• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. MODEL DAN PEMBELAJARAN KOGNITIF.pdf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "1. MODEL DAN PEMBELAJARAN KOGNITIF.pdf"

Copied!
170
0
0

Teks penuh

(1)

Sarbaini

Sarbaini

Sarbaini

Sarbaini

Sarbaini

MODEL PEMBELAJARAN

MODEL PEMBELAJARAN

MODEL PEMBELAJARAN

MODEL PEMBELAJARAN

MODEL PEMBELAJARAN

BERBASIS KOGNITIF MORAL:

BERBASIS KOGNITIF MORAL:

BERBASIS KOGNITIF MORAL:

BERBASIS KOGNITIF MORAL:

BERBASIS KOGNITIF MORAL:

Dari Teori ke Aplikasi

Dari Teori ke Aplikasi

Dari Teori ke Aplikasi

Dari Teori ke Aplikasi

Dari Teori ke Aplikasi

(2)
(3)

Sarbaini

Sarbaini

Sarbaini

Sarbaini

Sarbaini

MODEL PEMBELAJARAN

MODEL PEMBELAJARAN

MODEL PEMBELAJARAN

MODEL PEMBELAJARAN

MODEL PEMBELAJARAN

BERBASIS KOGNITIF MORAL:

BERBASIS KOGNITIF MORAL:

BERBASIS KOGNITIF MORAL:

BERBASIS KOGNITIF MORAL:

BERBASIS KOGNITIF MORAL:

Dari Teori ke Aplikasi

Dari Teori ke Aplikasi

Dari Teori ke Aplikasi

Dari Teori ke Aplikasi

Dari Teori ke Aplikasi

Laboratorium

Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Universitas Lambung Mangkurat

(4)

MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS MODEL PEMBELAJARAN BERBASISMODEL PEMBELAJARAN BERBASIS MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS

KOGNITIF MORAL KOGNITIF MORALKOGNITIF MORAL KOGNITIF MORAL KOGNITIF MORAL

Sarbaini

Laboratorium Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Banjarmasin 2011

All right reserve

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang

Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun, tanpa izin tertulis dari penerbit

x + 160 Halaman; 14,5 x 21 cm ISBN: 979-26-8544-8

Rancang Sampul: Agvenda Penata Isi: Lusiana Susanti

Diterbitkan oleh: Laboratorium

Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Universitas Lambung Mangkurat

Cetakan 1. Laboratorium PPKn (2001) Cetakan 2. Edisi Revisi (2011)

Dicetak oleh:

ASWAJA PRESSINDO

Jl. Plosokuning V No. 73 Minomartani Ngaglik Sleman Yogyakarta

Telp.: (0274) 4462377 e-mail: aswajapressindo@gmail.com

(5)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, Puji Syukur kepada Allah SWT, atas rahmat, nikmat dan karunia Allah semata, dapatlah diselesaikan penyusunan salah satu buku pegangan untuk mahasiswa dalam mata kuliah Dasar-Dasar Pendidikan Moral dan Strategi Pembelajaran Pendidikan Kewarga-negaraan SMP dan SMA, khususnya Model Pembelajaran Berbasis Teori Perkembangan Moral Kognitif pada Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial FKIP UNLAM.

Materi buku ini, selain berisi beberapa artikel tentang pendidikan moral dalam tataran teoritis dan praktis, juga memuat cakupan materi dari buku “Moral Reasoning: A Teaching Handbook for Adapting Kohlberg to th Classroom”, karya Ronald E Galbraith dan Thomas M.Jones, terutama pada bab VII, VIII dan IX, dan implementasinya dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), disertai dengan beberapa model dan bentuk cerita tentatifnya.

(6)

moral. Mudah-mudahan Allah SWT memberikan balasan yang setimpal atas bantuan yang diberikan. Buku ini pertama kali diterbitkan oleh Laboratorium Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) FKIP UNLAM pada tanggal 17 Juni 2001, namun atas permintaan teman-teman guru mata pelajaran PKn dan memenuhi kebutuhan literatur untuk mahasiswa dalam mata kuliah Dasar-Dasar Pendidikan Moral dan Strategi Pembelajaran Pendidikan Kewarga-negaraan SMP dan SMA, sekaligus revisi terhadap berbagai koreksi dalam teknis pengetikan, maka diterbitkan kembali buku sebagai edisi revisi. Mudah-mudahan buku ini berguna bagi kita semua.

Banjarmasin, Maret 2011 Penyusun,

(7)

DAFTAR ISI

Halaman KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

BAB II MORALITAS MENURUT PERSPEKTIF TEORI PERKEMBANGAN KOGNITIF

MORAL... 7 A. Pandangan Piaget ... 9 B. Pandangan Kohlberg ... 11

BAB III KONSEP PERKEMBANGAN DAN

PERTIMBANGAN MORAL ... 15 A. Perkembangan Moral

(Moral Development) ...15 B. Pertimbangan Moral

(8)

BAB IV TEORI PERKEMBANGAN MORAL

KOHLBERG ... 21

A. Enam Tahap Pertimbangan Moral ... 21

B. Beberapa Kesimpulan Terhadap Teori Kohlberg ... 26

BAB V TEORI DAN KONSEP PERKEMBANGAN KOGNITIF UNTUK PEMBELAJARAN MORAL ... 33

A. Teori Perkembangan Kognitif untuk Pembelajaran Moral ... 33

B. Konsep Perkembangan Kognitif untuk Pembelajaran Moral ... 35

BAB VI MODEL PEMBELAJARAN PERKEMBANGAN KOGNITIF MORAL ... 39

A. Konsep ... 39

B. Asumsi ... 40

C. Tujuan ... 41

D. Posisi Guru ... 41

E. Substansi Model Pembelajaran ... 42

F. Langkah-langkah Strategi Pembelajaran ... 43

BAB VII CERITA DILEMA MORAL... 45

A. Unsur-unsur Esensial Sebuah Kisah Dilema ... 45

B. Contoh Kisah Dilema Moral ... 48

BAB VIII PERENCANAAN PEMBELAJARAN ... 57

(9)

B. Perencanaan Mengajar “Hei, Sam,

Truk ada di sini!” ... 65 C. Perencanaan Mengajar: “Sebuah

Surat Peringatan” ... 67

BAB IX PROSES PEMBELAJARAN... 71 A. Elemen Proses Pembelajaran

yang Efektif ... 71 B. Proses Pembelajaran ... 74 C. Langkah-langkah Pembelajaran

Dilema Moral ... 77

BAB X IMPLEMENTASI MODEL

PERKEMBANGAN KOGNITIF DALAM

PEMBELAJARAN PKn SMP ... 133 A. Bentuk-bentuk Model Tentatif ... 133 B. Bentuk-bentuk Kisah Dilema

Moral Tentatif ... 150

DAFTAR PUSTAKA ... 157

(10)
(11)

BAB I

PENDAHULUAN

(12)

Dalam menghadapi kerancuan nilai moral yang terjadi di dalam masyarakat, sekaligus melahirkan dilema moral bagi subjek yang menghadapinya, maka kebiasaan konvensional yang berlaku masyarakat, terutama bagi orang tua adalah memberikan contoh atau nasehat tentang moral yang baik dan moral yang buruk, maupun dengan cara memberikan ganjaran, jika moral yang baik dipatuhi, dan menghukum, kalau moral yang buruk dilanggar. Namun demikian menurut studi Hartshorne dan May (dalam Duska dan Whelan, 1982: 15-16) bahwa dalam pendidikan karakter moral, maka prinsip-prinsip yang diajarkan dengan cara memberi contoh, menasehati, memberi hadiah dan memberi hukum adalah tidak efektif untuk menghasilkan tingkah laku moral yang dikehendaki. Dengan kata lain, bahwa metode konvensional dalam pendidikan karakter moral warga negara (civics virtue)., tidak memadai lagi, maka diperlukan suplemen metode agar pendidikan karakter moral warga negara ( civ-ics virtue). menjadi lebih efektif. Lalu apakah yang dapat dilakukan oleh para orang tua serta para pendidik supaya hal itu menjadi lebih efektif?

(13)

Materi buku ini pada mulanya ditujukan terhadap mahasiswa Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan, karena Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan selain bertujuan untuk menyiapkan tenaga calon guru PKn, juga bertujuan membentuk mahasiswanya menjadi warga negara yang mempunyai karakter moral yang baik. Namun demikian dalam perkembangannya, materi buku menumbuhkan minat para guru dan praktisi pendidik karakter moral warga negara (civics virtue) di sekolah, terutama, baik dalam kaitannya dengan pengembangan karakter moral peserta didik, juga berhubungan dengan pengembangan model pembelajaran karakter moral, khususnya model pembelajaran karakter moral warganegara dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Karakter moral warga negara tersebut hendaknya mengarah kepada karakter moral bernegara, berbangsa dan bermasyarakat.

Menurut Udin S Winataputra (2000) secara substantif dan pedagogis, program civic education dirancang sebagai wahana pendidikan yang bertujuan untuk memfasilitasi peserta didik, agar dapat memgembangkan dirinya menjadi warga negara yang cerdas, bertanggungjawab, dan berkeadaban atau “smart and good citizens”.

Menurut Endang Sumantri (2008: 34) yang amat lebih penting adalah bahwa pendidikan kewarganegaraan memperlihatkan potensi yang kuat untuk mengembangkan secara lengkap baik fisik maupun mental manusia dan mendorong pengembangan keterampilan-keterampilan, pengetahuan dan perilaku yang akan memungkin mereka untuk meningkatkan kondisi-kondisi kehidupan mereka. Tujuan yang diharapkan dari pendidikan kewarganegaraan sekarang akan menerima oleh posisi-posisi ideologis, religius dan kultural sebagai elemen-elemen esensial dalam

(14)

tujuan pendidikan kewarganegaraan. Hal demikian diperkuat oleh pendapat Barret (1980) tentang ideologi, Kohlberg (1986) tentang religi, dan Giroux Krech, Crutchfield & Ballachey (1962) tentang kultur (dalam Endang Sumantri, 2008),

Udin S Winataputra (2000) dan Endang Sumantri (2008), nampaknya sepakat bahwa Pendidikan Kewarganegaraan baik sebagai program, proses, fase dan produk memadukan secara integral aspek pengetahuan, sikap, keterampilan, fisik dan mental, individu dan kolektif dalam perilaku untuk menjadi warga negara yang demokratis, sekaligus menjadi warga negara yang baik.

