• Tidak ada hasil yang ditemukan

TANGGUNG JAWAB INSTITUSIONAL

3.2. Pelanggaran hak asasi manusia yang berat: kejahatan terhadap kemanusiaan

3.2.2. Serangan dilakukan secara meluas atau sistematis

Unsur “meluas”12

Unsur “serangan dilakukan secara meluas atau sistematis” bersifat alternatif, dalam pengertian bahwa di dalam pembuktiannya, jika salah satu syarat terpenuhi – meluas atau sistematis – maka sudah cukup untuk menetapkan telah dilakukannya kejahatan terhadap kemanusiaan. Namun demikian, Komisi tidak menutup kemungkinan bagi kedua syarat untuk dapat terpenuhi. Dalam menetapkan “sifat meluas” suatu serangan, Komisi mempertimbangkan beberapa faktor, yakni luasnya serangan, jumlah korban, cakupan geografis, banyaknya jumlah serangan dan lamanya serangan. Singkat kata, istilah “meluas” merujuk pada dimensi, cakupan dan karakter kuantitatif serangan. Unsur

TEMUAN-TEMUAN KOMISI: PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA YANG BERAT DAN TANGGUNG JAWAB INSTITUSIONAL

1 2Pembahasan secara mendalam, lihat Per Memoriam Ad Spem, supra, n. 8, hal. 25,

“meluas” baru akan terpenuhi jika terjadi banyak tindak kekerasan atau penganiayaan yang dilakukan terhadap penduduk sipil atau jika skalanya signifikan (banyaknya jumlah pelaku dan korban).

Empat kumpulan dokumen yang ditelaah ulang oleh Komisi menyimpulkan bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat telah dilakukan secara meluas. Komisi mencatat bahwa Laporan KPP HAM, Berkas Acara Pemeriksaan (BAP) dan Putusan Pengadilan HAM Ad Hoc di Jakarta menggunakan pendekatan cakupan geografis dan jumlah korban. Serupa, Laporan Akhir CAVR dan Arsip Unit Kejahatan Berat (SCU) menitikberatkan pada dimensi kuantitatif, khususnya banyaknya jumlah perempuan korban kekerasan berbasis jender.

Lebih lanjut, rekonstruksi ke-14 kasus prioritas, yang merupakan bagian dari proses pencarian fakta, juga telah berhasil menetapkan sifat meluasnya serangan yang dilakukan terhadap penduduk sipil di Timor-Timur pada tahun 1999. Mengingat waktu, sebaran geografis dan skala kejadian yang melingkupi ke-14 kasus tersebut, Komisi berkesimpulan bahwa “…ke-14 kasus prioritas dengan sendirinya telah memenuhi syarat sebagai suatu pelanggaran HAM terhadap penduduk sipil yang ‘meluas’ karena terjadi secara tidak acak, dalam urut-urutan yang berdekatan, selama rentang waktu yang terbatas dan di berbagai lokasi geografis”.

Dalam hal rentang waktu terjadinya kekerasan,

BAB III

Komisi menegaskan bahwa konsentrasi kekerasan pada bulan April-Mei (4 kasus) dan September 1999 (10 kasus) berkaitan erat dengan situasi politik saat itu, termasuk pengukuhan milis-milisi (April-Mei) dan penyelenggaraan jajak pendapat (September). Bervariasinya wilayah tempat terjadinya pelanggaran – Wilayah Timur (Lautém, Baucau, Viqueque, Manatuto), Wilayah Tengah (Dili, Aileu, Ainaro, Manufahi) dan Wilayah Barat (Liquiça, Ermera, Covalima, Bobonaro, Oecussi) – menjadi petunjuk utama adanya penyerangan yang meluas secara geografis.

Unsur “sistematis”13

Guna menentukan bahwa serangan yang ditujukan terhadap penduduk sipil dilakukan secara sistematis, Komisi mendasarkan analisisnya pada tiga faktor, yakni: (1) apakah serangan dimaksud dilakukan secara terorganisasi atau acak (random) atau bersifat kaos

(cha-otic), (2) apakah terdapat pola mendasar atau

perencanaan sebelumnya dan (3) apakah terdapat suatu kebijakan eksplisit atau implisit atau artikulasi tujuan politis atau ideologis yang terkait dengan serangan.

Berdasarkan proses telaah ulang dokumen, Komisi menemukan bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi di Timor-Timur pada tahun 1999

TEMUAN-TEMUAN KOMISI: PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA YANG BERAT DAN TANGGUNG JAWAB INSTITUSIONAL

1 3Pembahasan secara mendalam, lihat Per Memoriam Ad Spem, supra, n. 8, hal. xvii,

bersifat sistematis, baik berdasarkan pada pola atau modus operandi yang digunakan (perencanaan operasi) maupun pola-pola kejahatan (misalnya, pemindahan paksa). Terkait dengan pemindahan paksa, Komisi mencatat temuan di dalam Arsip Unit Kejahatan Berat (SCU) yang menegaskan bahwa “konsistensi pola perilaku dan mobilisasi sumber daya yang sangat besar untuk dapat memindahkan begitu banyak orang dalam rentang waktu yang relatif singkat menunjukkan bahwa hal ini terjadi secara sistematis dan terencana baik, ketimbang acak, spontan, atau sebagai hasil tindakan individual terpisah”.

