• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENDUDUKKAN LAPORAN KKP DALAM UPAYA PENYELESAIAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA MASA LALU DI INDONESIA: SEBUAH EVALUASI KRITIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MENDUDUKKAN LAPORAN KKP DALAM UPAYA PENYELESAIAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA MASA LALU DI INDONESIA: SEBUAH EVALUASI KRITIS"

Copied!
66
0
0

Teks penuh

(1)

MENDUDUKKAN LAPORAN KKP DALAM

UPAYA PENYELESAIAN PELANGGARAN HAK

ASASI MANUSIA MASA LALU DI INDONESIA:

SEBUAH EVALUASI KRITIS

Betty Yolanda

Indriaswati Dyah Saptaningrum

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) ELSAM, 2010

(2)

MENDUDUKKAN LAPORAN KKP DALAM UPAYA PENYELESAIAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA MASA LALU DI INDONESIA: SEBUAH EVALUASI KRITIS

Penulis:

Betty Yolanda

Indriaswati Dyah Saptaningrum Tata letak dan cover:

Kotot Priyadi

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Juli 2010

Perpustakaan Nasional KDT Cetakan I Halaman 14,5 x 21

ISBN

(3)

Sejak awal berdirinya, Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) telah menuai kritik dan pesimisme dari masyarakat, terutama karena didirikan berdasar Memorandum of Understanding (MoU) antara Pemerintah Indonesia dan Timor-Leste. Kekurangan yang substansial dalam Kerangka Acuan (ToR), juga menjadi sasaran kritik yang tajam, khususnya berkenaan dengan klausul bahwa proses KKP ini tidak akan mengarah pada penuntutan hukum dan dimungkinkan adanya pemberian rekomendasi amnesti atau rehabilitasi bagi pelaku. Di tengah kritik dan pesimisme yang berkepanjangan ini, KKP, bagaimanapun, berhasil menyelesaikan mandat utamanya untuk menetapkan kebenaran konklusif mengenai pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Timor-Timur pada tahun 1999. Juga, untuk menghasilkan sejumlah rekomendasi atas temuan tersebut. Pada 15 Juli 2008, KKP telah menyerahkan laporan setebal 380 halaman kepada kedua Pemerintah. Laporan tersebut menegaskan bahwa telah terjadi pelanggaran berat hak asasi manusia di Timor-Timur pada tahun 1999 yang mengarah pada tanggung jawab institusional institusi-institusi Indonesia dan milisi-milisi pro-kemerdekaan yang

KATA PENGANTAR

(4)

Melalui tinjauannya atas sejumlah temuan dan kesimpulan dari laporan tersebut, buku ini bermaksud memberikan evaluasi kritis terhadap Laporan Akhir KKP. Juga mendudukkan agar laporan tersebut dapat memberi makna bagi proses penyelesaian pelbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia yang terjadi di masa lalu. Setelah memaparkan temuan dan rekomendasi dari Laporan Akhir KKP, buku ini kemudian melangkah kepada pertanyaan mengenai sejauh mana KKP bisa dikatakan sebagai pilihan yang paling tepat bagi mekanisme keadilan transisional, dengan tetap mempertimbangkan sejumlah kelemahan yang ada selama proses. Dengan mempertimbangkan keseluruhan aspek, cukup untuk mengatakan bahwa meski ada sejumlah kekurangan, sebagai sebuah mekanisme keadilan transisional, KKP telah memberikan sejumlah pelajaran berharga bagi usaha penyelesaian pelbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia yang terjadi di masa lalu.

Penerbitan buku ini diharapkan dapat memberikan sudut pandang yang berbeda dalam melihat Laporan Akhir KKP, sebuah laporan hasil suatu mekanisme yang dinilai “cacat”. Selain juga untuk mendorong Pemerintah Indonesia agar lebih proaktif dalam mengusahakan penyelesaian pelbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu, seperti ketika menghadapi persoalan pelanggaran hak asasi manusia di Timor-Timur pada tahun 1999. Selamat membaca!

Jakarta, Juli 2010

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) ELSAM, 2010

(5)

... iii ... iv ... 1 ... 7 ... 7 ... 10 ...12 .. 15 ... 17 ... 19 ... 20 ... 21 ... 25 ... 31 ... 31 ... 32 Kata Pengantar Daftar Isi

Bab I : Mendudukkan Inisiatif KKP dalam Konteks Keadilan Transisional di Indonesia

Bab II : Penyelesaian Kasus Kejahatan Hak Asasi Manusia Masa Lalu di Timor-Leste melalui Mekanisme Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) 2.1. Proses pembentukan Komisi

2.2. Mandat (Terms of Reference) 2.3. Metode dan mekanisme kerja

Bab III : Temuan-temuan Komisi: pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan tanggung jawab institusional 3.1. Temuan-temuan KKP: membongkar sejarah

masa lalu

3.2. Pelanggaran hak asasi manusia yang berat: kejahatan terhadap kemanusiaan

3.2.1. Serangan ditujukan terhadap penduduk sipil

3.2.2. Serangan dilakukan secara meluas atau sistematis

3.3. Tanggung jawab institusional

Bab IV : Rekomendasi-rekomendasi Komisi: Rekonsiliatif dan Kolektif

4.1. Jangka pendek dan urgen

4.1.1. Akuntabilitas dan reformasi kelembagaan

DAFTAR ISI

(6)

4.1.2. Patroli perbatasan dan kebijakan keamanan bersama

4.1.3. Pusat Dokumentasi dan Resolusi Konflik 4.1.4. Persoalan ekonomi dan aset

4.1.5. Komisi untuk Orang-orang Hilang 4.2. Jangka panjang dan aspiratif

Bab V : Analisis atas Temuan-temuan dan Rekomendasi-rekomendasi Komisi

5.1. Elaborasi lebih jauh atas temuan-temuan dan rekomendasi-rekomendasi Komisi

5.1.1. Terbatasnya akses atas dokumen-dokumen terkait

5.1.2. Penegasian terhadap pemenuhan hak korban

5.1.3. Inkonsistensi antara temuan-temuan dan kesimpulan

5.1.4. Pertanggungjawaban institusional yang masih menggantung

5.1.5. Kebenaran konklusif: sebuah kebenaran yag tidak berpihak pada korban? 5.2. Komisi Kebenaran dan Persahabatan: pilihan

mekanisme keadilan transisi yang tepat? 5.3. Pelajaran berharga bagi proses penyelesaian

pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang masih tertunda di Indonesia

... 36 ... 36 ... 37 ... 37 ... 37 ... 39 ... 40 ... 40 ... 42 ... 43 ... 45 ... 46 ... 48 ... 51 ELSAM, 2010

(7)

Tahun 2010 menandai hampir dua belas tahun sesudah titik awal perubahan melalui jargon ‘reformasi’ didengungkan, mengiringi lengsernya pemerintahan Orde Baru di bawah Soeharto. Proses ini menandai suatu periode transisi di mana proses dan upaya penataan ulang struktur ketatanegaraan menuju suatu tata kelola pemerintahan yang lebih demokratis dilakukan. Setidaknya, terdapat dua tuntutan besar yang mengemuka di masyarakat pada saat itu, yakni tuntutan keadilan atas praktik kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu, dan tuntutan penghentian praktik korupsi, kolusi dan nepotisme yang menjadi pengalaman keseharian di masa Orde Baru. Pengalaman di bawah pemerintahan yang otoriter mengajarkan masyarakat betapa pentingnya menetapkan jaminan yang kuat agar kecenderungan kesewenang-wenangan dapat dicegah. Besarnya tuntutan ini dapat dilihat dari respon politik pemerintahan di masa transisi yang muncul dalam beberapa keputusan politik penting, seperti keputusan melakukan ratifikasi atas instrumen internasional

BAB I

MENDUDUKKAN INISIATIF KKP DALAM

KONTEKS KEADILAN TRANSISIONAL DI

INDONESIA

(8)

2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional yang merupakan dokumen resmi Negara pertama yang menegaskan perlunya Negara menghadapi dan mempertanggungjawabkan pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu. Sesuai dengan sifat komplementarisnya, berbagai organisasi masyarakat sipil dan kelompok korban pada saat itu mengadvokasi pembentukan dua mekanisme keadilan yang dikenal di masa transisi secara paralel: mekanisme yudisial dan non-yudisial melalui pertanggungjawaban individual (yudisial) dan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (non-yudisial).

Tak dapat dipungkiri, realisasi dari upaya mendesak dibentuknya mekanisme keadilan dalam masa transisi di Indo-nesia tak dapat dilepaskan dari dukungan masyarakat hak asasi manusia di tingkat internasional. Lahirnya mekanisme pengadilan hak asasi tak dapat dilepaskan dari kemungkinan besarnya tuntutan pendirian tribunal internasional.1

Kegagalan pemerintah untuk menunjukkan keseriusan dalam menangani pengadilan hak asasi manusia, khususnya terkait dengan proses dan hasil Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc (Pengadilan HAM Ad Hoc) atas kasus pelanggaran HAM di Timor-Timur2

1 Keberadaan beberapa pertimbangan yang bersifat eksternal ini dapat dilihat dalam konsideran Perpu No. 1/1999 yang mendasari lahirnya Pengadilan HAM. Diakui bahwa kegentingan yang memaksa lahirnya Perpu tersebut antara lain adalah tanggung jawab Negara untuk memelihara perdamaian dunia sehingga pelanggaran hak asasi manusia perlu segera dipertanggungjawabkan melalui pengadilan HAM. Lebih lanjut, pada bagian lain dari konsideran juga diakui bahwa fakta terjadinya pelanggaran HAM yang masif telah mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap Pemerintah RI.

BAB I

(9)

kemudian mendorong lahirnya Komisi Ahli PBB melalui resolusi Dewan Keamanan. Konteks inilah yang kemudian melahirkan MoU yang mendasari pembentukan Komisi Kebenaran dan Persahabatan (“KKP” atau “Komisi”).

Konteks pembentukan ini tak dapat dipungkiri mengundang pesimisme dan kritik yang substansial dari kelompok masyarakat sipil, termasuk ELSAM sendiri. Terlebih, pembentukan Komisi dilakukan hanya dengan mendasarkan pada suatu MoU, sebuah preseden yang tidak biasa dalam inisiatif keadilan transisional. Secara khusus, keberatan yang substansial tertuju pada ketentuan yang memberikan kewenangan pemberian amnesti pada pelaku yang membuka kemungkinan dipergunakannya Komisi sebagai sarana lain untuk menghindarkan tanggung jawab atas kejahatan yang serius di masa lalu.

