• Tidak ada hasil yang ditemukan

Memandang ke Masa Depan: Rekonsiliasi dan Reformasi

Mungkin tujuan terpenting dari semua komisi kebenaran adalah untuk mencegah terjadinya kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia lebih lanjut di masa depan. Sebuah komisi bisa mencapai tujuan ini dengan mematahkan siklus pembalasan dendam dan kebencian antara pihak-pihak yang dahulunya bermusuhan, dan berusaha menumbuhkan rekonsiliasi antara pihak-pihak bertentangan yang merasa bahwa mereka masih memiliki kebencian atau kecemasan, atau juga sejarah pembalasan dendam. Secara lebih konkret, hampir semua komisi kebenaran memberikan saran untuk diadakannya reformasi militer, kepolisian, sistem peradilan dan politik untuk mencegah pelanggaran dan memperkuat mekanisme respon terhadap pelanggaran, bila tetap terjadi.

Kedua tujuan tersebut – memajukan rekonsiliasi dan mendorong reformasi institusional – merupakan tantangan yang berat bagi komisi-komisi kebenaran selama ini. Dan, meskipun telah ada beberapa kontribusi penting yang diberikan, banyak komisi masih belum berhasil mencapai tujuan yang semula diharapkan. Ini menjadi sumber kekecewaan bagi banyak orang yang memiliki harapan besar pada kekuatan transformasional yang dimiliki komisi kebenaran, namun bila diteliti lebih dalam, hal ini tidak mengherankan. Kedua tujuan ini tergantung pada sejumlah aktor atau elemen luar – sebagai contoh, kemauan politik, inisiatif kepresidenan atau parlementer, dan kesiapan pada tingkat masyarakat dan perorangan untuk berubah. Sehingga, usaha sekeras apa pun oleh sebuah komisi yang menjelaskan kebenaran, bila tidak didukung pihak-pihak lainnya, tidak akan berhasil mencapai semua perubahan tersebut.

Rekonsiliasi sering kali dicantumkan sebagai sasaran dalam proses perdamaian nasional, namun sering kali tidak jelas apa yang diartikan dengan istilah tersebut. Oxford English Dictionary mendefinisikan “reconcile” sebagai “to bring (a person) again into friendly relations … after an estrangement … To bring back into concord, to reunite (persons or things) in harmony [Berbaik kembali dengan seseorang … setelah masa-masa keterasingan … Mengakurkan kembali, menyatukan kembali (orang atau barang) ke kondisi harmonis].i Dalam konteks konflik atau kekerasan politik, rekonsiliasi dijabarkan sebagai “mengembangkan saling penerimaan yang bersifat damai antara orang-orang atau kelompok yang bermusuhan atau dahulunya bermusuhan”.ii Sering kali terdapat anggapan bahwa mengetahui kebenaran tentang masa lalu merupakan syarat mutlak untuk terjadinya rekonsiliasi. Di tempat-tempat seperti Afrika Selatan, ini merupakan prinsip dasar dalam seruan pembentukan komisi kebenaran, dan perhatian internasional terhadap komisi itu menimbulkan anggapan bahwa semua komisi kebenaran terutama dibentuk untuk mendorong rekonsiliasi. Pada kenyataannya, tingkat pemberian tekanan pada rekonsiliasi sebagai tujuan pencarian kebenaran bervariasi secara besar di antara komisi-komisi kebenaran. Tidak semua komisi kebenaran memiliki tujuan ini, namun komisi-komisi yang juga berusaha untuk mendorong rekonsiliasi – seperti Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Afrika Selatan dan Komisi Nasional Kebenaran dan Rekonsiliasi di Cile – menemukan bahwa tujuan ini sukar dicapai.