Adanya suatu kebijakan baik eksplisit atu implisit pada hakekatnya bukan merupakan suatu syarat yang diperlukan untuk menetapkan sifat sistematis suatu serangan. Yurisprudensi internasional memandang adanya kebijakan hanya sebagai suatu syarat tambahan dan kebijakan tersebut tidak harus senantiasa berupa kebijakan resmi. Komisi menemukan perbedaan yang sangat signifikan antara temuan KPP HAM dan BAP berkenaan dengan hal ini. KPP HAM berkesimpulan bahwa sistematisnya kekerasan yang dilakukan mengindikasikan adanya suatu kebijakan implisit. Di sisi lain, lemahnya penuntutan atas kasus-kasus di pengadilan HAM Ad Hoc disebabkan oleh asumsi yang menyimpang bahwa syarat adanya “kebijakan resmi” adalah syarat utama untuk membuktikan sifat sistematis suatu serangan.

BAB III

Dokumen-dokumen yang ditelaah ulang oleh Komisi menyimpulkan bahwa serangan yang ditujukan terhadap penduduk sipil di Timor-Timur pada tahun 1999 bersifat sistematis. Kesimpulan ini didukung oleh berbagai kesaksian yang diterima oleh Komisi dalam proses pencarian fakta, khususnya yang terkait dengan ke-14 kasus prioritas. Di tengah keterbatasan jumlah saksi dan waktu, bukti-bukti substansial yang terkumpul berhasil mengkonfirmasi atau mengkoroborasi temuan-temuan dalam proses telaah ulang dokumen:

(1) Korban ditargetkan berdasarkan ciri-ciri khusus, dalam hal ini berdasarkan afiliasi politik mereka; (2) Kelompok-kelompok milisi dibentuk secara

sistematis, memiliki struktur operasional yang terkoordinasi dan mendapat dukungan dana, senjata dan amunisi di dalam menjalankan operasi-operasi mereka dari institusi militer dan pemerintah sipil. (3) Operasi-operasi bersama milisi dan TNI, dengan

pengarahan dan perencanaan pada tingkat yang signifikan, dilakukan secara terorganisasi untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu.

3.3. Tanggung jawab institusional14

Kesimpulan bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat telah dilakukan secara meluas dan sistematis, sebagaimana dijelaskan di

TEMUAN-TEMUAN KOMISI: PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA YANG BERAT DAN TANGGUNG JAWAB INSTITUSIONAL

1 4Pembahasan secara mendalam, lihat Per Memoriam Ad Spem, supra, n. 8, hal. xv, 74-79, 87-88, 93-94, 98, 102-104, 117, 120-121, 136-142, 144-146, 200, 205,

atas, menjadi titik tolak bagi temuan mengenai tanggung jawab institusional atas pelanggaran tersebut. Namun demikian, Komisi menyadari bahwa konsep “tanggung jawab institusional” didasarkan pada faktor-faktor moral dan etis ketimbang unsur-unsur legal for-mal. Tanpa bermaksud untuk mengurangi esensi dari tanggung jawab individu, Komisi menegaskan bahwa kekerasan yang dilakukan oleh individu atau perorangan yang terjadi pada tahun 1999 merupakan bagian dari kekerasan yang terorganisasi dan sarat muatan politik sehingga perlu dilihat dalam konteks institusional yang lebih luas.

Komisi cukup mengalami kesulitan di dalam menentukan tanggung jawab institusional terkait dengan pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi di Timor-Timur pada tahun 1999. Hal ini dikarenakan sebagian dari kumpulan dokumen yang ditelaah ulang oleh Komisi berfokus pada penentuan tanggung jawab individu yang berada di luar mandat Komisi. Kesimpulan eksplisit mengenai dimensi tanggung jawab institusional, khususnya yang melekat pada milisi sebagai pelaku utama kekerasan, termuat dalam beberapa dokumen, termasuk Laporan KPP HAM, Laporan Akhir CAVR, Berkas Perkara SCU serta Putusan-putusan SPSC dan beberapa Putusan Pengadilan HAM Ad Hoc.

Komisi mencatat bahwa selain Laporan Akhir CAVR, tidak satupun dokumen tersebut di atas di dalam temuannya menetapkan mengenai tanggung jawab institusional institusi Indonesia maupun Timor-Leste. Dokumen-dokumen tersebut, kendati secara lugas mengungkap tanggung jawab bersama milisi Timor pro-otonomi dan institusi-institusi Indonesia, cenderung kabur di dalam menetapkan institusi mana yang terlibat, sejauh mana dan bagaimana dan pada tingkat mana.