Persoalannya kemudian, meskipun menuai berbagai kritik dan kecaman, dokumen laporan yang dihasilkan oleh Komisi merupakan suatu dokumen resmi yang tak dapat begitu saja dinegasikan. Pelbagai masukan kritis dan kecaman telah dikemukakan atas hasil maupun proses yang dilalui oleh Komisi.3

2 Enam dari duabelas terdakwa yang didakwa dalam sembilan berkas perkara yang berbeda dijatuhi hukuman pidana. Namun di tingkat banding dan kasasi hanya Eurico Gutteres yang dinyatakan bersalah dan dijatuhi sanksi pidana. Sementara itu, terhadap Pengadilan HAM untuk kasus Tanjung Priok dan Abepura, tidak ada satu terdakwapun yang berhasil dijerat dengan sanksi pidana, bahkan peristiwanya tidak berhasil dikualifikasikan sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia kendati diakui adanya korban dari peristiwa tersebut. Lihat, ELSAM, dkk, “Laporan Pemantauan Kelompok Kerja Pemantau Pengadilan HAM: Pengadilan yang melupakan Korban”, 2006. Lihat juga, S. Linton, “Accounting for Atrocities in Indonesia“, dalam Singapore Yearbook of International Law, Vol. 11, 2007, hal.

MENDUDUKKAN INSIATIF KKP DALAM KONTEKS KEADILAN TRANSISIONAL DI INDONESIA

(10)

Namun hampir tidak ditemukan suatu usulan dengan sudut pandang yang berbeda yang mencoba mendudukkan hal tersebut secara kritis dalam konteks inisiatif keadilan transisional di Indonesia yang lebih besar. Proses ini tentu mensyaratkan pembacaan kritis atas laporan KKP tanpa kehilangan dasar orientasi dan keterarahan pada urgensi untuk menemukan jalan keluar dari realisasi agenda inisiatif keadilan transisional di Indonesia secara lebih luas yang masih terabaikan hingga saat ini. Proses dan hasil akhir laporan KKP juga dapat merefleksikan dinamika perwujudan keadilan transisional di Indo-nesia. Insiatif pencapaian keadilan transisional secara nyata menghadapi hambatan yang muncul akibat realitas transisi dimana elit politik dari rejim yang lama dapat menegosiasikan arah dan proses transisi. Konteks ini pula yang menyumbang pada gagalnya berbagai inisiatif penghukuman atas kejahatan di masa lalu. Oleh karenanya, perwujudan mekanisme keadilan transisional yang adil masih terus menjadi pekerjaan rumah di Indonesia.

Atas dasar pertimbangan itulah catatan atas laporan Komisi ini disusun. Catatan ini diawali dengan melihat kembali proses pembentukan Komisi dan memberikan catatan kritis atas proses

3 Beberapa kritik mendasar terkait realitas bahwa pembentukan Komisi lebih tampak sebagai suatu upaya mempertahankan hubungan kedua negara ketimbang mencari kebenaran yang substantif. Kelemahan substantif ini juga dapat ditemukan dalam Kerangka Acuan (ToR) Komisi, khususnya terkait dengan isi dan cakupan ToR pembentukan dan cara implementasi kerja Komisi. Proses public hearing, sebagai salah satu metode yang dipakai, dianggap memberi ruang yang lebih bagi pelaku untuk berbicara. Meskipun demikian, penilaian akhir tetap perlu mempertimbangkan hasil akhir laporan Komisi karena berdasarkan laporan itulah kredibilitas Komisi akan ditentukan. Lihat, M. Hirst, “Too Much Friendship Too Little Truth: Monitoring Report on the Commission of Truth and Friendship in Indonesia and Timor Leste“, ICTJ, 2008.

BAB I

(11)

tersebut. Uraian kemudian dilanjutkan dengan pembahasan secara lebih mendetail mengenai rekomendasi-rekomendasi yang dihasilkan oleh Komisi dan lebih lanjut memberikan catatan kriti, baik terkait dengan beberapa aspek yang patut diapresiasi maupun atas rekomendasi Komisi. Melalui catatan ini diharapkan agenda penyelesaian masa lalu di Indonesia dapat didiskusikan kembali dan inisiatif menuju terbentuknya mekanisme pertanggungjawaban yang adil dapat didiskusikan.

MENDUDUKKAN INSIATIF KKP DALAM KONTEKS KEADILAN TRANSISIONAL DI INDONESIA

(12)
(13)

BAB II

PENYELESAIAN

KASUS KEJAHATAN HAK ASASI MANUSIA

MASA LALU DI TIMOR-LESTE

MELALUI MEKANISME

KOMISI KEBENARAN DAN PERSAHABATAN

(KKP)

2.1. Proses pembentukan Komisi

Berdasarkan apa yang terjadi menjelang dan segera setelah Jajak Pendapat tahun 1999 di Timor-Timur, di Indonesia, Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Timor Timur (KPP-HAM) dan Pengadilan HAM Ad Hoc dibentuk pada September 1999. Di sisi lain, di Timor-Leste sendiri, Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi (Comissão de Acolhimento, Verdade e Reconciliação, CAVR) dan Panel Khusus untuk Kejahatan Berat

(Special Panels for Serious Crimes, SPSC) pada Pengadilan

Distrik Dili juga dibentuk.

Di penghujung tahun 2004, seketika setelah proses tingkat pertama Pengadilan HAM Ad Hoc untuk pelanggaran hak asasi manusia berat di Timor-Leste yang berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat selesai, berbagai nada kekecewaan dari

(14)

yang sama, masyarakat internasional kembali mengadvokasi pembentukan Pengadilan Internasional untuk Timor-Leste.

Sebagai respon atas kekecewaan-kekecewaan tersebut, Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1573 disahkan pada tanggal 12 November 2004 yang kemudian diikuti oleh pembentukan Komisi Ahli PBB (Commission of Expert, CoE) yang memiliki mandat untuk menilai progres dari proses peradilan terhadap mereka yang bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia berat di Timor-Leste, untuk memastikan apakah akuntabilitas secara penuh telah tercapai dan untuk merekomendasikan tindakan-tindakan yang mungkin diperlukan untuk memastikan adanya pertanggungjawaban dan tercapainya rekonsiliasi. Tiga orang yang ditunjuk oleh Sekjen PBB sebagai anggota CoE: Justice Prafullachandra Bhagwati dari India, Professor Yozo Yokota dari Jepang dan Ms. Shaista Shameem dari Fiji. Pembentukan CoE ini mengangkat kembali wacana sebuah pengadilan internasional untuk Timor-Leste.

Keseriusan PBB justru mendapat respon negatif dari Pemerintah Indonesia dan Timor-Leste. Pemerintah Indonesia menolak untuk bekerja sama dengan CoE dan berdalih bahwa pembentukan CoE oleh Sekjen PBB Kofi Annan tidak diperlukan mengingat kedua negara, Indonesia dan Timor-Leste, telah mencapai kesepakatan untuk menyelesaikan masalah kejahatan serius hak asasi manusia di Timor-Leste melalui Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP). Lebih jauh lagi, Pemerintah Indonesia berargumen bahwa CoE tidak memiliki landasan hukum karena tidak dibentuk oleh Dewan Keamanan PBB. Terakhir, Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa proses hukum di tingkat nasional belum selesai sepenuhnya. Mengingat

BAB II

(15)

Pemerintah Indonesia dan Timor-Leste telah menandatangani sebuah deklarasi bersama yang menyepakati mekanisme KKP, intervensi apapun dari masyarakat internasional tidak diperlukan dan ditolak. Pada tanggal 09 Maret 2005, bertempat di Istana Merdeka, Kepala Negara/ Pemerintah Indonesia dan Timor-Leste menandatangani sebuah Deklarasi Bersama mengenai Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) yang memuat Kerangka Acuan Komisi. Penandatanganan ini menandai pembentukan Komisi yang telah dibahas oleh pimpinan kedua negara pada pertemuan mereka di Denpasar, Bali pada 14 Desember 2004 lalu. Pembahasan pembentukan Komisi ini merupakan reaksi pemerintah Indonesia dan Timor Leste atas menguatnya tuntutan pembentukan pengadilan internasional.4

Keesokan harinya, 10 Agustus 2005, Pemerintah Indonesia dan Timor-Leste secara resmi mengumumkan nama para anggota Komisi Kebenaran dan Persahabatan. Lima anggota Komisi yang mewakili Indonesia adalah Prof. Dr. Ahmad Ali, Wisber Loeis, Benjamin Mangkudilaga, Mgr. Petrus Turang dan Letjend (Purn.) Agus Widjojo. Sedangkan lima anggota yang bertindak atas nama Timor-Leste adalah Jacinto Alves, Dionicio da Costa Babo-Soares, Aniceto Guterres, Felicidade Guterres dan Cirilio Cristovao Varadales.

4 Menteri Luar Negeri Indonesia Hassan Wirajuda mengatakan, “Daripada muter-muter tetapi ujungnya adalah truth and reconciliation, mengapa tidak memakai pendekatan ini sejak awal dari pendekatan pengadilan yang katanya tidak realistik,

PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN HAK ASASI MANUSIA MASA LALU DI TIMOR-LESTE MELALUI MEKANISME KOMISI KEBENARAN DAN PERSAHABATAN (KKP)

(16)

Komisi Kebenaran dan Persahabatan dimandatkan untuk mengungkap kebenaran konklusif mengenai pelanggaran hak asasi manusia berat yang terjadi di Timor-Timur pada tahun 1999. Kebenaran konklusif tersebut menjelaskan hal-hal yang terkait dengan pelanggaran hak asasi manusia yang dilaporkan terjadi menjelang dan segera setelah Jajak Pendapat di Timor-Timur pada tahun 1999. Berdasarkan kebenaran konklusif dan pelajaran yang didapat, Komisi membuat rekomendasi-rekomendasi kepada kedua Kepala Negara dengan maksud untuk menyembuhkan luka lama dan memulihkan martabat manusia.

Inisiatif untuk membentuk Komisi harus dihargai sebagai upaya Pemerintah Republik Indonesia menjawab tuduhan crimes against humanity yang secara formal diarahkan kepadanya oleh masyarakat internasional, sekalipun suara miring yang melihat gagasan ini sebagai upaya “pemutihan kasus” dan menghindari tanggung jawab internasional tak dapat diabaikan.

