• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II URAIAN TEORITIS

2.4 Konstruktivisme

Subjek atau individu memiliki kemampuan untuk melakukan kontrol terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap pesan komunikasi atau wacana. Komunikasi dipahami, diatur, dan dihidupkan oleh pernyataan-pernyataan yang bertujuan. Setiap pernyataan pada dasarnya adalah tindakan penciptaan makna, yakni tindakan pembentukan diri serta pengungkapan jati diri sang komunikator. Oleh karena itu, analisis dapat dilakukan demi membongkat maksud dan makna-maknda tertentu dari komunikasi.

Konstruktivisme berpendapat bahwa semesta secara epistimologi merupakan hasil konstuksi sosial. Pengetahuan manusia adalah konstruksi yang dibangun dari proses interaksinya dengan dunia objek material. Pengalaman manusia terdiri dari interpretasi bermakna terhadap kenyataan dan bukan reproduksi kenyataan. Keberagaman kognitif merupakan hasil dari lingkungan historis, kultural, dan personal yang digali secara terus-menerus. Dengan

demikian dunia muncul dalam pengalaman manusia secara terorganisasi dan bermakna. Keberagaman pola konseptual/kognitif hasil dari lingkungan historis, kultural, dan personal yang digali secara terus-menerus.57

Dalam konstruktivisme, unsur objek dan subjek sama-sama berperan dalam mengonstruksi informasi, sehingga ia menjembatani dualisme objektivitas-subjektivitas dengan mengafirmasi peran subjek dan objek dalam konstruksi informasi. Pandangan ini mengakui adanya interaksi antara ilmuwan dengan fenomena yang dapat memayungi berbagai pendekatan atau paradigma dalam ilmu pengetahuan. Sehingga dalam pandangan ini, tidak ada makna yang mandiri, dan tidak ada deskripsi yang murni objektif.58

Pada proses komunikasi, pesan tidak dapat dipindahkan begitu saja ke dalam ranah pemikiran seseorang, karena komunikanlah yang mengartikan apa informasi pesan yang diterimanya yang disesuaikan dengan pengalaman mereka. Pentingnya pengalaman dalam proses ini membuat proses konstruksi membutuhkan beberapa kemampuan59, seperti kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman, kemampuan membandingkan, mengambil keputusan (justifikasi) mengenai persamaan dan perbedaan, serta kemampuan untuk lebih menyukai pengalaman yang satu dari yang lain.

Piaget (1970)60 membedakan dua aspek berpikir dalam pembentukan pengetahuan ini, yaitu aspek figuratif dan aspek operatif. Aspek figuratif adalah

       57

Elvinaro Ardianto dan Bambang Q-Anees, Filsafat Ilmu Komunikasi, Bandung, 2009,

hlm. 151  58 Ibid., hlm. 152  59 Ibid., hlm. 154  60 Ibid. 

imajinasi keadaan sesaat dan statis yang menyangkut bagaimana gambaran mental seseorang terhadap suatu objek atau fenomena. Sedangkan aspek berpikir operatif lebih berkaitan dengan transformasi dari satu level ke level lain. Ini menyangkut operasi intelektual atau sistem transformasi. Setiap level keadaan dapat dimengerti sebagai akibat dari transformasi tertentu atau sebagai titik tolak bagi transformasi lain.

Jika dihubungkan dengan konstruksi mengenai politik, maka pikiran, perasaan, dan kesudian subjektiflah yang menyusun citra seorang mengenai hal-hal yang berhubungan dengan politik, yang berguna atau memuaskan baginya. Walaupun ia tidak memiliki pengetahuan yang lengkap mengenai politik, setidaknya hal itu memberinya jalan untuk memahami politik. Kemudian kesukaan atau ketidaksukaan umum pada citra seseorang tentang politik merupakan dasar untuk menilai suatu objek atau subjek politik. Dan bagaimana manusia mencitrakan dirinya, maka dengan cara seperti itu pula yang menghubungkan dia dengan orang lain. Dengan demikian, maka citra seseorang dalam politik yang melewati tahap konstruksi, dapat membantu dalam pemahaman, penilaian, dan identifikasi peristiwa, gagasan tujuan, atau pemimpin politik. Sehingga hal tersebut memberikan alasan yang dapat diterima secara subjektif tentang preferensi politik.61

Konstruksi erat kaitannya dengan interpretasi, karena dengan interpretasi, individu memperhitungkan segala sesuatu, menyusunnya, dan menanggapi yang paling menonjol. Proses interpretatif bukan sekedar mata rantai yang

       61

menghubungkan keadaan internal dengan perilaku seseorang, juga bukan mekanisme yang hanya mengaktifkan tanggapan yang dikondisikan terhadap suatu rangsangan. Namun sebaliknya, melalui interpretasi, orang mengekploitasi pikiran, perasaan, dan kesudiannya dengan cara yang dipikirkan dan aktif, menanggapi objek atau subjek dalam setting secara subjektif.

