• Tidak ada hasil yang ditemukan

Empat Kebenaran Mulia Bertalian Dengan Reinkarnas

Dalam dokumen Reinkarnasi Pada Mitos dan Legenda China (Halaman 51-60)

METODE PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian

4.1 Konsep Reinkarnasi dalam Mitos dan Legenda China

4.1.1 Empat Kebenaran Mulia Bertalian Dengan Reinkarnas

Inti dari seluruh ajaran Sang Buddha adalah Empat Kebenaran Mulia (cattari ariya sacca). Dengan mengerti Empat Kebenaran Mulia, dapat dikatakan seseorang telah mengerti agama Buddha. Sang Buddha memberi batasan tentang Kebenaran, yang pertama sebagai berikut:Lalu, apakah kebenaran mulia tentang penderitaan itu (dukkha ariya sacca)? Lahir adalah penderitaan, bertambah tua adalah penderitaan, sakit adalah penderitaan, kematian adalah penderitaan; sedih, penyesalan, nyeri, duka-cita dan putus asa adalah penderitaan, berpisah dari yang dicintai adalah penderitaan, berkumpul dengan yang tidak disukai adalah penderitaan. (Samyutta Nikaya, hal: 420)

Terlihat dari pernyataan diatas, bahwa Sang Buddha berbicara tentang dua macam penderitaan – jasmaniah dan rohaniah. Penderitaan jasmaniah adalah rasa sakit yang disebabkan oleh penyakit, kecelakaan, umur tua, kecapaian, dan sebagainya.

38

Penderitaan rohaniah termasuk rasa sakit oleh keadaan mental-takut, bosan, gelisah, sedih, kesepian dan segala perasaan negatif lainnya. Hidup adalah pengalaman- pengalaman pada penderitaan, dalam berbagai kadar, sedikit ataupun banyak. Sang Buddha tidak mengingkari adanya kebahagiaan dan kegembiraan, Beliau semata-mata mengingatkan kita pada kenyataan yang tak dapat disangkal, ialah bahwa penderitaan adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan, bahwa penderitaan adalah masalah yang kita semua alami, pula sekaligus ingin kita hindari. Pada dasarnya, hampir semua kegiatan dan upaya kita sehari-hari, tanpa kita sadari, bersangkutan dengan usaha untuk menghindari penderitaan dan mencari kebahagiaan. Namun, walau begitu banyak waktu dan akal-daya yang dikerahkan untuk mencari kebahagiaan sejati, kepuasan dan kedamaian hati tetaplah jarang dan sulit digapai. Sang Buddha, bagai seorang dokter yang penuh kasih-sayang, datang untuk menunjukkan pada umat manusia, cara untuk mengatasi penderitaan, kesakitan, kematian dan kelahiran kembali, dan juga cara agar dapat mencapai kebahagiaan Nibbana.

Ajaran Sang Buddha berdasar pada kebenaran yang kokoh. Kebenaran (sacca) dapat didefinisikan sebagai pernyataan atau pengejawantahan-realisasi, yang berhubungan dengan kenyataan.

Kebenaran mulia yang kedua adalah Kebenaran Mulia tentang Penyebab Penderitaan (dukkha samudaya ariya sacca). Sang Buddha memperlihatkan pada kita, bahwa semua penderitaan yang kita alami disebabkan langsung atau tidak langsung oleh keinginan-rendah (tanha) dan ketidak-tahuan (avijja). Adalah mudah dimengerti, bagaimana nafsu-keinginan dan ketidak-tahuan, dapat menyebabkan penderitaan rohiah. Sebagai contoh yang sederhana, seseorang berkeinginan kuat untuk menjadi penguasa yang kaya raya, sebab menurutnya uang adalah segala-galanya dan akan

39

menyebabkannya berbahagia. Lalu, karena tidak berhasil menjadi kaya, dia frustrasi dan sangat kecewa. Hubungan antara keinginan-rendah (menginginkan uang) dan ketidak- tahuan (pandangan salah, bahwa uang semata yang dapat akan memberinya kebahagiaan) di satu pihak; dan penderitaan (frustrasi dan kekecewaan) pada pihak lainnya. Tapi, apakah keinginan-rendah dan ketidak-tahuan juga dapat menyebabkan penderitaan jasmaniah? Bahwa keinginan-rendah menyebabkan karma, yang pada gilirannya kemudian menyebabkan reinkarnasi. Dengan demikian jelas, bahwa keinginan-rendah dan ketidak-tahuan juga menyebabkan penderitaan jasmani.