2.2. Mandat (Terms of Reference)

Komisi bekerja berdasarkan sebuah Kerangka Acuan (Terms of Refence, ToR) yang dibuat dan disepakati oleh kedua Pemerintah. Sesungguhnya, kerja sama antar dua negara dalam suatu hubungan bilateral yang hanya didasarkan pada sebuah Kerangka Acuan adalah tindakan di luar kelaziman dalam hukum perjanjian internasional dan hukum kebiasaan internasonal. Sebagaimana lazimnya, hubungan bilateral antar negara disepakati berdasarkan Memorandum of Un-derstanding (MoU) atau perjanjian tertentu. MoU biasanya dipilih ketika perjanjian dilakukan bukan oleh Kepala Negara dan substansinya dianggap tidak teramat penting. Sebaliknya, agree-BAB II

(17)

ment dipilih ketika substansi yang diatur dianggap sangat penting dan ditandatangani oleh Kepala Negara secara langsung.

Dalam Kerangka Acuan dijelaskan bahwa proses Komisi Kebenaran dan Persahabatan tidak akan mengarah pada penuntutan hukum dan akan menekankan tanggung jawab kelembagaan. Selanjutnya, dijelaskan pula bahwa Komisi tidak apriori terhadap proses peradilan yang sedang berlangsung mengenai kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia yang dilaporkan terjadi di Timor-Timur pada tahun 1999 maupun merekomendasikan pembentukan badan peradilan apapun.5

Oleh karena itu, dari awal sudah ditegaskan dalam Kerangka Acuan Komisi itu sendiri bahwa proses ini tidak akan mengarah pada proses yudisial.

Berdasarkan mandatnya, Komisi akan merumuskan cara-cara dan merekomendasikan langkah-langkah yang tepat untuk menyembuhkan luka lama, merehabilitasi dan memulihkan martabat manusia, yaitu dengan:6

ƒ Merekomendasikan amnesti bagi mereka yang terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia yang bekerja sama secara penuh dalam mengungkapkan kebenaran;

ƒ Merekomendasikan langkah-langkah rehabilitasi bagi mereka yang dituduh melanggar hak asasi manusia, namun tuduhan tersebut tidak benar;

ƒ Merekomendasikan cara-cara untuk mempromosikan 5 Kerangka Acuan Komisi Kebenaran dan Persahabatan yang dibentuk oleh Republik Indonesia dan Republik Demokratik Timor-Leste (selanjutnya disingkat “Kerangka Acuan”), butir 13(c) & (e).

6 Ibid., butir 14(c).

PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN HAK ASASI MANUSIA MASA LALU DI TIMOR-LESTE MELALUI MEKANISME KOMISI KEBENARAN DAN PERSAHABATAN (KKP)

(18)

persahabatan antara rakyat yang didasarkan pada nilai-nilai adat dan agama;

ƒ Merekomendasikan kontak antara orang dan orang yang inovatif dan kerja sama untuk meningkatkan perdamaian dan stabilitas.

Tidak heran apabila muncul pendapat bahwa Komisi merupakan sarana cuci tangan bagi para pelaku pelanggaran hak asasi manusia. Pendapat tersebut diperkuat lagi dengan adanya penegasan dalam Kerangka Acuan Komisi bahwa Indonesia dan Timor-Leste lebih memilih untuk mencari kebenaran dan membangun persahabatan sebagai suatu pendekatan yang baru dan unik daripada menjalankan proses peradilan.

2.3. Metode dan mekanisme kerja

Salah satu mandat Komisi adalah untuk meninjau kembali (review) bahan-bahan yang didokumentasikan oleh KPP HAM, Pengadilan HAM Ad Hoc untuk Timor-Timur di Indonesia, Panel Khusus untuk Kejahatan Berat dan CAVR. Memeriksa dan menetapkan kebenaran mengenai pelanggaran hak asasi manusia yang dilaporkan, termasuk pola-pola perilaku yang didokumentasikan oleh lembaga-lembaga Indonesia terkait dan Panel Khusus untuk Kejahatan Berat. Untuk memenuhi mandatnya, Komisi menerapkan dua metodologi, yaitu metodologi untuk mencari kebenaran konklusif dan metodologi untuk menghasilkan rekomendasi. Metode-metode tersebut digunakan untuk mencapai temuan faktual yang menjadi dasar kesimpulan-kesimpulan Komisi mengenai kebenaran konklusif dan tanggung jawab institusional. Untuk menghasilkan rekomendasi,

BAB II

(19)

metode-metode yang digunakan mencakup lokakarya dan konsultasi dengan berbagai pihak, khususnya dengan pemimpin kedua negara. Namun, karena Komisi bukan merupakan lembaga yudisial, maka dalam dengar pendapat yang menjadi bagian tak terpisahkan dari metodologi untuk mencari kebenaran konklusif, Komisi tidak memiliki wewenang memaksa kehadiran seseorang untuk bersaksi maupun mengajukan bukti. Padahal dari para saksi dalam proses dengar pendapat dapat diperoleh keterangan-keterangan yang signifikan mengenai pelanggaran hak asasi manusia berat yang terjadi di Timor-Timur.

Di atas kertas amat nyata bahwa kepada Komisi diberikan mandat yang amat terbatas. Dengan keterbatasan tersebut maka apa yang dapat dicapai oleh Komisi menjadi sangat bergantung kemampuan para Komisioner untuk menggunakan, menafsirkan dan mengembangkan mandat tersebut. Selain itu, mau tidak mau, Komisioner bergantung pada dukungan elit politik kedua negara maupun publik serta kemampuan memelihara dan memanfaatkan kepercayaan masyarakat yang menanti untuk melihat lahirnya kebenaran dari kerja Komisi ini.

PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN HAK ASASI MANUSIA MASA LALU DI TIMOR-LESTE MELALUI MEKANISME KOMISI KEBENARAN DAN PERSAHABATAN (KKP)

(20)
(21)

Berdasarkan Kerangka Acuan butir 14(b), Komisi memiliki mandat untuk “mengeluarkan laporan, yang terbuka untuk umum, dalam Bahasa Indonesia, Tetum dan Inggris, dan diterjemahkan ke dalam bahasa Portugis, yang membentuk catatan sejarah bersama dari pelanggaran hak asasi manusia yang dilaporkan yang terjadi pada periode menjelang dan setelah konsultasi popular di Timor-Leste pada bulan Agustus 1999”.7 Laporan akhir sebagaimana dimaksud

merupakan jawaban Komisi atas mandatnya untuk mengungkap kebenaran konklusif di balik peristiwa masa lalu yang kelam.

Di dalam menetapkan kebenaran konklusif, Komisi memadukan dua analisis penting, yakni analisis Telaah Ulang Dokumen dan analisis Proses Pencarian Fakta. Empat kumpulan dokumen yang ditelaah ulang oleh Komisi meliputi dokumen dari Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM di Timor-Timur (KKP-HAM Timor-Timur), Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi Timor-Leste

BAB III

TEMUAN-TEMUAN KOMISI: PELANGGARAN

HAK ASASI MANUSIA YANG BERAT DAN

TANGGUNG JAWAB INSTITUSIONAL

(22)

(CAVR), Pengadilan HAM Ad Hoc di Jakarta (dokumen-dokumen persidangan, putusan akhir 12 kasus Timor-Timur dan BAP Kejaksaan Agung terkait dengan 12 kasus tersebut), Panel Khusus untuk Kejahatan Berat pada Pengadilan Distrik Dili (SPSC) serta Unit Kejahatan Berat (SCU) di Dili (dakwaan SCU dan putusan SPSC dan berkas perkara SCU termasuk “Wiranto Case File”). Sedangkan proses pencarian fakta dilakukan melalui empat cara, yakni dengar pendapat terbuka, dengar pendapat tertutup, pengambilan pernyataan, wawancara dan submisi tertulis.

Laporan setebal 380 halaman8 yang disampaikan oleh Komisi

kepada Presiden Indonesia dan Timor-Leste pada tanggal 15 Juli 2008, yang kemudian terbuka untuk umum pada pertengahan Agustus 2008, terdiri dari tiga bagian:

Bagian I : Tujuan, Mandat dan Proses Bagian II : Temuan dan Analisis

Bagian III : Kesimpulan, Rekomendasi dan Langkah ke Depan Di dalam mencapai kebenaran konklusif tentang pelanggaran hak asasi manusia berat yang diduga terjadi menjelang dan setelah konsultasi popular di Timor-Leste pada bulan Agustus 1999, Komisi dipandu oleh dua pertanyaan penting, yakni apakah pelanggaran hak asasi manusia yang berat terjadi di Timor-Timur pada tahun 1999 dan apakah terdapat institusi-institusi yang harus dimintai pertanggungjawaban atas

pelanggaran-8 Per Memoriam Ad Spem: Laporan Akhir Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia-Timor-Leste.

BAB III

(23)

pelanggaran tersebut?

3.1. Temuan-temuan KKP: membongkar sejarah masa lalu

Apabila kita telisik lebih jauh proses pengungkapan kebenaran yang dilakukan oleh Komisi, terdapat temuan-temuan faktual yang secara detil menjawab dua persoalan utama yang dihadapkan kepada Komisi sebagaimana dijelaskan di atas:9

ƒ Pelanggaran hak asasi manusia yang berat telah terjadi di Timor-Timur pada tahun 1999. Kampanye kekerasan dan intimidasi secara sistematis dan meluas terhadap penduduk sipil tidak bersifat acak, spontan dan bukan sekedar hasil dari dinamika-dinamika balas dendam. Penghilangan kemerdekaan secara ilegal, penganiayaan, pembunuhan, pemerkosaan, penyiksaan, pemindahan paksa dan deportasi sebagai bagian dari kampanye kekerasan dan intimidasi tersebut dimaksudkan untuk melemahkan dukungan penduduk sipil terhadap gerakan pro-kemerdekaan.

ƒ Para anggota milisi, kelompok-kelompok pro-kemerdekaan dan unsur-unsur TNI terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat.

ƒ Pelaku utama kekerasan adalah milisi pro-otonomi yang mendapat dukungan, bantuan dan terkadang arahan serta perbuatan bersama oleh anggota kepolisian, militer dan pemerintah sipil Indonesia.

