• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I: PENDAHULUAN

C. Unit Makna dan Deskripsi

3. Emotion Focused Coping

Emotion focused coping atau strategi penanggulangan yang berfokus pada emosi adalah strategi yang digunakan oleh individu untuk mengatasi situasi stressfull atau ancaman yang dirasakan dengan mengontrol respon emosional terhadap situasi stressfull, baik melalui pendekatan behavioral maupun kognitif. Macam-macam strategi penanggulangan berfokus pada emosi yang digunakan untuk mengatasi postpartum blues, terbagi menjadi dua kelompok besar, yaitu pendekatan behavioral, seperti tindakan langsung (direct action), mencari informasi (seeking information), mencari dukungan dari orang lain untuk mendapatkan dukungan emosional atau penghargaan (turning to other), mencari ketenangan dan bantuan dari Tuhan dengan beribadah (turning to religion) dan pelepasan emosional (emotional discharge).

Pendekatan yang kedua adalah pendekatan kognitif, seperti menerima apa adanya (resigned accpetance), mendefinisikan kembali secara positif (cognitive redefinition), dan proses intrapsikis mekanisme pertahanan diri (defense mechanism). Selain itu, individu juga memiliki cara maladaptif dalam menghadapi situasi stressfull dengan membiarkan dirinya larut dalam perasaan tidak berdaya yang dialami (ruminative coping style).

a. Direct action (emotion focused)

Direct action atau tindakan langsung adalah melakukan tindakan secara spesifik atau langsung untuk mengontrol respon emosional terhadap situasi stressfull. Subjek #1 menggunakan strategi ini terkait dengan ketidakmampuannya dalam melakukan perawatan bayi secara total dengan melakukan perawatan yang memiliki resiko lebih kecil (a) dan ketidakmampuannya dalam melakukan aktivitas-aktivitas keseharian dan mengakibatkan kebosanan dialihkan dengan melakukan aktivitas yang lebih ringan (b). Upaya subjek untuk mengalihkan aktivitas keseharian dengan melakukan aktivitas yang lebih ringan sebenarnya juga merupakan upaya subjek dalam menjalankan perilaku peran sakit, yaitu mengantisipasi agar luka operasi tidak terbuka sehingga diharapkan keadaan fisik dapat berangsur pilih.

Subjek #1:

(a) “Paling nek nyalini [popok] itu berani… udah itu aja. Terus, ya…

Cuma kalau ngrawat ya cuma itu tok, nyalini aja yang masih berani. Kalau mandiin… itu apa namane, bapak. Nanti sing makein baju habis

mandi ibu, atau bapak nek pagi. Aku paling ya nek pas ngompol malem,

gitu aja, basah semua gitu baru aku yang ganti.”

“Tapi kalau untuk saat-saat ini kalau suruh mandiin aku nggak berani.

Nggak berani, terus terang aku nggak berani. Kalau [nggak ada bapak ibu] mungkin waktunya mandi ya nggak tak mandiin, cuma ganti baju aja. Sama dicuci mukae sama washlap mungkin…”

(b) “... Kan… nanti kalau lukae… nganu gimana, mbuka lagi gimana. Kan susah. Kan memperbaiki kan susah. ... ... Nglangut, Mbak. Nglangut ki, opo meneh gaweane? Iya... Kalau di rumah sini ni, ngewangi bapak

kerja, ya itu, ngguntingi kaya gitu itu… nggunting-gunting… Udah.

Subjek #2 menggunakan strategi ini dengan cara membawa bayinya pulang dari rumah sakit untuk mengatasi kekhawatirannya karena keadaan bayi yang memprihatinkan, meski subjek menyadari bahwa rumah sakit memiliki kompetensi yang lebih baik dalam penanganan bayi prematur (a). Subjek #2 juga menjaga, menggendong dan memberi ASI meski ia menyadari hal tersebut belum tentu menyembuhkan sakit bayinya dan memerlukan upaya lain yang lebih tepat untuk mengatasinya (b).

Subjek #2:

(a) “Kok ning kono, bar rono [ning rumah sakit] kok jarene mimik susu kok mencret. Lha kan aku kan… dimimiki susuku kok malah sehat ngono lho Mbak. Yo wis to terus akhire aku mikir, wis mending resiko apapun

tak jak balik ngono lho, rak ketang ning kono ora entuk, aku tetep milih nggowo balik. ... ... Yo aku yo kadang mikir, wedi. Ki aku nggowo terpaksa, tapi mugo-mugo or ono opo-opo.”