Buku ini bertujuan agar mahasiswa, guru dan praktisi pendidikan karakter moral warga negara (civics virtue) dapat memahami dasar-dasar dan konsep-konsep pendidikan karakter moral pada umumnya, dan khususnya untuk kepentingan pengembangan pendidikan karakter moral dalam kaitannya dengan pengembangan etika kewargane-garaan yang mendukung watak/karakter kewarganekewargane-garaan, sehingga terbentuk warga negara yang baik guna menuju masyarakat madani. Dalam kegiatan pembelajarannya telah dilaksanakan berbagai model pembelajaran yang berorientasi pada karakter moral warga negara (civics virtue), seperti model konsiderasi, model pembentukan rasional, model perkembangan kognitif, model analisis nilai, model klarifikasi nilai, dan model aksi sosial. Dari berbagai model pembelajaran karakter moral warga negara (civics virtue), ada dua model yang lebih kaitannya dengan problem kerancuan dan dilema nilai moral, yaitu model perkembangan kognitif dan model klarifikasi nilai.

(15)

kasus-kasus aktual dalam berbagai aspek kehidupan. Namun dari kedua model tersebut yang cendrung berperan dalam pengembangan struktur kognitifnya adalah model per-kembangan kognitif. Meskipun model pembelajaran kognitif kurang begitu dipopulerkan sebagaimana model klarifikasi nilai, dalam pembelajaran karakter moral warga negara ( civ-ics virtue)., akan tetapi paling tidak, model perkembangan kognitif sesuai dengan upaya pemerintah sekarang. Karena pemerintah sekarang dalam bidang pendidikan berupaya untuk menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas tinggi.

Salah satu faktor yang berpengaruh dalam pem-bentukan sumber daya manusia dalam pendidikan adalah upaya untuk mengaktifkan struktur kognitif peserta didik, agar dapat membangun makna dari apa yang dipelajari. Di sinilah terdapat kesejajaran dan kesamaan orientasi untuk mengaktifkan struktur kognitif peserta didik, dengan model perkembangan kognitif sebagai model pembelajaran karakter moral warga negara. Di samping itu pengaktifan struktur kognitif juga memerlukan proses yang membutuhkan perubahan struktur kognitif pula. Perubahan dan pengaktifan struktur kognitif akan mempengaruhi perkembangan kognitif, dan semua itu rangsangan dari lingkungan sosial. Masalahnya adalah apakah rangsangan lingkungan sosial tersebut dapat mengaktifkan atau merubah struktur kognitif peserta didik, dan jika terjadi perubahan, pada tingkat apa perkembangannya, cendrung meningkat atau menurun? Jika pun terjadi perubahan, bagaimana pengaruhnya terhadap kemampuan melakukan pertimbangan karakter moral sebagai landasan dari perubahan atau perkembangan karakter moral peserta didik.

Adanya perubahan dan perkembangan karakter moral akan menuju pada peluang terbentuknya kemampuan

(16)
(17)

BAB II

MORALITAS MENURUT PERSPEKTIF

TEORI PERKEMBANGAN

KOGNITIF MORAL

P

ara pakar teori perkembangan kognitif moral meneliti bagaimana perubahan kondisi karakter moral dikaitkan dengan pertambahan usia. Mereka percaya bahwa peningkatan kematangan kognitif dan pengalaman sosial, secara perlahan membimbing anak untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang tingkatan-tingkatan kerja sama sosial yang mengatur tanggungjawab moral.

(18)

Perkembangan kognitif tidak bisa dianggap sebagai laporan karakter moralitas yang lengkap. Hal ini disebabkan oleh pemikiran tentang apakah karakter moral tidak menjamin orang bersikap yang sesungguhnya sesuai dengan tingkat kognitifnya. Berbagai contoh mucul untuk menunjuk-kan, bahwa anak-anak dan orang dewasa sering mengkom-promikan ide-ide tentang kejujuran, memenuhi keinginannya untuk mendapatkan kepuasan, walaupun mereka tahu, bahwa hal itu tidak benar. Beberapa dekade yang lalu, dalam penelitian klasiknya tentang perilaku moral, Harthson dan May menemukan bahwa terdapat hubungan yang rendah antara penalaran moral anak dengan tingkah laku mereka yang sesungguhnya dalam kondisi yang beragam (Harthson, May dan Shuttleworth, 1930, dalam Beck, 1989)

(19)

Sebuah alasan penting yang dinyatakan pada penelitian Harthson dan May (Harthson, May dan Shuttleworth, 1930, dalam Beck, 1989), seperti dikemukakan di atas adalah ditemukannya hubungan yang sangat kecil antara penalaran moral dengan perilaku yang terjadi, karena subjek-subjeknya tidak mengalami kemajuan yang berarti dalam perkembangan moral. Untuk memiliki pemikiran yang inte-gral dengan tindakan, bukti-bukti baru kini mengindikasikan bahwa di antara anak-anak yang lebih tua, remaja dan dewasa, terdapat konsistensi yang cukup antara kondisi moral dan sikap moral. Oleh karena itu, pikiran moral bukan tidak bergantung dan tidak relevan dengan tindakan moral. Tetapi hal demikian merupakan faktor penting di antara jumlah besar faktor lainnya yang membantu menjelaskan mengapa manusia berkelakuan seperti yang mereka lakukan.

A. Pandangan Piaget

Piaget dalam penelitiannya meminta anak-anak untuk menilai kenakalan suatu tokoh yang telah memutuskan suatu rangkaian tindakan moral. Kemudian Piaget mengemukakan bahwa pemahaman terhadap

resiprositas moral (moral timbal balik) adalah penting dalam rangka memperlakukan orang lain sebagaimana seseorang yang memerlukan perlakuan. Hal ini menggaris-bawahi terjadinya perubahan dari karakter moral kepatuhan terhadap otoritas kepada moralitas untuk kerjasama sosial. Meskipun Piaget mengemukakan bahwa penghargaan anak terhadap resiprositas berkembang antara usia 6-12 tahun, tetapi dia tidak begitu memper-hatikan grafik perkembangan.

Resiprositas bisa dipahami dalam dua cara yang berbeda, pertama, pada pandangan kongkrit, yaitu sebagai suatu hal hubungan (pertukaran) sejajar di antara

(20)

orang. Seorang yang memahami resiprositas dengan cara ini, percaya bahwa keadilan dianjurkan manakala kebaikan atau ketidakbaikan (keramahan atau kekasaran) dari orang lain yang dibahas dengan hal yang serupa. Resiprositas juga bisa dihayati melalui sudut pandang yang lebih abstrak dan idealistik. Moralitas didasarkan pada memperlakukan orang lain sebagaimana mestinya. Pembahasan tentang bagaimana kamu sebaiknya ingin diperlakukan, jika kamu dan orang lain harus bertukar posisi seperti teori ‘Kompleksnya Selman”, yaitu keterampilan perspektif timbal balik yang saling menguntungkan. Oleh karena itu, kita tidak akan bisa mengharapkan kepada anak untuk memiliki tingkat penghargaan yang tinggi terhadap resiprositas sampai memasuki tahun-tahun pertama remaja.

(21)

Temuan di atas menandakan bahwa pemahaman anak terhadap resiprositas menjadi lebih abstrak dan idealistis pada masa-masa sekolah dasar. Tetapi belum begitu jelas mengenai faktor-faktor apa saja yang menyebabkan perubahan tersebut, karena resiprositas yang ideal memerlukan berbagai kemampuan, yakni perkembangan kognitiflah yang paling berperan dalam pembentukan kemampuan-kemampuan tersebut. Namun demikian pengalaman-pengalaman juga bisa menentukan pembentukan kemampuan perkembangan kognitif terhadap resiprositas ideal.

B. Pandangan Kohlberg

Kohlberg dalam penelitiannya memberikan subjek penelitiannya dilema-dilema moral hipotesis, berupa pertimbangan moral yang saling beradu mungkin terjadi, dan meminta mereka untuk menunjukkan apa yang harus dilakukan si tokoh dan mengapa harus. Kohlberg meminta subjeknya untuk tidak hanya memutuskan, tetapi juga membenarkan rangkaian tindakan, Kohlberg bisa memperoleh ide yang lebih jelas tentang penalaran di mana keputusan moral subjek didasarkan.

Bagi Kohlberg (1969; 1976, dalam Beck, 1989) dan pem-buat teori perkembangan kognitif lainnya (Damon,1977; Selman,1977, Beck, 1989) telah berargumentasi bahwa perkembangan moralitas tergantung pada kognitif dan keterampilan-keterampilan pemilihan pandangan pada cara spesifik. Setiap tahapan moralitas diasumsikan menuntut pemerolehan kognitif tertentu dan tahap-tahap pemilihan pandangan. Namun pembuat teori per-kembangan kognitif juga percaya bahwa perper-kembangan moral tidak sepenuhnya dikurangi sampai pada segi-segi pertumbuhan kognitif lainnya.

(22)

Pemahaman moral diasumsikan melibatkan beberapa pengorganisasian ulang kognitif tambahan yang seluruhnya unik terhadap domain moral. Sebagai akibatnya, Kohlberg dan lainnya telah menghipotesiskan bahwa tahap-tahap pemilihan pandangan dari kognitif adalah penting tapi bukan kondisi yang mencukupi

untuk tiap tahapan moralitas. Jika Kohlberg benar bahwa asumsi yang penting, tapi tidak mencukupi, juga berlaku terhadap perkembangan moral, maka kematangan moral tidak hanya sejajar, tapi juga ketinggalan dari pemerolehan tahap kognitif dan pemilihan pandangan yang terkait, namun tak pernah mendahuluinya.

(23)

memperluas perspektif moral seseorang. Perkembangan moral, bukanlah suatu proses menanamkan bermacam-macam peraturan dengan sifat-sifat baik, tetapi suatu proses yang membutuhkan perubahan struktur kognitif. Perubahan struktur kognitif tergantung dari perkembangan kognitif dan rangsangan dari lingkungan sosial.

