• Tidak ada hasil yang ditemukan

“Orang selalu bertanya, ‘Mengapa membuka luka lama yang sudah sembuh?’” demikian kata Horacio Verbitsky, seorang jurnalis Argentina yang terkenal, kepada saya. “Karena, luka itu ditutup secara buruk. Pertama, infeksinya harus disembuhkan, bila tidak, luka lama itu akan terbuka dengan sendirinya.”i

Dengan kata-kata ini, Verbitsky menyimpulkan satu dari pandangan mendasar mereka yang meyakini pentingnya menemukan kebenaran. Verbitsky kehilangan banyak temannya dalam “perang kotor” di Argentina. Pada tahun 1996, ia membantu membuka kembali masalah ini di Argentina dengan melaporkan pengakuan Francisco Scilingo, seorang purnawirawan perwira angkatan laut yang mengaku melemparkan tahanan politik hidup-hidup dari pesawat ke laut.ii Ketika kisah Scilingo itu tersebar ke publik, Argentina menemukan betapa banyak dari masa lalunya yang sulit itu masih belum selesai, baik secara emosional maupun faktual. Meskipun ada kerja Komisi Nasional Orang Hilang tiga belas tahun sebelumnya, isu ini sekali lagi menjadi pusat perhatian, dengan artikel di surat kabar hampir setiap hari selama berbulan-bulan. Dan, ribuan orang berdemonstrasi di jalan-jalan untuk mendapatkan kebenaran dari pemerintah dan angkatan bersenjata mengenai apa yang terjadi pada mereka yang hilang.

Luka-luka masyarakat dan korban individual yang tidak sembuh bisa terus membusuk lama setelah perang berakhir atau akhir rezim yang represif.iii Sebuah negara perlu memperbaiki hubungan-hubungan yang rusak antara kelompok-kelompok etnik, agama, regional atau politik, antara tetangga, dan antara partai politik. Singkatnya, penyembuhan masyarakat bisa pula disebut rekonsiliasi – sebuah masyarakat yang berdamai dengan masa lalunya dan kelompok-kelompok saling berdamai, yang menjadi topik bab ini. Individulah yang mengalami penderitaan paling besar dari trauma psikologis mendalam yang timbul dari peristiwa yang luar biasa. Banyak korban yang selamat dari represi politik berat mengalami kesulitan psikologis dan emosional yang menyakitkan selama bertahun-tahun. Benar bahwa beberapa yang selamat dari trauma cukup kuat, atau terpaksa, untuk meredam ingatan traumatisnya dan terus melanjutkan kehidupan sehari-hari, bahkan tampak sembuh dari peristiwa itu dan memiliki jiwa yang sehat. Namun banyak pula yang tidak seberuntung itu, dan menderita karena ingatan penyiksaan atau menjadi saksi pembunuhan orang yang dicintainya.

Banyak yang menganggap bahwa peran penting komisi kebenaran adalah untuk membantu para korban menyembuhkan luka batin dengan memberikan mereka forum untuk menceritakan kisah mereka. Ketika saya bertanya kepada spesialis kesehatan jiwa di komisi kebenaran Afrika Selatan mengenai apakah bercerita akan mendorong kesembuhan, ia mengutip pernyataan neneknya, “Lebih baik keluar daripada dipendam,” menurutnya.iv Terdapat sejumlah besar studi yang menyatakan bahwa memendam penderitaan emosional mendorong timbulnya masalah psikologis. Bahkan, salah satu dasar dalam psikologi modern adalah kepercayaan bahwa menyatakan perasaan seseorang, terutama membicarakan pengalaman yang traumatik, diperlukan untuk penyembuhan dan

kesehatan mental. Sering dikatakan bahwa setelah suatu masa kekerasan politik yang besar-besaran dan pemaksaan untuk diam, memberikan kesempatan bagi para korban dan saksi untuk menceritakan kisah mereka kepada sebuah komisi resmi – terutama yang hormat, mendengarkan dengan penuh perhatian dan empati, dan tertarik pada kisah mereka – dapat membantu mereka mendapatkan kembali kehormatan mereka dan membantu penyembuhan.

