• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II URAIAN TEORITIS

2.3 Endorser atau Ketokohan

Perlambangan yang merupakan suatu identitas merek yang dibawakan dalam komunikasi politik merupakan jalan untuk mencitrakan sesuatu yang bertujuan untuk dikenal dan dilekatkan ke benak publik. Bagi personal yang memiliki identitas yang khas dan spesifik akan memudahkan untuk diidentifikasi di antara yang lainnya. Dalam hal ini, percitraan yang difokuskan adalah kepada personal atau tokoh. Ketokohan ini selalu diasosiasikan sebagai suatu figur yang ditempatkan sebagai pemimpin, sehingga erat kaitannya dengan kepemimpinan atau tokoh sentral. Kepemimpinan menurut Tannenbaum, Weschler, dan Massarik (1961) adalah pengaruh antarpribadi yang dilaksanakan dan diarahkan melalui proses komunikasi, ke arah pencapaian tujuan atau tujuan-tujuan tertentu48.

Sebagai contoh umum, dengan terpilihnya Susilo Bambang Yudhoyono dalam pemilihan umum 2004, yang berasal dari partai baru, yakni Partai Demokrat yang hanya memperoleh suara sekitar 8%, jelas memperlihatkan

      

48

kuatnya pesona kepribadian dibanding determinasi partai. Kecenderungan ini misalnya sudah lama dijumpai di negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris, beberapa negara Eropa.

Fenomena yang seperti ini disebut oleh Capara dan Zimbardo sebagai era personalisasi politik.49 Kecenderungan ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti semakin tingginya tingkat pendidikan masyarakat serta semakin mudahnya mendapatkan informasi, peran mobilisasi dan elit politik yang semakin terbatas, dan peran media massa yang semakin gencar sebagai alat kampanye. Sehingga dalam kondisi seperti itu, dapat dimengerti bahwa karakteristik kepribadian menjadi patokan bagi masyarakat untuk memilih pemimpin mereka.

2.3.1 Karakter Kepemimpinan

Ada dua pendapat yang berbeda, mengenai apa yang menyebabkan seseorang dapat menjadi pemimpin. Pendapat pertama menekankan pada karakteristik unik dari sang pemimpin, dan pendapat kedua menekankan pada kekuatan situasi yang menekan kelompok.50 Teori The Great Man atau Orang Besar menyatakan bahwa beberapa orang yang karena personalitas dan karakteristik uniknya, ditakdirkan untuk memimpin. Banyak studi yang membandingkan bagaimana perbedaan antara pemimpin dengan pengikutnya.

Pertama, pemimpin cenderung unggul dalam kemampuan membantu kelompok meraih tujuan, karena pemimpin memiliki keunggulan intelektual,

       49

Hamdi Muluk, Mozaik Psikologi Politik Indonesia. Jakarta, 2010, hlm. 61. 

50

Chemers dalam Shellye E. Taylor (et.al.), Psikologi Sosial: Edisi Kedua Belas, 2009,

keahlian politik, kekuatan fisik, atau keterampilan relevan dengan aktivitas dan tujuan kelompok. Kedua, pemimpin cenderung memiliki keterampilan interpersonal yang membantu menyukseskan interaksi kelompok, seperti lebih kooperatif, terorganisir, dan empatik. Ketiga, pemimpin memiliki motivasi untuk memiliki pengakuan dan keunggulan, lebih ambisius, berorientasi prestasi, dan mau mengemban tanggung jawab. Keempat, pemimpin cenderung lebih percaya diri terhadap kemampuan sendiri dan lebih optimis terhadap kesuksesan kelompoknya.51

Menurut Prof. Dr. Hamdi Muluk dalam bukunya Mozaik Psikologi Politik Indonesia, terdapat empat model kepemimpinan politik, yakni sebagai berikut 52: 1. Model Atribut Kepribadian (Personality Attibute Model)

Studi-studi yang menggunakan model ini mementingkan karakteristik kepribadian aktor atau pemimpin politik sebagai determinan utama untuk menentukan kinerja kepemimpinan yang ditampilkan. Model ini dipelopori oleh beberapa tokoh, seperti Erikson dan Gardner. Model ini menempatkan pemimpin politik sebagai The Great Man yang memiliki kemampuan unggul dibandingkan orang rata-rata. Namun pada perkembangannya, ciri kepribadian pemimpin tersebut tidaklah konsisten dari satu waktu ke waktu lain, dari satu situasi ke situasi yang lain.

