• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. PELAKSANAAN PENELITIAN, ANALISIS DATA,

B. Analisis Data

3. Setelah Erupsi ( End )

Pengalaman kehilangan hanya dirasakan oleh Ibu Mur. Erupsi Merapi menyebabkan kejatuhan perekonomian keluarga maupun masyarakat sekitar, desanya hilang, keluarganya meninggal. Pengalaman ini dipandang Ibu Mur sebagai sebuah proses pembelajaran dalam hidup.

Ya kadang-kadang. Kadang-kadang di saat tertentu ya Mas ya. Misalnya ada acara prosesi Labuhan atau apa. Waktu yang pertama saya pulang pas, saya juga abdi dalem, dandan pake kebaya. Saya pulang untuk yang pertama, waktu itu dianter itu saya hanya bisa nangis. Teringat semua-muanya. Merasa kehilangan, bayang-bayang simbah

itu ada. (Ibu Mur)

Kita sabar, ikhlas, Insya Allah. Sabar, iman, dan ikhlas. Sabar menghadapi musibah, iman sama yang di atas. Ikhlas menjalankan perintahNya. Kita bersosial; ikhlas. Seperti juga saya menghadapi musibah Merapi, ya kita harus bisa menerima dengan kesabaran. Dan kita harus merelakan, mengikhlaskan apa yang diberikan Allah kayak kemarin

mungkin suatu itu sudah diambil. (Ibu Mur)

Saya naik pertama kali tu pas di rumah Pak Bagyo, yang batas terbakar itu lho. Sampai atas mencari tilas rumah ya bingung Mas. Nek ra bingung ya ampuh. Tapi yo ra nangis.

b. Mengatasi keadaan diri

Selama dan setelah suatu hal terjadi, maka manusia melakukan suatu hal yang sifatnya responsif. Jika ada masalah maka akan ada penyelesaian masalah. Begitu juga dalam bencana erupsi yang dialami Ibu Pur dan Ibu Mur. Ibu Pur dan Ibu Mur memiliki cara mengatasi keadaan yang cukup berbeda karena level akibat bencana Ibu Mur juga lebih tinggi dibandingkan dengan Ibu Pur. Namun, beberapa cara mengatasi efek erupsi memiliki kesamaan, yakni mengatasi kecemasan dengan berdoa.

Rasanya ki pokoke ki udah siap-siap. Suara gemuruh itu semakin

ke sini. Kan kita tu udah, yo wis nggak bisa….pokoke cuma di

masjid. Pokoke baca sholawat, baca istighfar. Gitu kan. (Ibu Pur)

Kalau saya kan Islam ya, yang jelas ya dengan berdoa. (Ibu Mur)

Selain dengan berdoa, keduanya juga sama-sama menyelamatkan diri, meskipun pada Ibu Pur hanya sebatas rencana saja. Jika tidak menyelamatkan diri maka nyawa Ibu Mur akan terancam, sedangkan pada Ibu Pur yang rumahnya relatif jauh akan tetap baik-baik saja. Namun insting untuk menyelamatkan diri dari ketakutan ini muncul pada keduanya.

Kalau mau melarikan diri, Pak Masrur ya nggak boleh. Wong suruh di Masjid aja. Itu pokoke di masjid kumpul semua, satu

orang desa sini. Itu kan nggak pada mengungsi. (Ibu Pur)

Ya kita harus menyelamatkan keluarga. Kita harus menyingkir dulu. Apa ada orang yang bisa menahan awan panas. Nggak ada. Alat apa yang bisa. Kalau kita harus ada keterangan dari BPPTK Merapi baru ada gawe ya kita jangan wani-wani. Kita harus

menyingkit dulu. Sumingkir ya kita berdoa agar kita selamat. (Ibu

Berbeda dengan Ibu Pur, Ibu Mur mengalami pengalaman kejatuhan secara ekonomi. Harta bendanya tidak ada yang tersisa. Desanya hilang. Selain itu sosok yang menjadi panutan di keluarga, Mbah Maridjan, juga meninggal dalam peristiwa erupsi. Ibu Mur mencoba untuk mengikhlaskan semua yang telah hilang akibat dari erupsi Merapi.