ƒ Tersedianya sumber daya keuangan dan materi bagi milisi-milisi pro-otonomi; terbukanya akses terhadap senjata yang

TEMUAN-TEMUAN KOMISI: PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA YANG BERAT DAN TANGGUNG JAWAB INSTITUSIONAL

(24)

pendanaan, pasokan, distribusi dan penggunaannya dikendalikan oleh satuan-satuan TNI secara terorganisasi dan sistematis serta pengetahuan bahwa senjata-senjata tersebut akan digunakan untuk mendukung kampanye intimidasi dan kekerasan pro-otonomi menunjukkan hubungan kerja sama yang sangat terorganisasi dan berkesinambungan antara milisi pro-otonomi dengan lembaga-lembaga Indonesia. Struktur kepemimpinan serta keanggotaan militer, sipil bersenjata dan milisi yang tumpang tindih memperkuat hubungan yang terbina tersebut.

ƒ Dukungan TNI, pemerintah sipil dan militer melalui kepemimpinan, pemberian senjata dan pengetahuan mengenai tujuan penggunaan senjata, pendanaan dan pemberian sumber daya materiil lainnya secara sistematis memberi indikasi nyata mengenai tanggung jawab institusional TNI, pemerintah sipil dan militer atas pelanggaran hak asasi manusia yang berat tahun 1999. Partisipasi langsung anggota TNI dalam berbagai penyerangan terhadap penduduk sipil kerap dilakukan melalui keterlibatan anggota di dalam penyerangan bersama dengan anggota kelompok milisi atau sipil bersenjata dan melalui perencanaan aktif atau arahan operasi oleh perwira-perwira TNI pada tingkat komando lokal.

ƒ Pelanggaran hak asasi manusia yang berat dalam bentuk penangkapan dan penahanan secara ilegal terhadap penduduk sipil yang tidak pro-kemerdekaan juga dilakukan secara sistematis dan meluas oleh unsur-unsur Falintil dan kelompok-kelompok pro-kemerdekaan lain. Namun demikian, luas cakupan pelanggaran tidak dapat diukur mengingat ketiadaan penyelidikan terhadap peran kelompok-kelompok pro-kemerdekaan dalam peristiwa kekerasan tahun 1999. Sehingga

BAB III

(25)

muncul kesulitan di dalam menetapkan tanggung jawab institusional atas pelanggaran semacam itu.

Jika dikerucutkan lagi, temuan-temuan faktual tersebut sebenarnya bermuara pada dua kesimpulan besar, yakni bahwa telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia yang berat dalam bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan terhadap penduduk sipil di Timor-Timur pada tahun 1999 dan bahwa ada keterlibatan kelembagaan dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat tersebut. Oleh karena itu, adalah penting untuk memaparkan bagaimana Komisi dapat sampai pada dua kesimpulan tersebut, mengingat bahwa Komisi harus memadukan dua analisis yang berbeda, yakni analisis temuan dan kesimpulan dari Proses Telaah Ulang Dokumen dan Proses Pencarian Fakta.

3.2. Pelanggaran hak asasi manusia yang berat: kejahatan terhadap kemanusiaan

Pada hakikatnya, kesimpulan Komisi bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat dalam bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan terhadap penduduk sipil telah terjadi di Timor-Timur pada tahun 1999 bukan sesuatu hal yang baru. Dokumen-dokumen yang ditelaah oleh Komisi telah secara tegas mengungkap hal ini. Sebagaimana halnya lembaga-lembaga yudisial dan non-yudisial yang mendahului Komisi, di dalam mendefinisikan kejahatan terhadap kemanusiaan, Komisi bercermin pada instrumen dan yurisprudensi internasional yang menetapkan unsur-unsur turunan dari “kejahatan terhadap kemanusiaan” yang meliputi:

TEMUAN-TEMUAN KOMISI: PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA YANG BERAT DAN TANGGUNG JAWAB INSTITUSIONAL

(26)

(1) Serangan ditujukan terhadap penduduk sipil; (2) Serangan dilakukan secara meluas atau sistematis; (3) Adanya pengetahuan bahwa tindakan pelaku merupakan

bagian dari serangan tersebut.10

3.2.1. Serangan ditujukan terhadap penduduk sipil11

Komisi menetapkan bahwa “suatu serangan” baru dapat dikatakan telah terjadi apabila terdapat “sejumlah substansial warga sipil yang menjadi korban pemaksaan, kekerasan atau tindak pidana”. Penganiayaan terhadap penduduk sipil merupakan salah satu bentuk tindak kekerasan yang dapat dikaitkan dengan kejahatan terhadap kemanusiaan. Ditambahkan, serangan semacam itu tidak harus senantiasa melibatkan penggunaan kekuatan bersenjata.

Pertanyaannya kemudian: apakah serangan tersebut memang benar-benar ditujukan terhadap penduduk sipil dan bukan semata-mata serangan yang hanya diarahkan terhadap beberapa individu yang dipilih secara acak. Atas pertanyaan ini, Komisi menegaskan bahwa karakter kuantitatif yang mensyaratkan jumlah minimal bukan merupakan batu uji bagi terpenuhinya unsur “diarahkan terhadap penduduk sipil” melainkan 4 (empat) indikator utama yang meliputi: identitas korban, kondisi mereka 1 0Statuta Roma untuk Mahkamah Pidana Internasional, Pasal 7(1).

1 1Pembahasan secara mendalam, lihat Per Memoriam Ad Spem, supra, n. 8, hal. 70, 167, 206 dan 285.

BAB III

(27)

diserang, lokasi dimana mereka diserang serta jenis-jenis kekerasan yang dilakukan.

Berangkat dari analisis singkat tersebut, Komisi berkesimpulan bahwa terdapat serangan yang ditujukan terhadap penduduk sipil. Tidak mendalamnya pembahasan mengenai hal ini disebabkan oleh bukti yang dikumpulkan dari berbagai dokumen yang ditelaah oleh Komisi maupun dari proses pencarian fakta yang telah secara konsisten menemukan bahwa serangan memang ditujukan terhadap penduduk sipil.

3.2.2. Serangan dilakukan secara meluas atau sistematis

Unsur “meluas”12

Unsur “serangan dilakukan secara meluas atau sistematis” bersifat alternatif, dalam pengertian bahwa di dalam pembuktiannya, jika salah satu syarat terpenuhi – meluas atau sistematis – maka sudah cukup untuk menetapkan telah dilakukannya kejahatan terhadap kemanusiaan. Namun demikian, Komisi tidak menutup kemungkinan bagi kedua syarat untuk dapat terpenuhi. Dalam menetapkan “sifat meluas” suatu serangan, Komisi mempertimbangkan beberapa faktor, yakni luasnya serangan, jumlah korban, cakupan geografis, banyaknya jumlah serangan dan lamanya serangan. Singkat kata, istilah “meluas” merujuk pada dimensi, cakupan dan karakter kuantitatif serangan. Unsur

TEMUAN-TEMUAN KOMISI: PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA YANG BERAT DAN TANGGUNG JAWAB INSTITUSIONAL

1 2Pembahasan secara mendalam, lihat Per Memoriam Ad Spem, supra, n. 8, hal. 25,

(28)

“meluas” baru akan terpenuhi jika terjadi banyak tindak kekerasan atau penganiayaan yang dilakukan terhadap penduduk sipil atau jika skalanya signifikan (banyaknya jumlah pelaku dan korban).

Empat kumpulan dokumen yang ditelaah ulang oleh Komisi menyimpulkan bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat telah dilakukan secara meluas. Komisi mencatat bahwa Laporan KPP HAM, Berkas Acara Pemeriksaan (BAP) dan Putusan Pengadilan HAM Ad Hoc di Jakarta menggunakan pendekatan cakupan geografis dan jumlah korban. Serupa, Laporan Akhir CAVR dan Arsip Unit Kejahatan Berat (SCU) menitikberatkan pada dimensi kuantitatif, khususnya banyaknya jumlah perempuan korban kekerasan berbasis jender.

Lebih lanjut, rekonstruksi ke-14 kasus prioritas, yang merupakan bagian dari proses pencarian fakta, juga telah berhasil menetapkan sifat meluasnya serangan yang dilakukan terhadap penduduk sipil di Timor-Timur pada tahun 1999. Mengingat waktu, sebaran geografis dan skala kejadian yang melingkupi ke-14 kasus tersebut, Komisi berkesimpulan bahwa “…ke-14 kasus prioritas dengan sendirinya telah memenuhi syarat sebagai suatu pelanggaran HAM terhadap penduduk sipil yang ‘meluas’ karena terjadi secara tidak acak, dalam urut-urutan yang berdekatan, selama rentang waktu yang terbatas dan di berbagai lokasi geografis”.

Dalam hal rentang waktu terjadinya kekerasan,

BAB III

(29)

Komisi menegaskan bahwa konsentrasi kekerasan pada bulan April-Mei (4 kasus) dan September 1999 (10 kasus) berkaitan erat dengan situasi politik saat itu, termasuk pengukuhan milis-milisi (April-Mei) dan penyelenggaraan jajak pendapat (September). Bervariasinya wilayah tempat terjadinya pelanggaran – Wilayah Timur (Lautém, Baucau, Viqueque, Manatuto), Wilayah Tengah (Dili, Aileu, Ainaro, Manufahi) dan Wilayah Barat (Liquiça, Ermera, Covalima, Bobonaro, Oecussi) – menjadi petunjuk utama adanya penyerangan yang meluas secara geografis.

Unsur “sistematis”13

Guna menentukan bahwa serangan yang ditujukan terhadap penduduk sipil dilakukan secara sistematis, Komisi mendasarkan analisisnya pada tiga faktor, yakni: (1) apakah serangan dimaksud dilakukan secara terorganisasi atau acak (random) atau bersifat kaos ( cha-otic), (2) apakah terdapat pola mendasar atau perencanaan sebelumnya dan (3) apakah terdapat suatu kebijakan eksplisit atau implisit atau artikulasi tujuan politis atau ideologis yang terkait dengan serangan.

Berdasarkan proses telaah ulang dokumen, Komisi menemukan bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi di Timor-Timur pada tahun 1999

TEMUAN-TEMUAN KOMISI: PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA YANG BERAT DAN TANGGUNG JAWAB INSTITUSIONAL

1 3Pembahasan secara mendalam, lihat Per Memoriam Ad Spem, supra, n. 8, hal. xvii,

(30)

bersifat sistematis, baik berdasarkan pada pola atau modus operandi yang digunakan (perencanaan operasi) maupun pola-pola kejahatan (misalnya, pemindahan paksa). Terkait dengan pemindahan paksa, Komisi mencatat temuan di dalam Arsip Unit Kejahatan Berat (SCU) yang menegaskan bahwa “konsistensi pola perilaku dan mobilisasi sumber daya yang sangat besar untuk dapat memindahkan begitu banyak orang dalam rentang waktu yang relatif singkat menunjukkan bahwa hal ini terjadi secara sistematis dan terencana baik, ketimbang acak, spontan, atau sebagai hasil tindakan individual terpisah”.