Dengan demikian menurut Kohlberg, moralitas pada dasarnya mengalami perkembangan dan berpusat pada ranah kognitif, bersifat interaksional dan dilandasi oleh prinsip-prinsip keterbukaan, kesamaan, resiprositas, dan keadilan. Moral bagi Kohlberg dibatasi oleh satu konstruk lain yang disebut pertimbangan (judgment), terutama karakter formal dari pertimbangan dan bukan isinya.

(24)
(25)

BAB III

KONSEP PERKEMBANGAN DAN

PERTIMBANGAN MORAL

A. Perkembangan Moral (Moral Development)

Pada mulanya manusia itu belum memiliki kesadaran moral, tidak memiliki moral, tetapi mempunyai potensi moral. Moral dapat dimiliki seseorang dari hasil pergaulan dengan lingkungan, masyarakat dan orang tua. Per-kembangan moral seseorang itu dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor ditumbuhkembangkan melalui berbagai model/pola, yaitu kognitif, afektif dan behavioristik. Kesemuanya ini dikembangkan secara terpadu.

(26)

yang santai/berandai-andai, maka moralnya cendrung tinggi. Bahwa dalam proses pendidikan karakter moral, maka orientasinya bukan seperti mencetak (proses print-ing), tetapi seperti menggambar (drawing), artinya potensi anak/orang yang harus banyak bicara.

Moral yang dianut dan diyakini seseorang tidaklah berjalan stagnan (diam-menetap), tetapi mengalami tahapan-tahapan perkembangan moral (moral development stages). Menurut Kohlberg moral development stages adalah laju perkembangan landasan moral seseorang dari apa yang sebaiknya, atau menurut Melden sebagai laju per-kembangan motivasinya (dalam Djahiri dan Wahab, 1996: 44). Salah satu dari landasannya adalah aspek kognitif, atau menurut Loevinger (dalam Karger, 1983, dikutip Djahiri dan Wahab, 1996: 46) melalui integrasi perkem-bangan kepribadian dengan the inner logic of the cognitif structure.

(27)

melalui berbagai tahapan perkembangan personality dengan the inner logic of the cognitive stucture”.

Masalah orientasi moral sebenarnya adalah mem-bicarakan dasar landasan orientasi pola perkembangan moral atau hal yang mendasari perhitungan ketaatan dan kepatuhan seseorang) atau dasar penilaian seseorang terhadap sesuatu (nilai moral). Oleh karenanya “moral orientation” ini oleh Peter (1979) diidentikan dengan Moral Self (moral position; ketetapan hati). Ketetapan hati seseorang terhadap suatu nilai moral didasari oleh dua landasan perhitungan/penilaian,yaitu: a. Cognitive motivation aspects, yang memuat perhitungan antisipatif resiko-resiko yang ditimbulkan akibat suatu keputusan, baik bagi dirinya maupun orang lain.

b. Affective motivational aspects, yakni perhitungan hal-hal emosional yang diakibatkan keputusan tersebut baik bagi dirinya maupun orang lain.

Peter sebagai pengkuti aliran Kohlberg beranggapan bahwa pada akhirnya kemampuan struktur kognitif akan lebih dominan sebagai dasar motivasi ketetapan hati. Pandangan ini tidak selamanya benar dan tidak selalu bisa diterapkan. Banyak faktor lain yang turut bicara dalam menentukan ketetapan hati, antara lain:

a. Kondisi diri dan lingkungan

b. Kualitas kelompok dan peringkat kedudukan diri bila kita ada dalam suatu kelompok.

c. Pola tatanan nilai dan moral yang mengikatnya.

d. Kepentingan (interest) dan kualitas diri yang bersangkutan itu sendiri.

Dalam mempelajari teori-teori perkembangan moral, maka ada tiga sudut tinjauan yang harus dijadikan acuan, yaitu:

(28)

a. Tingkah laku moral (moral behavior), yaitu dengan melihat tingkah laku dari moral itu sendirti, lalu datanya dikumpulkan, kemudian dibanding-bandingkan sehingga jadi sebuah teori.

b. Pernyataan moral (moral statement), caranya dengan memperhatikan pernyataan moral, kemudian dibanding-bandingkan sehingga menjadi sebuah teori. c. Pertimbangan moral (moral judgement ), caranya dengan mencari suatu alasan, komentar yang menyangkut tingkah laku

Perkembangan moral dapat dikatakan terjadi karena adanya aspek motivasi, salah satunya adalah aspek kog-nitif. Landasan perkembangan moral, kadangkala disebut juga orientasi moral, karena orientasi moral membicarakan dasar dari landasan orientasi pola perkembangan moral, atau hal yang mendasari perhitungan ketaatan/kepatuhan seseorang terhadap sesuatu nilai, dasar penilaian seseorang terhadap nilai moral, atau yang menjadi acuan dalam upaya memecahkan persoalan yang mengandung dilema moral. Oleh karena itu, “moral orientation” oleh Peter (1979, dalam Djahiri dan Wahab, 1996: 46) diidentikkan dengan moral self (moral position; ketetapan hati), moral stages (tahap-tahap moral), development of moral orientation (perkembangan orientasi moral), dan moral judgement (pertimbangan moral)

(29)

manusia dalam menginternalisasi, mempersonalisasi dan mengembangkan serta dalam mematuhi, melaksanakan atau menentukan pilihan, menyikapi atau menilai, dan melakukan ajukan nilai moral.

B. Pertimbangan Moral (Moral Judgement)

Pertimbangan merupakan suatu urusan yang begitu kompleks terutama kalau berhadapan dengan adanya dilema moral. Untuk melakukan pertimbangan moral diperlukan adanya kemampuan mengevaluasi kepentingan-kepentingan yang berbeda berdasarkan kriteria atau prinsip maupun standar yang diakui oleh umum, yang konsisten, bukan atas dasar situasi tertentu atau pertimbangan tentatif semata, sehingga menghasilkan suatu kesimpulan tentang karakter moralitas, apakah itu kita anggap baik atau buruk. Dengan demikian pertimbangan moral merupakan manifestasi untuk membuat kesimpulan atau keputusan tentang sesuatu, baik yang berkaitan dengan berbagai dilema/konflik moral antar hal yang harus menjadi kenyataan, maupun yang berhubungan pula dengan pihak lain, antara lain Tuhan, manusia lain dan diri sendiri. Pertimbangan moral sangat tergantung kepada perhatian, akan tetapi pertimbangan moral juga tidak lepas dari tuntutan-tuntutan intelektual. Untuk melakukan pertimbangan moral, diperlukan pengetahuan moral yang memadai tentang sesuatu. Pengetahuan akan mem-pengaruhi rasional untuk melakukan pertimbangan guna mencapai moralitas. Berbeda dengan perhatian yang mementingkan masalah efektif, maka pertimbangan moral tidak terlepas dari perhatian dan tuntutan rasional. Pertimbangan moral seseorang terhadap sesuatu, menurut Kohlberg tidak sama, tetapi berada dalam rangkaian tahapan yang beragam, tergantung pada tahapan perkembangan

(30)

kognitifnya. Kohlberg (dalam Galbraith dan Jones, 1976), mengemukakan bahwa individu-individu menyusun kembali kemampuan rasionalnya tentang masalah moral dan sosial bersamaan dengan perkembangan struktur kognitif dari yang sangat kongkrit ke yang lebih abstrak. Pertimbangan moral yang dilakukan pada akhirnya akan menghasilkan penilaian moral, dan penilaian moral yang dilakukan seseorang terhadap sesuatu tergantung dan menggambarkan tahapan perkembangan moralnya.

Perkembangan moral demikian dialami oleh seseorang, dan setiap pertimbangan moral yang dilakukan terhadap sesuatu hal, termasuk masalah moral dan sosial, tidaklah terlepas dari pertimbangan moral yang menjadi landasan orientasi penilaian moralnya. Pertimbangan moral dan landasan orientasi moral seseorang, menurut Kohlberg akan dapat ditingkatkan melalui model pembelajaran yang menekankan pada perkembangan kognitif.

(31)

BAB IV

TEORI PERTIMBANGAN

MORAL KOHLBERG

A. Enam Tahap Pertimbangan Moral

Di akhir tahun 1950-an, Lawrence Kohlberg mulai mengumpulkan data yang berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang moral. Kohlberg telah mengkaji hasil kerja terdahulu dari Jean Piaget dalam perkembangan kognitif dan moral, serta menggunakannya sebagai landasan kajian selama 15 tahun tentang pertimbangan moral. Kajian Piaget terutama menitikberatkan pada pengungkapkan tahapan kognitif. Kajian Kohlberg juga mengacu pada suatu rentang perkembangan tahap-tahap dan mengungkapkan bagaimana seseorang membentuk pemikiran mereka tentang pertanyaan sosial dan moral sebagaimana mereka membentuk struktur kesadaran dari hal yang paling nyata hingga bersumber kepada hal yang paling abstrak.

1. Tingkat Pre-Konvensional

(32)

(hukuman, ganjaran disenangi orang), atau dari sudut ada-tidaknya kekuasaan fisik dari yang memberikan peraturan-peraturan atau memberi penilaian baik-buruk itu. Dalam tingkat ini dibagi dalam dua tahap:

a. Tahap 1: Orientasi Hukuman dan Kepatuhan Akibat-akibat fisik tindakan akan menentukan baik-buruknya tindakan itu, entah apa pun arti atau nilai akibat-akibat itu bagi manusia. Menghindari hukuman dan tunduk pada kekuasaan (tanpa mempersoalkannya ) mempunyai nilai pada dirinya, bukan atas dasar hormat pada peraturan moral yang mendasarinya, tetapi karena hukuman dan otoritas. b. Tahap 2: Orientasi Relativis Instrumental

Tindakan benar adalah tindakan sebagai alat dapat memenuhi kebutuhan sendiri atau kadang-kadang juga memenuhi kebutuhan orang-orang lain. Hubungan antar manusia dianggap sebagaimana hubungan orang di pasar. Unsur-unsur sikap adil, hubungan timbal balik, kesamaan dalam ambil bagian terhadap kondisi yang sudah ada, tapi semuanya dimengerti secara fisik dan pragmatis. Hubungan timbal balik antar manusia adalah soal “ kalau kamu menggarukkan pungggungku, saya akan garukkan punggungmu “, sebagai hubungan pragmatis, bukan karena loyalitas (kesetiaan), rasa terima kasih atau keadilan.