Tapi, apabila keinginan adalah salah satu penyebab dari penderitaan, bukankah kita seharusnya tidak usah berdaya-upaya untuk hal apapun juga? Untuk dapat menjawab pertanyaan diatas, adalah penting untuk menyadari bahwa Sang Buddha mengajarkan perbedaan antara keinginan yang tumbuh dari ketidak-tahuan dan keinginan yang timbul atas dasar pengertian. Sang Buddha sering mengatakan, bahwa kita seharusnya senantiasa bergairah (adithana), kita senantiasa bertekad (tibbacchanda), juga senantiasa mempunyai cita-cita yang kuat untuk mencapai Nibbana (chandajato anakkate) (Dhammapada hal: 218) . Keinginan menjadi orang-tua yang baik, keinginan menjadi teman yang setia, keinginan menjadi warga-negara yang bertanggung jawab adalah keinginan yang berdasar atas pengertian, dengan demikian akan menghasilkan kebaikan, bukannya penderitaan. Berkeinginan melaksanakan jalan atau mencapai Nibbana adalah keinginan berdasar atas pengertian, dengan demikian akan menghasilkan kebaikan, bukannya penderitaan. Apabila kehendak, keinginan dan cita- cita didasarkan atas pengertian, dan apabila semuanya itu diwujudkan dalam bentuk perilaku sehari-hari, dan bila semuanya diarahkan pada sasaran yang mulia, maka justru keinginan semacam itulah yang dianjurkan.

40

Kebenaran Mulia yang ke-tiga adalah Kebenaran Mulia mengenai Musnahnya Penderitaan (dukkha nirodha ariya sacca). Pada Kebenaran ini, Sang Buddha dengan jelas dan tegas mengajar kita, bahwa kita dapat bebas dari penderitaan dan mencapai kebebasan dan kebahagiaan Nibbana. Istilah Nibbana secara harfiah berarti „padam‟, serta mengacu ke pemadaman api keserakahan, kebencian dan kegelapan-roh. Sang Buddha, juga menggunakan ungkapan-ungkapan lain unyuk menggambarkan keadaan ini yaitu : kelanggengan (amata), pernaungan yang aman (khema), kedamaian (santa), perlindungan (tana), kebahagiaan tertinggi (paramam sukham), penghancuran keinginan rendah (tanhakkhaya), keabadian (dhura). Apa itu Nibbana? Ada pendapat yang menganggap bahwa Nibbana identik dengan kemusnahan dari pribadi (Inggris: annihilation). Sang Buddha menegaskan bahwa pandangan ini salah.

Apabila seorang telah membebaskan rohnya, para dewa sekalipun tak dapat menjejakinya, walau mereka berpikir: “Ini adalah kesadaran Tathagata.” Mengapa? Disebabkan karena Buddha tak terjejaki. Walau Saya berkata demikian, beberapa pertapa dan Brahmin, salah menafsirkan, bertentangan dengan kenyataan, mereka berkata: “Pertapa Gotama adalah berpandangan nihilis, sebab dia mengajarkan pemotongan, penghancuran, hilangnya keberadaan secara menyeluruh,” tapi Saya tidak mengatakan demikian. Dari dulu sampai sekarang, Saya hanya mengajarkan tentang penderitaan dan penghentian penderitaan. (NikayaMajjhima hal: 140)

Yang dimaksud Sang Buddha, bahwa seorang yang telah mencapai Nibbana keberadaannya tidak ada lagi, adalah bahwa semua ciri-ciri yang dihubungkan dengan keberadaan lahir, mati jasmaniah, bergerak dalam waktu dan ruang, dan berperasaan sebagai suatu pribadi sendiri tidak lagi dapat digunakan untuk menggambarkan keadaan Nibbana. Yang dimaksud Sang Buddha, bahwa seseorang yang telah mencapai Nibbana

41

keberadaannya tidak musnah, adalah tepat seperti itu. Dimensi Nibbana tak dapat digambarkan secara tepat dengan bahasa duniawi, pula keberadaan Nibbana tak dapat dibayangkan oleh pikiran duniawi.