Herman pada tahun 1986 mengatakan terdapat tujuh aspek dari karakter pemimpin yang relevan dan dapat menentukan kepemimpinan, yakni pertama, keyakinan atau paham-paham politik mendasar dari seorang pemimpin, kedua,

      

51

 Ibid.  52

gaya politiknya, ketiga, motif politik pemimpin dalam mencapai posisi politiknya, keempat, pola reaksi pemimpin dalam menghadapi situasi stres terutama dalam tekanan politik, kelima, bagaimana kondisi psikologis waktu pertama kali ia memasuki dunia politik, keenam, pengalaman dan kemampuan politik sebelumnya, dan ketujuh, iklim politik ketika ia memasuki dunia politik.

2. Model Pemimpin dan Pengikut (Leader and Constituent Model)

Model ini mementingkan faktor bagaimana pemimpin memperlakukan pengikutnya, bagaimana model pertukaran antara pemimpin dan pengikutnya. Dalam model ini terdapat tiga pola yang mungkin terjadi dalam model ini. Pertama, pemimpin yang dominan sementara pengikut sangat lemah. Hal ini juga mengasumsikan pemimpin tahu apa-apa yang akan dicapainya. Model seperti ini juga mirip dengan ‘Model Atribut Kepribadian’. Kedua, pemimpin yang mengetahui apa yang diinginkan oleh pengikutnya dan menawarkan apa yang mampu ia penuhi. Pola ini bersifat transaksional. Ketiga, pola yang mengasumsikan pemimpin hanya sebagai boneka, yang lemah dan pengikutnya kuat. Pemimpin diberi arahan dan sasaran, sebagai agen dari kepentingan kelompok.

3. Model Faktor Konteks (Contextual Factor Model)

Model ini beranggapan bahwa kepemimpinan politik adalah fungsi dari faktor situasi atau konteks tertentu. Konteks yang dimaksud adalah setting

atau latar situasi di mana pemimpin ini tampil. Corak kepemimpinan ini sangat tergantung dengan situasi kapan, pada latar budaya apa, dan dalam konteksi situasi politik seperti apa. Pemetaan terhadap situasi atau konteks ini sangat penting karena berfungsi sebagai faktor tuntutan, faktor pengendala, ataupun faktor yang menfasilitasi munculnya suatu tindakan tertentu dari seorang pemimpin. Dalam hal ini, dapat dimengerti mengapa suatu keputusan politik tertentu dapat muncul, dan pada situasi lain tidak. Asumsi dasarnya adalah kepemimpinan politik merupakan respon timbal balik antara si pemimpin dengan faktor situasi, lingkungan, dan konteks tertentu.

4. Model Integratif (Integrative Model)

Model ini mengintegrasikan fungsi dan interaksi dari ketiga model di atas, yakni kepribadian, pola hubungan pemimpin-pengikut, dan lingkungan yang melatarinya. Sehingga untuk mengerti hakikat dari pemimpin politik, harus mengetahui karakter atau atribut kepribadian pemimpin, termasuk latar belakangnya sebelum menjadi pemimpin, karakteristik orang-orang atau kelompok yang menjadi pengikutnya, bagaimana interaksi antara pemimpin dengan yang dipimpin, konteks lingkungan di mana pemimpin berada, serta perilaku kepemimpinan yang ditampilkannya.

Secara skematik, model ini dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 3. Model Kepemimpinan Politik Integratif

Sumber: Hamdi Muluk, 2010. Mozaik Psikologi Politik Indonesia, hlm. 67.

Kepemimpinan menjadi bagian dari kekuasaan, tetapi tidak sebaliknya. Pemimpin harus memiliki empat syarat, yakni memiliki kekuasaan, kewibawaan, kemampuan, dan yang terpenting memiliki pengikut-pengikut. Tiga syarat sebelumnya adalah cara bagaimana pemimpin memiliki dan mendapatkan pengikut. Pemimpin tidak memiliki arti jika ia tidak memiliki pengikut.53 Dan kepemimpinan merupakan hubungan antara pihak yang memilki pengaruh dan orang yang dipengaruhi, dan juga merupakan kemampuan menggunakan sumber pengaruh secara efektif. Namun kepemimpinan lebih menekankan pada kemampuan persuasi untuk mempengaruhi pengikut. Selain itu, kepemimpinan juga merupakan upaya untuk melaksanakan suatu tujuan yang menjadi kepentingan bersama, baik pemimpin maupun pengikut.

Oleh karena itu, kepemimpinan politik berbeda dengan elit politik, karena menurut Pareto54, elit politik adalah orang-orang yang memiliki nilai-nilai yang paling dinilai tinggi dalam masyarakat, seperti kekayaan atau wewenang.