BAB III

Di satu sisi, Laporan Akhir CAVR secara eksklusif menunjuk TNI sebagai institusi yang bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi. Di sisi lain, beberapa dokumen termasuk Berkas Perkara SCU serta Putusan-putusan SPSC memperluas pertanggungjawaban institusional pada pihak pro-otonomi sebagai pelaku utama kekerasan, TNI dan pejabat sipil Indonesia. Terbatasnya penyidikan dan bukti yang ada menyebabkan sulitnya membuktikan keterlibatan institusi kepolisian. Namun demikian, di dalam putusan Adam Damiri, pertanggungjawaban institusional kepolisian berhasil terungkap. Menarik untuk ditelusuri bagaimana BAP ke-12 kasus dan putusan Pengadilan HAM Ad Hoc, khususnya putusan kasus Adam Damiri, mencoba untuk memahami konsep tanggung jawab institusional secara lebih luas. Komisi menilai bahwa meskipun dokumen-dokumen tersebut tidak secara langsung menyentuh akar permasalahan mengenai tanggung jawab institusional, upaya untuk menetapkan tanggung jawab komando seperti halnya kasus Adam Damiri, memiliki implikasi terhadap tanggung jawab institusional. Relevansi antara tanggung jawab komando dan tanggung jawab institusional tercermin dari adanya kesadaran institusional mengenai pelanggaran hak asasi manusia yang berat di Timor-Timur pada tahun 1999 dan kegagalan untuk mengambil tindakan-tindakan penyelesaian yang sesuai dengan prinsip-prinsip hukum humaniter internasional.

Seluruh kesaksian yang diterima oleh Komisi dalam proses pencarian fakta dengan tegas menunjukkan adanya tanggung jawab institusional kelompok-kelompok milisi. Beberapa di antaranya juga mengungkap keterlibatan langsung dari

institusi-TEMUAN-TEMUAN KOMISI: PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA YANG BERAT DAN TANGGUNG JAWAB INSTITUSIONAL

institusi militer dan kepolisian. Juga terdapat kesaksian yang mengaitkan tanggung jawab institusional dengan kegagalan militer dan kepolisian untuk mengambil tindakan secara memadai guna mencegah atau menghentikan pelanggaran HAM yang terjadi.

Pendanaan dan penyediaan dukungan materiil dari pemerintah sipil Indonesia kepada kelompok-kelompok milisi pro-otonomi; pemberian senjata secara sistematis dengan pengetahuan mengenai tujuan penggunaan senjata; adanya arahan di dalam tindakan bersama penyerangan terhadap penduduk sipil dan tumpang tindih struktur kepemimpinan dan keanggotaan antara militer, sipil bersenjata dan milisi menjadi dasar bagi analisis mengenai tanggung jawab institusional atas pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi di Timor-Timur pada tahun 1999.

Berkenaan dengan tanggung jawab institusional, Komisi menyimpulkan bahwa:15

(1) Tanggung jawab kelembagaan bersumber dari dukungan, pembiaran, atau keterlibatan langsung maupun tidak langsung dalam pelanggaran oleh lembaga-lembaga yang terjadi secara sistematis dan berulang, dalam suatu rentang waktu, di sejumlah tempat serta mengikuti suatu pola perbuatan reguler dan terorganisasi.

(2) Anggota TNI, Polri dan pejabat sipil telah bekerja sama dengan dan mendukung milisi dalam berbagai cara signifikan yang turut berkontribusi terhadap perbuatan kejahatan-kejahatan, yakni

15 Per Memoriam Ad Spem, supra, n. 8, hal. 308-311.

BAB III

pembunuhan, pemerkosaan sistematis, penyiksaan, penghilangan kemerdekaan fisik berat serta deportasi dan pemindahan paksa. (3) Terdapat setidaknya suatu persetujuan institusional diam-diam bagi pola penahanan ilegal pada Falintil dan/atau CNRT (penahanan ilegal tersebut dilakukan dalam cara yang sistematis yang mencakup perintah resmi, laporan kepada komandan dan lain-lain).

Di dalam merumuskan rekomendasi-rekomendasinya yang bersifat rekonsiliatif dan berbentuk reparasi kolektif, Komisi bersandar pada prinsip-prinsip keadilan restoratif yang berorientasi pada kebutuhan korban, khususnya kebutuhan agar martabat mereka dipulihkan. Komisi berpandangan bahwa kebenaran konklusif yang dicapai adalah langkah awal bagi pemulihan dimaksud. Rekomendasi-rekomendasi tersebut dibagi dalam 2 (dua) kategori, yakni Jangka Pendek dan Urgen, dan Jangka Panjang dan Aspiratif:

Dokumen terkait