Harus ada perbedaan yang jelas antara rekonsiliasi individual dan rekonsiliasi nasional atau politik. Kekuatan proses komisi kebenaran adalah untuk mendorong rekonsiliasi pada tingkat nasional atau politik. Dengan berbicara secara terbuka mengenai peristiwa-peristiwa di masa lalu yang dipertentangkan, dan dengan mengizinkan sebuah komisi independen untuk menyelesaikan kasus-kasus yang menonjol, sebuah komisi bisa meredakan ketegangan yang mungkin tampak dalam parlemen nasional atau badan-badan politik lainnya. Sebuah pertanggungjawaban resmi dan kesimpulan tentang fakta-fakta bisa memungkinkan pihak-pihak yang bertentangan untuk berdebat dan memerintah secara bersama-sama tanpa konflik laten dan kepahitan tentang kebohongan di masa lalu. Ini tidak berarti bahwa ingatan atau pengetahuan tentang masa lalu tidak akan berpengaruh pada politik masa kini, namun jika fakta-fakta mendasar tetap menjadi sumber konflik atau kepahitan, hubungan politik bisa menjadi tegang. Dalam transisi dari perang saudara yang dinegosiasikan, ketegangan yang laten menjadi perhatian tersendiri, karena pihak-pihak yang bermusuhan langsung datang dari medan pertempuran ke meja perundingan.

Pada tingkat individual, rekonsiliasi jauh lebih kompleks, dan jauh lebih sukar untuk dicapai melalui komisi nasional. Memang ada contoh-contoh di mana proses komisi kebenaran menimbulkan penyembuhan dan pemberian maaf bagi beberapa orang, namun mengetahui kebenaran secara global atau bahkan mengetahui kebenaran spesifik tentang kasus seseorang belum tentu menimbulkan rekonsiliasi si korban itu dengan pelaku pelanggarannya. Pemberian maaf, penyembuhan dan rekonsiliasi adalah proses yang amat personal, dan kebutuhan serta reaksi tiap-tiap orang pada pendamaian dan kebenaran bisa berbeda-beda.

Sejak sebelum pembentukannya, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan dipresentasikan sebagai cara untuk melakukan rekonsiliasi bagi sebuah negara yang terpecah-belah dan menyembuhkan luka-luka jiwanya. Pesan dari komisi itu jelas dan kokoh, mendorong masyarakat untuk berharap bahwa rekonsiliasi bisa dan akan tercapai setelah komisi itu bekerja selama dua setengah tahun. Pada sesi-sesi dengar-kesaksian publiknya, sebuah spanduk besar dipasang di belakang para komisioner yang berbunyi, “Kebenaran: Jalan Menuju Rekonsiliasi”. Poster-poster yang mempromosikan komisi itu menyatakan, “Mari saling berbicara. Dengan menceritakan kebenaran. Dengan menceritakan kisah kita, sehingga kita bisa berjalan bersama mencapai rekonsiliasi”. Dalam beberapa sesi kesaksian yang pertama, Uskup Agung Desmond Tutu kadang-kadang menanyakan kepada para korban apakah mereka siap memaafkan dan berdamai setelah menceritakan pengalaman mereka (paling tidak ada satu saksi yang dengan sopan menjawab tidak pada pertanyaan itu – dan menyatakan pula bahwa komisi tidak bisa dan seharusnya tidak memintanya untuk melakukan hal itu, atau juga memberikan maaf atas namanya). Bahkan Komite Amnesti dalam komisi itu, yang bertanggung-jawab pada nasib mereka yang mengaku bersalah, terpengaruh oleh pengutamaan rekonsiliasi ini: seorang anggota Komite Amnesti memberi tahu saya bahwa mereka mendasarkan keputusannya sebagian pada “apa yang bisa mendorong rekonsiliasi”, karena mereka menganggap bahwa tujuan tersebut merupakan sasaran mendasar kerja komisi itu.iii