2. Tingkat Konvensional (Kebiasaan)

(33)

kelihatan. Sikap ini bukan hanya mau menyesuaikan diri dengan harapan-harapan orang tertentu atau ketertiban sosial, tetapi sikap ingin loyal, sikap ingin menjaga, menunjang dan memberi pembenaran pada ketertiban itu dan sikap ingin mengidentifikasikan diri dengan orang-orang atau kelompok yang ada di dalamnya. Pada tingkat kebiasaan ini terdapat dua tahap, yaitu:

a. Tahap 3: Orientasi masuk ke kelompok “anak baik” dan “anak manis”

Tingkah laku yang baik adalah tingkah laku yang menyenangkan atau membantu orang-orang lain dan yang mendapat persetujuan mereka. Ada banyak usaha menyesuaikan diri dengan gambaran-gambaran stereotipe yang ada pada mayoritas atau dengan tingkah laku yang dianggap lazim “umum”. Tingkah laku sering kali dinilai menurut intensinya. “ Dia bermaksud baik “ untuk pertama kalinya menjadi penting. Orang berusaha untuk diterima oleh lingkungan dengan bersikap “manis”.

b. Tahap 4: Orientasi hukum dan ketertiban

Ada orientasi kepada otoritas, peraturan-peraturan yang sudah pasti, dan usaha memelihara ketertiban sosial. Tingkah laku yang benar berupa kewajiban, menunjukkan rasa hormat kepada otoritas, dan memelihara ketertiban sosial yang sudah ada demi ketertiban itu sendiri.

3. Tingkat Post-Konvensional (Post-Kebiasaan)

Pada tingkat ini, ada usaha yang jelas untuk mengartikan nilai-nilai moral dan prinsip-prinsip yang sahih serta dapat dilaksanakan, terlepas dari otoritas

(34)

kelompok atau orang yang memegang prinsip-prinsip tersebut dan terlepas dari apakah individu yang bersangkutan termasuk kelompok-kelompok itu atau tidak. Tingkat ini mempunyai dua tahap:

a. Tahap 5: Orientasi kontrak-sosial legalistis. Biasanya dengan tekanan mementingkan ke-gunaannya (utilitaristis). Tindakan benar cendrung dimengerti dari segi hak-hak individual yang umum dan dari segi patokan-patokan yang sudah dikaji dengan kritis dan disetujui oleh seluruh masyarakat. Ada kesadaran yang jelas bahwa nilai-nilai dan opini pribadi itu relatif dan oleh karenanya perlu adanya peraturan prosedural untuk mencapai konsensus. Di samping apa yang telah disetujui secara konstitusio-nal dan secara demokratis, hak tak lain merupakan nilai-nilai dan opini pribadi. Akibatnya ada tekanan pada pandangan legalistis, tetapi juga menekankan bahwa hukum dapat diubah atas dasar rasional demi kemaslahatan masyarakat (tidak secara kaku mau mempertahankannya seperti dalam tahap 4: Orientasi hukum dan ketertiban). Di luar bidang hukum, persetujuan bebas dan kontrak merupakan unsur pengikat dari kewajiban. Itulah moralitas “resmi” dari pemerintah dan konstitusi.

b. Tahap 6: Orientasi asas etika universal

(35)

intinya itulah prinsip-prinsip universal mengenai keadilan, pertukaran hak (reciprocity) dan kesamaan hak asasi manusia dan penghormatan kepada martabat manusia sebagai pribadi (person).

Keenam tahap di atas menghadirkan suatu pola pemikiran yang menyatu pada setiap pengalaman seseorang dan pandangannya atas hal-hal yang khusus tentang moral. Sekali pun setiap orang boleh menjadi mampu mengingat kaidah umum (civic virtues) tertentu, tidak setiap orang akan berpikir tentang isu-isu umum (civic issue) yang penting dengan cara yang sama atau bertindak sesuai kaidah yang telah sama “dipelajari”. Oleh karena itu, tidak hanya mengajar ketentuan moral yang berhubungan dengan situasi tertentu, para guru juga perlu menolong siswa menguji alasan yang biasa digunakan untuk mengatasi moral atau masalah moral yang ada. Para guru membantu siswa menguji pertimbangan moral yang mereka miliki dan pertimbangan orang lain dengan menyelenggarakan diskusi tentang situasi-situasi dilema.

Suatu diskusi tentang dilema moral menitikeratkan pada perbedaan pertimbangan yang digunakan untuk mengatasi suatu masalah dibanding pula pada tingkah laku yang disarankan dari karakter tokoh utama. Peserta yang menyarankan tingkah laku sama sering memiliki alasan berbeda untuk saran-saran mereka. Menguji perbedaan ini menjadi kunci bagi penelitian Kohlberg dalam perkembangan moral. Tanggapan-tanggapan dalam diskusi terhadap kasus “ Sebuah Surat Peringatan “ berikut akan menunjukkan bagaimana tanggapan setiap individu dari perbedaan tahap orientasi-orientasi tingkatan Kohlberg.

(36)

B. Beberapa Kesimpulan Terhadap Teori Kohlberg

Kohlberg memperoleh tahapan-tahapan pertimbangan moral secara empiris dari kajian-kajian yang panjang di Amerika Serikat. Teori tahapan itu juga telah divalidasi melalui kajian-kajian lintas-budaya dan program-program penelitian terkait lainnya selama dekade yang lalu. Bekerja sama dengan Lawrence Kohlberg, berbagai kelompok pendidik dan psikolog lebih lanjut memperbaiki teori itu selama 15 tahun melalui penelitian yang memperhatikan cara setiap individu dalam melakukan pertimbangan mengenai problema-problema moral. Berikut beberapa generalisasi yang dikemukakan dari hasil-hasil penelitian:

1. Tahapan merupakan lintas-budaya

Dalam kajian-kajian lintas-budaya melibatkan sejumlah pria kota kelas menengah di AS, Taiwan dan Mexico, dan para petani kelas bawah yang tinggal di Turki dan Yukatan, hasil-hasilnya memperkuat teori perkembangan. Meskipun berbeda latar belakang budaya, sosial dan religi, para subjek bergerak melalui tahapan yang sama dalam perkembangan moral dan dalam rangkaian yang sama. Sementara kecepatan pergerakan bervariasi antara berbagai budaya, konsep dasar dari tahapan-tahapan universal perkembangan moral telah tumbuh dengan nyata.

2. Pergerakan tahapan-tahapan meningkat melalui urutan yang sama, dan tahapan-tahapan tidak dapat dilewati.

(37)

selalu didahului oleh pencapaian seluruhan tahapan-tahapan yang lebih rendah. Karena setiap tahap mensyaratkan pertimbangan dari setiap dan masing-masing tahapan sebelumnya, itu tidak mungkin untuk melewati tahapan-tahapan perkembangan. Sebagai contoh, pertimbangan tahap 1 dan 2 mesti telah terpadu dengan mode berpikir tahap 3, dan oleh karena itu, seseorang tidak dapat melompat dari tahap 2 ke tahap 4. 3. Perkembangan terjadi karena daya tarik dari

tahapan yang lebih tinggi berikutnya dari dari pertimbangan.

Individu mempunyai kapasitas untuk memahami pertimbangan yang dikemukakan pada tahapan yang lebih tinggi berikutnya. Karena pertimbangan barang-kali nampak lebih logis dan komprehensif, dan oleh karena itu, lebih memadai dalam berhadapan dengan situasi dilema, setiap individu mungkin tertarik pada tahapan pertimbangan selanjutnya. Itu tidak dimaksud-kan bahwa tahapan yang lebih tinggi selalu diadopsi atau bahkan diungkapkan, tetapi pendengar mungkin mulai memadukan elemen-elemen tahapan yang lebih tinggi terhadap solusi-solusi masa depan terhadap problema-problema moral. Pertimbangan secara konstan dan restrukturisasi pertimbangan moral memberikan elemen dasar bagi perkembangan teori.

4. Ada perbedaan-perbedaan individu dalam kecepatan perkembangan moral dan dalam mencapai tingkat yang tertinggi dari kematang moral.

Walaupun anak-anak dan para remaja berkembang dalam berbagai tingkat kecepatan melewati tahap-tahap, pra-remaja bergerak melewati tingkat pra-konvensional

(38)

dan para orang dewasa berkembang ke arah post-konvensional dari berpikir. Namun demikian, setiap individu dapat menjadi diam tak berkembang pada beberapa tingkat. Sebetulnya, kurang lebih 20% dari populasi orang dewasa berpikir pada tingkat post-konvensional. Tahap 4, berorientasi pada hukum dan ketertiban, adalah senantiasa merupakan tahap yang lebih umum, dan itu mungkin bagi para orang dewasa untuk berpikir pada tahapan yang lebih rendah dari perkembangan moral.

5. Tingkatan-tingkatan bukan sejumlah keyakinan-keyakinan kultural yang diajarkan pada para siswa. Satu analisis terhadap teori perkembangan moral. khususnya sebagai sesuatu yang berhubungan dengan proses mengajar, menunjukkan bahwa tahapan-tahapan tidak memperlihatkan sejumlah pepatah moral yang dapat diajarkan kepada anak-anak oleh orang dewasa. Tahapan menunjukkan abstraksi-abstraksi, yaitu anak-anak (kemudian orang dewasa) berkembang pada diri mereka sendiri sebagai kematangan-kematangan kecerdasan mereka dan mereka berupaya untuk menguasai secara konsisten terhadap dilema-dilema yang muncul dan argumentasi yang mereka dengar. Penelitian Leary (1972) menunjukkan bahwa penyajian yang bersifat mendidik dari dilema moral punya sedikit atau tidak berakibat terhadap tingkat perkembangan berpikir siswa.

6. Kematangan moral meningkatkan kemampuan seseorang untuk memecahkan konflik-konflik moral.

(39)

perkembangan moral yang lebih tinggi, banyak pandangan ditempatkan ke dalam catatan per-timbangan tentang konflik-konflik moral.

