian bahwa lembaga yang dibentuk berdasarkan perjanjian bilateral tersebut secara eksklusif hanya akan memperhatikan masalah-masalah yang menyangkut hubungan antar negara. Masalah-masalah yang terkait dengan kebutuhan dan hubungan antara korban, pelaku dan masyarakat tidak akan diselesaikan melalui Komisi melainkan diserahkan kepada kebijakan domestik di masing-masing Negara.26

Apapun pendekatan yang dipakai oleh Komisi, baik konvensional atau non-konvensional, syarat-syarat utama dari rekonsiliasi yang merupakan bagian penting dan tak terpisahkan dari keadilan restoratif seharusnya diperhatikan oleh Komisi. Termasuk pemenuhan hak-hak korban, yakni hak-hak atas keadilan, hak-hak atas kebenaran dan hak atas pemulihan27 serta keterlibatan korban dan pelaku (dalam hal ini, bukan negara) dalam keseluruhan proses rekonsiliasi. Marginalisasi terhadap korban juga tampak jelas dalam proses dengar pendapat yang

26 Per Memoriam Ad Spem, supra, n. 8, hal. 334.

27 “Basic Principles and Guidelines on the Right to a Remedy and Reparation for Victims of Gross Violations of International Human Rights Law and Serious Vio-lations of International Humanitarian Law” (“Basic Principles”), diadopsi dan disahkan melalui resolusi Majelis Umum PBB 60/147, 16 Desember 2005, paragraf 11, http://www2.ohchr.org/english/law/remedy.htm (diakses 15 Juni 2010).

BAB V

diselenggarakan oleh Komisi pada tahun 2007, dimana hanya terdapat 13 orang korban dari total 56 orang individu yang bersaksi di dalam dengar pendapat terbuka.28

Di dalam temuan-temuan dan kesimpulannya, Komisi tidak menyinggung masalah rehabilitasi bagi korban padahal rehabilitasi merupakan bagian integral dari hak korban atas pemulihan yang efektif.29 Juga tidak terdapat mekanisme permintaan maaf dari pelaku kepada korban atau ganti rugi dan restitusi bagi korban. Menurut Komisi, kompensasi atas pelanggaran hak asasi manusia yang berat adalah persahabatan, bukan keadilan. Ini berarti ruang bagi korban untuk memperoleh keadilan telah tertutup.

5.1.3. Inkonsistensi antara temuan-temuan dan kesim-pulan

Pengkajian atas empat kumpulan dokumen (KKP-HAM Timor-Timur, CAVR, Pengadilan HAM Ad Hoc di Jakarta, SPSC dan SCU) menguatkan kesimpulan yang dicapai oleh masing-masing dokumen mengenai pelanggaran hak asasi manusia yang berat dalam bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan. Akan tetapi, penelusuran yang dilakukan secara tidak menyeluruh

28 Amnesty International, “We Cry for Justice: Impunity Persists 10 Years on in Timor-Leste”, 2009, hal. 9.

29 Basic Principles, supra, n. 27, paragraf 18.

ANALISIS ATAS TEMUAN-TEMUAN DAN REKOMENDASI-REKOMENDASI KOMISI

terhadap bentuk-bentuk pelanggaran yang masuk dalam kategori kejahatan terhadap kemanusiaan berakibat pada dikesampingkannya dua bentuk pelanggaran yang tak kalah penting.

Dalam kesimpulan umumnya, Komisi hanya menetapkan bahwa pelanggaran yang terjadi mencakup

pembunuhan, deportasi atau pemindahan paksa penduduk, penahanan ilegal, kekerasan seksual lainnya, penghilangan paksa dan perbuatan tidak manusiawi lain, yaitu penghancuran dan pembakaran harta benda.30 Tampak jelas terdapat

inkonsistensi antara kesimpulan yang termuat dalam Bab VIII Laporan sebagaimana dijelaskan di atas dengan kesimpulan yang termuat dalam Ringkasan Eksekutif Laporan.31 Dalam Ringkasan Eksekutif, di satu sisi Komisi mencantumkan kejahatan “penyiksaan” dan “pemerkosaan”; tetapi di sisi lain, “penghilangan paksa dan perbuatan tidak manusiawi lain, yaitu penghancuran dan pembakaran harta benda” tidak disebutkan. Selain itu, bentuk-bentuk pelanggaran yang tercakup di dalam laporan Komisi pun lebih sempit ketimbang cakupan keempat kumpulan dokumen, khususnya dokumen KPP HAM dan CAVR.32

BAB V

30 Per Memoriam Ad Spem, supra, n. 8, hal. 303.

31 Per Memoriam Ad Spem, supra, n. 8, hal. xvi. “Komisi berkesimpulan bahwa […] pelanggaran tersebut mencakup pembunuhan, pemerkosaan dan bentuk-bentuk

kekerasan seksual lainnya, penyiksaan, penahanan ilegal, serta pemindahan paksa dan deportasi yang dilakukan terhadap penduduk sipil”.