Dengan demikian, keberhasilan komisi sebagian diperhitungkan dari apakah dan seberapa besar “rekonsiliasi” ditimbulkan oleh hasil kerjanya. Menjelang selesainya laporan pada pertengahan tahun 1998, pers dan publik mulai sadar bahwa tidak ada rekonsiliasi besar-besaran yang terjadi. Banyak orang bahkan menganggap bahwa negara menjadi semakin buruk, hubungan antara kelompok-kelompok yang diharapkan untuk membaik malah menjadi semakin buruk. Market Research Africa melakukan survei nasional yang hasilnya menunjukkan bahwa dua per tiga anggota masyarakat menganggap bahwa keterbukaan fakta-fakta tersebut menjadikan warga Afrika Selatan marah dan merusakkan hubungan antar-ras. “Di antara mereka yang ditanyai, 24 %

menganggap bahwa orang-orang merasa marah dan pahit, 23 % menyatakan bahwa komisi kebenaran akan menyebabkan rasa sakit. Hanya 17 % yang menganggap bahwa masyarakat akan saling memaafkan”, demikian laporan tersebut.iv Hasil survei tersebut dikutip dalam artikel-artikel di seluruh dunia, dengan inferensi bahwa komisi kebenaran Afrika Selatan pada akhirnya tidaklah terlalu berhasil.v

Pada saat itu, komisi sudah lama menyadari bahwa sasaran awalnya untuk mencapai rekonsiliasi sepenuhnya tidak realistis. Uskup Agung Tutu mulai mengajukan sasaran baru yang lebih mungkin dapat dicapai: agar komisi “mendorong” rekonsiliasi, bukan mencapainya, sebagaimana tersurat dalam nama Undnag-Undang tentang Pendorongan Persatuan dan Rekonsiliasi Nasional yang membentuk komisi tersebut. Namun, meskipun secara umum terdapat kekecewaan, tetap tidak terjadi refleksi serius oleh pers atau masyarakat tentang apa yang dimaksudkan dengan rekonsiliasi, atau apa yang diperlukan untuk mencapainya dalam sebuah masyarakat seperti Afrika Selatan, di mana komunitas-komunitas dipisahkan tidak hanya oleh ras dan jarak fisik, namun juga oleh kondisi dan kesempatan ekonomi.

Komisi kebenaran tidak mengabaikan kekecewaan dan rasa frustrasi tersebut dalam laporannya. Sebagai contoh, ia mengutip secara panjang lebar sebuah laporan peneliti luar tentang komunitas Duduza, sebuah kota kaum kulit hitam yang berpenduduk sekitar 100 ribu orang, yang mungkin mewakili perasaan warga kota-kota lainnya:

Publikasi tentang pembentukan dan kinerja komisi, dan juga kerjanya di Duduza, paling tidak memaksa warga untuk memikirkan kembali bagaimana mereka mengartikan rekonsiliasi dan pemberian maaf. Bagi beberapa orang, ini dipandang secara ilmiah – dengan memperhatikan perbedaan-perbedaan yang ada dan menyusun pemikiran tentang apa yang harus diubah, yaitu bagaimana rupa komunitas yang sudah mengalami rekonsiliasi. Bagi yang lainnya, ini menjadi refleksi personal, yang melibatkan rasa kebencian, kesalahan dan takut. Berpikir tentang rekonsiliasi berarti berpikir tentang proses mengatasi hambatan psikologis yang selama ini menghantui mereka, hingga bertahun-tahun. …

Sementara beberapa korban masih menganggap bahwa ide rekonsiliasi, terutama pemberian maaf, sebagai pemikiran yang memuakkan, bagi sebagian besar warga, Komisi memberikan kontribusi terhadap komitmen yang lebih besar untuk mencapai rekonsiliasi. Ia telah menyediakan tempat untuk mencapai rekonsiliasi. … Ia dianggap sebagai forum yang menyediakan platform untuk mengisahkan pengalaman, mengungkapkan kebenaran, meminta pertanggungjawaban pelaku, ganti rugi, penyesalan dan pemberian maaf. Ini merupakan tahap-tahap dalam proses yang dipahami dan diterima sebagai sesuatu yang sah. …