Proses interpretasi personal dalam memperhitungkan atau menilai suatu hal secara subjektif dapat digambarkan sebagai berikut:

Peluang Resmi Sumber Daya Sosial

PROSES

Komunikasi Politik INTERPRETASI Susunan

PERSONAL Tanggapan (mengambil bagian atau tidak)

Motivasi Personal

Gambar 4. Pengaruh Terhadap Partisipasi Politik

Sumber: Dan Nimmo. 2001. Komunikasi Politik, Khalayak dan Efek, hlm. 168.

Gambar di atas menjelaskan bahwa pesan tentang politik yang dibawa melalui komunikasi politik ke dalam matriks peluang resmi yang dipersepsi, sumber daya sosial, dan motivasi sosial yang merupakan dunia seseorang. Pesan tersebut berisi informasi tentang pilihan yang tersedia, pilihan mana yang akan

diperhitungkan, dan mana yang tidak.62 Proses komunikasi politik yang terjadi dan diterima oleh individu akan diinterpretasikan sesuai dengan keinginan subjektifnya, berdasarkan nilai-nilai yang dianutnya. Jelas bahwa proses interpretasi yang melandasi konstruktivisme sangat berpengaruh dalam penerimaan pesan-pesan politik.

2.4.1 Pencitraan

Menurut Anwar Arifin63, pencitraan merupakan suatu tujuan dari komunikasi politik yang terbentuk berdasarkan informasi yang diterima oleh khalayak. Pencitraan dalam politik berkaitan dengan pembentukan pendapat umum yang terbangun melalui citra politik dan hal ini terwujud sebagai konsekuensi kognitif dari komunikasi politik. Di sini, percitraan atau image politik didefenisikan sebagai konstruksi atas representasi dan persepsi masyarakat atau publik akan suatu partai politik atau individu mengenai semua hal yang terkait dengan aktivitas politik (Firmanzah, 2007: 230).

Pencitraan mengandung objektivitas dan subjektivitas secara bersamaan, karena di dalam suatu image terdapat hal-hal yang dapat dilogiskan, yakni bahwa image adalah konstruksi empiris dan terbukti di lapangan. Sedangkan ranah subjektivitas bekerja jika percitraan mengandung unsur emosional, adanya ikatan keberpihakan, dan timbulnya kepercayaan.64 Faktor kepercayaan menjadi semakin penting karena masyarakat Indonesia khususnya telah berkembang menjadi

       62

Ibid., hlm. 167.  63

Anwar Arifin, op. cit., hlm. 105. 

64

Firmanzah, Marketing Politik: Antara Pemahaman dan Realitas, Bandung, 2007,

masyarakat yang sangat besar dan kompleks. Sehingga kepercayaan sekarang lebih efektif dibangun secara ganda, yakni melalui efektifitas organisasi dan individu dalam menjalankan tugas dan misinya, serta adanya citra. Dan bahkan citra cenderung memegang porsi yang lebih dari 50 persen dalam hal menentukan adanya kepercayaan atau tidak. Dengan adanya citra yang baik, maka sejalan dengan itu, kepercayaan juga akan timbul dari masyarakat. Trust is everything today, seperti yang ditegaskan oleh Francis Fukuyama dalam bukunya Virtue of Prosperity. Ia menjelaskan bahwa modal yang menentukan keberhasilan suatu bangsa membangun dirinya adalah ada atau tidaknya kepercayaan di dalamnya.65

Masalah citra atau pencitraan seseorang dalam memasuki ranah politik di Indonesia sekarang ini bukanlah masalah yang sepele. Bahkan terdapat sebuah ungkapan, yakni politics is about image, and the image is reality. Politik adalah masalah citra diri, tidak peduli sehebat apa kompetensi seseorang, akan tetapi jika citranya ‘buruk’ apalagi ‘busuk’, maka tidak ada yang bisa bertahan. Oleh karena itu, citra dianggap dan dipercaya sebagai kenyataan oleh khalayak atau publik. Sehingga membangung citra yang baik, jauh lebih baik daripada memperbaiki citra yang telah buruk menjadi baik.66

Agenda komunikasi politik yang menjadi perhatian para praktisi politik saat ini adalah bahwa citra akan menjadi penentu dalam politik daripada kenyataan itu sendiri, dan komunikasi menjadi faktor utama kunci penciptaan citra. Media komunikasi massa mengambil peran besar dalam proses pencitraan

       65

Riant Nugroho Dwidjowijoto, op. cit., hlm. 10. 

