• Tidak ada hasil yang ditemukan

Enam Tahap Pertimbangan Moral

Dalam dokumen 1. MODEL DAN PEMBELAJARAN KOGNITIF.pdf (Halaman 31-36)

Di akhir tahun 1950-an, Lawrence Kohlberg mulai mengumpulkan data yang berkaitan dengan pertanyaan- pertanyaan tentang moral. Kohlberg telah mengkaji hasil kerja terdahulu dari Jean Piaget dalam perkembangan kognitif dan moral, serta menggunakannya sebagai landasan kajian selama 15 tahun tentang pertimbangan moral. Kajian Piaget terutama menitikberatkan pada pengungkapkan tahapan kognitif. Kajian Kohlberg juga mengacu pada suatu rentang perkembangan tahap-tahap dan mengungkapkan bagaimana seseorang membentuk pemikiran mereka tentang pertanyaan sosial dan moral sebagaimana mereka membentuk struktur kesadaran dari hal yang paling nyata hingga bersumber kepada hal yang paling abstrak.

1. Tingkat Pre-Konvensional

Pada tingkatan ini anak peka terhadap peraturan- peraturan yang berlatar belakang budaya dan terhadap penilaian baik-buruk, benar-salah, tetapi mengarti- kannya dari aspek akibat-akibat fisik suatu tindakan, atau dimensi enak-tidaknya akibat-akibat itu

(hukuman, ganjaran disenangi orang), atau dari sudut ada-tidaknya kekuasaan fisik dari yang memberikan peraturan-peraturan atau memberi penilaian baik- buruk itu. Dalam tingkat ini dibagi dalam dua tahap:

a. Tahap 1: Orientasi Hukuman dan Kepatuhan Akibat-akibat fisik tindakan akan menentukan baik-buruknya tindakan itu, entah apa pun arti atau nilai akibat-akibat itu bagi manusia. Menghindari hukuman dan tunduk pada kekuasaan (tanpa mempersoalkannya ) mempunyai nilai pada dirinya, bukan atas dasar hormat pada peraturan moral yang mendasarinya, tetapi karena hukuman dan otoritas. b. Tahap 2: Orientasi Relativis Instrumental

Tindakan benar adalah tindakan sebagai alat dapat memenuhi kebutuhan sendiri atau kadang- kadang juga memenuhi kebutuhan orang-orang lain. Hubungan antar manusia dianggap sebagaimana hubungan orang di pasar. Unsur-unsur sikap adil, hubungan timbal balik, kesamaan dalam ambil bagian terhadap kondisi yang sudah ada, tapi semuanya dimengerti secara fisik dan pragmatis. Hubungan timbal balik antar manusia adalah soal “ kalau kamu menggarukkan pungggungku, saya akan garukkan punggungmu “, sebagai hubungan pragmatis, bukan karena loyalitas (kesetiaan), rasa terima kasih atau keadilan.

2. Tingkat Konvensional (Kebiasaan)

Pada tingkatan ini, memenuhi harapan-harapan keluarga, kelompok atau bangsa dianggap sebagai sesuatu yang berharga pada dirinya sendiri, tidak perduli apa pun akibat-akibat yang langsung dan yang

kelihatan. Sikap ini bukan hanya mau menyesuaikan diri dengan harapan-harapan orang tertentu atau ketertiban sosial, tetapi sikap ingin loyal, sikap ingin menjaga, menunjang dan memberi pembenaran pada ketertiban itu dan sikap ingin mengidentifikasikan diri dengan orang-orang atau kelompok yang ada di dalamnya. Pada tingkat kebiasaan ini terdapat dua tahap, yaitu:

a. Tahap 3: Orientasi masuk ke kelompok “anak baik” dan “anak manis”

Tingkah laku yang baik adalah tingkah laku yang menyenangkan atau membantu orang-orang lain dan yang mendapat persetujuan mereka. Ada banyak usaha menyesuaikan diri dengan gambaran- gambaran stereotipe yang ada pada mayoritas atau dengan tingkah laku yang dianggap lazim “umum”. Tingkah laku sering kali dinilai menurut intensinya. “ Dia bermaksud baik “ untuk pertama kalinya menjadi penting. Orang berusaha untuk diterima oleh lingkungan dengan bersikap “manis”.

b. Tahap 4: Orientasi hukum dan ketertiban

Ada orientasi kepada otoritas, peraturan- peraturan yang sudah pasti, dan usaha memelihara ketertiban sosial. Tingkah laku yang benar berupa kewajiban, menunjukkan rasa hormat kepada otoritas, dan memelihara ketertiban sosial yang sudah ada demi ketertiban itu sendiri.