Rekonsiliasi tidak terjadi begitu saja. Seseorang tidak bisa dengan serta-merta memutuskan bahwa ia bersedia memberikan maaf dan melupakan apa yang sudah terjadi. Hampir semua korban di komunitas ini menjalankan proses rekonsiliasi. Belum tentu mereka menginginkan pembalasan, namun di pihak lain, belum tentu juga mereka mau melupakan masa lalu, seakan-akan tidak ada apa pun yang terjadi. Mereka menuntut untuk mengetahui kebenaran yang terjadi dan mendapat waktu untuk memikirkannya. Mereka sering kali tidak mau memberikan maaf, kecuali para pelaku menunjukkan penyesalan dan mereka mendapatkan ganti rugi. …

Para korban belum siap untuk menjalankan proses rekonsiliasi, kecuali mereka mengetahui lebih lanjut apa yang terjadi. Mereka sering kali menyatakan bahwa mereka bersedia memberikan maaf, namun mereka ingin tahu siapa yang perlu mereka maafkan dan untuk apa. Suatu keinginan untuk berdamai tergantung pada kemampuan tiap orang untuk menyikapi dan memproses pengetahuan tentang kebenaran ini. Bila masa lalu tetap disembunyikan, proses rekonsiliasi akan dibangun di atas dasar yang amat rentan. Komisi memberikan andil bagi sebagian pengungkapan kebenaran, namun banyak orang yang masih belum mendapatkan kebenaran tentang detail-detail kasus mereka.vi

Sebagaimana digambarkan oleh pengamat ini di Duduza, di mana terdapat pengungkapan informasi tentang kasus-kasus spesifik, dan di mana para pelaku menunjukkan penyesalan, terdapat contoh-contoh kuat pemberian maaf dan rekonsiliasi yang timbul langsung sebagai hasil kerja komisi kebenaran. Terdapat banyak peristiwa rekonsiliasi komunitas atau individual yang menonjol, terutama dalam kesaksian para pemohon amnesti yang dihadapkan dengan para korbannya. Seorang pengacara menggambarkan sesi kesaksian di Richards Bay, tempat anggota Partai Kemerdekaan Inkatha meminta amnesti untuk pembunuhan beberapa anggota Kongres Nasional Afrika. Para kerabat korban pada awalnya marah dan bersikap agresif terhadap para pemohon tersebut. Namun dinamika ini segera berubah sepanjang sesi dengar-kesaksian tersebut:

Setiap hari ada ratusan orang yang menghadiri sesi tersebut, memenuhi aula yang digunakan. Perlahan-lahan, mereka mulai berempati bagi para pemohon, demikian pula para anggota komisi, yang menanyakan semakin sedikit pertanyaan, karena mereka sadar bahwa para pemohon tersebut menceritakan semua hal yang mereka ingat dan memiliki komitmen untuk menceritakan keseluruhan kebenaran.

Sehari sebelum sesi diakhiri diadakan pertemuan informal antara komunitas dan para pemohon, yang di dalamnya ditanyakanlah banyak pertanyaan tentang insiden-insiden spesifik. Satu persatu kerabat yang ditinggalkan maju dan memaafkan para pemohon, dan berterima-kasih untuk mendapatkan seluruh kebenaran, mengetahui apa yang terjadi dan siapa yang terlibat serta memberikan perintah. Pada akhir pertemuan dibuat keputusan untuk memaafkan para pemohon dan memberi tahu komisi bahwa komunitas tersebut menganggap bahwa para pemohon telah mengungkapkan seluruh kebenaran, dengan keterbatasan ingatan manusia, bahwa perbuatan tersebut dilakukan dengan motif politik, dan bahwa mereka tidak akan menentang pemberian amnesti.