      

53

 Riant Nugroho Dwidjowijoto, op.cit,. hlm. 76. 

54

Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta, 1999, hlm. 134. 

Periaku Kepemimpinan Karakteristi k Pemimpin Hubungan antara pemimpin dan pengikut Pengikut

Memiliki kekuasaan politik berbeda dengan memiliki kepemimpinan politik, karena berbeda jenis sumber pengaruh dan tujuan penggunaan pengaruh. Sebutan politik dalam kepemimpinan politik menunjukkan kepemimpinan berlangsung dalam suprastruktur politik seperti lembaga-lembaga pemerintahan, dan yang berlangsung dalam infrastruktur politik, seperti partai politik dan organisasi kemasyarakatan. Pemimpin politik juga lebih menggunakan hubungan-hubungan informal dan personal dalam menggerakkan pengikutnya untuk mencapai tujuan tertentu.

2.3.2 Endorser

Endorser merupakan salah satu komponen dari proses pencitraan dalam komunikasi politik. Dalam kajian komunikasi politik, endorser adalah strategi penonjolan sosok ketokohan dalam sebuah partai. Merawat ketokohan dan memantapkan kelembagaan. Ketokohan adalah orang yang memiliki kredibilitas, daya tarik, dan kekuasaaan. Dengan kata lain, ketokohan merupakan gabungan antara kredibilitas, atraksi, dan kekuasaan.55

Menurut Asto S. Subroto56, terdapat lima aspek yang harus dipenuhi oleh oleh seorang tokoh yang hendak dijadikan endorser di dalam ranah politik. Pertama, adanya atribut sebagai orang yang terpercaya pada pribadinya (trustworthiness), artinya kemampuan endorser telah dipercaya dan dijadikan rujukan. Kepercayaan ini dapat tumbuh dari pencapaian yang telah didapat oleh

       55

Anwar Arifin, op.cit., hlm. 146. 

56

Asto S. Subroto. 2008. “Strategi Memilih Endorser dalam Politik.”

tokoh tersebut melalui track record yang baik di masa lalu. Kepercayaan ini juga tergantung persepsi pendukung terhadap motivasi endorser, apakah ketokohannya atau posisinya demi kepentingan pribadi atau motivasi lainnya.

Kedua, adanya keahlian yang dimiliki oleh endorser (expertise). Komponen ini berkaitan dengan keahlian, pengetahuan, atau kemampuan tertentu yang berhubungan dengan visi yang didukung atau dibawanya. Menurut Shimp, berhasil atau tidaknya seorang endorser mengangkat suatu brand politik, akan lebih banyak ditentukan oleh persepsi audiens atau pengamat mengenai sejauh mana keahlian yang dimilliki endorser. Jika seseorang dipersepsi publik sebagai seorang yang ahli, maka dia akan lebih mampu mengubah opini ketimbang endorser yang tidak dipersepsi sebagai ahli.

Ketiga, endorser harus memiliki daya tarik atau attractiveness. Aspek ini bukan sekadar daya pikat fisik saja, namun juga karakter. Karakter yang dapat dipersepsi berbeda oleh audiens adalah kapasitas intelektual, identitas personal, gaya hidup, dan keterampilan atau kelebihan yang dimilikinya. Jika audiens menemukan sesuatu pada diri endorser yang disukai, maka proses komunikasi persuasif bekerja lewat identifikasi. Artinya, melalui identifikasi maka audiens akan mengadopsi perilaku, sikap, kepentingan atau preferensi, ketika mereka menemukan hal menarik dalam diri endorser.

Keempat, adalah aspek penghargaan atau respect. Aspek ini merepresentasikan kualitas yang dihargai sebagai akibat dari kualitas atau pencapaian personal endorser. Dalam politik, maka ketokohan yang dijadikan endorser adalah yang memiliki kepribadian dan kualitas argumentasi politiknya.

Tokoh yang amat dihargai, akan meningkatkan ekuitas sebuah brand politik karena para komunikan bisa mendapatkan nilai (value) lewat brand politik tersebut.

Kelima, adalah aspek kesamaan atau similarity. Aspek ini mengacu kepada kesamaan antara endorser dan audiens dalam hal umur, gender, etnis, status sosial, cara pandang, ekspektasi, dan sebagainya. Similaritas sangat penting mengingat banyak orang cenderung menyukai keadaan berbagi (shared) dalam karakteristik yang sama.

Dokumen terkait