Adanya suatu kebijakan baik eksplisit atu implisit pada hakekatnya bukan merupakan suatu syarat yang diperlukan untuk menetapkan sifat sistematis suatu serangan. Yurisprudensi internasional memandang adanya kebijakan hanya sebagai suatu syarat tambahan dan kebijakan tersebut tidak harus senantiasa berupa kebijakan resmi. Komisi menemukan perbedaan yang sangat signifikan antara temuan KPP HAM dan BAP berkenaan dengan hal ini. KPP HAM berkesimpulan bahwa sistematisnya kekerasan yang dilakukan mengindikasikan adanya suatu kebijakan implisit. Di sisi lain, lemahnya penuntutan atas kasus-kasus di pengadilan HAM Ad Hoc disebabkan oleh asumsi yang menyimpang bahwa syarat adanya “kebijakan resmi” adalah syarat utama untuk membuktikan sifat sistematis suatu serangan.

BAB III

(31)

Dokumen-dokumen yang ditelaah ulang oleh Komisi menyimpulkan bahwa serangan yang ditujukan terhadap penduduk sipil di Timor-Timur pada tahun 1999 bersifat sistematis. Kesimpulan ini didukung oleh berbagai kesaksian yang diterima oleh Komisi dalam proses pencarian fakta, khususnya yang terkait dengan ke-14 kasus prioritas. Di tengah keterbatasan jumlah saksi dan waktu, bukti-bukti substansial yang terkumpul berhasil mengkonfirmasi atau mengkoroborasi temuan-temuan dalam proses telaah ulang dokumen:

(1) Korban ditargetkan berdasarkan ciri-ciri khusus, dalam hal ini berdasarkan afiliasi politik mereka; (2) Kelompok-kelompok milisi dibentuk secara

sistematis, memiliki struktur operasional yang terkoordinasi dan mendapat dukungan dana, senjata dan amunisi di dalam menjalankan operasi-operasi mereka dari institusi militer dan pemerintah sipil. (3) Operasi-operasi bersama milisi dan TNI, dengan

pengarahan dan perencanaan pada tingkat yang signifikan, dilakukan secara terorganisasi untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu.

3.3. Tanggung jawab institusional14

Kesimpulan bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat telah dilakukan secara meluas dan sistematis, sebagaimana dijelaskan di

TEMUAN-TEMUAN KOMISI: PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA YANG BERAT DAN TANGGUNG JAWAB INSTITUSIONAL

1 4Pembahasan secara mendalam, lihat Per Memoriam Ad Spem, supra, n. 8, hal. xv, 74-79, 87-88, 93-94, 98, 102-104, 117, 120-121, 136-142, 144-146, 200, 205,

(32)

atas, menjadi titik tolak bagi temuan mengenai tanggung jawab institusional atas pelanggaran tersebut. Namun demikian, Komisi menyadari bahwa konsep “tanggung jawab institusional” didasarkan pada faktor-faktor moral dan etis ketimbang unsur-unsur legal for-mal. Tanpa bermaksud untuk mengurangi esensi dari tanggung jawab individu, Komisi menegaskan bahwa kekerasan yang dilakukan oleh individu atau perorangan yang terjadi pada tahun 1999 merupakan bagian dari kekerasan yang terorganisasi dan sarat muatan politik sehingga perlu dilihat dalam konteks institusional yang lebih luas.

Komisi cukup mengalami kesulitan di dalam menentukan tanggung jawab institusional terkait dengan pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi di Timor-Timur pada tahun 1999. Hal ini dikarenakan sebagian dari kumpulan dokumen yang ditelaah ulang oleh Komisi berfokus pada penentuan tanggung jawab individu yang berada di luar mandat Komisi. Kesimpulan eksplisit mengenai dimensi tanggung jawab institusional, khususnya yang melekat pada milisi sebagai pelaku utama kekerasan, termuat dalam beberapa dokumen, termasuk Laporan KPP HAM, Laporan Akhir CAVR, Berkas Perkara SCU serta Putusan-putusan SPSC dan beberapa Putusan Pengadilan HAM Ad Hoc.

Komisi mencatat bahwa selain Laporan Akhir CAVR, tidak satupun dokumen tersebut di atas di dalam temuannya menetapkan mengenai tanggung jawab institusional institusi Indonesia maupun Timor-Leste. Dokumen-dokumen tersebut, kendati secara lugas mengungkap tanggung jawab bersama milisi Timor pro-otonomi dan institusi-institusi Indonesia, cenderung kabur di dalam menetapkan institusi mana yang terlibat, sejauh mana dan bagaimana dan pada tingkat mana.

BAB III

(33)

Di satu sisi, Laporan Akhir CAVR secara eksklusif menunjuk TNI sebagai institusi yang bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi. Di sisi lain, beberapa dokumen termasuk Berkas Perkara SCU serta Putusan-putusan SPSC memperluas pertanggungjawaban institusional pada pihak pro-otonomi sebagai pelaku utama kekerasan, TNI dan pejabat sipil Indonesia. Terbatasnya penyidikan dan bukti yang ada menyebabkan sulitnya membuktikan keterlibatan institusi kepolisian. Namun demikian, di dalam putusan Adam Damiri, pertanggungjawaban institusional kepolisian berhasil terungkap. Menarik untuk ditelusuri bagaimana BAP ke-12 kasus dan putusan Pengadilan HAM Ad Hoc, khususnya putusan kasus Adam Damiri, mencoba untuk memahami konsep tanggung jawab institusional secara lebih luas. Komisi menilai bahwa meskipun dokumen-dokumen tersebut tidak secara langsung menyentuh akar permasalahan mengenai tanggung jawab institusional, upaya untuk menetapkan tanggung jawab komando seperti halnya kasus Adam Damiri, memiliki implikasi terhadap tanggung jawab institusional. Relevansi antara tanggung jawab komando dan tanggung jawab institusional tercermin dari adanya kesadaran institusional mengenai pelanggaran hak asasi manusia yang berat di Timor-Timur pada tahun 1999 dan kegagalan untuk mengambil tindakan-tindakan penyelesaian yang sesuai dengan prinsip-prinsip hukum humaniter internasional.

Seluruh kesaksian yang diterima oleh Komisi dalam proses pencarian fakta dengan tegas menunjukkan adanya tanggung jawab institusional kelompok-kelompok milisi. Beberapa di antaranya juga mengungkap keterlibatan langsung dari

institusi-TEMUAN-TEMUAN KOMISI: PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA YANG BERAT DAN TANGGUNG JAWAB INSTITUSIONAL

(34)

institusi militer dan kepolisian. Juga terdapat kesaksian yang mengaitkan tanggung jawab institusional dengan kegagalan militer dan kepolisian untuk mengambil tindakan secara memadai guna mencegah atau menghentikan pelanggaran HAM yang terjadi.

Pendanaan dan penyediaan dukungan materiil dari pemerintah sipil Indonesia kepada kelompok-kelompok milisi pro-otonomi; pemberian senjata secara sistematis dengan pengetahuan mengenai tujuan penggunaan senjata; adanya arahan di dalam tindakan bersama penyerangan terhadap penduduk sipil dan tumpang tindih struktur kepemimpinan dan keanggotaan antara militer, sipil bersenjata dan milisi menjadi dasar bagi analisis mengenai tanggung jawab institusional atas pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi di Timor-Timur pada tahun 1999.

Berkenaan dengan tanggung jawab institusional, Komisi menyimpulkan bahwa:15

(1) Tanggung jawab kelembagaan bersumber dari dukungan, pembiaran, atau keterlibatan langsung maupun tidak langsung dalam pelanggaran oleh lembaga-lembaga yang terjadi secara sistematis dan berulang, dalam suatu rentang waktu, di sejumlah tempat serta mengikuti suatu pola perbuatan reguler dan terorganisasi.

(2) Anggota TNI, Polri dan pejabat sipil telah bekerja sama dengan dan mendukung milisi dalam berbagai cara signifikan yang turut berkontribusi terhadap perbuatan kejahatan-kejahatan, yakni

15 Per Memoriam Ad Spem, supra, n. 8, hal. 308-311.

BAB III

(35)

pembunuhan, pemerkosaan sistematis, penyiksaan, penghilangan kemerdekaan fisik berat serta deportasi dan pemindahan paksa. (3) Terdapat setidaknya suatu persetujuan institusional diam-diam bagi pola penahanan ilegal pada Falintil dan/atau CNRT (penahanan ilegal tersebut dilakukan dalam cara yang sistematis yang mencakup perintah resmi, laporan kepada komandan dan lain-lain).

(36)
(37)

Di dalam merumuskan rekomendasi-rekomendasinya yang bersifat rekonsiliatif dan berbentuk reparasi kolektif, Komisi bersandar pada prinsip-prinsip keadilan restoratif yang berorientasi pada kebutuhan korban, khususnya kebutuhan agar martabat mereka dipulihkan. Komisi berpandangan bahwa kebenaran konklusif yang dicapai adalah langkah awal bagi pemulihan dimaksud. Rekomendasi-rekomendasi tersebut dibagi dalam 2 (dua) kategori, yakni Jangka Pendek dan Urgen, dan Jangka Panjang dan Aspiratif:

4.1. Jangka pendek dan urgen

Untuk jangka pendek, Komisi menetapkan 5 (lima) buah rekomendasi yang dinilai memiliki tingkat urgensitas yang tinggi, yakni: akuntabilitas dan reformasi kelembagaan, patroli perbatasan dan kebijakan keamanan bersama, pusat dokumentasi dan resolusi konflik, persoalan ekonomi dan aset dan Komisi untuk Orang-or-ang HilOrang-or-ang.