Kami semua kemudian menyanyikan Nkosi Sikelele, dan kemudian Mkhize memimpin doa atas permintaan komunitas. Pada akhir pertemuan, warga memeluk para pemohon tersebut.vii

Sementara sebagian terbesar sesi kesaksian untuk mendapatkan amnesti tidak berakhir dengan cara demikian, terdapat beberapa contoh lain yang serupa rekonsiliasi individual atau komunitas yang merupakan hasil langsung dari proses pencarian kebenaran secara resmi.

Rekonsiliasi juga terjadi di tingkat-tingkat lainnya, seperti di ruang rapat sebuah perusahaan besar yang sebelumnya tidak pernah membicarakan secara formal isu rasial. Sebuah perusahan gula yang besar yang berpartisipasi di dalam dengar-kesaksian sektoral komunitas usaha menggunakan peristiwa tersebut untuk melakukan tinjauan internal yang serius pada catatan sikap perusahaan tersebut. Sebuah kelompok eksekutif perusahaan sejumlah 20 orang yang terdiri dari gabungan berbagai ras bertemu delapan kali selama beberapa bulan untuk mempersiapkan pernyataan resmi untuk dipresentasikan pada komisi kebenaran. Namun, pada awalnya, seorang eksekutif senior berkulit putih yang terlibat dalam proses itu memberi tahu saya bahwa pertama-tama mereka harus mencapai kesepakatan dalam bidang istilah. “Pertemuan pertama sangat tegang: kami menghabiskan waktu satu setengah jam hanya untuk menentukan bagaimana kami saling memanggil: kami merasa bahwa sebaiknya kami tidak menggunakan istilah ‘kulit hitam’, sebagaimana anggapan kaum berkulit putih, namun menggunakan istilah ‘Afrika’. Kami ingin memanggil keturunan India ‘Asiatik’, namun mereka mengatakan, ‘Jangan, panggil kami keturunan India.’ Jadi, kami memahami bahwa ‘kulit hitam’ mencakup Afrika, India dan kulit berwarna. Kami belum pernah membicarakan hal ini sebelumnya, juga tentang masa lalu. … Ini berkaitan dengan nilai-nilai, apa yang seharusnya dilakukan dan tidak dilakukan. Pada akhirnya, kami berhasil menyusun pernyataan bersama untuk dipresentasikan kepada komisi.”

Pada kunjungan saya ke Cili di tahun 1996, lima tahun setelah Komisi Nasional Kebenaran dan Rekonsiliasi menyelesaikan kerjanya, saya menemukan bahwa banyak warga Cili menekankan bahwa rekonsiliasi nasional telah berhasil dicapai. Direktur badan yang melanjutkan

kerja komisi kebenaran, Alejandro Gonzalez, mendefinisikan rekonsiliasi sebagai “penghargaan pada aturan-aturan demokrasi. Terdapat dialog yang beradab antara pemerintah dan oposisi, dan tidak ada yang ingin mengambil alih kekuasaan secara tidak demokratis”.viii Orang-orang lain memberikan gambaran yang serupa. Namun, sementara menekankan bahwa rekonsiliasi nasional telah terjadi, banyak warga Cili menggambarkan hubungan personal mereka yang masih tegang akibat hal-hal yang terjadi di masa lalu. Mantan korban dan pendukung rezim Augusto Pinochet bekerja dan hidup bertetangga, namun dengan kesepakatan tersirat untuk tidak membicarakan masa lalu atau perbedaan pandangan mereka yang signifikan. Jika muncul isu-isu tentang masa lalu, yang timbul adalah perasaan tidak nyaman.