(b) “... kok gek mau kok tiba-tiba ki eek terus tapi kok nangis. ... ... Pokoke tak cekeli terus ngono lho Mbak. Tapi kok meneng, yo wislah,

aku ayem, gelem mimik susu. Yo wislah, sesuk tak gowo ning puskesmas, aku ngono. Pokoke nek nangis digendong.”

“...Ora gelem mimik… mesake. ... ... Yo tak gendong terus [pas loro, rak

gelem mimik]. Tak gendong terus, mimiki kok moh, bingung, tak gaweke susu sing soko rumah sakit kok moh. Kan bingung Mbak. Wis penting tak gendong terus, deknen meneng. He-em tak gendong terus meneng. Ora tego nek nyelehke.”

Keadaan subjek #3 telah membaik setelah melahirkan, meskipun sebelum melahirkan memerlukan transfusi darah sebanyak empat kantong karena HB turun. Namun nampaknya teguran dari petugas rumah sakit membuat subjek merasa tidak nyaman sehingga ia berusaha mengatasi perasaan ini dengan cara mendatangi Puskesmas ketika pulang dari rumah sakit (tempat subjek biasa melakukan pemeriksaan kehamilan) dan menegur petugas.

Subjek #3:

“Lha terus saya jarang makan, saya kan dimarahin to sama susternya, “Kok ibu sampai HB-nya lima kok nggak terasa? Periksanya tu dimana?” “Di puskesmas.” Kemarin kan [waktu pulang dari rumah sakit] yang nganu,

yang meriksa saya [di puskesmas] kan tak tegur. Aku kan mampir ke puskesmas, “Mbak saya tu HB-nya turun lho!”

Subjek #3 menggunakan strategi ini kaitannya dengan hambatan terhadap motif melakukan pekerjaan rumah yang kemudian dialihkan pada pekerjaan yang lebih ringan.

Subjek #3:

“ …Aku tu orange tu nggak, nggak ini lho Mbak, lihat yang lain pada

kerja terus saya tiduran, rasane tu nggak enak, piye gitu lho. Ya saya sih tiduran, tapi nggak tiduran. Akhire kan… tiduran to Mbak, terus nggak

tiduran, ah daripada pikiran ya, ngangkatin pakaian, gitu. Saya gitu, kan

itu kan pekerjaan yang ringan… ma nglipetin pakaian, gitu. Daripada tiduran.”

Baik subjek #1, #2, dan #3 menggunakan strategi emosi dengan menolak atau menghindari situasi stressfull. Subjek #1 dan subjek #2 menolak melakukan perawatan, sedangkan subjek #3 menolak melakukan pekerjaan rumah karena sakit kepala yang dirasakan meski ide mengenai kerapihan dan kebersihan ada dalam dirinya (a) dan menghindari pertemuan dengan kakak iparnya karena merasa sakit hati (b).

Subjek #1:

“... Aku masalahe masih takut [merawat] kok Mbak. Jadi ya… Gimana ya… kalau aku suruh mandiin ya aku nggak berani mendingan aku

nggak daripada, artinya bimbang mendingan aku nggak wae aku ngono. ...”

“Ya piye ya Mbak. [Masalah perawatan itu...] Wong nggak bisa ik. Mau

dipaksain ya nggak bisa. Wong ibu maksa, kemarin maksa, “Ganteni klambine!” “Ora iso Bu!” Aku gitu. ... ... Kalau [nggak ada bapak ibu]

mungkin waktunya mandi ya nggak tak mandiin...”

Subjek #2:

“... Ternyata to memang angel ngono lho Mbak. ... … bar aku sempat, ah

aku moh ngadusi meneh ah, aku wedi mengko nek keceklik. Wingi,

kemarin. Ah nek awake keceklik, ngene-ngene, aku kan bingung Mbak. Wis ora tak adusi meneh.”

Subjek #3:

(a) “Kalau… biarpun saya di rumah, anak-anak di rumah, kan tak atur saya Mbak. Ini, Vicky ini, Diah ini, ini siapa gitu kan kelihatan bersih,

lagi… langsung kan tak resiki. Iya [langsung saya bersihkan]. Saya jam… 1 sampai rumah, jam 3 saya mulai bersih-bersih. [Waktu itu] belum terasa pusing. [Mulai terasa] besoknya. Saya mulai, mulai pusing tu Mbak.”

