• Tidak ada hasil yang ditemukan

Enam Belas Komisi Kebenaran yang Kurang Dikenal

Meskipun enam belas komisi kebenaran yang dibicarakan dalam bab ini berukuran lebih kecil dan tidak mendapat perhatian internasional sebesar lima komisi kebenaran yang dibahas dalam bab sebelumnya, namun beberapa di antaranya memiliki peran penting dalam transisi di negaranya. Banyak dari enam belas komisi ini, yang digambarkan dalam urutan kronologis, menawarkan pelajaran yang penting, terutama dalam menunjukkan mandat yang luas dan metode operasi yang berbeda-beda yang telah digunakan.

Tidak semuanya berhasil. Sementara hampir semua komisi tersebut dijalankan dengan baik – meskipun pembentukannya mungkin memiliki motif politik tertentu – beberapa penyelidikan tersebut mengalami masalah besar dalam usahanya mendokumentasikan kejahatan di masa lalu, atau tidak pernah mendapatkan perhatian nasional yang signifikan atau kepercayaan dari masyarakat, untuk bisa menjadi kekuatan yang besar di negaranya. Karena kurangnya dukungan politik atau perubahan kondisi politik pada masa penyelidikannya, atau karena tekanan untuk membatasi penyidikan agar tidak membahayakan pemimpin atau perwira tinggi militer, beberapa komisi gagal menyelesaikan tugasnya atau mengalami kesulitan yang besar dalam usahanya. Dua dari komisi di bawah ini (Bolivia dan Ekuador) tidak menyelesaikan tugasnya. Komisi akhirnya menghentikan penyelidikannya dan negara pun membubarkan komisi sebelum tugasnya selesai. Dua komisi lain menyelesaikan laporan yang dirahasiakan, paling tidak pada awalnya, karena dianggap terlalu berisiko untuk diumumkan dalam kondisi politik yang berubah-ubah (Burundi), atau dianggap memiliki informasi yang tidak sesuai dengan kepentingan pimpinan politik (Zimbabwe). Sebuah laporan lain, di Haiti, diumumkan oleh pemerintah baru setelah mengalami banyak penundaan, dan tidak pernah sampai ke tangan masyarakat.

Banyak komisi mengalami masalah pengelolaan, operasional atau pendanaan yang mendasar, tidak memiliki pemimpin yang cakap untuk menjalankan tugas organisasi yang berat dalam waktu yang singkat. Paling tidak satu komisi dibentuk dengan tujuan utama untuk menghentikan kritikan internasional (komisi Uganda 1974 pada masa Idi Amin Dada); meskipun komisi tersebut berusaha bekerja seserius mungkin, jelas bahwa kepentingan presiden bukanlah untuk memajukan penghargaan hak asasi manusia. Komisi Uganda 1974 merupakan satu dari sedikit komisi dalam buku ini yang bukan merupakan bagian dari transisi politik mendasar, seperti akhir kediktatoran atau hasil kesepakatan untuk menghentikan perang saudara. Selain itu, komisi di Zimbabwe, meskipun dibentuk pada akhir masa represi terhadap penduduk di daerah selatan negeri tersebut, tidak menandai transisi politik nasional yang besar.

Di pihak lain, bahkan dengan semua batasan tersebut, banyak dari komisi-komisi kecil atau kurang terkenal ini memiliki keberhasilan kecilnya, dan kadang-kadang memberikan kontribusi yang mengejutkan, dan perlu dipelajari dalam usaha memperbaiki badan-badan serupa di masa depan.