Walau sulit digambarkan, namun Sang Buddha memberi pada kita gambaran umum tentang keberadaan Nibbana. Dengan menggambarkan roh manusia, Sang Buddha berkata: “Roh adalah putih suci, namun dia ternodai oleh kekotoran roh yang sebelumnya tidak ada. Orang awam tidak menyadarinya, oleh karenanya mereka tidak menjaga rohnya. Roh adalah putih suci, dan dapat dimurnikan dari kekotoran roh yang sebelumnya memang tidak ada. Siswa yang agung mengerti hal itu, makanya mereka menjaga roh mereka.(Anguttara Nikayahal: 10)

Dengan kata lain, roh adalah suci pada awalnya (pabhassaram idam citam), kemudian dinodai kotoran roh yang sebenarnya adalah sesuatu yang asing bagi roh. Bila kotoran roh dibersihkan, maka roh kembali suci lagi. Sang Buddha bersabda:Dimana tanah, air, api dan udara tak berpijak? Dimanakah yang panjang dan pendek, kecil dan besar, murni dan tak murni, nama dan rupa, akhirnya musnah? Jawabnya adalah: Itu adalah kesadaran dari seorang Yang Agung yang tak tertandai, tak terikat, dan bercahaya. Disana tak ada tempat tanah, air, api dan udara itu berpijak. Disana yang panjang dan pendek, kecil dan besar, murni dan tak murni, nama dan rupa akhirnya musnah. Bila kesadaran telah musnah, maka demikian pula semuanya itu. (Nikaya Digha hal: 223)

Nibbana adalah “alam” dimana jasmaniah dan semua keberadaan berlawanan- pasang – panjang dan pendek, kecil dan besar, murni dan tak murni – tidak ada lagi serta roh tak tertandai lagi (anidassanam), tak terikat (anatam) dan bercahaya (sabbato

42

pabham). Bercirikan sebagai keadaan-kekal (nibbanapadam accutam) dari kemurnian (suddhi), kebebasan (vimitti) dan kebahagiaan-tertinggi (nibbanam paramam sukham).

Sang Buddha juga memberitahu, bahwa Nibbana dicapai dalam dua tingkatan atau cara. Pertama, mereka yang mencapai Nibbana, dengan roh yang telah bebas, tapi karena jasmani-nya masih ada, maka dia masih menjadi obyek penderitaan jasmaniah. Ini disebut Nibbana dengan sisa dasar (saupadisesa nibbana). Lalu, setelah mereka mati, roh juga dibebaskan dari penderitaan jasmaniah dan seorang mencapai Nibbana sempurna. Ini disebut sebagai Nibbana tanpa sisa dasar (anupadisesa nibbana), atau sering pula disebut sebagai Nibbana sempurna (parinibbana).

Walau kita hanya dapat mengerti sepenuhnya keadaan Nibbana setelah kita mengalaminya sendiri, namun kita tetap dapat mengetahui keberadaan keadaan itu. Pertama, kita dapat menyimpulkan keberadaannya. Apabila ada dimensi disertai kelahiran, kematian, kekotoran roh dan kejadian, maka dapat disimpulkan bahwa ada dimensi tanpa itu. Naskah Buddhis kuno menyebutkan: “Dimana ada panas, Disitu pasti pula ada dingin. Demikian pula, Dimana ada tiga api, Disitu pasti pula ada Nibbana. Dimana ada kejahatan, Disitu pasti pula ada kebajikan. Demikian pula,Dimana ada kelahiran, Keadaan “tak-terlahir”, dengan demikian, juga ada. (Jataka Nidanakatha hal:22-23)

