• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KERANGKA TEORI KEPEMIMPINAN, DAKWAH, KYAI DAN

D. Pondok Pesantren

2. Elemen-Elemen Pondok Pesantren

Hampir dapat dipastikan, lahirnya suatu pesantren berawal dari beberapa elemen dasar yang selalu ada di dalamnya. Ada lima elemen pesantren, antara satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Kelima elemen tersebut meliputi kyai, santri, pondok, masjid, dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik, atau yang sering disebut dengan kitab-kitab kuning.

a. Kyai

Kyai atau pengasuh pondok pesantren merupakan elemen yang sangat esensial bagi suatu pesantren. Rata-rata pesantren yang berkembang di Jawa dan Madura karena sosok kyai begitu sangat

51

berpengaruh, kharismatik dan berwibawa, sehingga amat disegani oleh masyarakat di lingkungan pesantren. Di samping itu, kyai pondok pesantren biasanya juga sekaligus sebagai penggagas dan pendiri dari pesantren yang bersangkutan. Oleh karenanya, sangat wajar jika dalam pertumbuhannya, pesantren sangat bergantung pada peran seorang kyai (Efendi, 2014: 130).

Jadi bagi masyarakat Islam tradisional di Jawa, kyai di pesantren dianggap sebagai figur sentral yang diibaratkan kerajaan kecil yang mempunyai wewenang dan otoritas mutak di lingkungan pesantren. Tidak seorang pun santri atau orang lain yang berani melawan kekuasaan kyai (dalam lingkungan pesantrennya), kecuali kyai lain yang lebih besar pengaruhnya.

b. Santri

Santri adalah siswa atau murid yang belajar di pesantren. Seorang ulama bisa disebut sebagai kyai kalau memiliki pesantren dan santri yang tinggal dalam pesantren tersebut untuk mempelajari ilmu-ilmu agama Islam melalui kitab-kitab kuning. Oleh karena itu, eksistensi kyai biasanya juga berkaitan dengan adanya santri di pesantrennya.

Pada umumnya, santri terbagi dalam dua kategori: a) Santri mukim

Santri mukim, yaitu murid-murid yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap di pesantren. Santri mukim yang paling lama tinggal (santri senior) di pesantren tersebut biasanya merupakan satu kelompok tersendiri yang memegang tanggung jawab mengurusi kepentingan pesantren sehari-hari. Santri senior juga memikul tanggung jawab mengajar santri-santri yunior tentang kitab-kitab dasar dan menengah. Dalam sebuah pesantren besar, biasanya terdapat santri yang merupakan putra-putra kyai besar dari pesantren lain yang juga belajar di sana. Mereka biasanya memperoleh perlakuan istimewa dari kyai. Santri-santri berdarah inilah yang nantinya akan menggantikan ayahnya dalam mengasuh pesantren asalnya.

52 b) Santri kalong

Santri kalong, yaitu para siswa yang berasal dari desa-desa sekitar pesantren. Mereka bolak –balik (nglajo) dari rumahnya sendiri. Para santri kalong berangkat ke pesantren ketika ada tugas belajar dan aktifitas pesantren lainnya. Apabila pesantren memiliki lebih banyak santri mukim daripada santri kalong, maka pesantren tersebut adalah pesantren besar. Sebaliknya, pesantren kecil memiliki banyak santri kalong dari pada santri mukim.

c. Pondok

Pesantren pada umumnya sering juga disebut dengan pendidikan Islam tradisional di mana seluruh santrinya tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan seorang kyai. Asrama para santri tersebut berada di lingkungan kompleks pesantren, yang terdiri dari rumah tinggal kyai, masjid, ruang untuk belajar, mengaji, dan kegiatan-kegiatan keagamaan lainnya (Haedari, 2004: 30-34).

Adanya pondok dalam sebuah pondok pesantren membawa ke-khasan tersendiri pada lembaga pendidikan Islam tersebut. Terlebih lagi, kalau dilihat dari fungsinya yaitu sebagai tempat menginap santri dan sebagai tempat berinteraksinya santri dengan kyai dalam kehidupan sehari-hari guna memperdalam ilmu agama Islam. Walaupun sekarang ini fungsi pondok telah sedikit bergeser. Hal ini dibuktikan dengan adanya pondok yang berfungsi mirip tempat kos saja atau ma’had bagi mahasiswa (Efendi, 2014: 125).

d. Masjid

Seorang kyai yang ingin mengembangkan pesantren, pada umumnya yang pertama-tama menjadi prioritas adalah masjid. Masjid dianggap sebagai simbol yang tidak terpisahkan dari pesantren. Masjid tidak hanya sebagai tempat praktek ritual ibadah, tetapi juga tempat pengajaran kitab-kitab kasik dan aktifitas pesantren lainnya.