7. Pertimbangan moral berhubungan dengan perilaku.

Meskipun bukti tambahan harus dikumpulkan lebih lanjut untuk mendukung generalisasi ini, berbagai penelitian menunjukkan bahwa kematangan pertim-bangan moral yang diperlihatkan oleh setiap individu yang juga bertindak dengan cara-cara moral yang sesungguhnya. Berbagai penelitian terbatas berkaitan dengan aktivitas dan kepatuhan siswa menunjukkan korelasi antara tindakan-tindakan dengan orientasi tahapan tertentu dari subjek.

8. Perkembangan moral dapat distimulasi dalam kelas

Penelitian Kohlberg dan koleganya juga menetap-kan bahwa siswa-siswa yang berpartisipasi secara tetap dalam berbagai diskusi dilema-dilema moral sering diawali dengan mengemukakan pertimbangan tahap perkembangan yang lebih tinggi. Khususnya, dalam diskusi-diskusi yang mempromosikan beberapa perubahan atau kematangan dalam bentuk pertim-bangan moral untuk beberapa peserta diskusi. Diskusi-diskusi yang mempromosikan banyak perubahan melibatkan para peserta diskusi yang berbeda, tetapi dengan tahap-tahap yang berdekatan. Oleh karena itu, diskusi yang aktif di antara peserta diskusi pada tingkat yang berbeda nampaknya akan menghasilkan perubahan.

(40)

Beberapa generalisasi memberikan arah bagi bentuk non-indoktrinasi baru dari pendidikan moral. Per-tumbuhan moral ditentukan oleh kesadaran individu dari pandangan-pandangan yang melampaui kepentingan diri sendiri. Pertumbuhan moral memperlihatkan kemampuan untuk melihat sisi orang lain dan berfokus pada isu-isu besar. Selanjutnya dalam pertumbuhan moral, setiap individu membutuhkan kesempatan berperan menjadi orang lain dalam situasi-situasi dilema. Setiap individu, khususnya para siswa, membutuhkan kesempatan untuk menggunakan sarana diskusi-diskusi tentang problema-problema sosial dan moral. Para peserta diskusi dalam berbagai diskusi membutuhkan kesempatan untuk mengemukakan pertimbangan mereka sendiri dan untuk mendengarkan pendapat-pendapat orang lain.

Pemahaman terhadap teori Kohlberg tentang per-timbangan moral ini mengimplikasikan strategi mengajar yang khusus untuk menstimulasi perkembangan moral. Diskusi dari dilema moral akan memberikan para siswa kesempatan-kesempatan berikut:

1. Mempertimbangkan problema-problema moral sesungguhnya.

2. Mengalami konflik-konflik kognitif dan sosial sesungguhnya selama diskusi problema moral 3. Mengaplikasikan tingkat berpikir tertentu mereka

terhadap situasi-situasi problematis.

4. Terbuka terhadap tingkat berpikir berikutnya yang lebih tinggi.

(41)

Materi-materi kurikulum mengutamakan kisah-kisah dilema yang dirancang untuk menghadapkan para siswa dengan problema-problema sesungguhnya. Menciptakan situasi di mana para siswa tidak sepakat terhadap tindakan yang tepat terhadap tokoh utama yang menghadirkan konflik kognitif dan sosial sesungguhnya. Diskusi kelas dengan fokus pertimbangan-pertimbangan untuk mereko-mendasi wacana tertentu terhadap tindakan memberikan kesempatan kepada para siswa untuk mengaplikasi tingkat tertentu dari kemampuan berpikir mereka. Sebuah diskusi yang aktif di antara para siswa juga menciptakan suasana yang membuka tingkat-tingkat pertimbangan moral yang lebih tinggi. Akhirnya, meminta para siswa untuk belajar melalui sejumlah problema sosial dan moral sepanjang pengalaman pendidikan mereka memberikan kesempatan untuk mereka untuk menghadapi berbagai ketidakkonsistenan mereka dalam berpikir.

(42)
(43)

BAB V

TEORI DAN KONSEP

PERKEMBANGAN KOGNITIF UNTUK

PEMBELAJARAN MORAL

A. Teori Perkembangan Kognitif untuk Pembelajaran Moral

Moralitas individu dapat dipengaruhi oleh pengetahu-an moral, kupengetahu-antitas dpengetahu-an kualitas pengetahupengetahu-an nilai moral,

serta “tidak selalu menjamin” kualitas perilaku moral seseorang, sehingga tidak selalu berkorelasi (moral knowl-edge `” moral behavior), akan tetapi dapat membantu perkembangan moral. Karena pengetahuan (aspek kognitif) yang bisa mempengaruhi sikap seseorang “penting”, pengetahuan (aspek kognitif) merupakan “awal” dari perubahan perilaku

Berdasarkan teori perkembangan moral kognitif, maka perkembangan tahapan kognitif moral menurut Kohlberg terdiri dari tiga tingkatan, masing- masing tahapan terdiri dari dua tahapan, yaitu;

1. Tingkatan Prekonvensional

a. Tahapan 1, berorientasi pada hukuman dan kepatuhan (otoritas)

(44)

2. Tingkatan Konvensional

a. Tahapan 3, berorientasi konformitas terhadap citra stereotipe mayoritas (orientasi masuk kelompok “godboy” dan “nicegirls”)

b. Tahapan 4, berorientasi pada ketertiban hukum, sosial dan agama (orientasi hukum dan ketertiban)

3. Tingkatan Postkonvensional

a. Tahapan 5, berorientasi pada kontrak sosial legalistis (berorientasi pada kemanfaatan sosial berdasarkan hak-hak individual dan berdasarkan standar yang telah dikaji secara kritis, dan disetujui oleh masyarakat)

b. Tahapan 6, berorientasi pada asas etika universal (berorientasi pada keputusan hati-nurani berdasarkan prinsip-prinsip etika pilihan sendiri, secara rasional, dan komprehesif)

Perkembangan moral kognitif demikian dialami oleh seseorang dan setiap pertimbangan moral yang dilakukan terhadap sesuatu hal, termasuk masalah moral dan sosial, tidak terlepas dari pertimbangan moral yang menjadi landasan orientasi penilaian moralnya. Karena tahapan perkembangan moral merupakan satu sistem pemikiran yang terorganisir, yang memperkuat dan sekaligus mengarahkan kepada keputusan- keputusan moral tertentu.

(45)

untuk mengambil keputusan moral yang menantang melalui isu nilai-nilai tertentu atau nilai-nilai yang berdimensi dilema moral yang dihadapkan kepada siswa. Maksud dari model pembelajaran moral yang menekan-kan pada perkembangan kognitif adalah tidak sekedar untuk membuka atau membentuk penalaran seseorang/ siswa, atau hanya membiasakan siswa dengan keberadaan isu-isu nilai-nilai tertentu atau nilai-nilai yang berdimensi dilema moral, tetapi merupakan bagian dari upaya agar siswa melampaui tahapan perkembangan kognitif moral sudah dicapainya dan untuk mencapai tahapan yang lebih tinggi lagi.

B. Konsep Perkembangan Kognitif untuk Pembelajaran Moral

Konsep dalam pembelajaran moral ini disebut “kognitif”, karena mengakui bahwa pendidikan moral didasarkan pada stimulasi berpikir aktif terhadap isu-isu dan keputusan moral. Disebut sebagai “perkembangan”, karena memandang tujuan pendidikan moral adalah sebagai upaya mengembangkan penalaran dan per-timbangan moral melalui tingkatan dan tahapan moral.

Pembelajaran berbasis perkembangan moral kognitif adalah berdasarkan pada teori perkembangan moral kognitif yang dikembangkan oleh Lawrence Kohlberg, dan bertolak pada pendapat Dewey dan Piaget mengenai perkembangan berpikir moral. Menurut Dewey (dalam Purpel dan Ryan, 1976) tujuan dari pendidikan moral adalah membantu sekolah untuk pembangunan manusia yang berkarakter bebas dan kuat. Kohlberg meyakini bahwa nilai-moral-norma hanya akan mempribadi ( per-sonalized), melalui struktur kognitif, atau cognitive conflict dan penalaran, di mana akan terjadi transaksi intelektual

(46)

taksonomi tinggi dalam mencari pemecahan suatu masalah yang termuat dalam stimulus pembelajaran. Kadar dilema dalam stimulus menentukan peringkat transaksi intelektual (Djahiri dan Wahab, 1996: 41)

Pelaksanaan model perkembangan kognitif dalam kegiatan pembelajaran adalah berupaya menstimuli gerakan struktur kognitif untuk melakukan “moral rea-soning” ke tahap perkembangan kognitif moral yang lebih meningkat. Alasan lain, antara lain, adalah (Purpel dan Ryan, 1976: 185-186) perubahan terjadi lebih banyak pada cara pemikiran dibandingkan pada keyakinan tertentu; peserta didik di dalam sebuah kelas berada dalam tahapan-tahapan yang berbeda, tujuannya untuk membantu perkembangan kognitif peserta didik ke tahap selanjutnya; dan mempertimbangkan pendapat yang berada pada tahapan yang lebih baik.

Moralitas individu dapat dipengaruhi oleh pengetahu-an moral, tetapi tidak selalu berkorelasi (moral knowledge tidak sama dengan moral behavior), dan dapat membantu perkembangan moral. Pengetahuan (aspek kognitif) yang mempengaruhi sikap seseorang “penting”, karena merupakan “awal” dari perubahan perilaku. Kuantitas dan kualitas pengetahuan moral tidak selalu menjamin kualitas perilaku moral seseorang.

(47)

Beberapa konsep perkembangan kognitif yang dapat dijadikan acuan untuk pembelajaran moral adalah bahwa;

1. Moralitas

Perkembangan moralitas seseorang terletak pada penekannya yang konsisten terhadap peranan kognisi dalam moralitas. Peran kognisi merupakan pintu masuk bagi perkembangan moralitas seseorang.

2. Orang yang Bermoral

Menurut konsep perkembangan kognitif dalam pembelajaran nilai moral diharapkan akan menghasilkan pribadi yang terdidik secara moral, yaitu: a. Pribadi yang mampu menunjukkan suatu kombi-nasi dari berbagai karakteristik, seperti refleksi, prinsip, memancarkan nilai-nilai moral keadilan, memiliki disposisi dalam bertindak, sadar akan keharusan berinteraksi dengan situasi sosial dan dalam menghadapi situasi moral

b. Pribadi yang mampu menyerap proses per-timbangan moral maupun melaksanakan proses tersebut, sehingga memiliki kesadaran akan adanya prinsip-prinsip di dalam kehidupan ini.