Kedua, kita dapat mengetahui adanya keadaan seperti Nibbana, karena Sang Buddha mencapainya, dan Beliau dengan tegas menjelaskan keberadaannya. Beliau bersabda: “Ada sesuatu Yang Tak-Terlahirkan, Tak-Terjadi, Tak-Terbuat, Tak- Tergabung. Bila tidak ada yang Tak-Terlahirkan, Tak-Terjadi, Tak-Terbuat, Tak- Tergabung, maka tidak akan ada jalan untuk bebas dari Terlahir, Terjadi, Terbuat dan

43

Tergabung. Tetapi karena adanya Yang Tak-Terlahirkan, Tak-Terjadi, Tak-Terbuat, Tak-Tergabung, maka ada jalan untuk terbebas dari Terlahir, Terjadi, Terbuat dan Tergabung.(Udana hal: 80)

Sekali lagi Beliau menegaskan keberadaan-Nya, sebagai berikut: “Ada suatu keadaan, dimana tidak ada tanah, air, api dan udara, dimana tidak ada Lingkup Ruang Tak-terbatas, Kesadaran Tak-terbatas, Kehampaan, juga Lingkup bukan-Kesadaran bukan pula Tanpa-kesadaran, tidak di bumi ini, di bumi seberang ataupun keduanya, tidak ada matahari, tidak ada bulan, dimana tidak ada yang datang untuk dilahirkan, tidak ada yang pergi ke kematian, tidak ada kurun waktu, tidak ada yang terjatuh dan timbul. Bukan sesuatu yang terpaku, tidak pula bergerak, dia berasaskan kehampaan. Inilah sebenarnya akhir penderitaan”. (Udana hal: 80)

Keadaan Abadi ini telah banyak yang mencapainya, Dan tetap dapat dicapai saat ini pun, Bagi siapa yang menjalankannya sendiri,Tapi tidak bagi yang tidak berusaha sekuatnya.(Thrigatha hal: 513)

Tapi satu hal yang pasti, siapapun yang mencapai Nibbana adalah sebagai hasil menjalankan ajaran Sang Buddha.Setelah Sang Buddha mencapai Nibbana, Beliau

“mengajak” semua umat manusia untuk mengikuti jalan agar umat manusia juga dapat

menikmati kedamaian, kebahagiaan dan kebebasan. “Ajakan” Beliau masih berlaku sampai saat ini.Pintu-pintu ke keAbadi-an telah terbuka, Marilah, mereka yang dapat mendengar, berusaha dengan keyakinan. (NikayaMajjhima hal: 169)

Kebenaran Mulia yang ke empat adalah Jalan yang menuju ke akhir penderitaan (dukkha nirodha gamini patipada), dan Jalan-nya adalah Jalan Berunsur Delapan (Ariya Atthangika Magga). Disebut „Mulia‟ karena bila dilaksanakan, maka akan menuntun

44

seseorang ke kehidupan yang mulia; disebut „Berunsur Delapan‟, karena terdiri dari Delapan Unsur, dan disebut „Jalan‟, karena seperti jalan pada umumnya, akan menuntun seseorang dari satu tempat ke tempat lain, dengan hal ini dari Samsara ke Nibbana. Dari Empat Kebenaran Mulia; tiga kebenaran yang pertama adalah bagaimana pandangan Sang Buddha terhadap dunia ini – Teori; lalu Kebenaran ke-empat adalah apa yang dianjurkan Sang Buddha kepada kita untuk mengatasinya serta pelaksanaannya.