Secara etimologis menurut M. Quraish Shihab, masjid berasal dari bahasa Arab “sajada” yang berarti patuh, taat, sertatunduk dengan penuh hormat dan takdzim. Sedangkan secara terminologis, masjid merupakan tempat aktifitas manusia yang mencerminkan kepatuhan

53

kepada Allah. Upaya menjadikan masjid sebagai pusat pengkajian dan pendidikan Islam berdampak pada tiga hal.

a) Mendidik anak agar tetap beribadah dan selalu mengingat kepada Allah.

b) Menanamkan rasa cinta pada ilmu pengetahuan dan menumbuhkan rasa solidaritas sosial tinggi sehingga bisa menyadarkan hak-hak dan kewajiban manusia.

c) Memberikan ketentraman, kedamaian, kemakmuran dan potensi-potensi positif melalui pendidikan kesabaran, keberanian, dan semangat dalam hidup beragama(Haedari, 2004: 33-34).

e. Pengajaran kitab-kitab klasik

Pengajaran kitab-kitab klasik merupakan salah satu elemen yang tak terpisahkan dari sistem pesantren. Bahkan ada seorang peneliti yang mengatakan, sebagaimana yang dikutip Arifin, apabila pesantren tidak lagi mengajarkan kitab-kitab kuning, maka keaslian pesantren itu semakin kabur, dan lebih tepat dikatakan sebagai sitem perguruan atau madrasah dengan sistem asrama daripada sebagai pesantren. Hal tersebut dapat berarti bahwa kitab-kitab Islam klasik merupakan bagian integral dari nilai dan faham pesantren yang tidak dapat dipisah-pisahkan (Efendi, 2014: 128).

Berdasarkan catatan sejarah, pesantren telah mengajarkan kitab-kitab klasik, khususnya karangan-karangan madzhab Syafi’iyah. Pengajaran kitab-kitab kuning berbahasa Arab dan tanpa harakat atau sering disebut kitab Gundul merupakan satu-satunya metode yang secara formal diajarkan dalam komunitas pesantren di Indonesia. Pada umumnya, para santri datang dari jauh dari kampung halaman dengan tujuan ingin memperdalam kitab-kitab klasik tersebut, baik kitab Ushul Fiqh, Fiqh, Kitab Tafsir, Hadits, dan lain sebagainya. Para santri biasanya juga mengembangkan keahlian dalam berbahasa Arab (nafwu dan sharaf), guna menggali makna dan tafsir dibalik teks-teks klasik tersebut. Dari keahlian ini, mereka dapat memperdalam ilmu-ilmu yang berbasis pada kitab-kitab klasik (Haedari, 2004: 37-38).

Adapun metode utama sistem pengajaran di lingkungan pesantren ialah sistem bandongan atau seringkali juga disebut weton.

54

Sedangkan metode yang lain adalah sistem sorogan yang diberikan kepada murid-murid yang telah menguasai pembacaan Al-Qur’an. Pada awalnya sistem tradisional ini banyak dilakukan di masjid, langgar atau rumah-rumah kyai (Haedari, 2005: 41).

Dalam sistem bandongan, sekelompok santri yang terdiri antara lima sampai dengan lima ratus orang mendengarkan sang kyai yang membacakan, menerjemahkan, menerangkan dan seringkali mengulas buku-buku Islam dalam bahasa Arab. Setiap murid memperhatikan bukunya sendiri dan membuat catatan-catatan baik arti maupun keterangan tentang kata-kata atau buah pikiran yang sulit dipahami. Kelompok kelas dari sistem bandongan ini disebut halaqah, yang arti bahasanya lingkaran murid atau sekelompok siswa yang belajar di bawah bimbingan seorang guru. Sedangkan metode sorogan, pada umunya diberikan kepada para santri yang baru masuk dan memerlukan bimbingan secara individual (Dhofier, 1982: 28).