• Tidak ada hasil yang ditemukan

Beberapa Kesimpulan Terhadap

Dalam dokumen 1. MODEL DAN PEMBELAJARAN KOGNITIF.pdf (Halaman 36-43)

Kohlberg memperoleh tahapan-tahapan pertimbangan moral secara empiris dari kajian-kajian yang panjang di Amerika Serikat. Teori tahapan itu juga telah divalidasi melalui kajian-kajian lintas-budaya dan program-program penelitian terkait lainnya selama dekade yang lalu. Bekerja sama dengan Lawrence Kohlberg, berbagai kelompok pendidik dan psikolog lebih lanjut memperbaiki teori itu selama 15 tahun melalui penelitian yang memperhatikan cara setiap individu dalam melakukan pertimbangan mengenai problema-problema moral. Berikut beberapa generalisasi yang dikemukakan dari hasil-hasil penelitian:

1. Tahapan merupakan lintas-budaya

Dalam kajian-kajian lintas-budaya melibatkan sejumlah pria kota kelas menengah di AS, Taiwan dan Mexico, dan para petani kelas bawah yang tinggal di Turki dan Yukatan, hasil-hasilnya memperkuat teori perkembangan. Meskipun berbeda latar belakang budaya, sosial dan religi, para subjek bergerak melalui tahapan yang sama dalam perkembangan moral dan dalam rangkaian yang sama. Sementara kecepatan pergerakan bervariasi antara berbagai budaya, konsep dasar dari tahapan-tahapan universal perkembangan moral telah tumbuh dengan nyata.

2. Pergerakan tahapan-tahapan meningkat melalui urutan yang sama, dan tahapan-tahapan tidak dapat dilewati.

Buktinya memberi kesan bahwa setiap individu berkembang melalui urutan yang sama dari tahapan- tahapan. Pencapaian tahapan yang lebih tinggi akan

selalu didahului oleh pencapaian seluruhan tahapan- tahapan yang lebih rendah. Karena setiap tahap mensyaratkan pertimbangan dari setiap dan masing- masing tahapan sebelumnya, itu tidak mungkin untuk melewati tahapan-tahapan perkembangan. Sebagai contoh, pertimbangan tahap 1 dan 2 mesti telah terpadu dengan mode berpikir tahap 3, dan oleh karena itu, seseorang tidak dapat melompat dari tahap 2 ke tahap 4. 3. Perkembangan terjadi karena daya tarik dari

tahapan yang lebih tinggi berikutnya dari dari pertimbangan.

Individu mempunyai kapasitas untuk memahami pertimbangan yang dikemukakan pada tahapan yang lebih tinggi berikutnya. Karena pertimbangan barang- kali nampak lebih logis dan komprehensif, dan oleh karena itu, lebih memadai dalam berhadapan dengan situasi dilema, setiap individu mungkin tertarik pada tahapan pertimbangan selanjutnya. Itu tidak dimaksud- kan bahwa tahapan yang lebih tinggi selalu diadopsi atau bahkan diungkapkan, tetapi pendengar mungkin mulai memadukan elemen-elemen tahapan yang lebih tinggi terhadap solusi-solusi masa depan terhadap problema- problema moral. Pertimbangan secara konstan dan restrukturisasi pertimbangan moral memberikan elemen dasar bagi perkembangan teori.

4. Ada perbedaan-perbedaan individu dalam kecepatan perkembangan moral dan dalam mencapai tingkat yang tertinggi dari kematang moral.

Walaupun anak-anak dan para remaja berkembang dalam berbagai tingkat kecepatan melewati tahap-tahap, pra-remaja bergerak melewati tingkat pra-konvensional

dan para orang dewasa berkembang ke arah post- konvensional dari berpikir. Namun demikian, setiap individu dapat menjadi diam tak berkembang pada beberapa tingkat. Sebetulnya, kurang lebih 20% dari populasi orang dewasa berpikir pada tingkat post-konvensional. Tahap 4, berorientasi pada hukum dan ketertiban, adalah senantiasa merupakan tahap yang lebih umum, dan itu mungkin bagi para orang dewasa untuk berpikir pada tahapan yang lebih rendah dari perkembangan moral.

5. Tingkatan-tingkatan bukan sejumlah keyakinan- keyakinan kultural yang diajarkan pada para siswa. Satu analisis terhadap teori perkembangan moral. khususnya sebagai sesuatu yang berhubungan dengan proses mengajar, menunjukkan bahwa tahapan-tahapan tidak memperlihatkan sejumlah pepatah moral yang dapat diajarkan kepada anak-anak oleh orang dewasa. Tahapan menunjukkan abstraksi-abstraksi, yaitu anak-anak (kemudian orang dewasa) berkembang pada diri mereka sendiri sebagai kematangan-kematangan kecerdasan mereka dan mereka berupaya untuk menguasai secara konsisten terhadap dilema-dilema yang muncul dan argumentasi yang mereka dengar. Penelitian Leary (1972) menunjukkan bahwa penyajian yang bersifat mendidik dari dilema moral punya sedikit atau tidak berakibat terhadap tingkat perkembangan berpikir siswa.