Uganda 1974

Komisi Penyelidikan Penghilangan Orang di Uganda sejak 25 Januari 1971 dibentuk oleh Presiden Idi Amin Dada di Uganda pada bulan Juni 1974, dengan mandat untuk menyelidiki tuduhan penghilangan oleh militer pada tahun-tahun pertama masa pemerintahan Amin.i Komisi tersebut dibentuk sebagai jawaban tekanan yang semakin besar untuk menyelidiki penghilangan tersebut, terutama dari komunitas internasional, dan terdiri dari seorang hakim ekspatriat Pakistan sebagai ketua, dua superintenden polisi Uganda, dan seorang perwira militer Uganda. Disahkan melalui perintah presiden sesuai Undang-Undang Komisi Penyelidikan 1914, komisi tersebut memiliki kekuasaan untuk memaksa seseorang untuk memberikan kesaksian dan kekuasaan untuk meminta bukti dari sumber resmi, meskipun akses informasi dihalangi oleh berbagai sektor pemerintahan, termasuk polisi militer dan intelijen militer. Komisi tersebut mendengarkan 545 saksi dan mendokumentasikan 308 kasus penghilangan; kesaksian diberikan secara publik kecuali bila diminta sebaliknya.

“Memandang kesulitan berat yang dihadapi dan kondisi politik yang tidak bersahabat, apa yang dicapai komisi tersebut sungguh luar biasa”, tulis Richard Carver, yang pada saat itu menjabat sebagai direktur riset Human Rights Watch divisi Afrika. Carver melanjutkan, “Komisi tersebut menyimpulkan bahwa Unit Keamanan Rakyat dan Badan Riset Negara, keduanya badan keamanan khusus yang dibentuk Amin, memiliki tanggung jawab terbesar atas ‘penghilangan’ tersebut. Komisi juga mengkritik perwira angkatan bersenjata untuk penyalahgunaan kekuasaan, juga kegiatan polisi militer dan intelijen”.ii Komisi tersebut menyimpulkan sejumlah saran spesifik untuk perbaikan polisi dan angkatan bersenjata, dan pelatihan pejabat hukum pada bidang hak-hak legal masyarakat.

Sebagai komisi yang bekerja di bawah dan memberikan saran kepada pemerintahan yang sama dengan yang diselidikinya, prioritas pertamanya adalah untuk mencegah pelanggaran lebih lanjut oleh pemerintah. Namun komisi tersebut dibentuk tanpa keinginan politik atau komitmen untuk perubahan dalam kebijakan atau praktik hak asasi manusia, dan laporan komisi tersebut nyaris tidak memiliki dampak terhadap tindakan pemerintah Amin. Presiden Amin tidak mengumumkan laporan komisi (ia juga tidak diwajibkan melakukan hal tersebut dalam syarat pembentukan komisi), dan tidak ada saran komisi yang dijalankan. Sebagaimana kini dikenal luas, pelanggaran oleh pemerintahan Amin meningkat pesat pada tahun-tahun sesudahnya, menjadikan Amin dikenal sebagai “penjagal dari Uganda”. Hanya ada satu kopi laporan tersebut di negara itu.iii

Carver menanyakan, “Lalu apakah semua itu adalah pemborosan waktu?” Ia menjawab tidak, dengan tiga alasan. Ia menunjukkan pentingnya komisi itu dalam membantah pandangan revisionis mengenai dekade 1970-an di Uganda; fakta bahwa penghilangan berkurang pada waktu singkat ketika komisi melakukan penyelidikan; dan fakta bahwa pengetahuan tentang kekejaman ini memberikan beban tanggung jawab kepada pendukung internasional Amin yang terus mendukungnya sepanjang dekade 1970-an.iv

Komisi Uganda 1974 nyaris terlupakan dari sejarah: pada saat dibentuknya Komisi Uganda untuk Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia pada tahun 1986, tidak ada referensi pada komisi serupa yang telah bekerja hanya 12 tahun sebelumnya.v

