• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelajaran berharga bagi proses penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang masih tertunda di

ANALISIS ATAS TEMUAN-TEMUAN DAN REKOMENDASI-REKOMENDASI KOMISI

5.3. Pelajaran berharga bagi proses penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang masih tertunda di

Indonesia

Sebelum pembentukan Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KPP), kedua negara – Indoensia dan Timor-Leste telah memulai pelbagai proses hukum termasuk dengan membentuk komisi-komisi penyelidik untuk mengatasi masalah residual yang terkait dengan berbagai pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilaporkan terjadi menjelang dan segera sesudah Penentuan Pendapat tahun 1999 di Timor-Timur. Pada September 1999, Pemerintah Indone-sia membentuk Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi ManuIndone-sia di Timor Timur (KPP HAM) dan Pengadilan HAM Ad Hoc yang bersifat non-yudisial dan yudisial, secara berturut-turut.

Berdasarkan pendekatan institusional dan kontekstual yang luas di dalam penyelidikan dan rekomendasinya, KPP HAM memiliki mandat untuk menyelidiki keterlibatan institusi negara dan juga membuat temuan spesifik yang dapat menjadi dasar bagi penuntutan pidana individu-individu. Sayangnya, temuan-temuan dan bukti-bukti yang diperoleh oleh KPP HAM tersebut tidak digunakan oleh Kejaksaan Agung di dalam menyusun dakwaannya. Komisi menilai bahwa kurangnya minat dan kerja sama Kejaksaan Agung tersebut pada akhirnya berdampak pada proses yudisial Pengadilan HAM Ad Hoc di dalam menemukan kebenaran serta menentukan pihak-pihak yang bertanggung jawab atas kejahatan terhadap kemanusiaan.39

ANALISIS ATAS TEMUAN-TEMUAN DAN REKOMENDASI-REKOMENDASI KOMISI

Kegagalan Pengadilan HAM Ad Hoc tampak jelas ketika Pengadilan memutuskan untuk membebaskan semua terdakwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat di Timor-Timur dari kalangan pejabat militer, termasuk Mayjen Adam Damiri, Brigjen TNI Noer Muis, Kolonel TNI Soejarwo dan AKBP Pol. Hulman Goeltom yang dinyatakan bersalah oleh pengadilan tingkat pertama namun dinyatakan bebas oleh pengadilan tingkat banding. Hal serupa juga terjadi dalam kasus-kasus lain yang melibatkan dua orang terdakwa atas nama Abilio Jose Osorio Soares dan Eurico Gueterres. Keduanya juga dinyatakan bebas oleh putusan Peninjauan Kembali (PK) di tingkat Mahkamah Agung.

Berdasarkan mandatnya, laporan Komisi tidak ditujukan untuk ditindaklanjuti ke arah penuntutan hukum. Apakah ini berarti bahwa jalan menuju pada proses yudisial untuk kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi di Timor-Timur sudah benar-benar tertutup? Padahal banyak yang telah menyerukan untuk digelarnya kembali proses penuntutan pidana atas kasus Timor-Timur, baik melalui pembentukan ulang Pengadilan HAM ad hoc, pembentukan

hybrid court ataupun pengadilan internasional yang bersifat ad hoc.

Selain dipicu oleh ketidakpuasan atas putusan-putusan pengadilan HAM Ad Hoc di Jakarta, dorongan untuk kembali dilakukannya penuntutan hukum atas kasus Timor-Timur sebenarnya juga dilandasi oleh laporan akhir Komisi yang menantang temuan-temuan Pengadilan HAM Ad Hoc yang tidak dapat membuktikan tanggung jawab individu atas kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi di Timor-Timur. Kendati laporan Komisi merujuk pada temuan dan kesimpulan mengenai tanggung jawab institusional TNI, polisi dan

BAB V

melakukan kejahatan di lapangan adalah individu bukan institusi. Dapat disimpulkan bahwa keberadaan Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) tidak akan menjadi penghalang bagi dilakukannya proses peradilan di masa depan melalui pengadilan HAM ad hoc dengan menyusun sebuah dakwaan baru.

Layaknya dalam penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat di Timor-Timur, penghentian penyelesaian pelbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia masa lalu – kasus penembakan mahasiswa Trisakti, kasus Semanggi I dan Semanggi II, kasus Mei 1998, kasus Talangsari, kasus Wamena, kasus Wasior, dan kasus penghilangan orang secara paksa tahun 1998 – juga disebabkan oleh keengganan Kejaksaan Agung untuk bekerja sama dan menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM. Dalih belum dibentuknya pengadilan HAM ad hoc untuk ke-7 kasus tersebut menjadi dasar utama tidak dilakukannya penyidikan. Dianggap bahwa penyidikan baru dapat dilakukan setelah pengadilan HAM ad hoc terbentuk.40 Padahal untuk kasus penghilangan orang secara paksa tahun 1998, DPR sudah memberikan rekomendasi kepada Presiden agar penyidikan atas kasus tersebut segera dimulai.41

Pertanyaannya kemudian: pelajaran apa yang dapat dipetik dari pilihan mekanisme keadilan transisi seperti Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) bagi penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia masa lalu di Indonesia yang masih tertunda hingga kini?