3. Guru/Pendidikan

Guru dalam pembelajaran nilai moral hendaknya melaksanakan tugas utama, yakni memberikan kontribusi terhadap proses perkembangan moral peserta didik dengan berperan sebagai fasilitator. Hakekat dari tugas tersebut adalah mengembangkan kemampuan peserta didik dalam proses berpikir, mempertim-bangkan dan memutuskan.

(48)

Tugas-tugas utama guru mencakup pula empat tugas lain, yaitu guru hendaknya membantu peserta didiknya dalam:

a. Memfokuskan pandangan atau dalam meng-hadapi konflik-konflik moral yang sebenarnya. Hal ini, baik dengan memanfaatkan materi pelajaran sehari-hari maupun secara sistematik menyajikan dilema-dilema hipotesis.

b. Merefleksikan alternatif cara-cara menalar konflik moral sekaligus memecahkannya.

c. Merefleksikan secara kritis proses berpikir yang peserta didik terapkan.

d. Memberikan saran kepada peserta didik mengenai prosedur refleksi dan pemecahan yang lebih efisien dibandingkan metode yang mereka kembangkan.

(49)

BAB VI

MODEL PEMBELAJARAN

PERKEMBANGAN KOGNITIF MORAL

A. Konsep

(50)

perkembangan kognitif moral adalah kemampuan penalaran (kognitif) terhadap berbagai isu-isu moral.

B. Asumsi

Model pembelajaran perkembangan kognitif moral adalah salah satu dari beberapa model pembelajaran karakter moral warga negara (civics virtue). Model pembelajaran yang berorientasi pada perkembangan kognitif ini didasari oleh asumsi-asumsi yang menjadi tiang pancang pelaksanaan kegiatannya dalam pembelajar-an,yaitu:

1. Pendidikan moral (moral kewarganegaraan, etika hidup bernegara, karakter bernegara) adalah juga pendidikan intelektual yang didasarkan pada stimulasi berpikir aktif dari peserta didik terhadap isu-isu dan keputusan moral, termasuk kaitannya dengan moral bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

2. Perkembangan adalah upaya mengembangkan penalaran dan pertimbangan moral melalui tingkatan dan tahapan moral (moral stage), yang terdiri dari: a. Tingkat premoral (prekonvensional); perilaku yang

didorong oleh impuls-impuls biologis dan sosial dengan hasil moral, dengan orientasi kepada kepatuhan dan hukuman.

b. Tingkat konvensional; perilaku yang menerima dengan sedikit kritis terhadap standar kelompok c. Tingkat postkonvensional (autonomous); tindakan

(51)

4. Proses pertimbangan moral dapat dipelajari.

5. Standar moralitas didasarkan pada konsep filosofis universal dari “keadilan

6. Demokrasi membutuhkan warganegara yang memiliki penilaian moral yang baik dan keterampilan moral yang berkembang dengan baik pula.

7. Penilaian moral merupakan pemecahan dari konflik-konflik di antara nilai-nilai (moral dilema); sebagai hasil suatu pertimbangan moral, di mana nilai ditempatkan secara rasional sebagai prioritas. 8. Penilaian moral dibuat dari hal-hal keseharian dan

merujuk langsung perilaku kita.

C. Tujuan

Setiap model pembelajaran moral, termasuk model pembelajaran berbasis perkembangan kognitif moral tentu memiliki tujuan. Pelaksanaan kegiatan pembelajaran berdasarkan strategi model perkembangan kognitif moral berupaya untuk mencapai suatu tujuan. Adapun tujuan dari model pembelajaran perkembangan kognitif moral adalah membantu peserta didik secara bertahap (dari satu tahap pada suatu waktu) berkembang hierarki moralnya, dan berarti mengembangkan penalaran moral untuk menghasilkan moral yang “lebih baik” dan warga negara yang juga lebih baik.

D. Posisi Guru

Untuk melaksanakan strategi pembelajaran dengan menggunakan model perkembangan kognitif moral, maka ada beberapa posisi guru yang harus menjadi perhatian, yaitu:

(52)

1. Guru membantu mengembangkan tahap yang lebih tinggi dalam penalaran moral melalui “pengajaran terpimpin “( mempergunakan situasi dilema moral dengan pertanyaan ’lacakan’ ) dalam seluruh bahan atau isi materi pelajaran.

2. Membantu peserta didik mengembangkan lingkungan/suasana yang lebih “adil, bermoral” yang mempengaruhi seluruh aspek kehidupan sekolah/ kelas.

E. Substansi Model Pembelajaran

Strategi pembelajaran yang menggunakan model perkembangan kognitif moral, harus terdiri dari 5 ( lima ) hal yang merupakan substansi (inti) dari model pembelajaran perkembangan kognitif moral, yaitu:

1. Fokus

Fokus dari model pembelajaran ini adalah berupa atau dalam bentuk adanya “situasi dilematis”. Situasi dilematis ini harus antara lain, berfokus pada kehidupan peserta didik, isi/materi pelajaran, atau pada kehidupan masyarakat, pemerintahan, dan negara yang aktual. Situasi dilema yang dikehendaki haruslah “asli” atau mencerminkan hal yang “sesungguhnya” dari kehidupan nyata.

2. Tokoh Utama

(53)

3. Pilihan

Tokoh utama harus memiliki dua pilihan alternatif tindakan yang menumbuhkan satu konflik tertentu. Pilihan tidak harus berupa jawaban yang “benar” menurut kelaziman di masyarakat.

4. Isu-Isu Moral

Situasi dilema dan tokoh utama berkaitan dengan norma-norma sosial, politik, ekonomi, budaya, keluar-ga, masyarakat, dan lain-lain, misalnya hukuman, seks, politisi busuk, dan koruptor.

5. Pertanyaan Tindakan

Pertanyaan tindakan adalah berupa tindakan apa yang harus dilakukan tokoh utama. Tindakan ini merupakan inti kegiatan diskusi yang berpusat pada penilaian moral dalam suatu dilema.

F. Langkah-Langkah Strategi Pembelajaran

Supaya pelaksanaan strategi pembelajaran dengan menggunakan model perkembangan kognitif moral ini sesuai dengan asumsi dan tujuannya, maka dipaparkan langkah-langkah prosedur pelaksanaannya;

1. Menghadapkan peserta didik dengan satu dilema moral, dapat berupa antara lain lembar cerita, role-playing, fragmen film, atau klipping koran. Peserta didik harus dapat memahami “masalah pokok” yang dilematis yang dihadapi tokoh utama dalam cerita. 2. Menetapkan posisi sementara. Guru memberi

kesempatan kepada peserta didik untuk menetapkan posisi sementara dirinya dalam dilema moral yang

(54)

dihadapi, dengan cara menuliskan posisinya. Kemudian guru mengelompokkan posisi yang sama. 3. Mengkaji penalaran/pertimbangan moral. Peserta didik dibagi ke dalam kelompok-kelompok kecil untuk mengkaji pertimbangan moralnya (moral rea-soning) dalam kelompoknya.

4. Memikirkan secara mendalam setiap posisi individual (Reflect on the Individual Position). Guru membantu peserta didik sekali lagi untuk merenungi posisinya dalam dilema moral tersebut.

5. Dilema moral disesuaikan dengan perkembangan peserta didik, misalnya:

a. Tingkat SD; dilema tentang kerjasama, sikap adil, memahami orang lain, kerukunan dalam keragaman

b. Tingkat SMP; dilema persahabatan, hubungan dengan kekeluargaan, tekanan teman sebaya, kesetiaan, dan kepercayaan.

(55)

BAB VII

CERITA DILEMA MORAL

A. Unsur-Unsur Esensial Sebuah Kisah Dilema

Metode ini digunakan lebih sering menghadapkan para siswa dengan situasi-situasi sosial dan moral yang sesungguhnya yang mengandung dilema moral. Kisah dilema moral barangkali dapat disampaikan melalui bacaan, film, bermain peran (role playing ) atau media lain. Dilema-dilema bisa juga muncul paling sedikit dari tiga sumber: materi khusus kurikulum, isu-isu mutakhir dalam masyarakat saat kini, situasi-situasi dilema yang berhubungan secara langsung dengan kehidupan para siswa. Suatu kisah dilema mencakup lima unsur-unsur esensial:

1. Fokus

Sebuah situasi dalam dilema sebaiknya difokuskan pada kehidupan para siswa, materi kurikulum, atau masyarakat terkini. Sebuah dilema sebaiknya merupakan hal yang sesungguhnya.

2. Tokoh Sentral

(56)

3. Pilihan

Kisah atau situasi harus mengandung pilihan bagi tokoh sentral. Tokoh dalam dilema sebaiknya memiliki dua pilihan tindakan yang memperlihatkan konflik nyata. Tak ada satupun tindakan pilihan yang di-pandang secara kultural akan diakui sebagai jawaban “benar”. Dalam dilema Sebuah Surat Peringatan, Ibu Wati memiliki pilihan antara mematuhi peringatan pengawasnya atau mendukung para siswa dalam keterlibatan dengan isu-isu masyarakat. Ibu Wati tentu saja merasa norma-norma sosial yang menariknya dalam dua kutub dan menciptakan konflik baginya. Setiap kisah dilema mesti mencakup konflik sesungguhnya untuk tokoh utama.

4. Isu-Isu Moral

Dilema-dilema moral berkisar sekitar isu-isu moral utama. Kohlberg mengidentifikasi beberapa isu-isu tersebut, yaitu: Norma-norma sosial, hak-hak (kebebas-an-kebebasan) sipil, Kehidupan, Sex, Kesadaran Per-sonal, Perjanjian, Kepemilikan, Peran-peran dan Isu-Isu dari Dukungan, Kekuasaan, Hukuman dan Kebenaran.