Bolivia

Komisi kebenaran pertama di Amerika Latin dibentuk di Bolivia, ketika pemerintah Presiden Hernán Siles Zuazo mendirikan Komisi Nasional Penyelidikan Penghilangan hanya beberapa hari setelah kembalinya pemerintahan demokratis pada bulan Oktober 1982. Delapan anggota komisi, yang dipilih sebagai wakil masyarakat, merupakan sekretaris hakim agung; masing-masing satu anggota DPR dan MPR; masing-masing satu wakil dari angkatan bersenjata, federasi buruh dan federasi petani; dan satu wakil dari dua organisasi hak asasi manusia nasional. Komisi tersebut terkenal pada masanya, dan mengumpulkan kesaksian mengenai 155 penghilangan antara 1967 hingga 1982. Pada beberapa kasus, komisi berhasil menemukan sisa-sisa dari orang yang dihilangkan, namun pada akhirnya tidak ada kasus yang diselidiki hingga tuntas, demikian menurut Loyola Guzmán, sekretaris eksekutif komisi dan wakil dari organisasi hak asasi manusia.vi Sayangnya, mandat komisi tidak memungkinkan penyelidikan mendalam tentang kebenaran, karena penyiksaan, penahanan ilegal dan berkepanjangan serta pelanggaran lain tidak dibahas. Komisi meminta bantuan enam staf teknis dan mendapat bantuan dana terbatas dari pemerintah, namun tidak memiliki cukup sumber daya dan dukungan politik untuk menyelesaikan kerjanya, menurut Guzmán. Setelah dua tahun, komisi bubar tanpa ada laporan akhir; Guzmán kemudian berusaha untuk mendapatkan akses ke bahan-bahan yang telah dikumpulkan komisi dengan harapan untuk menerbitkan sebuah laporan.vii

Komisi ini segera tersingkir setelah dimulainya pengadilan pada pertengahan dekade 1980-an terhadap 49 mantan perwira dan agen paramiliter pemerintahan Luis García Meza Tejada (seorang komandan militer yang merebut kekuasaan pada tahun 1980 dan memerintah negara, dengan kebijakan yang represif, selama lebih dari setahun). Pada akhirnya, kombinasi komisi kebenaran, pengadilan dan usaha pribadi untuk menemukan kebenaran memberikan hasil yang dianggap secara keseluruhan positif oleh Human Rights Watch.viii

Uruguay

Setelah sebelas tahun berada di bawah kekuasaan militer, pada bulan April 1985, parlemen Uruguay membentuk Komisi Penyelidikan Keberadaan Orang-Orang “Hilang” dan Penyebabnya. Setelah tujuh bulan, komisi melaporkan 164 penghilangan selama masa pemerintahan militer, dan memberikan bukti keterlibatan pasukan keamanan Uruguay, yang diteruskan ke Kejaksaan Agung Uruguay. Seperti di Bolivia, mandat komisi yang terbatas menghalangi komisi menyelidiki banyak taktik yang represif, terutama penahanan ilegal atau penyiksaan, yang jauh lebih banyak terjadi daripada penghilangan. Sebagaimana ditulis penganjur hak asasi manusia Cili, José Zalaquett, “Sebuah praktik sistematis ‘penghilangan’ seperti di Argentina, atau dalam skala lebih kecil, di Cili, bukanlah metodologi represi militer Uruguay”.ix Ia melanjutkan, “Meskipun merupakan pengetahuan umum di Uruguay dan luar negeri bahwa penyiksaan dipraktikkan secara sistematis selama pemerintahan militer, tidak ada catatan resmi mengenai praktik ini. Militer tidak mengaku secara terang-terangan bahwa mereka melakukan itu. Secara rahasia

mereka berusaha menjustifikasi penyiksaan sebagai cara terakhir dan sebagai pilihan yang paling kecil keburukannya dibandingkan pilihan lainnya”.x