ANALISIS ATAS TEMUAN-TEMUAN DAN REKOMENDASI-REKOMENDASI KOMISI

40 Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), “12 Tahun Reformasi: Gagalnya Institusionalisasi Hak Asasi Manusia dalam Lembaga-lembaga Penegakan Hukum dan Hak Asasi Manusia”, Review Hak Asasi Manusia, 19 Mei 2010, dapat diakses di http://www.elsam.or.id/new/ index.php?act=view&id=603&cat=c/404 (diakses 30 Juni 2010).

Pertama, dalam konteks Indonesia, tampaknya pilihan

penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia masa lalu melalui jalur alternatif seperti Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) merupakan pilihan yang paling tepat, mengingat terus terhambatnya proses penyelesaian secara yudisial di Kejaksaan Agung. Namun bukan berarti bahwa upaya penuntutan harus dihentikan. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang nantinya akan dibentuk bersifat komplementer sehingga dapat berjalan bergandengan dengan proses yudisial. Selain itu, keputusan Komisi untuk tidak merekomendasikan pemberian amnesti bagi pelaku patut dihargai karena hal ini didasarkan pada pandangan Komisi bahwa rekonsiliasi tidak akan tercapai apabila amnesti diberikan. Tanpa amnesti, ruang pengungkapan secara hukum dalam konteks penghukuman terhadap pelaku tetap terbuka.

Kedua, dorongan masyarakat sipil untuk menjadikan RUU KKR

sebagai salah satu RUU prioritas dalam Prolegnas tahun 2010-1014 ternyata tidak membuahkan hasil. Pemerintah tampaknya tidak melihat urgensitas dari RUU KKR dan oleh karenanya memutuskan untuk tidak memasukkan RUU KKR sebagai RUU prioritas dalam Prolegnas jangka pendek tahun 2009-2010.42 Belajar dari Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP), seharusnya pembentukan KKR tidak perlu menunggu sampai disahkannya RUU KKR. Presiden dapat menyikapi kekosongan hukum ini dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) atau Peraturan Presiden (Perpres).43 Penerbitan Perpu atau

BAB V

4 2Daftar RUU yang masuk dalam Prolegnas prioritas pembahasan tahun 2010 dapat diakses di http:// www.djpp.depkumham.go.id/prioritas-pembahasan-2010.html (diakses 05 Juli 2010).

4 3Sebagaimana disampaikan oleh Hayner, komisi-komisi kebenaran nasional pada

Perpres ini sebenarnya sudah diusulkan ketika Mahkamah Konstitusi membatalkan Undang-Undang No. 27/2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

Ketiga, penerimaan Indonesia dan Timor-Leste yang diwakili

oleh Presiden kedua Negara atas temuan, kesimpulan dan rekomendasi yang disampaikan oleh Komisi44 merupakan satu langkah penting guna mendorong rekonsiliasi di masa depan. Ini berarti secara simbolik Negara mengakui bahwa pelanggaran berat hak asasi manusia telah terjadi di masa lalu; sebuah kebenaran faktual yang berhasil ditetapkan oleh KPP HAM Timor-Timur, Komisi Penyelidik PBB, Komisi Ahli PBB dan Komisi Penerimaan Kebenaran dan Rekonsiliasi Timor-Leste (CAVR) namun tidak pernah mendapatkan pengakuan dari kedua Negara. Laporan akhir Komisi berhasil mengklarifikasi apa yang sebenarnya telah terjadi di masa lalu.

Pengakuan resmi tersebut juga memiliki implikasi positif lainnya, yakni pengakuan bahwa Indonesia memiliki kewajiban untuk memberikan reparasi bagi korban. Memang, pada tahap ini keadilan yang diharapkan oleh korban masih jauh dari sempurna karena pelaku belum mendapat penghukuman yang layak. Tetapi harus diakui bahwa adanya pengakuan resmi tersebut merupakan satu

ANALISIS ATAS TEMUAN-TEMUAN DAN REKOMENDASI-REKOMENDASI KOMISI

umumnya dibentuk berdasarkan usulan dari cabang pemerintahan eksekutif, bukan legislatif. Lihat P.B. Hayner, “Fifteen Truth Commissions – 1974 to 1994: A Comparative Study” dalam N.J. Kritz, “Transitional Justice: How Emerging De-mocracies Reckon with Former Regimes”, Volume I: General Considerations (Wash-ington D.C., United States Institute of Peace, 1995), hal. 225.

44 Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, “Pernyataan Pers Bersama Kepala Negara/Pemerintah Indonesia dan Timor-Leste Menerima Laporan Komisi Kebenaran dan Persahabatan”, dapat diakses di http://www.deplu.go.id/Lists/

BAB V

langkah awal yang penting untuk mengembalikan eksistensi orang yang dihilangkan hak-hak sipilnya.

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Institute for Policy

Research and Advocacy), disingkat ELSAM, adalah organisasi

advokasi kebijakan, berbentuk Perkumpulan, yang berdiri sejak Agustus 1993 di Jakarta. Tujuannya turut berpartisipasi dalam usaha menumbuhkembangkan, memajukan dan melindungi hak-hak sipil dan politik serta hak-hak asasi manusia pada umumnya – sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi UUD 1945 dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa.

ELSAM mempunyai empat kegiatan utama sebagai berikut: (i) studi kebijakan dan hukum yang berdampak pada hak asasi manusia; (ii) advokasi hak asasi manusia dalam berbagai bentuknya; (iii) pendidikan dan pelatihan hak asasi manusia; dan (iv) penerbitan dan penyebaran informasi hak asasi manusia.

Dokumen terkait