(57)

5. Pertanyaan “ Sebaiknya”

Setiap dilema moral diakhiri dengan pertanyaan khusus yang meminta tentang apa yang sebaiknya

tokoh lakukan dalam situasi itu. Permintaan pertanyaan “sebaiknya” menjaga agar diskusi tetap terpusat pada pertimbangan-pertimbangan moral dalam dilema. Namun demikian, jika kamu minta peserta diskusi untuk menanggapi terhadap apa yang Ibu Wati akan

lakukan dalam situasi itu, kamu meminta mereka untuk memprediksi apa yang ia mungkin lakukan. Sebelum para individu menyadari untuk memprediksi tindakan dalam situasi yang ditemui, mereka sering menghendaki setiap kemungkinan secara rinci tentang tokoh utama dan materi-materi dari tindakan.

Para siswa juga enggan untuk menjawab per-tanyaan, seperti: Apa yang akan kamu lakukan dalam situasi itu? Lagi pula, sebelum setiap orang menyadari adanya kesamaan prediksi mereka dalam perilaku mereka, mereka ingin diakui bahwa mereka memiliki “jawaban yang benar”. Bagaimanapun, setiap orang, dapat sama pikirannya terhadap apa yang orang lain sebaiknya lakukan dalam situasi yang sulit.

Diskusi terhadap apa yang seseorang akan lakukan, walaupun sering menarik dan kadang-kadang relevan dengan pertimbangan-pertimbangan moral, sering mendorong pada penggunaan-penggunaan kemampuan psikologis ketimbang moralitas.

Hanya setelah peserta diskusi mendiskusikan apa yang sebaiknya dilakukan, itu membantu untuk membahas kemungkinan perbedaan antara apa yang

sebaiknya dilakukan dan apa yang akan dilakukan. Sebagai contoh di kelas 1 SMP pada mata pelajaran PKn atau IPS, para siswa mengunakan sedikit waktu

(58)

untuk berdebat apakah ya atau tidak tokoh dalam kisah dilema sebaiknya meniru lembar jawaban soal dalam ujian yang penting ( yang ia temukan dalam tong sampah sekolah ) untuk belajar bagi ujian yang akan datang. Meskipun para siswa tidak sepakat terhadap tindakan apa yang sebaiknya lakukan dan mereka mempunyai beragam alasan untuk mempertahankan materi dari tindakan, mereka akhirnya dipusatkan pada perbedaan potensial antara apa sebaiknya orang lakukan – sesuatu yang “benar” untuk dilakukan- dan apa yang mungkin secara nyata dilakukan orang dalam situasi itu. Dalam kasus ini, suatu diskusi terhadap

sebaiknya dan akan (mungkin) respon-respon yang muncul dapat menolong sekali dalam memberikan kesempatan para siswa untuk menguji kemungkinan ketidakkonsistenan antara pertimbangan-pertimbang-an moral mereka sendiri dengpertimbangan-pertimbang-an tindakpertimbangan-pertimbang-an moral. Berikut kisah yang dirancang untuk para siswa, lihat lima unsur esensial dalam kisah dilema ini

B. Contoh Kisah Dilema Moral

Berikut kisah yang dirancang untuk para siswa, lihat dan cermati lima unsur esensial dalam kisah dilema ini.

1. “Hei, Sam, Truk ada di sini”

(59)

dan uang tambahan sedikit untuk pekerja yang melaku-kan mogok. Sekarang, bagaimana, lemari mamelaku-kanan kosong dan tabungan-tabungan telah habis- bahkan bantuan-bantuan dana serikat pekerja pun hanya cukup untuk para pekerja tambang yang telah bekerja lebih dari 15 tahun. Anak-anak membawa makan siang dengan porsi yang lebih sedikit, dan makanan keluarga terdiri dari sop dan roti yang sudah basi. Mereka sudah mendekati kondisi kelaparan.

Sam mengelola toko pangan yang besar dalam komunitas penambang kecil. Sam telah bekerja di pertambangan lebih dari 25 tahun dan mengetahui kondisi-kondisi yang buruk sekali dan resiko-resiko keselamatan yang serikat pekerja protes. Sam berterima kasih bahwa ia dapat menafkahi keluarganya hingga sekarang dan anak perempuan yang paling bungsu sedang duduk di perguruan tinggi dari pendapatannya sebagai manejer toko. Istrinya gembira bahwa Sam tidak pernah pergi ke dalam lobang hitam lagi.

Sam hanya menjawab telepon selama jam 6 pada setiap sore. Ia terus menerima panggilan demi pangilan dari teman-teman lamanya dan penambang-penambang yang lain dalam masyarakat yang menanyakannya tentang kemungkinan pinjaman dari toko. Sam berada dalam kesulitan yang mendalam. Pemilik toko juga pemilik separo saham dalam perusahaan pertambangan dan ingin sekali pemogokan diakhiri. Pemilik toko mengintruksikan Sam bahwa tidak ada pinjaman yang akan diberikan kepada para pekerja tambang yang melakukan pemogokan.

Hari berikutnya Sam menerima dua panggilan lebih awal pada pagi hari. Pertama dari pemilik toko: “ Sam, saya dengar orang akan meminta kepada kamu

(60)

pinjaman di toko. Saya tahu bahwa kami simpati dengan serikat pekerja dan para pekerja, dan menempatkan kamu dalam posisi yang sulit. Ijinkan saya membuatnya lebih mudah untukmu – jika kamu membatalkan kebijakan tidak memberikan pinjaman, kamu dapat bekerja kembali dalam pertambangan”. Dan kamu saya laporkan ke polisi, karena bertindak illegal. Kedua, panggilan datang dari teman lama dan organisator serikat pekerja penambang: “ Sam, orang ingin mendapatkan pinjaman di tokomu. Kamu dapat memberikan orang-orang dengan berbagai makanan, Sam, saya akan meyakinkan toko bahwa akan dibayar kembali setelah pemogokan berakhir. Saya mengirim truk yang datang untuk mengangkut muatan barang-barang yang dibagi-bagi kepada 30 keluarga. Itu akan dilakukan pada jam 09.30, saya punya truk yang lain di sini sore nanti

Apakah sebaiknya Sam memenuhi pesanan ketika truk tiba? Ya atau tidak, Mengapa?

2. “ Sebuah Surat Peringatan “ (diadaptasi dari The Memo)

(61)

televisi terbaru tentang ketidakamanan dari tindakan para preman, pejahat atau pejambret terhadap warga negara. Beberapa pelajar memutuskan untuk menggu-gah kesadaran masyarakat terhadap masalah angkutan setempat. Baru-baru ini sejumlah warga usia lanjut telah mengajukan usulan pada perusahaan bis dan pemerintah kota untuk mengeluarkan karcis bebas bagi warga usia lanjut dilanjutkan naik bis tanpa bayar dan pemerintah kota yang mensubsidi perusahaan bis.

Kelompok pelajar ini menyelenggarakan kam-panye atau unjuk rasa untuk mengangkat masalah yang berkenaan dengan kebutuhan transportasi bagi warga yang berusia lanjut. Mereka membentuk kelompok kajian untuk menyelidiki permasalahan tersebut. Mereka mengirim surat kepada para politisi dan para pengusaha, bahkan mereka tampil pada “Suara Masyarakat” sebuah acara televisi yang menampilkan masalah lokal. Namun demikian para pemimpin masyarakat mengabaikan para pelajar dan menolak usulan itu. Ibu Wati berusaha mencari dukung-an dari sejumlah besar pelajar sekolah menengah lain dan mengatur suatu rencana untuk menarik perhatian masyarakat pada masalah transportasi bagi warga lanjut usia. Bagian pertama dari rencana itu adalah mengajak para pelajar sekolah menengah lainnya, dengan cara menolak menggunakan bis yang telah disediakan untuk pergi sekolah. Mereka meminta agar mereka diantar oleh orang tua mereka untuk diantar sekolah. Bagian kedua dari rencana berikutnya, mereka meminta para pelajar semua naik bis keliling kota pada jam ramai. Oleh karena para pelajar memiliki karcis bebas yang membolehkan mereka menaiki bis apa pun, mereka dapat menggunakan karcis bebas tersebut dan

(62)

menguasai angkutan umum dengan menaiki bis tertentu dan mencegah penumpang lain mengguna-kannya. Para pelajar menerapkan boikot atau monopoli dan tampaknya berhasil pada hari pertama. Bis sekolah menjadi kosong, pada tengah hari jam ramai, terminal bis menerima laporan bahwa lalu lintas kota dipenuhi para pelajar yang menyanyi dan tertawa.

Hari berikutnya ibu Wati diberitahu oleh atasan beliau bahwa para politisi tidak membenarkan perbuatan para pelajar. Ibu Wati menjelaskan pada atasannya bahwa dia telah menjelaskan kegiatan ter-sebut dengan para siswa dan kepala sekolah pada awal tahun ajaran dan dia tampak senang dengan cara sejumlah pelajar terlibat bermasyarakat. Namun demikian, ibu Wati menerima sebuah surat peringatan resmi di dalam kotak pos sekolah pada siang hari berikutnya.

Depdiknas Kota Banjarmasin Sekolah Menengah Atas Negeri Drs. Anang Baderi, Kepala Sekolah

Kepada : Ibu Dra. Wati Dari : Kepala Sekolah Tanggal : 18 Mei 2003

Masalah : Protes Siswa yang Menggunakan Transportasi Umum

(63)

yang mengganggu terhadap kebijakan transportasi publik tertentu. Situasi demikian tidak dapat dibiarkan,dan anda mesti memerintahkan para siswa menghentikan boikot segera dan menahan diri dari menggunakan bis-bis keliling kota selama jam-jam ramai. Para siswamu akan diinstruksikan segera (setiap individu dan secara pribadi dengan telepon jika perlu ) untuk membatalkan isu tersebut atau resikonya anda akan dikeluarkan dari sekolah Saya yakin kamu akan sepakat bahwa masalah ini akan ditangani oleh sekolah karena hal itu dimulai sebagai tugas kelas. Jika para siswa tidak mengikuti instruksimu, bagaimana pun pemerintah kota telah menyiapkan tindakan yang tepat. Termasuk memecat anda

Apakah sebaiknya ibu Wati akan memanggil para siswanya dan membatalkan tugas yang diberikannya? Pilih satu: Ya______________ Tidak _______________ Pertimbangan-Pertimbangan _________________________

3.”Obat Langka”

Seorang wanita dari keluarga miskin di satu kota sedang dalam keadaan sakit parah dan dalam keadaan sekarat, karena diserang penyakit kanker yang aneh. Hanya ada satu obat yang menurut dokter mungkin dapat menyembuhkannya. Obat yang mengandung radium itu baru saja ditemukan oleh seorang ahli farmasi di kota itu. Obat itu mahal pembuatannya, dan ahli farmasi di kota itu menuntut bayaran 10 kali lipat dari

(64)

biaya pembuatannya. Ia mengeluarkan Rp.20.000.000. sebagai biaya pembuatan radium itu, dan menetapkan harga Rp.200.000.000,-, untuk biaya obat itu dalam dosis kecil.