Presiden Uruguay secara umum menentang semua usaha menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia, sebagaimana dicatat Robert Goldman dari American University, yang mengamati proses transisi di negeri tersebut.xi Wilder Tayler, sekretaris eksekutif Institut Studi Hukum dan Sosial Uruguay mengatakan betapa ia kecewa dengan laporan komisi itu. Komisi itu merupakan move politik, menurutnya, “bukan usaha serius demi hak asasi manusia”.xii Dalam laporannya, komisi tersebut memang menyimpulkan bahwa militer Uruguay terlibat dalam penghilangan yang diselidiki, dan menyerahkan temuannya ke pengadilan. Namun, komisi ini maupun komisi lain yang menyelidiki pembunuhan dua anggota parlemen “mampu menemukan bukti kuat mengenai proses pengambilan keputusan institusional yang mengarah pada kejahatan tersebut”, tulis Alexandra Barahona de Brito, yang mempelajari kebijakan kebenaran dan keadilan Uruguay dan Cili.xiii “Meskipun koordinasi tindakan represif antara militer Argentina dan Uruguay dan tanggung jawab institusional militer Uruguay ‘terbukti’ oleh kesaksian beberapa orang”, tulis Barahona de Brito, komisi mengubah laporan akhirnya pada saat-saat terakhir, di bawah tekanan politis, dan mengklaim bahwa ia tidak bisa menyimpulkan bahwa “pelanggaran prosedur” tersebut merupakan kebijakan atau tanggung jawab institusional.xiv

Laporan komisi, meskipun merupakan dokumen publik, tidak didistribusikan secara luas, juga temuannya tidak diumumkan secara resmi. Kedua komisi tersebut “gagal menemukan kebenaran nasional” dan “lingkup bahasannya yang terbatas tidak menuntut penjelasan resmi atau jawaban dari pemerintah sebelumnya dan otoritas militer”, tulis Barahona de Brito.xv Sebagai jawaban atas keterbatasan penyelidikan resmi tersebut, sebuah organisasi non-pemerintah melaksanakan program kebenarannya sendiri, yang berakhir dengan penerbitan laporan pelanggaran pada masa pemerintahan militer yang jauh lebih mendalam.xvi

Zimbabwe

Sebagaimana di Uruguay, kerja Komisi Penyelidikan Zimbabwe juga tidak terkenal, namun untuk alasan yang berbeda: laporannya tidak pernah diumumkan ke publik, dan tidak seorang pun di luar pemerintahan yang sudah melihatnya.

Komisi penyelidikan dibentuk di Zimbabwe pada tahun 1985 untuk menyelidiki represi pemerintah terhadap “pemberontak” di wilayah Matabeleland. Komisi tersebut bekerja di bawah pengawasan presiden, dan diketuai seorang pengacara Zimbabwe; setelah beberapa bulan penyelidikan ia menyampaikan laporannya langsung ke presiden pada tahun 1984 [sic!]. Sementara pada awalnya pemerintah berjanji untuk mengumumkan temuan komisi tersebut, lebih dari setahun setelah selesainya kerja komisi menteri kehakiman mengumumkan tanpa penjelasan bahwa laporan komisi tidak akan diumumkan.xvii Meskipun pada waktu itu komisi tersebut tidak mendapatkan banyak perhatian dari dalam negeri, terdapat tekanan yang meningkat dari LSM nasional dan internasional untuk mengumumkan laporan tersebut pada tahun-tahun setelah selesainya penyelidikan komisi tersebut. Sementara di satu sisi organisasi hak asasi manusia menekankan pentingnya pertanggungjawaban terhadap kejahatan, di sisi lain keluarga

korban menginginkan pengakuan resmi terhadap pembunuhan itu; salah satu alasannya agar mereka bisa mendapatkan kompensasi. Isu ini menjadi semakin kontroversial karena pemerintah menolak mengakui kematian beberapa ribu penduduk sipil dalam konflik itu.xviii