“Saya waktu, kalau, pas lagi pusingnya gitu lho Mbak, saya nggak berani

kerja apa-apa Mbak...”

(b) “... Kan saya tu kan dari pertama, dari pertama lahiran nggak main ke

rumahnya. Ya namanya orang kan kadang ada rasa… sakit hati, piye

gitu. Males jadi gitu, main gitu lho Mbak.”

“Ya milih sekarang, Mbak. Kalau dulu kan… saya kan masih nyampur

sama kakak ipar yo… nggak betah gitu lho, kalau sekarang kan… saya dah misah gitu lho, jadi kalau ada masalah nggak perlu lihat orangnya.

Saya tu orange gitu Mbak, kesel sama orang tu mendingan nggak lihat. …”

Sama halnya dengan yang dilakukan oleh subjek #1, upaya subjek #2 atau subjek #3 untuk menghindari aktivitas-aktivitas tertentu selama masa pemulihan kondisi fisik merupakan upaya subjek dalam menjalankan perilaku peran sakit.

b. Seeking information (emotion focused)

Seeking information atau mencari informasi adalah mencari pengetahuan mengenai situasi stressfull untuk mengontrol respon emosional. Strategi ini digunakan oleh subjek #2 dengan menanyakan pada perawat mengenai keadaan bayinya yang lahir prematur dan membutuhkan perawatan intensif di rumah sakit. Subjek berusaha mengontrol respon emosionalnya dengan bertanya setiap kali mengkhawatirkan keadaan bayinya.

Subjek #2:

“... yo itu to, opo, diinfuse tok itu lho, sing takut mengko cacat opo nggak. ... ... cuma diem tok, lha suruh piye wong bingung kok. Cuma setiap hari

aku bilang, “Gimana keadaan bayiku?” “Nggak apa-apa wong normal kok. Cuma itu, butuh perkembangan sing apik,” paling gitu tok njawabe,

he. ... ...Yo wis aku manut.”

Subjek #3 menggunakan strategi ini untuk mengatasi perasaan tidak nyaman yang muncul akibat proses salin lama yang belum pernah dialami sebelumnya.

Subjek #3:

“Kalau katanya orang itu memang kalau udah hamil lima apa enam gitu, katanya kalau lahirannya tu memang susah. Aku aja baru tau kok Mbak. … Baru taunya, kemarin ada yang bilang di rumah sakit to, orang tua, “Memang

ngono, Nduk, nek wis mendege,” ngomonge ngono. “Oh, nggih Mbah,” aku ngono. Aku baru tau itu tok kok. … … Saya udah… udah lahir ini, kan

saya ceritain, dia nanya, “Udah berapa hari?” Saya cerita to, “Ya udah… sepuluh hari…” aku gitu. … … Pingin, pingin nanya gitu lho. Aku

tu memang pingin tanya Mbah itu, Mbah itu terus nanya. … … He-em, saya kan penasaran Mbak. Yang lain bisa lahir gampang, spontan, saya kok

lama.”

c. Turning to other (emotion focused)

Turning to other adalah mencari dukungan baik emosional atau penghargaan dari orang lain berupa dukungan moral, simpati, pemahaman, jaminan rasa aman dan kenyamanan dari keluarga, teman atau yang lain. Individu mengharapkan adanya umpan balik berupa dukungan-dukungan di atas dari perilaku yang dimunculkan, lebih dari sekedar melepaskan emosi. Strategi ini digunakan oleh subjek #3 agar mendapatkan dukungan emosional dan penghargaan dari suami dan saudaranya, berkaitan dengan sakit kepala yang dirasakan dan masalah-masalah yang ia hadapi, seperti mengeluhkan sakit kepala yang dirasakan kepada suami (a) atau menceritakan masalah yang dirasakan agar saudara-saudara mengetahuinya terkait dengan masalah perekonomian keluarga dan tekanan dari kakak ipar (b).

Subjek #3:

(a) “Aku kalau pusing sampai bilang bapake, “Apa aku tu… pembuluh

darahe tu mau pecah apa gimana,” aku tu kadang gitu. … … Aku takut banget. “Mengko nek aku gegar otak piye?” Bapake sampe marah-marah, “Kowe ki pikirane ojo sing ora-ora!”

(b) “… saya kan punya masalah, pingin tak omongin gitu. Ya akhirnya

kemarin udah tak omongin dengan kakak saya. Udah. Lega. Selain ekonomi ya ada… Ya masalah… Masalah saya sama kakak ipar saya, gitu tak ceritain… wis tak ceritain semua masalahku sama kakak saya.