Para psikolog secara mutlak mengkonfirmasi logika sederhana ini. “Trauma masa lalu tidak akan menghilang dengan sendirinya. … Trauma masa lalu selalu bisa memiliki dampak emosional bagi seseorang. Rasa sakit dan trauma yang dipendam bisa mengganggu kehidupan emosional, memiliki dampak psikologis yang buruk dan bahkan bisa menimbulkan penyakit fisik,” tulis psikolog Afrika Selatan, Brandon Hamber, dalam makalah awal mengenai harapan hasil kerja komisi kebenaran di sana. Dengan menyimpulkan pelbagai literatur psikologi dan pendapat para pakar, Hamber melanjutkan, “Restorasi psikologis dan penyembuhan hanya akan terjadi dengan menyediakan tempat untuk para korban yang selamat untuk merasa didengarkan dan semua detail peristiwa traumatik untuk dialami kembali dalam lingkungan yang aman.”v Mereka yang selamat dari trauma berat yang berusaha memendam pengalamannya bisa melihat dampaknya muncul dalam penyakit baik fisik maupun psikologis, atau kerusakan dalam hubungan keluarga atau sosialnya.

Judith Herman, seorang profesor psikiatri di Harvard, menunjuk ketegangan antara keinginan seorang korban untuk berbicara dan insting mereka untuk mengubur ingatan mereka. “Respon yang lazim terhadap kekejaman itu adalah untuk mengabaikan semua kisah perih itu dari kesadaran. Sejumlah pelanggaran norma sosial sedemikian parahnya untuk bisa dibicarakan secara terbuka: inilah arti kata unspeakable (tak terbicarakan, tak terungkapkan, tak terbahasakan). Namun, kekejaman demikian tidak dapat dikuburkan begitu saja. Sama kuatnya dengan keinginan untuk membantah adanya kekejaman itu adalah keyakinan bahwa bantahan itu tidak berguna … Mengingat dan menceritakan kebenaran mengenai peristiwa mengerikan adalah prasyarat baik untuk pengembalian tatanan sosial maupun untuk penyembuhan korban individual.”vi

Komisi kebenaran atau cara lain untuk menyikapi masa lalu bisa membantu melawan apa yang disebut psikolog Yael Danieli sebagai “konspirasi diam” yang sering berkembang di sekitar kekerasan politik dan cenderung mengintensifkan perasaan “isolasi, kesepian dan ketidakpercayaan terhadap masyarakat yang sudah ada” pada para korban.vii Pengakuan resmi terhadap peristiwa yang semula dibantah, terutama oleh sebuah badan yang disponsori pemerintah, seperti sebuah komisi kebenaran, bisa memiliki dampak yang amat kuat.

Namun mereka yang menyarankan bahwa “berbicara mendorong penyembuhan” biasanya memakai asumsi yang tidak selalu tepat untuk diterapkan pada komisi kebenaran. Hampir semua studi mengenai penyembuhan dari kekerasan politik mengukur dampak positif dari dukungan psikologis selama jangka waktu tertentu; studi demikian menunjukkan bahwa bila para korban mendapatkan lingkungan yang aman dan mendukung untuk membicarakan penderitaan mereka, hampir semua mendapatkan dampak positif. Gejala trauma yang terpendam, seperti mimpi buruk, masalah emosional dan kesulitan tidur, biasanya berkurang.viii Namun, komisi kebenaran tidak menawarkan terapi jangka panjang; mereka memberikan kesempatan satu kali untuk menceritakan pengalaman mereka, biasanya kepada seorang asing yang belum tentu akan mereka temui

lagi. Beberapa pengalaman mengenai akibat terhadap korban yang menceritakan pengalaman mereka kepada komisi kebenaran sangatlah positif; yang lain amatlah mencemaskan. Hingga kini belum ada studi mengenai dampak psikologis komisi kebenaran terhadap mereka yang selamat, namun dari bukti yang ada, beberapa pertanyaan serius muncul.