Pemerintah menolak menerbitkan laporan itu. Karena ketegangan antara dua kelompok etnik terbesar di Zimbabwe, pemerintah mengklaim bahwa penerbitan laporan itu bisa menimbulkan kekerasan sebagai pembalasan, dan berusaha keras untuk meredam tuntutan untuk penerbitan kebenaran tersebut. Dua belas tahun setelah berakhirnya kekerasan di Matabeleland, seorang juru bicara senior pemerintahan berkata bahwa “jika kita tidak membicarakannya, ia akan mati sendiri, sehingga kita bisa membangun masyarakat sebagaimana kita inginkan”. xix Sementara itu, tidak ada tanda-tanda pertanggungjawaban untuk pelanggaran berat itu. Pada tahun 1992, komandan brigade yang bertanggung-jawab untuk sebagian besar dari kekejaman itu dipromosikan menjadi komandan angkatan udara, yang menimbulkan kritikan keras dari organisasi hak asasi manusia; banyak perwira yang terlibat dalam represi tetap menjabat posisi tinggi dalam pemerintahan.

Untuk melawan diamnya pemerintah mengenai masalah ini, dua organisasi hak asasi manusia Zimbabwe menyusun laporan pada tahun 1997 yang secara teliti mendokumentasikan penindasan pada dekade 1980-an berdasarkan wawancara mendalam dengan para korban.xx Sebelum menerbitkan laporannya, mereka menyampaikannya ke pemerintah untuk minta pendapat, namun tidak pernah ada jawaban.

Uganda 1986

Ketika pasukan pemberontak pimpinan Yoweri Museveni menjatuhkan pemerintahan Milton Obote pada bulan Januari 1986, Uganda telah mengalami lebih dari dua puluh tahun teror dan kekejaman oleh pemerintah. Isu hak asasi manusia dinyatakan sebagai pusat perhatian pemerintahan yang baru, dan dalam beberapa bulan kemudian pemerintahan Museveni menunjuk Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia untuk menyelidiki pelanggaran yang terjadi. Dengan dibentuk melalui keputusan menteri kehakiman dan jaksa agung, serta diketuai oleh seorang hakim agung, komisi ini diberi tanggung jawab untuk menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia oleh kekuatan negara yang terjadi sejak kemerdekaan Uganda pada tahun 1962 hingga bulan Januari 1986, ketika Museveni mulai berkuasa (namun mengabaikan pelanggaran yang mungkin dilakukan pasukan pemberontak Museveni).

Yang menjadi bahasan komisi ini luas, mencakupi penangkapan dan penahanan secara semena-mena, penyiksaan dan pembunuhan oleh pasukan keamanan . Dan komisi ditugaskan untuk “menyelidiki … cara-cara yang mungkin untuk mencegah terulangnya” pelanggaran demikian.xxi Komisi melakukan dengar-kesaksian publik di seluruh negara, beberapa di antaranya disiarkan secara langsung oleh radio dan televisi pemerintah. Pada tahun-tahun awalnya, komisi menjadi pusat perhatian publik, mendapatkan dukungan dan reaksi emosional dari masyarakat. Namun komisi ini tidak diberi tenggat waktu untuk menyelesaikan tugasnya, dan lama-kelamaan, komisi kehabisan dana dan mengalami kebuntuan. Karena terjadi pelanggaran hak asasi dalam pemerintahan baru yang tidak dapat dipermasalahkan oleh komisi ini, masyarakat kehilangan ketertarikannya.

Pada tahun kedua operasinya saja, komisi tersebut berhenti bekerja sama sekali selama empat bulan karena tidak ada dana; ia meminta dana dari Ford Foundation untuk melanjutkan kerjanya.xxii Pada awal tahun 1991 komisi sekali lagi menyatakan kesulitan dana, dan mendapatkan sumbangan dari pemerintah Denmark untuk menyelesaikan penyelidikannya dan memberikan laporan.xxiii Pada tahun 1995, setelah sembilan tahun penyelidikan, komisi menyerahkan laporannya kepada pemerintah. Seribu kopi laporan tersebut dicetak (demikian juga 20 ribu kopi rangkuman setebal 90 halaman), namun hingga akhir tahun 1996, ketika saya mengunjungi negara tersebut, sangat sedikit orang di dalam maupun di luar Uganda telah melihat laporan tersebut atau mengetahui keberadaannya. Laporan yang sudah dicetak disimpan dalam kantor pusat komisi tersebut. Alasan yang diberikan untuk tidak mengedarkan laporan tersebut adalah bahwa komisi hak asasi manusia yang baru, yang akan menyelidiki isu-isu dan keluhan tentang hak asasi manusia yang baru, masih harus ditunjuk terlebih dahulu untuk mengawasi distribusinya.xxiv Namun hingga tiga tahun sesudahnya, setelah komisi yang baru sudah ditunjuk dan bekerja, laporan dan rangkuman tersebut masih saja belum didistribusikan.