6. Kematangan moral meningkatkan kemampuan seseorang untuk memecahkan konflik-konflik moral.

Dengan kematangan-kematangan invidual dapat melakukan empati terhadap sejumlah besar individu dalam berbagai situasi-situasi dilema. Pada tingkat

perkembangan moral yang lebih tinggi, banyak pandangan ditempatkan ke dalam catatan per- timbangan tentang konflik-konflik moral.

7. Pertimbangan moral berhubungan dengan perilaku.

Meskipun bukti tambahan harus dikumpulkan lebih lanjut untuk mendukung generalisasi ini, berbagai penelitian menunjukkan bahwa kematangan pertim- bangan moral yang diperlihatkan oleh setiap individu yang juga bertindak dengan cara-cara moral yang sesungguhnya. Berbagai penelitian terbatas berkaitan dengan aktivitas dan kepatuhan siswa menunjukkan korelasi antara tindakan-tindakan dengan orientasi tahapan tertentu dari subjek.

8. Perkembangan moral dapat distimulasi dalam kelas

Penelitian Kohlberg dan koleganya juga menetap- kan bahwa siswa-siswa yang berpartisipasi secara tetap dalam berbagai diskusi dilema-dilema moral sering diawali dengan mengemukakan pertimbangan tahap perkembangan yang lebih tinggi. Khususnya, dalam diskusi-diskusi yang mempromosikan beberapa perubahan atau kematangan dalam bentuk pertim- bangan moral untuk beberapa peserta diskusi. Diskusi- diskusi yang mempromosikan banyak perubahan melibatkan para peserta diskusi yang berbeda, tetapi dengan tahap-tahap yang berdekatan. Oleh karena itu, diskusi yang aktif di antara peserta diskusi pada tingkat yang berbeda nampaknya akan menghasilkan perubahan.

Beberapa generalisasi memberikan arah bagi bentuk non-indoktrinasi baru dari pendidikan moral. Per- tumbuhan moral ditentukan oleh kesadaran individu dari pandangan-pandangan yang melampaui kepentingan diri sendiri. Pertumbuhan moral memperlihatkan kemampuan untuk melihat sisi orang lain dan berfokus pada isu-isu besar. Selanjutnya dalam pertumbuhan moral, setiap individu membutuhkan kesempatan berperan menjadi orang lain dalam situasi-situasi dilema. Setiap individu, khususnya para siswa, membutuhkan kesempatan untuk menggunakan sarana diskusi-diskusi tentang problema- problema sosial dan moral. Para peserta diskusi dalam berbagai diskusi membutuhkan kesempatan untuk mengemukakan pertimbangan mereka sendiri dan untuk mendengarkan pendapat-pendapat orang lain.

Pemahaman terhadap teori Kohlberg tentang per- timbangan moral ini mengimplikasikan strategi mengajar yang khusus untuk menstimulasi perkembangan moral. Diskusi dari dilema moral akan memberikan para siswa kesempatan-kesempatan berikut:

1. Mempertimbangkan problema-problema moral sesungguhnya.

2. Mengalami konflik-konflik kognitif dan sosial sesungguhnya selama diskusi problema moral 3. Mengaplikasikan tingkat berpikir tertentu mereka

terhadap situasi-situasi problematis.

4. Terbuka terhadap tingkat berpikir berikutnya yang lebih tinggi.

5. Menghadapkan ketidakkonsistenan pertimbangan mereka sendiri terhadap berbagai isu-isu moral tanpa seseorang yang menekankan pada jawaban benar atau salah.

Materi-materi kurikulum mengutamakan kisah-kisah dilema yang dirancang untuk menghadapkan para siswa dengan problema-problema sesungguhnya. Menciptakan situasi di mana para siswa tidak sepakat terhadap tindakan yang tepat terhadap tokoh utama yang menghadirkan konflik kognitif dan sosial sesungguhnya. Diskusi kelas dengan fokus pertimbangan-pertimbangan untuk mereko- mendasi wacana tertentu terhadap tindakan memberikan kesempatan kepada para siswa untuk mengaplikasi tingkat tertentu dari kemampuan berpikir mereka. Sebuah diskusi yang aktif di antara para siswa juga menciptakan suasana yang membuka tingkat-tingkat pertimbangan moral yang lebih tinggi. Akhirnya, meminta para siswa untuk belajar melalui sejumlah problema sosial dan moral sepanjang pengalaman pendidikan mereka memberikan kesempatan untuk mereka untuk menghadapi berbagai ketidakkonsistenan mereka dalam berpikir.

Dalam dokumen 1. MODEL DAN PEMBELAJARAN KOGNITIF.pdf (Halaman 36-43)

Dokumen terkait