Kebutuhan untuk Bercerita

Komisi kebenaran tampaknya mencukupi – paling tidak mulai mencukupi – kebutuhan beberapa korban untuk menceritakan kisah mereka dan didengarkan. Mungkin diperlukan beberapa bulan oleh komunitas korban untuk mempercayai komisi kebenaran, namun ketika kepercayaan ini tumbuh, sering kali tampak antrian panjang di luar kantor-kantor komisi kebenaran – antrian para korban yang ingin melaporkan kisah mereka. Di beberapa kota di Haiti, misalnya, ratusan orang berbaris ketika staf komisi kebenaran datang untuk mencatat kesaksian mereka, meskipun para pelaku kejahatan itu sering kali bisa melihat mereka datang untuk memberikan kesaksian mengenai kejahatan mereka. Banyak orang mendapatkan risiko tinggi untuk bercerita, di Haiti maupun di manapun. Mereka sering kali menunggu berjam-jam, kembali esok harinya bila perlu. Di beberapa negara, para korban yang selamat harus berjalan jauh, kadang berjalan kaki, untuk mencapai kantor komisi. Tidaklah selalu jelas apa yang memotivasi para korban maupun saksi untuk datang. Meskipun ada usaha oleh staf komisi untuk menjelaskan tujuan dan kewenangan mereka, misalnya, beberapa korban tetap saja mengharapkan bahwa komisi akan mengadakan proses hukum terhadap para pelaku pelanggaran. Sedangkan yang lain mengharapkan bahwa komisi akan memberikan kompensasi untuk penderitaan mereka.

Banyak pekerja hak asasi manusia dan jurnalis melaporkan suatu kebutuhan dasar para korban untuk mengenang kisah pengalaman kekerasan yang mereka alami, tanpa hubungan dengan proses resmi atau komisi kebenaran apa pun. Banyak cerita mengenai hal ini: beberapa tahun sebelum komisi kebenaran mulai bertugas di Guatemala, sebuah tim antropologi forensik Guatemala, yang menggali tulang-tulang dari tempat-tempat penguburan massal, mengadakan pertemuan terbuka di suatu wilayah yang mengalami kekerasan politik, untuk menerbitkan laporannya. Mereka mengira bahwa kurang dari 100 orang yang akan datang, namun 500 orang datang. Tim forensik tersebut heran karena pertemuan tersebut menjadi suatu sesi kesaksian. Dua anggota tim tersebut menjelaskan, “Kami membuka sesi tanya jawab setelah presentasi, dan mereka langsung berbaris – untuk memberikan kesaksian mengenai pengalaman mereka. Mereka hanya ingin menceritakan kisah mereka – di depan 500 orang, yang tidak semua mereka kenal – siapa tahu ada yang melaporkan ke militer siapa yang mengatakan apa.”ix

Seorang warga Amerika Serikat yang tinggal di Guatemala bercerita bahwa kekerasan di masa lalu selalu saja muncul dalam pembicaraan bila ia pergi ke pegunungan. “Kamu bisa saja membicarakan hal apa pun – harga jagung, cuaca – lalu orang-orang tiba-tiba bercerita mengenai kekejaman yang mereka alami.”x

Dari Afrika Selatan, ada cerita yang sama: ketika undang-undang untuk komisi kebenaran sedang didiskusikan dan diperdebatkan pada tahun 1994-1995, sekelompok kecil korban berusaha melobi untuk undang-undang yang lebih keras. Kelompok ini segera menjadi kelompok yang mendapat dukungan korban, dan tiba-tiba puluhan orang hadir

dalam pertemuan mereka. “Semua orang bangkit dan bercerita – kira-kira 40 orang pada pertemuan pertama,” kata psikolog Brandon Hamber dari Pusat Studi Kekerasan dan Rekonsiliasi, yang mendorong terbentuknya kelompok tersebut. “Sebuah bagian penting dari kelompok itu adalah memberikan kesempatan untuk bercerita.”xi

Komisi kebenaran bisa memberikan lingkungan yang aman bagi korban untuk menceritakan pengalaman mereka. Setelah komisi kebenaran Afrika Selatan bekerja selama setahun, Hamber memiliki kritik terhadap beberapa aspek komisi itu, namun menulis, “Memberikan kesempatan bagi para korban untuk bercerita, terutama dalam forum publik, sangat berguna bagi banyak orang. Tidak dapat dibantah bahwa banyak dari korban dan keluarganya memandang proses ini berguna secara psikologis.”xii