Nepal

Pemerintah sementara Perdana Menteri Krishna Prasad Bhattarai membentuk dua komisi penyelidikan pada tahun 1990 untuk menyelidiki penyiksaan, penghilangan dan eksekusi di luar hukum yang terjadi pada masa Sistem Panchayat antara tahun 1961 hingga 1990. Komisi pertama segera dihapuskan setelah ia ditunjuk; ketua komisi itu dianggap sebagai kolaborator dengan rezim lama dan dianggap tidak dapat diandalkan, sehingga dua anggota lain yang mewakili dua kelompok hak asasi manusia mengundurkan diri sebagai protes. Komisi kedua ditunjuk, Komisi Penyelidikan untuk Menemukan Orang Hilang selama Periode Panchayat, yang salah satu anggotanya adalah pendiri kelompok hak asasi manusia penting di Nepal, Pusat Jasa Sektor Informal.

Komisi tersebut diberi mandat untuk menyelidiki dan mengidentifikasi tempat-tempat penahanan terakhir mereka yang hilang, dan mengidentifikasikan para korban. Ia berhasil menyelidiki sekitar 100 kasus, namun tidak dapat menunjuk pelaku atau memanggil para pejabat untuk memberikan pengakuan, dan polisi pada umumnya mengabaikan permintaan komisi tersebut untuk mendapatkan informasi.xxv

Komisi tersebut menyelesaikan laporan dua jilidnya pada tahun 1991. Selama beberapa tahun berikutnya, Amnesti Internasional dan kelompok hak asasi manusia setempat berulang-ulang mendesak pemerintah agar menerbitkan laporan komisi tersebut dan menuntut jaminan bahwa orang-orang yang terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia diseret ke pengadilan.xxvi Laporan tersebut akhirnya diumumkan pada tahun 1994, meskipun baru sedikit dari sarannya yang sudah diterapkan.

Chad

Pada tanggal 29 Desember 1990, satu bulan setelah berkuasa, presiden baru Chad, Idriss Déby, membentuk Komisi Penyelidikan Kejahatan dan Penyitaan Paksa melalui Keputusan Presiden yang Dilakukan oleh Mantan Presiden Habré dan atau Kroninya.

Komisi tersebut diserahi tugas untuk “menyelidiki pemenjaraan, penahanan secara ilegal, pembunuhan, penghilangan, penyiksaan dan tindakan kekejaman, pelanggaran lain terhadap fisik atau mental, dan semua pelanggaran hak asasi manusia dan perdagangan narkotik” dan “untuk mempertahankan pada kondisi seperti saat ini semua tempat dan alat penyiksaan”.xxvii

Komisi tersebut diberi tangggung jawab untuk mengumpulkan dokumentasi, mencatat kesaksian dan menyita benda-benda seperlunya untuk “menjelaskan kebenaran”. Dua belas orang ditunjuk sebagai anggota komisi, termasuk dua pejabat hukum, empat pejabat polisi kehakiman, dua pejabat administrasi sipil, dengan wakil jaksa agung sebagai presiden komisi. Selain menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia, komisi juga ditugaskan untuk menyelidiki korupsi terhadap dana milik negara yang dilakukan mantan presiden Hissein Habré dan kroni-kroninya.

Karena kurangnya tempat untuk kantor, komisi itu terpaksa berkantor di tempat bekas penahanan rahasia, tempat terjadinya penyiksaan dan pembunuhan yang paling kejam, sehingga banyak korban enggan datang untuk memberikan kesaksian.

