• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Perkembangan Kelembagaan Penyuluhan Pertanian

2.2.2. Era Otonom

Dengan diberlakukannya UU No.22/1999 dan UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah serta UU No. 16 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan dan peraturan-peraturan yang mengikutinya, merubah konsep penyuluhan dimana paradigma pembangunan pertanian telah bergeser dari pendekatan sentralistik menjadi disentralistik, dan dari pendekatan produksi menjadi pendekatan agribisnis. Penyelenggaraan penyuluhan pertanian diserahkan sepenuhnya ke kabupaten/kota. Pemerintah pusat sepenuhnya hanya bertugas merumuskan kebijakan, norma, standar, dan model-model penyuluhan partisipatif (RPP IPB, 2005).

Menurut Hafsah (2006) pada era otonomi daerah pendekatan penyuluhan pertanian bergeser dari pendekatan dipaksa menjadi pendekatan partisipatif. Penyuluhan pertanian partisipatif adalah penyuluhan yang dilakukan melalui pendekatan partisipatif melalui proses yang melibatkan berbagai pihak terkait. Namun dengan munculnya beberapa peraturan pemerintah yang kurang mendukung penyelenggaraan penyuluhan daerah, seperti PP No.25/2000 dam PP No.8/2003 mengakibatkan ruang gerak pemerintah daerah untuk mendirikan kelembagaan penyuluhan pertanian sangat terbatas. Hal ini menyebabkan kelembagaan penyuluhan pertanian di tingkat provinsi tidak jelas, kelembangaan penyuluhan pertanian di tingkat kabupaten/kota beragam.

Perubahan yang berlangsung pada dua kondisi diatas menunjukkan terjadinya evolusi bersama (co-evaluation) pranata sosial dan pengorganisasian.

Perubahan pranata sosial yang merujuk kepada paradigma desentralisasi, yakni menciptakan ”ruang” untuk menangkap kekhasan lokal, menyebabkan adapatasi dan respons setiap daerah berbeda dan menjadi beragam. Perbedaan tersebut terakomodasi pada ketiga pilar penopang kelembagaan yakni pilar regulative, normative dan cultural cognitive (Nasdian, 2008).

Dalam Undang-undang No. 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan telah dikemukakan bahwa kelembagaan penyuluhan adalah sebagai berikut :

a. Kelembagaan di Pusat

Kelembagaan penyelenggaraan penyuluhan pertanian di Pusat adalah Badan Penyuluhan yang bertanggung jawab kepada Menteri. Sebagai mitra kerja Menteri dalam memberikan rekomendasi yang berkaitan dengan penyuluhan, dibentuk Komisi Penyuluhan Pertanian Nasional berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian. Keanggotaan Komisi Penyuluhan Pertanian Nasional terdiri dari para pakar dan/atau praktisi yang mempunyai keahlian dan kepedulian dalam bidang penyuluhan atau pembangunan pedesaan.

b. Kelembagaan di Provinsi

Kelembagaan penyelenggaraan penyuluhan pertanian di Provinsi berbentuk Badan Koordinasi Penyuluhan. Untuk menetapkan kebijakan dan strategi penyuluhan provinsi, gubernur dibantu oleh Komisi Penyuluhan Provinsi yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Gubernur.

Komisi Penyuluhan Pertanian Provinsi bertugas memberikan masukan kepada gubernur sebagai bahan penyusunan kebijakan dan strategi penyuluhan provinsi. Keanggotaannya sama dengan keanggotaan Komisi Penyuluhan

Pertanian Nasional yaitu terdiri dari para pakar dan/atau praktisi yang mempunyai keahlian dan kepedulian dalam bidang penyuluhan atau pembangunan pedesaan. c. Kelembagaan di Kabupaten/Kota

Kelembagaan penyelenggaraan penyuluhan pertanian di Kabupaten/Kota berbentuk Badan Pelaksana Penyuluhan. Untuk menetapkan kebijakan dan strategi penyuluhan kabupaten/kota, bupati/walikota dibantu oleh Komisi Penyuluhan Kabupaten/Kota yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Bupati/Walikota.

Komisi Penyuluhan Pertanian Kabupaten/Kota bertugas memberikan masukan kepada Bupati/Walikota sebagai bahan penyusunan kebijakan dan strategi penyuluhan kabupaten/kota. Keanggotaannya terdiri dari para pakar dan/atau praktisi yang mempunyai keahlian dan kepedulian dalam bidang penyuluhan atau pembangunan pedesaan.

d. Kelembagaan di Kecamatan

Kelembagaan penyuluhan pertanian di kecamatan adalah Balai Penyuluh Pertanian . BPP merupakan instalasi/sub ordinat dari kelembagaan penyuluhan pertanian kabupaten/kota. Dalam melaksanakan kegiatan penyuluhan pertanian, kelembagaan penyuluhan pertanian (BPP) dibantu oleh Tim Penyuluh Pertanian. Tim ini terdiri dari Penyuluh Pertanian (PPL), Petani Pemandu, LSM, Mantri Tani, Mantri Kesehatan Hewan dan Teknisi pertanian lapangan lainnya.

e. Kelembagaan di Desa

Kelembagaan penyuluhan pada tingkat desa/kelurahan berbentuk pos penyuluhan desa/kelurahan yang bersifat non structural.