Ini terjadi pula di Cili, paling tidak bagi beberapa korban. Elizabeth Lira, seorang psikolog Cili yang bekerja bersama korban kekerasan politik, berkata bahwa tindakan sederhana seperti mengakui terjadinya pengalaman traumatik seseorang bisa menjadi amat penting untuk kesembuhan psikologis mereka. “Di Cili, mendatangi komisi kebenaran seperti datang ke sebuah keluarga: ada perasaan aman, bendera di meja, mandat dari presiden dan komisi yang mengatakan, ‘Kami ingin mendengar apa yang ingin Anda katakan.’” Selama lebih dari lima belas tahun, negara mengabaikan mereka, menyatakan bahwa semua penderitaan mereka bohong. Tiba-tiba, sebuah komisi resmi bersedia mendengarkan cerita mereka dan mengakui secara publik bahwa penghilangan itu memang benar terjadi. Karena kelompok-kelompok hak asasi manusia memberikan komisi Cili detail-detail hampir semua kasus penghilangan, kesaksian dari keluarga korban tidak memberikan banyak informasi yang baru. Namun menurut Lira, “Aspek simbolis mendengarkan kesaksian dari keluarga korban jauh lebih penting.”xiii

Perasaan Lega

Seorang menteri Afrika Selatan, S.K. Mbande, mengkoordinasikan usaha untuk mengumpulkan pernyataan untuk komisi kebenaran di kota Daveyton, tidak jauh dari Johannesburg. Saya mengunjunginya di rumahnya untuk menanyakan pengalamannya mengumpulkan pernyataan dari sedemikian banyak korban.

Ketika beberapa orang bercerita, menurutnya, mereka “bercerita setengah bohong dan setengah benar, karena menceritakan seluruh kebenaran masih tidak aman. Beberapa memberikan kesaksian karena mereka disuruh oleh pemerintah atau gereja. Namun beberapa orang mengalami trauma dan takut, dan merasa tidak aman untuk membicarakannya. Jika seseorang diperkosa oleh anggota militer atau polisi, tidak mudah baginya untuk menceritakan hal itu, apalagi di depan suami atau anak-anaknya. Maka kamu harus mencari tahu apa yang sebenarnya dimaksudkan mereka. Beberapa orang lupa apa yang terjadi, atau karena trauma, menceritakan hal yang berbeda, atau berubah-ubah, karena mereka tidak dapat mengingat jelas. Menurut pandangan saya, bercerita membantu dalam proses penyembuhan, namun tidak selalu demikian. Bagi sebagian, hal itu menyebabkan mereka merasa lebih buruk.”

“Bagaimana terjadinya penyembuhan?” tanya saya.

“Setelah bercerita, mereka lebih santai. Mereka menceritakan apa yang ada di dalam hati mereka, yang selama ini mereka tutupi. Setelah bercerita, mereka menanyakan di mana orang tersebut dikubur, siapa yang membunuh mereka – pertanyaan mengapa, di

mana dan bagaimana. Namun mereka menjadi terbuka kepada si pencatat kesaksian itu dan sering kali mengatakan bahwa mereka merasa jauh lebih baik.” Seorang pencatat kesaksian setempat, Boniwe Mafu, menyetujui pandangan ini.

“Beberapa orang tidak ingin datang, apalagi bercerita. Bercerita akan mengingatkan mereka, dan membuat mereka merasa sakit,” kata Pendeta Mbande. “Beberapa orang datang, namun tidak berbicara, hanya menangis – kadang-kadang selama 30 menit. Atau mereka berbicara, namun di tengah-tengah mereka menangis.”

Ia berhenti sebentar untuk berpikir. “Di masa lalu, Anda tahu, tidak banyak orang tahu bahwa ada orang-orang yang sakit di masyarakat ini, karena trauma. Hanya sekarang saja orang-orang tahu bahwa ada trauma itu, dan jelas bahwa beberapa orang perlu bantuan. Benar bahwa komisi kebenaran ini merupakan proses penyembuhan – kalaupun bukan 100 %, ya 60 %.”

“Sebanyak enam puluh % orang sembuh, atau kepulihan seseorang sebesar 60 %?” tanya saya.

“Bisa keduanya. Mungkin sebanyak 60 % orang merasa lebih baik, namun mereka juga hanya pulih 60 %.”xiv