Ketika Pinochet ditangkap di London pada akhir tahun 1998, jurang yang ada dalam masyarakat tersebut semakin tampak jelas. Sementara negeri tersebut menyikapi ketegangan yang terjadi, semakin jelas bahwa tidak tercapai konsensus mengenai fakta-fakta mendasar tentang apa yang telah terjadi di masa lalu.ix Tingginya dukungan bagi mantan rezim Pinochet, dan tingkat justifikasi yang digunakan untuk mendukung posisi ini, sangat bertentangan dengan pandangan Afrika Selatan pasca-apartheid tentang masa lalunya (meskipun saya tidak mencoba menyamakan bentuk dan akibat penindasan di kedua negara tersebut). Rekonsiliasi dalam bentuk ini – pemahaman bersama tentang sejarah sebuah negara dan kesalahan-kesalahan yang terjadi – benar-benar tercapai di Afrika Selatan dan tidak menjadi perdebatan lagi. Sangat bertentangan dengan dukungan sebagian warga Cili kepada Pinochet, sangat sedikit orang di Afrika Selatan yang akan mengaku bahwa mereka mendukung apartheid – bahkan meskipun sebagian terbesar warga kulit putih mempertahankan pemerintahan tersebut selama empat dekade. Dalam bantahan ini, kita dapat melihat tingkat keberhasilan rekonsiliasi yang terjadi di Afrika Selatan, yang sebagian besar merupakan hasil dari kerja komisi kebenaran. Saat ini, hampir tidak ada satu orang pun yang akan menunjukkan keuntungan apartheid, sebagaimana juga tidak seorang pun akan membantah bahwa pernah terjadi penyiksaan dalam skala besar di kantor polisi dan penjara di Afrika Selatan.

Bertentangan dengan Afrika Selatan dan Cili, sebagaimana dicatat di depan, beberapa komisi kebenaran sama sekali tidak berusaha untuk mencapai rekonsiliasi sebagai tujuan kerja mereka. Sebagai contoh, rekonsiliasi tidak dijadikan tujuan komisi di Argentina, dan pemikiran untuk mengadakan rekonsiliasi – dalam kondisi yang ada – mendapatkan tentangan. Sebagaimana respon jurnalis Horacio Verbitsky ketika saya menyebutkan kata itu, “Rekonsiliasi bagaimana? Setelah anak Anda diculik, disiksa, dihilangkan, dan pelakunya membantah pernah melakukannya – apakah Anda ingin ‘berdamai’ dengan pelaku hal itu? Kata ‘rekonsiliasi’ tidak memiliki arti di sini. Diskursus politik tentang rekonsiliasi tidak memiliki nilai moral, karena membantah realitas yang terjadi. Tidak layak mengharapkan rekonsiliasi setelah apa yang telah terjadi.”x Patricia Valdez, mantan direktur komisi kebenaran El Salvador dan ketua lembaga Poder Ciudadano, organisasi Argentina untuk mendorong inisiatif demokratik, menyatakan demikian, “Tidak ada orang yang membicarakan rekonsiliasi di Argentina, tidak seorang pun menyebutkan kata itu. Bukan berarti mereka menentang hal itu, namun kata itu tidak ada artinya di sini. Belum ada orang yang secara serius mengajukan pertanyaan tersebut”.xi Juan Méndez, mantan penasihat hukum Human Rights Watch dan mantan direktur Institut Hak Asasi Manusia Inter-Amerika menyatakan bahwa rekonsiliasi di Argentina “diartikan oleh mereka yang ingin agar tidak ada hal-hal yang dilakukan untuk menyikapi masa lalu. Rekonsiliasi dipahami oleh para korban sebagai, ‘Kita diminta untuk berdamai dengan para penyiksa, dan mereka tidak perlu melakukan apa-apa’.” NGO-NGO disudutkan, sementara militer diizinkan untuk memberikan definisi pada istilah itu, kata Méndez.xii