66

ini.67 Membangun citra dilakukan melalui komunikasi politik yang di dalamnya terjadi proses tukar-menukar informasi antara dua entitas atau lebih yang bertujuan untuk menciptakan kesepahaman politik (permasalahan, isu, atau kebijakan politik). Konstruksi citra dalam komunikasi politik memiliki muatan ‘hal yang sadar’ dan ‘hal yang tidak sadar’. Kemudian omunikan yang menanggapi pesan komunikasi politik akan memproses hal yang terjadi secara simultan melalui dua proses, yakni pembelajaran sosial (social learning) dan identifikasi sosial (social identification).68

Dalam pembelajaran sosial, semua imformasi yang terkadang ambigu dan bertolak belakang, diterima oleh komunikan. Proses ini dapat terjadi melalui beberapa cara. Pertama, komunikan melihat sumber atau siapa yang melakukan proses komunikasi. Kedua, komunikan mencoba membenturkan informasi yang diterima dengan semua informasi yang terdapat dalam otak mereka, kemudian menarik kesimpulan apakah terdapat hubungan dan konsistensi antara informasi yang tertanam dengan informasi baru. Kemudian komunikan melakukan identifikasi untuk menentukan apakah informasi yang diterima tersebut benar atau salah, baik secara rasional maupun emosional. Hasil konstruksi dari kedua proses inilah yang akan tertanam dalam benak komunikan yang nantinya menjadi gambaran citra, reputasi, dan kesan. Konstruksi citra dapat digambarkan dengan bagan berikut:

       67

Ibid., hlm. 62. 

68

Gambar 4. Konstruksi Citra Politik

Sumber: Firmanzah. 2007. Marketing Politik, hlm. 243

Figur yang diposisikan sebagai pemimpin, seharusnya adalah tokoh yang memiliki citra baik di mata khalayak, karena tujuan komunikasi politik adalah untuk mengoneksikan antara elit politik dan pemimpin dengan masyarakat. Komunikasi dalam politik memegang peranan yang sangat urgent, karena komunikasi menjadi alat yang paling ampuh dalam membangun citra ataupun menghancurkan citra seorang figur politik. Dan Nimmo dalam Popular Images of Politics69 mengatakan bahwa hal yang paling penting yang harus dilakukan oleh politisi sebagai strategi dalam komunikasi politik adalah menciptakan political imagery. Melalui pola ini, dapat disusun sebuah kepercayaan sosial kepada pemimpin atau penguasa politik, dan menjadi bagian terpenting baginya dalam menjalankan tugasnya secara efektif.

       69

Dan Nimmo dalam Riant Nugroho Dwidjowijoto, op. cit., hlm. 61 

Pembelajaran Sosial Aksi secara tidak sadar (unintenden) Identifikasi Sosial Aksi secara sadar (intenden) Komunikasi Politik Image Terekam

Pemimpin politik mengerti bahwa citra dan pencitraan dapat memenuhi kebutuhan khalayak, dan karena itu para pemimpin mengungkapkan imbauannya dalam bentuk perlambangan untuk membangkitkan citra yang simpatik di antara khalayak massa. Sepanjang perlambangan politik itu membangkitkan citra positif dan memuaskan di tengah khalayak, maka pencitraan itu adalah the real thing atau hal yang nyata.70 Jika diistilahkan antara tokoh politik dan masyarakat itu ibarat produsen dan konsumen seperti halnya di dalam prinsip ekonomi, maka pemimpin selaku produsen hendaknya mematuhi tiga hukum dimensi dari pasar, bahwa pasar (masyarakat) menuntut supply, demand, dan image. Citra adalah dimensi ketiga dari pasar (masyarakat) yang dalam hal ini juga memiliki kesetaraan dengan demokrasi. Namun dimensi ketiga ini acap kal diabaikan, padahal citra adalah inti dari pasar itu sendiri.

Dokumen terkait