3. Tingkat Post-Konvensional (Post-Kebiasaan)

Pada tingkat ini, ada usaha yang jelas untuk mengartikan nilai-nilai moral dan prinsip-prinsip yang sahih serta dapat dilaksanakan, terlepas dari otoritas

kelompok atau orang yang memegang prinsip-prinsip tersebut dan terlepas dari apakah individu yang bersangkutan termasuk kelompok-kelompok itu atau tidak. Tingkat ini mempunyai dua tahap:

a. Tahap 5: Orientasi kontrak-sosial legalistis. Biasanya dengan tekanan mementingkan ke- gunaannya (utilitaristis). Tindakan benar cendrung dimengerti dari segi hak-hak individual yang umum dan dari segi patokan-patokan yang sudah dikaji dengan kritis dan disetujui oleh seluruh masyarakat. Ada kesadaran yang jelas bahwa nilai-nilai dan opini pribadi itu relatif dan oleh karenanya perlu adanya peraturan prosedural untuk mencapai konsensus. Di samping apa yang telah disetujui secara konstitusio- nal dan secara demokratis, hak tak lain merupakan nilai-nilai dan opini pribadi. Akibatnya ada tekanan pada pandangan legalistis, tetapi juga menekankan bahwa hukum dapat diubah atas dasar rasional demi kemaslahatan masyarakat (tidak secara kaku mau mempertahankannya seperti dalam tahap 4: Orientasi hukum dan ketertiban). Di luar bidang hukum, persetujuan bebas dan kontrak merupakan unsur pengikat dari kewajiban. Itulah moralitas “resmi” dari pemerintah dan konstitusi.

b. Tahap 6: Orientasi asas etika universal

Benar diartikan dengan keputusan suara hati, sesuai dengan prinsip-prinsip etika yang dipilih sendiri, dengan berpedoman pada kekom- prehensipan logis, universalitas dan konsistensi. Prinsip-prinsip ini bersifat abstrak dan etis (Golden Rule, hukum emas, imperatif kategoris) dan bukan peraturan-peraturan moral yang kongkrit. Pada

intinya itulah prinsip-prinsip universal mengenai keadilan, pertukaran hak (reciprocity) dan kesamaan hak asasi manusia dan penghormatan kepada martabat manusia sebagai pribadi (person).

Keenam tahap di atas menghadirkan suatu pola pemikiran yang menyatu pada setiap pengalaman seseorang dan pandangannya atas hal-hal yang khusus tentang moral. Sekali pun setiap orang boleh menjadi mampu mengingat kaidah umum (civic virtues) tertentu, tidak setiap orang akan berpikir tentang isu-isu umum (civic issue) yang penting dengan cara yang sama atau bertindak sesuai kaidah yang telah sama “dipelajari”. Oleh karena itu, tidak hanya mengajar ketentuan moral yang berhubungan dengan situasi tertentu, para guru juga perlu menolong siswa menguji alasan yang biasa digunakan untuk mengatasi moral atau masalah moral yang ada. Para guru membantu siswa menguji pertimbangan moral yang mereka miliki dan pertimbangan orang lain dengan menyelenggarakan diskusi tentang situasi-situasi dilema.

Suatu diskusi tentang dilema moral menitikeratkan pada perbedaan pertimbangan yang digunakan untuk mengatasi suatu masalah dibanding pula pada tingkah laku yang disarankan dari karakter tokoh utama. Peserta yang menyarankan tingkah laku sama sering memiliki alasan berbeda untuk saran-saran mereka. Menguji perbedaan ini menjadi kunci bagi penelitian Kohlberg dalam perkembangan moral. Tanggapan-tanggapan dalam diskusi terhadap kasus “ Sebuah Surat Peringatan “ berikut akan menunjukkan bagaimana tanggapan setiap individu dari perbedaan tahap orientasi-orientasi tingkatan Kohlberg.

B. Beberapa Kesimpulan Terhadap Teori

Dalam dokumen 1. MODEL DAN PEMBELAJARAN KOGNITIF.pdf (Halaman 31-36)

Dokumen terkait