Sangat sedikit tokoh masyarakat yang membicarakan rekonsiliasi di Argentina. Salah satunya adalah Presiden Carlos Menem, yang menggunakannya sebagai alasan untuk memberikan pengampunan di tahun 1990 kepada para pemimpin militer yang pada waktu itu sedang dipenjarakan atas kejahatan mereka di bawah rezim militer. Justifikasi rekonsiliasi ini adalah klaim politis yang tidak mendapatkan dukungan rakyat, yang terlihat dari demonstrasi spontan puluhan ribu orang yang turun ke jalan untuk menentang pengampunan ini. “Tentu saja, rekonsiliasi adalah tujuan yang mulia, namun tidak bisa dipaksakan melalui keputusan presiden begitu saja,” tulis Human Rights Watch merespon pengampunan tersebut. “Akan lebih mudah menerima alasan rekonsiliasi, bila ada tanda-tanda serius bahwa militer benar-benar menyesali perannya dalam ‘perang kotor’, dan bersedia mencapai rekonsiliasi dengan para korban mereka. Bahkan, yang terjadi adalah sebaliknya: militer melihat pengampunan tersebut sebagai satu langkah ke arah pengakuan terhadap ‘kemenangan mereka dalam menghancurkan subversi’. Pada hari pembebasannya, Videla [mantan presiden pertama rezim militer] mengirimkan surat terbuka ke pimpinan tertinggi militer yang menyatakan bahwa angkatan darat telah dituduh melakukan kejahatan yang tidak ia lakukan dan layak mendapatkan permintaan maaf dari masyarakat”.xiii

Demikian pula, komisi-komisi yang mengurus orang-orang yang diculik dan dihilangkan di Sri Lanka tidak menyarankan bahwa rekonsiliasi atau pemaafan akan timbul sebagai akibat kerja mereka; mereka memandang tugas mereka adalah mencatat siapa yang dihilangkan dan menyarankan keluarga mana saja yang perlu mendapat ganti rugi.xiv Menyarankan rekonsiliasi individual tidak layak, menurut pandangan penganjur hak asasi manusia, karena tidak seorang pelaku pun yang menyatakan penyesalannya atau mengaku bertanggung-jawab. Alih-alih menyarankan pemaafan, komisi menyerukan pengadilan dan mengajukan nama para tertuduh kepada pengadilan untuk ditindaklanjuti.

Seperti Apa Rupa Rekonsiliasi?

Rekonsiliasi memiliki implikasi membangun atau membangun kembali hubungan yang tidak lagi dihantui konflik dan kebencian masa lalu. Namun bagaimana mengukur kemajuan rekonsiliasi? Jika ada proses rekonsiliasi yang sedang berjalan, atau suatu masyarakat sudah mulai mencapai rekonsiliasi, apa tanda-tandanya? Singkatnya, bagaimana rupa rekonsiliasi? Untuk mengukur apakah rekonsiliasi sudah atau mulai berakar, saya menyarankan tiga pertanyaan.xv

Bagaimana masa lalu disikapi di lingkup publik? Apakah ada rasa pahit tentang masa lalu dalam hubungan politik atau publik lainnya? Apakah konflik atau pelanggaran di masa lalu diproses atau diserap sedemikian rupa sehingga orang bisa membicarakannya – bila tidak mudah, paling tidak secara sopan – bahkan dengan mantan lawan?

Bagaimana hubungan antara pihak-pihak yang dahulunya bertikai? Terutama, apakah hubungan masih didasarkan pada masa lalu? Referensi terus-menerus pada masa lalu mungkin menandakan permusuhan. Terdapat banyak contoh ingatan yang pahit yang justru bisa mendorong kekerasan baru atau sengaja digunakan para pemimpin untuk menimbulkan ketegangan antar-komunitas. Hubungan yang baru terbentuk antara pihak-pihak yang semula bermusuhan bisa bergantung pada kepentingan atau tantangan baru yang berpengaruh pada semuanya. Pengikat-pengikat ini bisa berupa proyek pembangunan atau rekonstruksi ekonomi, ikatan keluarga atau komunitas, bahkan perang dengan musuh lain. Perang Malvinas untuk sementara menyatukan warga Argentina untuk mendukung angkatan bersenjatanya, meskipun selama