32 Terdapat beberapa bentuk pelanggaran yang tidak tercakup di dalam temuan Komisi tetapi teridentifikasi dalam temuan-temuan lembaga yudisial dan non-yudisial yang

5.1.4. Pertanggungjawaban institusional yang masih menggantung

Sejalan dengan prinsip-prinsip yang mendasari mandatnya, Komisi tidak akan mengarah pada penuntutan hukum dan akan menekankan pada tanggung jawab institusional.33 Posisi ini dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum internasional yang menetapkan konsep tanggung jawab individu untuk kejahatan terhadap kemanusiaan.34 Di tengah perdebatan ini, harus diakui bahwa Komisi berhasil menetapkan satu temuan penting mengenai keterlibatan institusi-institusi negara di dalam melancarkan tindak kejahatan terhadap kemanusiaan baik secara langsung maupun tidak langsung. Komisi menyimpulkan bahwa pelaku utama dari tindak kejahatan dimaksud adalah milisi pro-otonomi yang mendapat dukungan, bantuan dan terkadang arahan serta perbuatan bersama oleh anggota kepolisian, militer dan pemerintah sipil Indonesia.35

ANALISIS ATAS TEMUAN-TEMUAN DAN REKOMENDASI-REKOMENDASI KOMISI

dokumen-dokumennya menjadi bahan telaah Komisi, yakni: penganiayaan,

pemusnahan, penindasan dan pembumihangusan (KPP HAM); penghilangan kemerdekaan berat (CAVR). Lihat Per Memoriam Ad Spem, supra, n. 8, hal. 79,

92 dan 278; Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), “Ringkasan Eksekutif Laporan Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Timor-Timur”, Jakarta, 31 Januari 2000; Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi (CAVR) di Timor-Leste, “Chega! Laporan Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi (CAVR) di Timor-Leste: Ringkasan Eksekutif”, 2005.

33 Kerangka Acuan, supra, n. 5, butir 13(c).

34 Sekretaris-Jenderal PBB secara tegas meminta Komisi untuk bekerja sesuai dengan standard dan prinsip internasional yang berlaku. Lihat Dewan Keamanan PBB, “Report of the Secretary-General on justice and reconciliation for Timor-Leste”, S/2006/580, 26 Juli 2006, http://www.securitycouncilreport.org/site/ c.glKWLeMTIsG/b.2815971/ (diakses 22 Juni 2010).

Temuan penting Komisi mengenai tanggung jawab institusional atas kejahatan terhadap kemanusiaan di Timor-Timur pada tahun 1999 patut mendapat perhatian serius, khususnya terkait dengan penetapan level institusi-institusi Indonesia yang harus bertanggung jawab. Hal ini menjadi penting mengingat bahwa salah satu rekomendasi Komisi adalah reformasi kelembagaan guna mencegah terjadinya kembali kekerasan di masa mendatang. Penting untuk digarisbawahi bahwa reformasi kelembagaan ini tidak hanya bagi aparat keamanan namun juga birokrasi sipil.

Selain itu, perlu juga ditetapkan individu-individu yang menduduki posisi pucuk pimpinan lembaga-lembaga yang bertanggung jawab. Dalam hal penetapan tersebut, masih tersisa persoalan apakah sebagai pemimpin tertinggi, pemegang komando utama, individu-individu tersebut patut dimintai pertanggungjawaban baik secara hukum maupun politik, mengingat penyalahgunaan kekuasaan dalam lembaga-lembaga dimaksud.

5.1.5. Kebenaran konklusif: sebuah kebenaran yag tidak berpihak pada korban?

Di dalam laporannya, Komisi berulang kali menyinggung masalah reparasi bagi korban36 yang akan diberikan secara kolektif, bukan individual, melalui kebijakan bi-lateral antara Indonesia dan Timor-Leste. Apabila pemberian reparasi bagi korban dinilai sebagai satu

BAB V

36 Per Memoriam Ad Spem, supra, n. 8, hal. 17, 315 dan 334.

kesatuan yang tak terpisahkan dari kerangka keadilan restoratif, maka dapat dikatakan bahwa temuan-temuan dan rekomendasi-rekomendasi Komisi tidak dilandasi oleh semangat rekonsiliasi melalui keadilan restoratif. Tidak adanya rekomendasi mengenai pemberian reparasi kepada korban merupakan salah satu bukti bahwa kepentingan korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Timor-Timur ini tidak diperhatikan. Padahal, yang sangat berkepentingan dalam penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi Timor-Timur adalah mereka yang menjadi korban.37

Meskipun Komisi tidak merekomendasikan pemberian amnesti di dalam laporannya, namun kehadiran klausul mengenai amnesti bukannya reparasi bagi korban di dalam Kerangka Acuannya menunjukkan bahwa perspektif yang menjadi landasan kerja Komisi adalah perspektif pelaku karena amnesti berhubungan erat dengan kepentingan penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh pelaku. Hal inilah yang menjadi alasan penolakan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk terlibat di dalam proses pencarian fakta yang dilakukan Komisi. Sekretaris-Jenderal PBB, Ban

3 7Dewan Keamanan PBB, “Report of the Secretary-General on Timor-Leste pursu-ant to Security Council resolution 1690 (2006)”, S/2006/628, 8 Agustus 2006, http://www.securitycouncilreport.org/ site/c.glKWLeMTIsG/b.2815971/ (diakses 23 Juni 2010). Di dalam laporan ini, mengingat pentingnya program reparasi bagi korban, Sekretaris-Jenderal PBB merekomendasikan pembentukan dana solidaritas (solidarity fund) untuk mendanai program restorasi komunitas dan program keadilan di Timor-Leste. Diharapkan, program restorasi komunitas tersebut dapat mendukung

ANALISIS ATAS TEMUAN-TEMUAN DAN REKOMENDASI-REKOMENDASI KOMISI

Ki Moon, menegaskan bahwa mandat Komisi yang dapat merekomendasikan pemberian amnesti bagi pelaku bertentangan dengan kebijakan PBB yang tidak mentolerir pemberian amnesti bagi kejahatan-kejahatan seperti genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang atau pelanggaran hak asasi manusia yang berat.38

5.2. Komisi Kebenaran dan Persahabatan: pilihan

Dokumen terkait