Putra Nyonya Sylvia Dlomo-Jele yang berusia belasan tahun dibunuh pada tahun 1988, dan ibunya ini mendatangi komisi kebenaran untuk menceritakan kisahnya. Saya mengunjunginya di Soweto, di luar Johannesburg, untuk bertanya bagaimana pengalamannya dengan komisi itu. “Memberikan kesaksian berbeda bagi tiap orang,” menurutnya, “namun ketika saya berkesaksian di acara dengar-kesaksian publik, sangatlah baik. Itu merupakan kesempatan pertama saya bercerita mengenai apa yang terjadi pada saya. Setelah kematian anak saya, saya selama bertahun-tahun tidak membicarakan hal itu. Ini membunuh saya. Saya berpikir, ‘Mengapa saya, Tuhan?’ Ini memberikan masalah besar bagi saya. Kami bergantung pada anak kami, meskipun ia masih muda. Memberikan kesaksian, bercerita kepada semua orang mengenai apa yang terjadi pada saya – menyakitkan, namun juga melegakan. Cara mereka mendengarkan saya, ketertarikan mereka pada cerita saya, itu baik bagi saya. Namun benar, bahwa banyak orang merasa lebih buruk. Satu ibu yang saya kenal mengatakan, ‘Saya tidak mau membicarakan hal itu, anak saya tidak akan kembali.’”xv

Sayangnya, Sylvia meninggal hanya setahun setelah pembicaraan kami, segera setelah proses amnesti bagi para pembunuh putranya, Sicelo Dlomo. Secara tak terduga, dalam proses amnesti tersebut ditemukan bahwa pembunuh anaknya adalah rekan-rekannya di ANC, untuk alasan dan kondisi yang tidak jelas, suatu hal yang terlalu berat untuk diterimanya. Meskipun ia sangat mendukung hak untuk mengetahui kebenaran, satu pernyataan pada upacara penguburannya demikian: “Ironisnya, pada akhirnya, yang membunuhnya adalah stress karena kematian [putranya] dan fakta mengenai pembunuhannya oleh rekan-rekannya”.xvi Para pembunuh itu diberi amnesti pada bulan Februari 2000, oleh Komisi Amnesti, yang dikritik keras oleh beberapa pengamat.xvii

Saya bertemu dengan seorang korban lain dari Afrika Selatan, Simpson Xakeka, di kantor komisi kebenaran di Johannesburg. Ia ditembak pada satu parade di Daveyton, tahun 1991. Saya bertanya bagaimana perasaannya saat memberikan kesaksian, yang ia lakukan beberapa waktu sebelumnya. Dalam bahasa Zulu, ia mengatakan, “Ketika saya berbicara, rasa sakit itu datang lagi. Saya dibuat untuk mengalami lagi peristiwa itu. Namun ketika wawancara dimulai, rasa sakit itu berkurang. Sukar membicarakan hal itu.

Namun lebih mudah bagi saya untuk berbicara karena si pencatat kesaksian bisa berempati; ia mengikuti semua yang saya katakan.”

“Secara emosional hal itu membantu banyak. Ini membantu saya menerima hal itu. Namun secara fisik hal itu tidak membantu. Saya masih memiliki peluru di dada saya, saya masih merasa sakit. Namun secara emosional saya terbantu banyak.”

Saya bertanya bagaimana hal itu bisa membantu. “Ada pandangan dalam budaya kami,” menurutnya, “bahwa ‘menceritakan semua melegakan’. Saya tidak akan lupa apa yang terjadi, namun membicarakan itu memberikan kelegaan emosional. Ketika saya bertemu dengan yang lain dan bercerita, itu membantu. Namun saya menekankan bahwa saya tidak akan lupa pada apa yang telah terjadi.”xviii

Staf komisi di banyak negara menyatakan bahwa proses pemberian kesaksian amatlah kuat dan bersifat katarsis. Menceritakan pengalaman bisa sangat emosional, terutama bagi mereka yang sebelumnya tidak pernah bercerita. Namun para psikolog mempertanyakan pandangan bahwa satu kali katarsis dapat memberikan penyembuhan psikologis yang mendalam. Dalam kondisi klinis, hampir semua terapis tidak akan mendorong seseorang untuk mempermasalahkan penderitaannya yang paling dalam terlalu segera, terutama bila berakar pada trauma yang dalam.