Yang tak arep-arepin kan gitu, Mbak. Maksude, saudara-saudara tu biar

d. Turning to religion

Turning to religion adalah mencari ketenangan dan bantuan dari Tuhan dengan beribadah, seperti berdoa atau sembahyang. Strategi ini digunakan oleh subjek #3 berkaitan dengan keadaan keluarganya.

Subjek #3:

“... Kalau, kalau itu lagi tiduran ya, saya bilang ya, saya sambil do’ain

ya Allah, anakku biar pada lulus, biar pada sehat, biar ada rejekinya,

aku kan kadang gitu. Kalau sholat ya waktu sholat, ini kan lagi nggak

njalanin ya paling sambil tiduran… itu bisanya gitu.”

e. Emotional discharge

Emotional discharge atau pelepasan emosional adalah menfokuskan segala sesuatu yang dirasakan dan mengekspresikannya sehingga dapat mengurangi ketegangan akibat situasi stressfull. Strategi ini digunakan oleh subjek #1 dengan cara mengeluh pada suami dan melucu mengenai bekas lukanya (a), atau menceritakan masalah-masalahnya pada ibu (b), sama halnya dengan subjek #2 yang kemudian membagi masalahnya pada temannya dengan keluhan sama terkait kemungkinan bayi dirawat di rumah mertua. Tujuan pelepasan emosi dengan cara berkeluh kesah dibedakan dari mencari dukungan emosional atau penghargaan dari sisi umpan balik yang diperoleh, yaitu lebih pada melepaskan beban emosionalnya saja sehingga merasa lega. Meski memiliki perbedaan tujuan, baik mencari dukungan (emosional atau penghargaan) maupun pelepasan emosional sama-sama menunjukkan adanya ketergantungan subjek secara emosional yang diperoleh dari hubungan-hubungan dengan orang lain.

Subjek #1:

(a) “... wong ya udah bilang sama suami, “Mas lha ini mengko nek

[bekas operasine] uelik piye?” “Wis ben!”... Hehehe… tapi memang nyatane memang dhuwene koyo ngono yo kon piye? Opo meh diijolke? Hehehe… [akhirnya bilang ke suami] guyon hehehe…”

(b) “... aku ki…… wonge ki piye, ya? … Nggak mau ambil pusing. Ada masalah, aku langsung, ketoke kok abot men, ning pikiran pusing, ketoke aku nggak sanggup, aku langsung ngomong sama ibu. Ya… lega

lah. Aku wis plong ngono lho…”

Subjek #2:

“... Ternyata temenku iyo kok, mau pas rono. [Temenku ngomong] “Aku

yo bingung kok, mbahe njaluk ning kono.” “Kowe yo mikir, Mbak?”

Aku ngono. “He-e, aku yo bingung kok. Tapi ning endi-endi ki enak

ning omah dhewe.”

Subjek #3 banyak menggunakan strategi ini untuk mengekspresikan perasaannya dengan cara bercanda dengan keluarga dan tertawa (a), bermain keluar (b), mencari kesibukan lain (c), menangis (d), berkeluh kesah pada suami atau saudara (e), dan memaki (f).

Subjek #3:

(a) “... Saya tu orange tu kalau pusing nggak pusing, guyonan biasa. Biasa kaya gitu, biasa. Ya, seandainya ada, tau di TV ada apa, mboh guyonan

mbek anak-anak, ya kadang guyonan sama bapaknya. ... ... kadang bapaknya ngene, ... ... Kadang kan guyonan, ngono. ... ... Kadang kan anak-anak kan pada ngledek, ... ... Jadi kan saya akhire ketawa.”

(b) “Ibarate di dalam pikiran lagi… pikirane lagi kalut, wis tak gawe

biasa, tak gawe guyonan. Aku tu orange gitu kok Mbak, bener! Kadang ya tak buat dolan, buat main, gitu… biasa aja. … … Aku kan orange seneng guyonan Mbak. Aku senenge guyonan Mbak. Bener!”

(c) “Saya kalau pikiran pusing tu tak jak keluar gitu lho Mbak tadinya.

Lha ini punya bayi, paling ya di rumah… dibawa tidur-tiduran. Ya tak bawa kesibukan lain kan… apa… ya apa, kesibukan lain, tak bawa masak, jadi kan ilang gitu lho Mbak. Kalau dibawa pikir banget gitu ya… Nggak ilang-ilang.”