BAB IV

REKOMENDASI-REKOMENDASI KOMISI:

REKONSILIATIF DAN KOLEKTIF

(38)

4.1.1. Akuntabilitas dan reformasi kelembagaan16

Sebagai reaksi atas temuan dan kesimpulan bahwa terdapat tanggung jawab institusional atas pelanggaran hak asasi manusia yang berat di Timor-Timur pada tahun 1999, Komisi merekomendasikan agar promosi budaya akuntabilitas di dalam institusi-institusi yang terlibat harus mencakup upaya untuk menjaga perdamaian dan keamanan serta mengambil tindakan-tindakan pencegahan dan penghukuman atas pelanggaran terhadap hukum dan hak asasi manusia. Namun demikian, perlu dicatat bahwa peningkatan akuntabilitas tanpa dibarengi oleh reformasi kelembagaan tidak akan efektif. Reformasi kelembagaan dalam setiap aspek diharapkan dapat mencegah perulangan kekerasan di masa mendatang.

Mandat Komisi untuk merekomendasikan pemberian pengampunan (amnesti) dan langkah-langkah rehabilitasi, sebagaimana ditetapkan dalam Kerangka Acuan butir 14 (c) (i) dan (ii), berkaitan erat dengan akuntabilitas kelembagaan. Setelah mempertimbangkan berbagai aspek, Komisi memutuskan untuk tidak memberikan rekomendasi amnesti atau rehabilitasi kepada terduga pelaku. Selain oleh karena klausul untuk merekomendasikan pemberian amnesti dan rehabilitasi bukan merupakan suatu klausul yang wajib atau mutlak, keputusan Komisi untuk tidak merekomendasikan kedua

16 Per Memoriam Ad Spem, supra, n. 8, hal. 316-319.

BAB IV

(39)

hal tersebut juga dilandasi oleh bukti-bukti yang terkumpul melalui proses pencarian fakta bahwa, pertama, pihak terduga pelaku yang hadir dalam proses pencarian fakta tidak “bekerja sama penuh dalam mengungkapkan kebenaran”, sehingga bagi mereka tidak direkomendasikan amnesti. Komisi juga menegaskan bahwa rekomendasi amnesti akan menegasikan kriteria pokok keadilan prosedural, yakni “terbuka bagi semua pihak” dan mengabaikan tujuan utama Komisi, yakni untuk mencapai rekonsiliasi.

Kedua, keterbatasan Komisi untuk melakukan

penelitian atas kasus-kasus perorangan menyebabkan dirinya tidak dapat menetapkan bahwa terduga pelaku telah dituduh secara tidak adil dan oleh karenanya bagi mereka tidak direkomendasikan rehabilitasi.

Identifikasi atas “lemahnya lembaga-lembaga peradilan, tidak adanya komitmen yang efektif terhadap supremasi hukum serta tidak adanya akuntabilitas militer dan pasukan keamanan sebagai faktor-faktor yang berkontribusi pada terjadinya kekerasan pada tahun 1999” merupakan dasar utama bagi Komisi untuk merekomendasikan langkah-langkah pokok untuk melakukan reformasi kelembagaan:

(1) Mengembangkan suatu program pelatihan hak asasi manusia yang dirancang untuk institusi-institusi keamanan, militer dan intelijen yang memberikan titik tekan pada kewajiban mereka untuk menghormati hak asasi manusia, khususnya hak-hak sipil dan

REKOMENDASI-REKOMENDASI KOMISI: REKONSILIATIF DAN KOLEKTIF

(40)

politik dalam situasi konflik sipil dan politik, termasuk dengan bersikap netral, taat pada batasan-batasan hukum dan patuh pada arahan kepemimpinan sipil. (2) Mengembangkan suatu program pelatihan hak asasi manusia yang dirancang untuk institusi-institusi sipil, seperti Kejaksaan Agung, Departemen Hukum dan HAM, Departemen Dalam Negeri dan Departemen Pertahanan yang berfokus pada upaya-upaya damai untuk mengatasi situasi konflik sipil dan politik. Terwujudnya budaya penghormatan terhadap keberagaman dan perbedaan politik menjadi harapan jangka panjang.

(3) Mereformasi lembaga-lembaga yang berwenang untuk menyelidik, menyidik dan menuntut pelanggaran hak asasi manusia. Kedua Negara, In-donesia dan Timor-Leste harus mengambil langkah-langkah konkrit untuk melaksanakan rekomendasi ini, termasuk dengan memperkuat kewenangan dan efektifitas Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Indonesia melalui amendemen undang-undang hak asasi manusia dan mengembangkan Rencana Aksi Hak Asasi Manusia Nasional Timor-Leste yang di dalamnya mencakup mekanisme investigasi pelanggaran hak asasi manusia yang bersifat proaktif secara berturut-turut. Penting pula untuk mengembangkan pelatihan dan penguatan mekanisme akuntabilitas dalam lembaga militer dan kepolisian di kedua negara.

BAB IV

(41)

(4) Mengembangkan program-program pelatihan bagi institusi-institusi militer, kepolisian dan pemerintah sipil yang berkenaan dengan perlindungan bagi perempuan, anak-anak dan kelompok-kelompok rentan lainnya. Selain itu, juga direkomendasikan untuk mengembangkan mekanisme-mekanisme penegakan hukum khusus bagi kepolisian dan Kejaksaan Agung untuk menangani kasus-kasus kejahatan berbasis jender yang dilakukan dalam situasi konflik sipil atau politik.

(5) Mengembangkan dan mengimplementasikan sebuah program reformasi sektor keamanan yang dimaksudkan untuk meningkatkan profesionalisme aktor-aktor keamanan, menetapkan batasan-batasan hukum antara pejabat sipil dengan pasukan militer dan kepolisian serta memisahkan wewenang dan tanggung jawab dalam persoalan penegakan hukum dan ketertiban dan pertahanan antara kepolisian dan militer.

REKOMENDASI-REKOMENDASI KOMISI: REKONSILIATIF DAN KOLEKTIF

(42)

4.1.2. Patroli perbatasan dan kebijakan keamanan

bersama17

Mengingat pentingnya penyelesaian persoalan-persoalan residual yang terkait dengan keamanan perbatasan antara Indonesia dan Timor-Leste dalam rangka mencegah kekerasan di masa depan dan meningkatkan persahabatan antar kedua negara, Komisi merekomendasikan, antara lain, pembentukan “zona-zona damai”, kerja sama patroli perbatasan, penyelesaian kesepakatan mengenai masalah-masalah demarkasi dan delimitasi perbatasan darat, laut dan udara serta pengembangan kebijakan keamanan perbatasan bersama.

4.1.3. Pusat Dokumentasi dan Resolusi Konflik18

Selain diproyeksikan sebagai sebuah langkah untuk mendorong persahabatan antara kedua bangsa dan mencegah kekerasan di masa mendatang melalui pengumpulan dan pemeliharaan semua dokumentasi yang berkenaan dengan kekerasan yang terjadi pada tahun 1999 dan penelitian sejarah bersama, Pusat Dokumentasi dan Resolusi Konflik ini juga dirancang untuk mengembangkan program-program yang mendorong resolusi konflik dan penyembuhan korban.

17 Per Memoriam Ad Spem, supra, n. 8, hal. 319-320. 18 Per Memoriam Ad Spem, supra, n. 8, hal. 321-323.

BAB IV

(43)

4.1.4. Persoalan ekonomi dan aset19

Komisi merekomendasikan agar setiap persoalan yang terkait dengan masalah ekonomi dan aset yang rumit sebagai akibat konflik yang terjadi pada tahun 1999, antara lain, persoalan mengenai status aset-aset publik dan pribadi dan pensiun bagi mantan pegawai negeri, diselesaikan melalui komisi bilateral yang sudah dibentuk dan kedua pemerintah.

4.1.5. Komisi untuk Orang-orang Hilang20

Pembentukan Komisi untuk Orang-orang Hilang ini secara khusus ditujukan bagi keluarga-keluarga mereka yang telah menderita atau terkena dampak pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi pada tahun 1999 dan sebelumnya. Di dalam menjalankan tugasnya, Komisi harus memberikan prioritas pada proses identifikasi keberadaan anak-anak Timor-Leste yang terpisah dari orang tua mereka dan pengembangan program-program yang berorientasi pada pemajuan dan perlindungan hak anak-anak yang pernah menjadi korban kekerasan.

4.2. Jangka panjang dan aspiratif21

Rekomendasi-rekomendasi Komisi yang masuk dalam strategi jangka panjang, yang dirancang untuk melengkapi rekomendasi-rekomendasi jangka pendek dan mendesak dan memperkokoh

19 Per Memoriam Ad Spem, supra, n. 8, hal. 323-324. 20 Per Memoriam Ad Spem, supra, n. 8, hal. 324.

REKOMENDASI-REKOMENDASI KOMISI: REKONSILIATIF DAN KOLEKTIF

(44)

pancang rekonsiliasi dan persahabatan antar kedua negara, mencakup upaya-upaya untuk mendorong pertukaran kebudayaan dan pendidikan, kerja sama di sektor kesehatan, budaya kesadaran hukum dan hak asasi manusia, keberlanjutan kerja sama bilateral untuk menghormati dan memelihara jasad mereka yang telah gugur dalam konflik dan kemungkinan memiliki kewarganegaraan ganda bagi anak-anak yang terlahir dari orang tua yang berbeda kewarganegaraan.

(45)

Dalam perkembangannya, kebutuhan akan mekanisme-mekanisme alternatif dan saling melengkapi untuk menyelesaikan pelbagai pelanggaran hak asasi manusia masa lalu yang tidak terbatas pada tercapainya keadilan tetapi juga pada terbangunnya budaya penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kepastian hukum serta rekonsiliasi semakin meningkat. Dalam kaitan dengan Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP), pendekatan keadilan transisi yang dipakai oleh Komisi merupakan pendekatan yang bersifat “non-konvensional”.

Non-konvensional dalam artian bahwa titik tekan diberikan pada terwujudnya rekonsiliasi dan persahabatan antar dua negara (Indonesia dan Timor-Leste)22 bukan pada kebenaran, keadilan

dan rekonsiliasi antar individu atau kelompok (pelaku dan korban).

BAB V

ANALISIS ATAS TEMUAN-TEMUAN DAN

REKOMENDASI-REKOMENDASI KOMISI

22 Kerangka Acuan, supra, n. 5, Pembukaan, butir 11, “KKP merupakan suatu pengalaman baru dan unik di mana dua Negara, dengan pengalaman sejarah bersama, sepakat dengan keberanian dan visi untuk memandang masa lalu sebagai pelajaran

(46)

Pendekatan non-konvensional tersebut pada akhirnya menuai kritik bahwa kebenaran faktual dan konklusif23 tentang peristiwa

pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi dalam periode menjelang dan segera setelah jajak pendapat di Timor-Leste bulan Agustus 1999 pada akhirnya hanya akan menjadi sebuah kebenaran hasil negosiasi politik semata. Terlebih mengingat bahwa “kebenaran faktual dan konklusif” tersebut tidak secara serta merta memberikan kepuasan bagi para korban yang mencari keadilan.