Amanat UU No.16/2006 menurut Slamet (2008) bertabrakan dengan PP 8/2003 tentang struktur pemerintah daerah yang membatasi jumlah institusi/dinas di daerah, meskipun PP tersebut sudah diubah dengan PP 41/2007, tetap saja menyisakan kendala bagi dibentukanya Badan Koordinasi Penyuluhan di tingkat propinsi, dan lahirnya Badan Pelaksana Penyuluhan di tingkat kabupaten/kota. Selain kelembagaan penyuluhan pertanian, ada juga sektor lain yang memerlukan adanya institusi tambahan di daerah.

Dengan berlakunya otonomi daerah, penyelenggaraan penyuluhan pertanian yang menyangkut aspek-aspek perencanaan, ketenagaan, program, manajemen, dan pembiayaan menjadi kewenangan bersama Pemerintah, provinsi, Kabupaten/kota, Petani dan Swasta. Kondisi ini memberi kewenangan yang lebih luas kepada Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk menyelenggarakan penyuluhan pertanian sesuai dengan kebutuhan lokalita, sedangkan pemerintah mempunyai kewenangan untuk melakukan pembinaan, pengawasan dan koordinasi penyelenggaraan penyuluhan pertanian (Departemen Pertanian, 2006). Dengan kata lain, pelaksanaan kelembagaan penyuluhan dapat ditinjau dari aspek perencanaan, ketenagaan, penyelenggaraan dan pendanaan.

Kebijakan pembangunan pertanian pada era desentralisasi ini adalah mewujudkan pertanian yang tangguh dalam rangka pemantapan ketahanan pangan, peningkatan nilai tambah dan daya saing produk pertanian serta peningkatan kesejahteraan petani. Kebijakan ini menghendaki perubahan pendekatan penyuluhan pertanian dari pendekatan produksi ke pendekatan agribisnis. Kebijakan ini juga mensyaratkan dikembangkannya jaringan

kerjasama di antara pelaku agribisnis, penyuluhan pertanian, peneliti, pendidikan dan pelatihan (Hafsah, 2006)

Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, ada dua hal penting yang perlu dipikirkan dan dilaksanakan dengan baik agar penyuluhan di bidang pertanian, perikanan dan kehutanan dimasa depan dapat berjalan dengan efektif secara berkelanjutan. Dua hal penting itu adalah : (1) dibangunnya sistem penyuluhan yang komprehensif, dan (2) diadopsinya pengembangan program-program penyuluhan yang berbasis penelitian dan ilmu pengetahuan (Slamet, 2008).

Pada UU No.16/2006 pasal 6 tercantum kebijakan system penyuluhan yaitu : (1) Kebijakan penyuluhan ditetapkan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dengan memperhatikan asas dan tujuan system penyuluhan; (2) Dalam menetapkan kebijakan penyuluhan sebagaimana dimaksud pada point terdahulu, pemerintah dan pemerintah daerah memperhatikan ketentuan sebagai berikut : a) penyuluhan dilaksanakan secara terintegrasi dengan subsistem pembangunan pertanian, perikanan dan kehutanan; b) penyelenggaraan penyuluhan dapat dilaksanakan oleh pelaku utama dan/atau warga masyarakat lainnya sebagai mitra pemerintah dan pemerintah daerah, baik secara sendiri-sendiri maupun bekerjasama, yang dilaksanakan secara terintegrasi dengan program pada tiap-tiap tingkat admnistrasi pemerintah.

Seyogyanya dalam konteks otonomi daerah, pemerintah mesti melandaskan moral pembangunannya pada keberpihakan ekonomi rakyatnya. Pemberdayaan dilakukan dalam segala aspek yang selama ini dianggap kritis dalam pengembangan ekonomi rakyat, meliputi 1) pemberdayaan sumberdaya manusia sebagai pelaku ekonomi rakyat; 2) pemberdayaan sumberdaya alam

berkelanjutan dan menjamin redistribusi secara merata serta hak kepemilikan rakyat atas sumberdaya alam; 3) pemberdayaan keuangan untuk membuka akses pendanaan, 4) pemberdayaan kelembagaan untuk menguatkan institusi rakyat agar mampu mengorganisir diri dan komunitasnya dalam sebuah institusi yang berdaya dan berkelanjutan.

2.3. Penyuluhan dan Penyuluh Pertanian