(d) “… Saudaraku kok nggak ada yang dateng. Tar kadang saya nangis

sendiri gitu lho Mbak.”

“Kemarin sekali… ya… kemarin ya… he-em kemarin to, bapaknya

ngomong apa to, wong aku denger terus aku diem, aku nangis itu memang

Mbak. Nangis. Bapaknya juga diem. Nglihat saya… Pokoknya bapaknya

setelah lihat saya dah nangis dia diem. …”

“Kemarin misale saya di rumah sakit, kalau ngatain saya kan seenaknya

sendiri. Orang gimana nggak sakit hati kan… … Ntar bapaknya ngadu, saya kan nangis Mbak!”

(e) “… Sampai sekarang, saya kalau kesel, jengkel to Mbak, kalau nggak

bisa ngomong bisanya nangis, bisa nangis udah lega. … … Paling [ngomong] sama bapaknya. Sama bapaknya ya… kadang ya… ngomong tu sambil nangis gitu. … pikiranku tu biar plong gitu lho Mbak. Ya dikeluarin unek-uneke.”

“… saya kan punya masalah, pingin tak omongin gitu. Ya akhirnya

(f) “ … kadang saya kan, jadinya kan… gimana ya, “Mbakyumu ki lho

nek ngomong sak kepenake dhewe.” Kadang kan jadinya kan berantem, “Mentang-mentang aku di sini nggak ada saudara,” aku gituin. “Kene mengko tak omongane karo kakangku,” aku gitu.”

Subjek #3 juga menggunakan anak-anaknya sebagai objek pelepasan emosi dengan menasehati (g) atau menggoda bayinya (h).

Subjek #3:

(g) “Tapi kalau kerja ya, pusingnya ya… maksudnya ya, berkurange

[bebannya]… “Alhamdulillah bapakmu udah kerja,” maksude kan udah nggak begitu, ini banget… repot banget gitu lho Mbak. “Lha kalau gini, bapakmu nggak kerja, makane pakai apa?” Kadang kan sama anak-anak kan gitu Mbak. Kadang anak-anak-anak-anak kan gini, “Iya Mak?” “Iya! Makanya kamu harus pada nurut.” Aku gitu.”

(h) “Apalagi kalau kaya kemarin, nggak punya dhuwit kalau nglihat ini,

[bayiku tu] senenggg banget aku. Kadang kalau lagi pusing, nglihat ini tak guwes-guwes tar nangis, ugh!! Seneng banget.”

f. Resigned acceptance

Resigned acceptance adalah strategi kognitif yang digunakan dengan cara menerima situasi stressfull apa adanya dan belajar menunda kepuasan. Subjek #3 menggunakan strategi ini terkait dengan keadaan perekonomian keluarganya (a) atau sakit kepala yang ia alami (b). Meski subjek mencoba menerima keadaan apa adanya, situasi-situasi stressfull tersebut pada akhirnya membutuhkan penyelesaian secara nyata dengan menggunakan strategi yang berfokus pada masalah.

Subjek #3:

(a) “Itu saya kalau punya masalah… ... nggak tak pikir banget-banget,

ah sa’anane, Aku ngono tok. Diterima apa adanya, aku gitu tok.”

“… Ya… ya nek rak tak trimo piye meneh Mbak. Lha wong, kalau

nggak ditrima… dibawa ini kan… maksude dibawa, ah aku kok uripe ngene, ngene, lha gimana. Aku kalau, kalau aku orange gini Mbak, wis tak trimolah opo anane. Aku orange gitu, kalau nggak dipikir gitu ya… Jadi… pikirane yang nggak-nggak Mbak. Kalau saya orange gitu.”

(b) “… Bapaknya meriang, akunya kepalanya pusing. Wis tak, tak

tahan aja wis. Wis piye meneh wis. Bapake paling yo ngene, “Piye meneh, wis ngene… yo sing sabar lah.”

“… Cuman saya nekat, ah biarin tak minumin Paramex nyampur sama

obat rumah sakit. Aku nekat gitu, wis ben aku ngono. Ya saya sempet… Ni kalau ada apa-apa, ya memang nasibku…”

g. Cognitive redefinition

Cognitive redefinition adalah strategi kognitif yang digunakan dengan cara mendefinisikan kembali situasi stressfull secara positif. Strategi ini dibedakan dari mekanisme pertahanan diri seperti rasionalisasi karena memiliki self-deception yang lebih kecil dan dilakukan secara sadar. Subjek #1 menggunakan strategi ini terkait proses persalinannya secara sectio caesarea dengan melihat dampak positif yaitu anaknya tetap lahir meski dengan cara yang berbeda (a), berfikir secara realistis terhadap harapan membina rumah tangga sendiri dengan suami dan anak (b), dan mengesampingkan pandangan negatif orang lain tentang proses persalinannya dan menfokuskan pada perhatian yang diterima dari orangtua (c).