Seperti komisi di Uganda, komisi Chad juga mengalami hambatan serius karena kurangnya sumber daya. Laporan komisi itu menjelaskan beberapa tantangannya:

[K]urangnya sarana transportasi … melumpuhkan komisi untuk waktu yang lama. Pada awalnya, komisi memiliki dua mobil kecil, sebuah kendaraan 504 dan Suzuki kecil, sementara kendaraan all-terrain diperlukan untuk bepergian ke daerah di luar N’Djaména.

Pada tanggal 25 Agustus 1991 sebuah kendaraan all-terrain Toyota diberikan kepada komisi, namun pada tanggal 13 Oktober 1991, Toyota dan Suzuki itu dirampas oleh pihak-pihak yang bertempur. Sebulan kemudian Toyota itu ditemukan kembali, namun Suzuki itu baru ditemukan pada tanggal 3 Januari 1992 … Ini menyebabkan komisi tidak dapat mengirimkan penyidik ke daerah pedalaman selama waktu itu.xxviii

Penerbitan laporan pada bulan Mei 1992 mengejutkan banyak orang karena detailnya, dan bukti keterlibatan pemerintah asing dalam mendanai dan melatih para pelanggar. Jamal Benomar, direktur Program Hak Asasi Manusia di Carter Center pada waktu itu, hadir pada upacara pengumuman laporan tersebut, dan menggambarkan responnya:

Temuan itu mengejutkan: paling tidak 40 ribu orang dibunuh oleh pasukan keamanan pada masa rezim Habré. Bukti mendetail diberikan mengenai keterlibatan personal Habré dalam penyiksaan dan pembunuhan pada tahanan. Korps diplomatik yang hadir dalam acara tersebut amat terkejut untuk mendengar bahwa penyelidikan tersebut menemukan fakta bahwa anggota dinas keamanan, DDS (Direktorat Dokumentasi dan Keamanan), yang melakukan semua pembunuhan dan pelanggaran lain, dilatih hingga jatuhnya rezim Habré pada bulan Desember 1990 oleh personel Amerika Serikat baik di Amerika Serikat maupun di N’Djamena. DDS mendapatkan dana bulanan sebesar 5 juta FCFA dari pemerintah Amerika Serikat. Jumlah ini digandakan sejak tahun 1989. Irak juga merupakan kontributor terhadap DDS, demikian pula Prancis, Zaire dan Mesir. Bahkan, seorang penasihat Amerika Serikat bekerja untuk direktur DDS di kantor pusat, tempat terjadi penyiksaan dan pembunuhan tiap hari.xxix

Keterlibatan Amerika Serikat di Chad telah ditemukan oleh Amnesti Internasional sejak beberapa tahun sebelumnya, demikian menurut Benomar, namun “skala besar genosida” yang terjadi menimbulkan keterlibatan Amerika Serikat “sukar dipercaya pada waktu itu, bahkan bagi beberapa orang dalam masyarakat hak asasi manusia internasional”.xxx

Komisi Chad juga merupakan komisi kebenaran pertama yang menunjuk nama orang yang bertanggung-jawab terhadap pelanggaran hak asasi manusia dan satu-satunya komisi hingga kini yang melampirkan foto mereka. Beberapa pejabat tinggi dalam pemerintah baru termasuk dalam daftar pelanggar.

Pemerintah Chad yang membentuk komisi ini kemudian dituduh telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia secara serius, sehingga motivasi pembentukan komisi itu menjadi dipertanyakan. Beberapa pengamat hak asasi manusia memiliki kesan bahwa pembentukan komisi ini hanyalah untuk memperbaiki citra presiden baru. Meskipun Amerika Serikat bertahun-tahun mendukung rezim Habré, seorang pejabat departemen luar negeri Amerika Serikat, ketika ditanya pendapatnya mengenai komisi, hanya