Empat Kebenaran Mulia mempunyai ciri-ciri yang khas. Pertama merupakan suatu sistim yang lengkap dari suatu latihan spiritual, berisikan semua yang dibutuhkan untuk kehidupan yang etis, pengertian yang jelas dan pencapai Nibbana. Karena Nibbana adalah tujuan hidup, maka semua aspek kehidupan diperhitungkan untuk usaha itu, dan itulah yang ditunjukkan dalam Jalan Berunsur Delapan. Adalah kenyataan umum pada masa sekarang, bahwa suatu agama turut menerima malah kadang-kadang mengikuti ajaran agama yang lain. Beberapa kaum Kristen liberal misalnya, saat ini setelah melihat nilai-nilai meditasi, juga telah mempraktekkan meditasi. Namun, karena Jalan Berunsur Delapan telah lengkap, Agama Buddha tidak perlu meminjam apapun dari keyakinan lain. Kedua, Jalan Berunsur Delapan adalah satu-satunya praktek keagamaan yang menuju kebebasan Nibbana. Sang Buddha bersabda: Dari semua jalan,Yang Berunsur Delapan yang terbaik Dari semua kebenaran, Yang Empat yang terbaik Dari semua keadaan, bebas dari murka yang terbaik Dari semua manusia, yang sadar yang terbaik Inilah Jalan satu-satunya;Tak ada lain yang bisa menjadikan murni dan sadar.Jalani Jalan itu,Dan engkau akan mengatasi Mara. Jalani Jalanini,Dan engkau akan mengakhiri penderitaan. Saya memaklumatkan Jalanini, Ditemukan oleh Saya sendiri. (Dhammapada hal: 273-275)

45

Ciri ke tiga dari Jalan Berunsur Delapan adalah bahwa Jalan itu berlaku selamanya. Selama ribuan tahun Jalan itu mungkin tertutup oleh ketidaktahuan atau ketakhyulan, tetapi karena berlaku selamanya, maka niscaya akan ada seseorang yang menemukannya kembali, berubah pandangan karenanya, dan mengajarkannya kembali demi kebaikan umat manusia. Demikian pula, berabad-abad sebelum ini, Jalan itu telah pernah diketahui tapi lalu terlupakan, lalu diketemukan kembali dan diajarkan oleh Buddha Gotama. Inilah, seperti yang dikatakan Sang Buddha “Jalan lama yang masih tetap berlaku dan akan senantiasa demikian.”

Jalan Berunsur Delapan secara tradisional dibagi dalam tiga bagian: Moral/kebajikan (sila), Pemusatan-Pikiran (samadhi) dan Kebijaksanaan (pañña). Pembicaraan Sejati, Tindakan Sejati dan Penghidupan Sejati dikelompokkan dalam Kelompok Moral; Daya-Upaya Sejati, Kesadaran Sejati dan Konsentrasi/Pemusatan Pikiran Sejati dikelompokkan dalam Kelompok Pemusatan-Pikiran; Pengertian Sejati dan Pikiran Sejati dikelompokkan dalam Kelompok Kebijaksanaan. Namun, untuk menekankan beberapa aspek penting yang kadang-kadang diabaikan, maka dalam pembahasan ini, kita akan mengelompokkan „Jalan‟ dengan cara yang lain. Pengertian Sejati dikelompokkan sebagai Latihan Intelektual/Akal-Budi (Intellectual Training); Pikiran Sejati, Pembicaraan Sejati, Tindakan Sejati dan Penghidupan Sejati dikelompokkan dalam Latihan-Etika (Ethical Training); lalu Daya-upaya Sejati, Kesadaran-Sejati dan Pemusatan-Pikiran Sejati dikelompokkan dalam Latihan Kejiwaan (Psychological Training). Dengan pelaksanaan Latihan Intelektual, dimaksudkan agar kita hendaknya memahami terlebih dahulu secara jelas serta realitas konsep Empat Kebenaran Mulia; lalu kemudian secara bertahap melangkah mewujudkannya dengan mengembangkan langkah-langkah lain dari Jalan. Dengan Latihan Etika, kita

46

menentukan apa yang baik, lalu melaksanakannya, baik pada diri kita pribadi juga pada tindakan-tindakankita dalam bermasyarakat. Dengan Latihan-Kejiwaan, dimaksudkan adalah perubahan roh secara sadar dari yang bersifat keduniawian ke keadaan roh yang murni. Dengan melaksanakan langkah-langkah Jalan Berjalur Delapan dalam kehidupan, maka seseorang menjadi Buddhis, dan dengan menghayati kebenarannya dalam roh, yang dengan sendirinya akan timbul setelah melaksanakannya, seseorang akan dapat mencapai pencerahan.

Dalam dokumen Reinkarnasi Pada Mitos dan Legenda China (Halaman 51-60)

Dokumen terkait