Suami perempuan yang sakit itu, Palui, menemui setiap kenalan dan keluarganya, untuk meminjam uang untuk membeli obat itu. Akan tetapi setelah semua kenalan dan keluarga, dan habis pergi ke sana ke mari, Palui hanya berhasil mengumpulkan uang sebanyak Rp.100.000.000,-. Jadi hanya separuh dari harga obat yang diperlukan.

Disampaikan Palui kepada ahli farmasi itu, bahwa isterinya sedang sakit parah dan dalam kondisi sekarat, lalu mohon agar dapat memperoleh obat itu, dengan harga yang lebih murah atau membolehkannya membayar dulu RP.100.000.000,- dan sisanya kemudian. Ahli farmasi itu berkata: “ Tidak bisa, sayalah yang menemukan obat itu, dan saya akan berusaha untuk mengeruk uang dengan penemuan itu “.

Apakah sebaiknya Palui mencuri obat itu untuk mengobati isterinya yang sekarat atau tidak?

Pilih satu: Ya_______________ Tidak ______________ Alasan: _______________________________________

4. Iwan dan Dani: Kepantasan Berperilaku

(65)

malah ada yang sekedar sebagai penjual jasa dengan membuka warung kecil.

Dani adalah anak seorang pegawai biasa yang juga tinggal di kompleks perumahan tersebut. Dia ber-sebelahan rumah dengan seorang pengusaha kaya, yang anaknya bernama Iwan, satu sekolah dan sering belajar bersama dalam satu kelompok dengan Dani. Tetapi Iwan, tidak mau berteman dengan Dani, bila di kompleks perumahan. Iwan lebih suka berkawan dengan teman-teman yang sesuai dengan kekayaan-nya, bahkan kadang-kadang mengejeknya di depan teman-temannya. Sedangkan Dani cukup bermain bola di lapangan.

Suatu hari Iwan terjatuh dari sepeda motornya, saat pulang dari sekolah, dan tidak dapat bangkit, atau berjalan, karena kakinya luka berdarah. Dani melihat-nya, tetapi ada rasa enggan di benaknya untuk membantu Iwan. Ia langsung pulang saja, tanpa memperdulikan Iwan yang kesakitan dan sendirian di tepi jalan. Pantaskah kelakuan Dani terhadap Iwan? (Sumber: Dimodifikasi dari Jurkanie Dharma,2004)

Pilih satu: Ya _______________ Tidak _______________ Alasan: _______________________________________

5. Lala Hidup Sederhana

Lala anak seorang pengusaha kaya raya. Orang tuanya memiliki banyak uang dan harta kekayaan, bahkan berlebihan. Akan tetapi kehidupan Lala seperti layaknya orang kebanyakan. Ia berpakaian biasa-biasa saja, seperti pakaian yang dipakai teman-temannya. Pergi ke sekolah naik taksi umum serta akrab bergaul

(66)

dengan teman-temannya di sekolah maupun di kampung. Selain itu, Lala juga suka menabung untuk keperluan masa depannya. Lala suka memberi per-tolongan kepada teman-teman yang mendapat musibah atau perlu bantuan segera yang harus dipenuhi. Pergaulan Lala biasa saja, tidak menunjukkan bahwa dirinya anak seorang pengusaha yang kaya raya, padahal jika melihat kekayaan ayahnya Lala bisa berfoya-foya dalam hidupnya. Namun Lala tidak melakukannya. Melihat sikap Lala demikian, ayah dan ibunya kecewa, dan berpikir bahwa kekayaan yang mereka miliki dan susah payah membanting tulang, tidak berguna dan tidak diperdulikan oleh Lala. Pantas-kan Lala bersikap demikian? (Sumber: Dimodifikasi dari Jurkanie Dharma,2004)

(67)

BAB VIII

PERENCANAAN PEMBELAJARAN

A. Tiga Bagian dari Perencanaan Mengajar

1. Dilema Orisinal

(68)

pesanan, ketika truk tiba. Setiap perencanaan mengajar mencakup pembelajaran tentang ketidaksetujuan terhadap posisi tindakan.

2. Dilema-dilema Alternatif

Para siswa akan banyak terlibat dalam diskusi, jika mereka sejak awal mengalami berbagai konflik tentang tindakan yang ditanyakan. Rangkaian alternatif untuk dilema sesungguhnya bermanfaat untuk mendorong konflik dalam kisah. Alternatif-alternatif barangkali mendorong konflik melalui pemusatan lebih khusus pada salah satu dari isu-isu moral dalam kisah atau dengan menghadirkan salah satu dari norma-norma sosial yang bertentangan dalam dilema. Sebagai contoh, jika lebih banyak para siswa dalam kelas setuju bahwa Sam sebaiknya memenuhi pesanan, guru dapat memperlihatkan alternatif dalam kisah yang menunjuk-kan bahwa Sam mungkin menghadapi tuduhan bertindak kriminal karena menolong para pekerja tambang untuk memenuhi apa yang tidak dipunyai mereka.

Suatu alternatif yang menekankan pada isu

(69)

Sam (kewajibannya untuk memelihara pekerjaan berhadapan dengan kewajibannya terhadap persahabatan dengan para pekerja tambang lainnya). Selama kelas tidak setuju tentang tindakan yang ditanyakan dengan paling sedikit terbagi antara 70%-30%, itu sebaiknya tidak diperlukan untuk mengguna-kan salah satu dari beberapa alternatif dilema. Bagaimanapun, alternatif-alternatif untuk kisah sesungguhnya barangkali mungkin digunakan sebagai topik tambahan dari diskusi setelah kelas menggali kisah dilema. Guru barangkali memilih untuk meng-gunakan alternatif hukuman setelah dalam diskusi, jika para siswa tidak menyebutkan pertimbangan tertentu.

3. Pertanyaan Pelacak

Guru sebagai fasilitator dalam diskusi dilema moral mempunyai dua tugas utama: mendorong interaksi siswa dan membuat pasti bahwa diskusi tetap difokuskan pada isu-isu moral dalam kisah. Selanjutnya mengerjakan dua tujuan, guru dapat menggunakan bentuk-bentuk teknik pertanyaan yang berbeda. Beberapa pertanyaan yang menggiring interaksi atau pandangan untuk menolong mendorong interaksi di antara angota-anggota kelas, misalnya:

“Apakah kamu setuju dengan apa yang Hariansyah baru saja katakan tentang cerita dilemma itu, Nurbaiti?” “Apakah seseorang akan menyimpulkan alasan-alasan yang baru saja diberikan untuk Sam yang menolak memenuhi pesanan?”

“Apakah kamu akan menanggapi terhadap komentar Jubaidah tentang kebebasan-kebebasan sipil?”

(70)

“ Amir, kamu sejak awal tidak setuju dengan posisi Yeni mengenai Sam. Dapatkah kamu menguraikan dengan kata-kata sendiri posisi Yeni dan menanggapi Yeni menurut pendapatmu?”

Pertanyaan-pertanyaan itu akan mendorong para siswa untuk berbicara dengan setiap siswa yang lain tentang dilema. Para guru sebaiknya menggunakan tipe pertanyaan yang lebih spesifik untuk memfokuskan diskusi pada isu-isu moral yang terdapat pada dilema. Pertanyaan-pertanyaan pelacak telah dipersiapkan sebagai bagian ketiga dari Perencanaan Mengajar untuk menolong melaksanakan tujuan pengajaran. Isu yang berhubungan pelacakan, pergantian peran pelacak dan konsekuensi uni-versal pelacakan, semuanya menolong untuk menstimulasi diskusi terhadap aspek-aspek moral dari cerita dilema.

a. Melacak yang berhubungan dengan isu: Beberapa pertanyaan pelacakan termasuk dalam Perencanaan-perencanaan Mengajar yang dirancang untuk difokuskan pada isu-isu moral tertentu dalam kisah dilema;

9 Apakah ibu Wati mempunyai kewajiban untuk mematuhi perintah Kepala Sekolah? Mengapa ya atau mengapa tidak?

9 Apakah ibu Wati punya kewajiban terhadap para siswa di kelasnya?

9 Apakah ibu Wati sebaiknya mematuhi memo, jika itu dimaksudkan bahwa ia akan menerima resiko untuk dipecat?

Referensi

Dokumen terkait

Chatib Basri untuk memelihara dan mengembangkan hasil melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 140/ cipta, rasa, karsa, dan karya yang berupa nilai-nilai, PMK.07/2013 tertanggal

Sedangkan objek dalam penelitian ini adalah male gender role pada karakter tokoh utama superhero dalam film produksi Marvel Studios.. Populasi dalam penelitian ini

Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui aktivitas antioksidan minyak atsiri kunyit putih serta pengaruh penambahan minyak kunyit putih terhadap aktivitas

Status gizi ayah dalam penelitian ini bukan merupakan faktor risiko kejadian overweight pada anak stunting. Hal ini berbeda dengan penelitian sebelumnya di Inggris

Sensor non-fotografik berupa scanner menerima pantulan dari satu wilayah sangat sempit pada permukaan bumi (instanteous field of view/IFOV = medan pandang sesaat) yang masuk ke

Berdasarkan kesimpulan yang ada, maka disarankan kepada Koperasi Pegawai PLN Sektor Tanjung Priok dan untuk orang yang melakukan penelitian di masa akan datang

Tujuan penelitian ini membangun aplikasi sistem informasi geografis pemetaan lokasi nasabah pada PT.Adira Dinamika Multi Finance Cabang Jayapura yang diharapkan dapat

Judul : Pengaruh Motivasi dan Gaya Kepemimpinan terhadap Prestasi Kerja Karyawan di Platform-A ( Studi Kasus PT XYZ Indonesia ).. Dengan ini menyatakan bawa hasil