5.1. Elaborasi lebih jauh atas temuan-temuan dan rekomendasi-rekomendasi Komisi

Di dalam kesimpulan akhirnya Komisi boleh jadi berhasil menetapkan bahwa memang telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi menjelang dan setelah konsultasi popular di Timor-Leste pada bulan Agustus 1999. Namun demikian, terdapat beberapa hal penting yang luput dari perhatian Komisi ketika menyusun rekomendasi finalnya. Hal ini menjadi penting untuk dibahas guna mengukur apakah rekonsiliasi yang hendak dicapai sungguh merupakan rekonsiliasi melalui kebenaran yang mutlak atau sekedar rekonsiliasi diplomatis atau rekonsiliasi sebagai proyek politik antara Indonesia dan Timor-Leste.

5.1.1. Terbatasnya akses atas dokumen-dokumen terkait

Penyebutan “lembaga-lembaga Indonesia terkait”24

dalam Kerangka Acuan Komisi tidak berarti bahwa Komisi memiliki kewenangan untuk mempelajari 23 Kerangka Acuan, supra, n. 5, Tujuan, butir 12.

24 Kerangka Acuan, supra, n. 5, butir 14(a)(ii).

BAB V

(47)

laporan-laporan kepolisian atau intelijen militer yang terkait dengan peristiwa-peristiwa pelanggaran hak asasi manusia. Sekalipun istilah tersebut dapat ditafsirkan sebagai kewenangan Komisi untuk mempelajari laporan-laporan kepolisian dan intelijen militer tetapi kepolisan dan militer tetap bisa menolak jika ada permintaan dari Komisi dengan alasan tidak ada perintah resmi membuka laporan kepolisian dan intelijen militer. Hal ini terbukti dari tidak dibukanya akses atas dokumen-dokumen TNI.25

Pada taraf tertentu, pembatasan terhadap akses atas dokumen terkait, khususnya dokumen-dokumen TNI, tidak dapat dipungkiri berdampak pada proses pencarian kebenaran yang dilakukan Komisi. Pada hakekatnya, kebenaran konklusif yang ditetapkan hanya berdasarkan pelanggaran yang sudah dilaporkan dan didokumentasikan dalam pelbagai dokumen yang ditelaah ulang oleh Komisi. Ini berarti bahwa pelanggaran yang terjadi tetapi belum atau tidak dilaporkan tidak dapat dijadikan dasar pertimbangan Komisi. Tidak ada ketentuan di dalam Kerangka Acuan yang menetapkan bahwa Komisi memiliki wewenang untuk menerima laporan baru.

ANALISIS ATAS TEMUAN-TEMUAN DAN REKOMENDASI-REKOMENDASI KOMISI

(48)

5.1.2. Penegasian terhadap pemenuhan hak korban

Tidak tampak adanya perhatian yang komprehensif pada kebutuhan-kebutuhan dan hubungan-hubungan korban, pelaku dan masyarakat. Harus dicatat bahwa mandat Komisi harus tidak diinterpretasikan secara sempit, dalam pengertian bahwa lembaga yang dibentuk berdasarkan perjanjian bilateral tersebut secara eksklusif hanya akan memperhatikan masalah-masalah yang menyangkut hubungan antar negara. Masalah-masalah yang terkait dengan kebutuhan dan hubungan antara korban, pelaku dan masyarakat tidak akan diselesaikan melalui Komisi melainkan diserahkan kepada kebijakan domestik di masing-masing Negara.26

Apapun pendekatan yang dipakai oleh Komisi, baik konvensional atau non-konvensional, syarat-syarat utama dari rekonsiliasi yang merupakan bagian penting dan tak terpisahkan dari keadilan restoratif seharusnya diperhatikan oleh Komisi. Termasuk pemenuhan hak-hak korban, yakni hak-hak atas keadilan, hak-hak atas kebenaran dan hak atas pemulihan27 serta keterlibatan korban dan

pelaku (dalam hal ini, bukan negara) dalam keseluruhan proses rekonsiliasi. Marginalisasi terhadap korban juga tampak jelas dalam proses dengar pendapat yang

26 Per Memoriam Ad Spem, supra, n. 8, hal. 334.

27 “Basic Principles and Guidelines on the Right to a Remedy and Reparation for Victims of Gross Violations of International Human Rights Law and Serious Vio-lations of International Humanitarian Law” (“Basic Principles”), diadopsi dan disahkan melalui resolusi Majelis Umum PBB 60/147, 16 Desember 2005, paragraf 11, http://www2.ohchr.org/english/law/remedy.htm (diakses 15 Juni 2010).

BAB V

(49)

diselenggarakan oleh Komisi pada tahun 2007, dimana hanya terdapat 13 orang korban dari total 56 orang individu yang bersaksi di dalam dengar pendapat terbuka.28

Di dalam temuan-temuan dan kesimpulannya, Komisi tidak menyinggung masalah rehabilitasi bagi korban padahal rehabilitasi merupakan bagian integral dari hak korban atas pemulihan yang efektif.29 Juga tidak terdapat

mekanisme permintaan maaf dari pelaku kepada korban atau ganti rugi dan restitusi bagi korban. Menurut Komisi, kompensasi atas pelanggaran hak asasi manusia yang berat adalah persahabatan, bukan keadilan. Ini berarti ruang bagi korban untuk memperoleh keadilan telah tertutup.

5.1.3. Inkonsistensi antara temuan-temuan dan kesim-pulan

Pengkajian atas empat kumpulan dokumen (KKP-HAM Timor-Timur, CAVR, Pengadilan HAM Ad Hoc di Jakarta, SPSC dan SCU) menguatkan kesimpulan yang dicapai oleh masing-masing dokumen mengenai pelanggaran hak asasi manusia yang berat dalam bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan. Akan tetapi, penelusuran yang dilakukan secara tidak menyeluruh

28 Amnesty International, “We Cry for Justice: Impunity Persists 10 Years on in Timor-Leste”, 2009, hal. 9.

29 Basic Principles, supra, n. 27, paragraf 18.

ANALISIS ATAS TEMUAN-TEMUAN DAN REKOMENDASI-REKOMENDASI KOMISI

(50)

terhadap bentuk-bentuk pelanggaran yang masuk dalam kategori kejahatan terhadap kemanusiaan berakibat pada dikesampingkannya dua bentuk pelanggaran yang tak kalah penting.

Dalam kesimpulan umumnya, Komisi hanya menetapkan bahwa pelanggaran yang terjadi mencakup pembunuhan, deportasi atau pemindahan paksa penduduk, penahanan ilegal, kekerasan seksual lainnya, penghilangan paksa dan perbuatan tidak manusiawi lain, yaitu penghancuran dan

pembakaran harta benda.30 Tampak jelas terdapat

inkonsistensi antara kesimpulan yang termuat dalam Bab VIII Laporan sebagaimana dijelaskan di atas dengan kesimpulan yang termuat dalam Ringkasan Eksekutif Laporan.31 Dalam Ringkasan Eksekutif, di satu sisi

Komisi mencantumkan kejahatan “penyiksaan” dan “pemerkosaan”; tetapi di sisi lain, “penghilangan paksa dan perbuatan tidak manusiawi lain, yaitu penghancuran dan pembakaran harta benda” tidak disebutkan. Selain itu, bentuk-bentuk pelanggaran yang tercakup di dalam laporan Komisi pun lebih sempit ketimbang cakupan keempat kumpulan dokumen, khususnya dokumen KPP HAM dan CAVR.32

BAB V

30 Per Memoriam Ad Spem, supra, n. 8, hal. 303.

31 Per Memoriam Ad Spem, supra, n. 8, hal. xvi. “Komisi berkesimpulan bahwa […] pelanggaran tersebut mencakup pembunuhan, pemerkosaan dan bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya, penyiksaan, penahanan ilegal, serta pemindahan paksa dan deportasi yang dilakukan terhadap penduduk sipil”.

32 Terdapat beberapa bentuk pelanggaran yang tidak tercakup di dalam temuan Komisi tetapi teridentifikasi dalam temuan-temuan lembaga yudisial dan non-yudisial yang

(51)

5.1.4. Pertanggungjawaban institusional yang masih menggantung

Sejalan dengan prinsip-prinsip yang mendasari mandatnya, Komisi tidak akan mengarah pada penuntutan hukum dan akan menekankan pada tanggung jawab institusional.33 Posisi ini dianggap bertentangan

dengan prinsip-prinsip hukum internasional yang menetapkan konsep tanggung jawab individu untuk kejahatan terhadap kemanusiaan.34 Di tengah perdebatan

ini, harus diakui bahwa Komisi berhasil menetapkan satu temuan penting mengenai keterlibatan institusi-institusi negara di dalam melancarkan tindak kejahatan terhadap kemanusiaan baik secara langsung maupun tidak langsung. Komisi menyimpulkan bahwa pelaku utama dari tindak kejahatan dimaksud adalah milisi pro-otonomi yang mendapat dukungan, bantuan dan terkadang arahan serta perbuatan bersama oleh anggota kepolisian, militer dan pemerintah sipil Indonesia.35

ANALISIS ATAS TEMUAN-TEMUAN DAN REKOMENDASI-REKOMENDASI KOMISI

dokumen-dokumennya menjadi bahan telaah Komisi, yakni: penganiayaan, pemusnahan, penindasan dan pembumihangusan (KPP HAM); penghilangan kemerdekaan berat (CAVR). Lihat Per Memoriam Ad Spem, supra, n. 8, hal. 79, 92 dan 278; Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), “Ringkasan Eksekutif Laporan Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Timor-Timur”, Jakarta, 31 Januari 2000; Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi (CAVR) di Timor-Leste, “Chega! Laporan Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi (CAVR) di Timor-Leste: Ringkasan Eksekutif”, 2005.

33 Kerangka Acuan, supra, n. 5, butir 13(c).

34 Sekretaris-Jenderal PBB secara tegas meminta Komisi untuk bekerja sesuai dengan standard dan prinsip internasional yang berlaku. Lihat Dewan Keamanan PBB, “Report of the Secretary-General on justice and reconciliation for Timor-Leste”, S/2006/580, 26 Juli 2006, http://www.securitycouncilreport.org/site/ c.glKWLeMTIsG/b.2815971/ (diakses 22 Juni 2010).