Subjek #1:

(a) “ Operasi itu kan nggak bisa ngrasain gimana to rasanya jadi

perempuan bener-bener gitu. ... ... Yo, ngene… alah podho wae anake yo mentu wae kok...”

(b) “Ya piye ya Mbak [masalah ingin punya gubug sendiri itu], ya alon-alon lah. Karang sing kerjo siji. Aku sama suami kan suami tok yang nyari

uang. Ya mugo-mugo… Satu tahun wis nduwe omah dhewe. Iso urip dhewe mbek anake, anake wis mlaku itik-itik. Ning omah mbek wong telu. Yo wis pingine yo koyo ngono lah Mbak.”

(c) “Udah sekarang nggak kepikiran. “Wong meh ngomong opo, meh

mangap opo karepmu,” aku muni ngono. Sing penting ibuku ora ngomong sing ora enak. Aku ngono. Yang penting orangtua baik.”

Subjek #2 menggunakan strategi ini terkait proses persalinan secara prematur yang menyebabkan berat badan bayi lahir di bawah normal dan membutuhkan perawatan intensif di rumah sakit, dengan melihat dampak positifnya yaitu bayinya tetap dalam keadaan sehat (a), dan membuat pembandingan bahwa keadaan mungkin menjadi lebih buruk bila bayinya tidak dirawat intensif di rumah sakit (b).

Subjek #2:

(a) “Yo kaget. Loh, kok ujug-ujug [bayinya mau] keluar. ... ... Tapi yo

wislah ora opo-opo asal bayine sehat wae. ... ... Perasaan kan… ko ora iso normal koyo lia-liane. Tapi nek bayine sehat yo ora opo-opo.”

(b) “Ning kono ki percoyo yo, ning rumah sakit ki iso ngatasi bayi-bayi

ketimbang ning omah. ... ... aku wedi nek [ning omah] ngrawate salah

ngono lho.”

“... mikirku cuma, alah ning kono yo dokter pinter-pinterlah dirawat,

mesti anakku dirawat apik, ora mungkin ditelantarke. Malah daripada ning ngomah, mengko aku durung iso ngemong, ngono-ngono.”

Subjek #3 menggunakan strategi ini terkait dengan keadaan perekonomian keluarganya dengan menfokuskan perhatian pada kesehatan anak-anaknya meski makan seadanya (a), memikirkan dampak yang lebih buruk sehingga ia tidak bisa terus menerus menyesal (b), dan menerima peristiwa dalam kehidupan sebagai cobaan yang harus dijalani (c).

Subjek #3:

(a) “Itu saya kalau punya masalah… tapi nggak tak pikir banget kok Mbak. … … Yang penting aku sehat, anak-anakku sehat, gitu. Makan

seadanya. Aku gitu.”

(b) “… Aku kalau, kalau aku orange gini Mbak, wis tak trimolah opo

anane. Aku orange gitu, kalau nggak dipikir gitu ya… Jadi… pikirane yang nggak-nggak Mbak. Kalau saya orange gitu…. … Alah ntar juga, namanya orang masa mau begini terus. Aku ngono Mbak.”

(c) “… Dulu bapaknya, ya… wis nggak karu-karuan. Mungkin ni kan

cobaan saya. Cuman kan saya orangnya kan, yah sabar, wis mungkin ini cobaanku. Tak jalani. …”

Strategi ini juga digunakan oleh subjek #3 untuk mengatasi kesedihannya karena tidak ada saudara yang menjenguk dengan menyadari bahwa hal tersebut adalah konsekuensi karena rumah saudaranya jauh (d).

Subjek #3:

“…Ngrasanya ngene lho Mbak, aku jauh dari saudara… Ini ya, jauh dari

saudara ya gini ini ini. [Saya] udah lama [di sini memang] iya. Saudara saya kan pada di Pekalongan Mbak. Seandainya ke sini kan kalau perjalanan [antara] empat jam lima jam Mbak…”

“… Saudaraku kok nggak ada yang dateng. Tar kadang saya nangis

Dokumen terkait