Tujuan utama komisi kebenaran bukan terapi. Alih-alih, tujuannya adalah mendapatkan sebanyak mungkin informasi mendetail dari jumlah korban terbesar untuk membuat analisis akurat mengenai pelanggaran selama jangka waktu tertentu. Dipandu oleh kebutuhan demikian, korban dan saksi yang datang ke komisi kebenaran diminta untuk menceritakan pengalaman mereka yang mengerikan secara keseluruhan dalam satu pertemuan singkat, biasanya sekitar satu jam. Wawancara ini difokuskan pada mencatat detail spesifik mengenai peristiwa yang disaksikan atau dialami, tepat ke pusat ingatan yang paling menyakitkan. Para saksi bisa menunjukkan tanda-tanda gangguan emosional dengan menangis, sesenggukan, atau meratap, namun hampir semua pewawancara – mungkin ahli hukum, relawan hak asasi manusia, atau orang awam lain yang digaji untuk mencatat kesaksian – kurang atau tidak memiliki kemampuan untuk merespon trauma pada tingkat ini. Sebaliknya, saksi lain bisa datang tanpa emosi, sehingga mungkin menimbulkan misinterpretasi atau kesalahpahaman si pencatat kesaksian. Seorang anggota staf di El Salvador, yang mengatakan bahwa ia tidak mendapatkan pelatihan mengenai cara menangani korban trauma, mengatakan, “Seingat saya, hampir semua orang menyikapi kehilangan mereka dengan menjadi nyaris tanpa emosi mengenai apa yang sudah terjadi, bagaimanapun menyedihkannya. Saya hanya ingat seorang ibu kelas menengah yang anaknya dihilangkan pada awal dekade 1980-an, dan datang dengan suaminya, dan masih histeris, seperti peristiwa itu baru terjadi kemarin. Ia tampaknya masih merasa kehilangan karena itu. Saya ingat seseorang berkomentar bahwa ibu itu tidak dapat menghadapi kejadian tersebut. Saya kira saya mungkin akan merangkul ibu tersebut, namun itu adalah insting saya.”xix

Karena banyaknya jumlah korban yang datang dan singkatnya waktu yang tersedia bagi komisi untuk menyelesaikan kerjanya, hingga kini, komisi kebenaran tidak bisa menawarkan dukungan psikologis serius. Komisi juga tidak bisa merespon keluhan psikologis melalui telepon atau permintaan informasi mengenai kelanjutan penyelidikan pada kasus tertentu. Di Afrika Selatan, komisi kebenaran berusaha untuk membuat sistem rujukan bagi korban yang mengalami trauma ke badan independen untuk dukungan psikologis lebih jauh, namun sistem rujukan ini tidak berjalan baik dan tidak dipakai luas.

Selain itu, banyak korban tinggal jauh dari kota-kota, sehingga tidak mendapatkan layanan tersebut.

Komisi biasanya menyelidiki sedikit kasus secara mendalam, menggunakan mayoritas kesaksian hanya untuk analisis pola-pola statistik. Dalam kasus-kasus yang mungkin diselidiki secara mendalam dan ditemukan faktanya mengenai apa yang terjadi dan bahkan lokasi jenazah mereka yang dibunuh, mereka yang ditinggalkan bisa mendapatkan penyelesaian bagi masalah mereka. Sidang amnesti di Afrika Selatan, misalnya, ketika para pelaku menjelaskan detail brutal penyiksaan dan pembunuhan yang mereka lakukan, tampaknya memuaskan mereka yang selamat atau ditinggalkan. Dalam beberapa kasus, komisi Afrika Selatan berhasil menggali kembali kuburan rahasia dan mengembalikan jenazah ke anggota keluarga, bahkan mengadakan upacara kematian yang layak, yang jelas berdampak amat kuat dan positif bagi keluarga korban.

Bahaya Trauma Ulangan

“Selama masih ada tangisan, ada anggapan bahwa penyembuhan masih berjalan,” kata Brandon Hamber dari Pusat Studi Kekerasan dan Rekonsiliasi. “Bagi beberapa orang, itu adalah langkah pertama; bagi yang lainnya, itu merupakan langkah akhir, atau penyelesaian. Namun banyak orang yang merasa remuk sesudahnya.”xx Demikian pula, psikiater Harvard, Judith Herman, memberi tahu saya bahwa “semua orang yang menunjukkan ketertarikan dan memberikan kesempatan bagi seseorang untuk menceritakan kisah mereka bisa memberikan efek terapi. Beberapa korban bisa menggunakan kesempatan ini secara positif. Bagi yang lainnya, ini mengekspos mereka dan tidak memberikan kesempatan bagi mereka untuk ke mana-mana.”xxi

Sebagaimana diakui psikolog, dan jelas terlihat dengan berbicara dengan mereka yang telah memberikan kesaksian ke komisi kebenaran, korban dan saksi bisa mengalami trauma ulangan dengan bersaksi ke komisi, yang bisa separah gejala-gejala fisik, seperti kebingungan, mimpi buruk, kelelahan, hilangnya nafsu makan, dan kesulitan tidur.