(52)

Temuan penting Komisi mengenai tanggung jawab institusional atas kejahatan terhadap kemanusiaan di Timor-Timur pada tahun 1999 patut mendapat perhatian serius, khususnya terkait dengan penetapan level institusi-institusi Indonesia yang harus bertanggung jawab. Hal ini menjadi penting mengingat bahwa salah satu rekomendasi Komisi adalah reformasi kelembagaan guna mencegah terjadinya kembali kekerasan di masa mendatang. Penting untuk digarisbawahi bahwa reformasi kelembagaan ini tidak hanya bagi aparat keamanan namun juga birokrasi sipil.

Selain itu, perlu juga ditetapkan individu-individu yang menduduki posisi pucuk pimpinan lembaga-lembaga yang bertanggung jawab. Dalam hal penetapan tersebut, masih tersisa persoalan apakah sebagai pemimpin tertinggi, pemegang komando utama, individu-individu tersebut patut dimintai pertanggungjawaban baik secara hukum maupun politik, mengingat penyalahgunaan kekuasaan dalam lembaga-lembaga dimaksud.

5.1.5. Kebenaran konklusif: sebuah kebenaran yag tidak berpihak pada korban?

Di dalam laporannya, Komisi berulang kali menyinggung masalah reparasi bagi korban36 yang akan diberikan

secara kolektif, bukan individual, melalui kebijakan bi-lateral antara Indonesia dan Timor-Leste. Apabila pemberian reparasi bagi korban dinilai sebagai satu

BAB V

36 Per Memoriam Ad Spem, supra, n. 8, hal. 17, 315 dan 334.

(53)

kesatuan yang tak terpisahkan dari kerangka keadilan restoratif, maka dapat dikatakan bahwa temuan-temuan dan rekomendasi-rekomendasi Komisi tidak dilandasi oleh semangat rekonsiliasi melalui keadilan restoratif. Tidak adanya rekomendasi mengenai pemberian reparasi kepada korban merupakan salah satu bukti bahwa kepentingan korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Timor-Timur ini tidak diperhatikan. Padahal, yang sangat berkepentingan dalam penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi Timor-Timur adalah mereka yang menjadi korban.37

Meskipun Komisi tidak merekomendasikan pemberian amnesti di dalam laporannya, namun kehadiran klausul mengenai amnesti bukannya reparasi bagi korban di dalam Kerangka Acuannya menunjukkan bahwa perspektif yang menjadi landasan kerja Komisi adalah perspektif pelaku karena amnesti berhubungan erat dengan kepentingan penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh pelaku. Hal inilah yang menjadi alasan penolakan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk terlibat di dalam proses pencarian fakta yang dilakukan Komisi. Sekretaris-Jenderal PBB, Ban 3 7Dewan Keamanan PBB, “Report of the Secretary-General on Timor-Leste pursu-ant to Security Council resolution 1690 (2006)”, S/2006/628, 8 Agustus 2006, http://www.securitycouncilreport.org/ site/c.glKWLeMTIsG/b.2815971/ (diakses 23 Juni 2010). Di dalam laporan ini, mengingat pentingnya program reparasi bagi korban, Sekretaris-Jenderal PBB merekomendasikan pembentukan dana solidaritas (solidarity fund) untuk mendanai program restorasi komunitas dan program keadilan di Timor-Leste. Diharapkan, program restorasi komunitas tersebut dapat mendukung

ANALISIS ATAS TEMUAN-TEMUAN DAN REKOMENDASI-REKOMENDASI KOMISI

(54)

Ki Moon, menegaskan bahwa mandat Komisi yang dapat merekomendasikan pemberian amnesti bagi pelaku bertentangan dengan kebijakan PBB yang tidak mentolerir pemberian amnesti bagi kejahatan-kejahatan seperti genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang atau pelanggaran hak asasi manusia yang berat.38

5.2. Komisi Kebenaran dan Persahabatan: pilihan mekanisme keadilan transisi yang tepat?

Mempertimbangkan peliknya hubungan kedua negara tersebut, resolusi konflik model Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KPP) antara Pemerintah Timor-Leste dan Indonesia dapat dilihat sebagai suatu langkah strategis untuk menerobos kebuntuan dan meredam gejolak politik di dalam negara masing-masing. Usaha ini sepatutnya juga dilihat sebagai sebuah inisiatif awal – kalau tak dapat dilihat sebagai preseden – di tingkat internasional untuk mewujudkan suatu keadilan transisional. Muara dari semua usaha dan kerja Komisi adalah pengungkapan fakta atas praktik kejahatan terhadap kemanusiaan, termasuk pengungkapan semua kebijakan yang menjadi dasar dan pembenaran atas kejahatan tersebut. Setelah mampu membongkar praktik kekerasan dan kejahatan sebuah rezim politik atau yang terjadi dalam kurun waktu tertentu, Komisi, sebagai sebuah badan extra-judicial, juga harus mampu untuk menghasilkan rekomendasi-rekomendasi yang luar biasa.

38 Pernyataan Pers, “Secretary-General says UN officials will not testify at Timor-Leste commission, as Terms of Reference include possible amnesty for human rights violations”, 26 Juli 2007, http://www. un.org/News/Press/docs/2007/ sgsm11101.doc.htm. (diakses 23 Juni 2010).

BAB V

(55)

Sebelum masuk pada kesimpulan akhir bahwa Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KPP) adalah sebuah best pratice, terdapat beberapa hal penting yang harus dijadikan sebagai tolak ukur:

Pertama, laporan Komisi haruslah mencantum bentuk dan

modus praktik kekerasan, termasuk argumentasi-argumentasi di balik semua praktik tersebut.

Kedua, sebagai bagian dari proses transparansi, laporan

Komisi harus dipublikasikan dan didistribusikan secara luas kepada masyarakat. Publikasi dan distribusi tersebut dapat dilihat sebagai sebuah komitmen yang sungguh-sungguh dari otoritas pembentuk Komisi bahwa penting bagi masyarakat untuk mengetahui ‘apa yang terjadi di masa lalu’.

Ketiga, otoritas pembentuk Komisi, yakni pemerintah kedua

Negara, harus menjamin bahwa jika ditemukan kejahatan-kejahatan serius dalam obyek-obyek kerja Komisi maka harus diupayakan penegakan hukum, penuntutan dan penghukuman. Jika dalam hasil kerja Komisi ditemukan kerusakan, baik materil maupun immateril, manusia atau lingkungan serta sistem, maka otoritas pembentuk komisi harus sesegera mungkin melakukan tindakan-tindakan reparatif.

Keempat, penting juga untuk memastikan bahwa

tindakan-tindakan kejahatan atau kekerasan di masa lalu tidak terulang di masa depan. Cara yang paling tepat adalah melakukan penjeraan kepada pelaku, membebani negara untuk memikul tanggung jawab kesalahan masa lalu dan menjadikannya sebagai pengetahuan umum di kalangan masyarakat. Selain itu, reformasi kelembagaan di dalam tubuh institusi-institusi Negara harus disesuaikan dengan standard

ANALISIS ATAS TEMUAN-TEMUAN DAN REKOMENDASI-REKOMENDASI KOMISI

(56)

dan norma hukum yang diakui dan berlaku secara internasional. Kelima, hasil kerja Komisi harus memberikan tafsir baru atas masa lalu. Dengan kata lain, laporan Komisi harus dapat memperbaiki sejarah yang dahulunya didominasi oleh kalangan tertentu.

Berdasarkan tolak ukur tersebut di atas, kerja Komisi boleh dikatakan masih jauh dari ideal. Komisi merupakan hasil kesepakatan politik bilateral, sebuah mekanisme transisi yang tidak memenuhi standard internasional dan oleh karenanya tidak seharusnya diakui secara internasional sebagai mekanisme penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Selain itu, dalam banyak hal, laporan Komisi juga cenderung tidak berpihak pada korban, bahkan laporan tersebut terkesan melindungi para pelaku. Oleh karena itu, jalur alternatif ini tidak seharusnya dianggap sebagai cara terakhir dan satu-satunya untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat di Timor-Timur.

Namun, tidak berarti apa yang dihasilkan oleh Komisi tidak memiliki manfaat sama sekali. Sebaliknya, penting untuk menempatkan Komisi berikut temuannya dalam posisi politik yang tepat, terutama dalam suatu agenda keadilan transisi. Pendirian Komisi memang hanya didasarkan pada ikatan kerja sama antar dua negara dan tidak akan mungkin mencakup suatu kewenangan pidana. Tetapi kebenaran-kebenaran yang berhasil diungkap oleh Komisi menjadi sebuah titik terang dan dapat dianalisa serta dikembangkan untuk kemudian dijadikan alat bukti untuk menuntut para pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Timor-Timur dan dasar dalam pemberian reparasi bagi korban.

BAB V

Referensi

Dokumen terkait

Penurunan rugi-rugi tersebut disebabkan arus netral yang juga berkurang, dapat dilihat dari hasil simulasi dengan aplikasi ETAP 12.6.0 sebelum dilakukan pemerataan

Misi Jurusan Teknologi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Malang adalah: (1) menyelenggarakan pendidikan tinggi untuk menghasilkan teknolog

Hasil pelaksanaan penelitian menunjukkan bahwa permainan tradisional gamang yang dilakukan pada upaya meningkatkan kemampuan Mengenal Angka terbukti dengan data sebagai berikut

!i#sintesisis p#liketida berasal dari suatu reaksi k#ndensasi asetil- =#A dengan senya%a mal#nil-=#A."ada dasarnya$ asetil-=#A dibentuk dari asam asetat yang mengalami

Tujuan studi kasus ini adalah melaksanakan asuhan keperawatan pada klien pneumonia dengan masalah gangguan prtukaran gas?. Desain penelitian ini menggunakan

At the same time, Bank Indonesia shared that it may maintain the benchmark rate at 7.5%, this would trigger more selling activity as market will start to

Jika gagasan esksitensi berarti ko-esksistensi yang telah diuraikan di atas dibaca dalam konteks usaha menuju penghayatan agama yang dewasa, maka dapat

upaya untuk membantu mahasiswa calon guru memahami konsep ikatan kimia,. seperti penggunaan model tiga dimensi ( molimod ) dan penugasan