Lha butuh duit je. Padahal ya panas-panas ngentang-ngentang. Pas naik kok lihat banyak orang, panas-panas gini ya butuhlah. Saya naik motor itu ya jualan air sama

kaset-kaset ternyata ya habis. (Ibu Mur)

Ya wanita-wanita, itu kan ya ngojek, supir Jeep. (Ibu Mur)

Simbah to. Simbah itu memang sudah meninggal ya, tapi kadang merasa simbah itu masih gitu lho Mas. Kalau semua itu, harta benda ya udah diikhlaskan. Sudah kembali

ke yang punya. (Ibu Mur)

Ya sedikit-sedikit memang harus belajar mengikhlaskan. Percaya nggak percaya ya saya itu harus percaya bahwa

simbah itu udah nggak ada. (Ibu Mur)

Harus bangkit-lah. Pelan-pelan, dengan waktu kan orang

itu bisa to diisi dengan kegiatan-kegiatan. (Ibu Mur)

Lha saya belum jualan, orang lain malah sudah duluan. Ya gak papa, pada bangkit. Daripada cuma nglesot di

pengungsian. (Ibu Mur)

c. Kerinduan pada masa lalu

Akibat pengalaman kehilangan, Ibu Mur merasa bahwa dia merindukan pengalaman terhadap suasana rumah. Sesekali dia datang ke Kinahrejo untuk melepas rasa rindunya dan bernostalgia dengan tanah

kehidupannya. Meskipun tinggal satu lokasi bersama orang se-desanya, namun kerinduan akan tanah kelahirannya tidak bisa terobati.

Bukan hunian, cuma pengen tidur di sana ya tidur. Saya kan rasanya belum pulang ke sana Mas, rasa pengen pulang ke sana ya masih to. Kalau ke sana pulang itu saya.

Siang saya jualan di sana. (Ibu Mur)

Ke sana tu pulang, rasanya bisa tidur pulas. (Ibu Mur)

Pikirannya, kalau dulu kan mikirnya orang ngungsi kok nggak pulang-pulang. Ini kan sekarang sudah ada rumah, kalau di shelter itu kapan iki le arep mulih. Pikirannya kan

seperti itu. (Ibu Mur)

Iya masih kangen, dari kecil saya, kalau saya sendiri ya kangen. Tapi mungkin ada ibu-ibu yang blas, trauma. Kalau saya nggak. Kemarin Labuhan kan malah wayangan

di sana kan. (Ibu Mur)

d. Allah sebagai segala sumber

Sebagai pemeluk suatu agama, baik Ibu Pur maupun Ibu Mur menyangkutkan dan mengandalkan Allah sebagai penopang kelemahan dan kegoyahan. Ketika dikembalikan kepada Allah semua menjadi lebih ringan. Namun, dalam pengalaman Ibu Pur, nuansa pengalaman dengan Allah sangat kental. Segala sesuatu didasarkan pada Allah. Tidak heran jika kemudian Ibu Pur memandang Allah sebagai sosok yang begitu terkesan Maha dan kita harus takut dan menyembah padaNya. Ibu Mur sendiri memandang Allah sebatas personifikasi manusia ideal yang membantu mengatasi kesukaran.

Meletus memang pekerjaannya gunung. Bukan berarti itu…

Ya itu termasuk memperlihatkan kekuasaaan Allah juga, karena itu manusia kan nggak tahu seperti meletusnya gunung itu kapan, hanya tanda-tandanya aja yang tahu,

Ya saya itu, nek bekase lho, saya kan punya dasar bahwa Allah itu berkuasa dan kiamat itu akan terjadi. Lha saya itu

percaya kalau itu kiamat kecil dan nanti pasti terjadi. (Ibu

Pur)

Semakin yakin bahwa Allah itu benar-benar kuasa, apa ya, saya baca dalam kitab saya, kan bacanya saya di kitab Al-Quran misalnya ada tanda-tanda itu udah persis. Sebelas-dua belas gitu. Ya udah. Perjalanan gunung Merapi meletus, orang-orang pada lari, itu kan udah ada dalam

Quran. Jadi ya saya itu cuma itu. (Ibu Pur)

Ya semakin kuat, kepasrahannya semakin..kepada Yang Maha Kuasa itu semakin takut. Jadi dikatakan dalam

Quran, “Orang-orang yang takut dengan Allah itu

dikatakan semakin tinggi derajatnya.” Karena Allah itu

benar-benar kuasa sekali. KekuasaanNya itu melebihi yang

di langit dan di bumi. (Ibu Pur)

Ya iya to, namanya gunung berapi. Merapi memang punya kriteria sendiri. Yang jelas kan ya harus dikuatkan dengan keimanan, orang kan juga punya kepercayaan. Manusia itu kan nggak ada apa-apanya. Semua itukan ujian. Insya Allah, ujian itu kan kayak masnya. Ada lulus nggaknya. (Ibu Mur)

Kita sabar, ikhlas, Insya Allah. Sabar, iman, dan ikhlas. Sabar menghadapi musibah, iman sama yang di atas. Ikhlas menjalankan perintahNya. Kita bersosial; ikhlas. Seperti juga saya menghadapi musibah Merapi, ya kita harus bisa menerima dengan kesabaran. Dan kita harus merelakan, mengikhlaskan apa yang diberikan Allah kayak kemarin

mungkin suatu itu sudah diambil. (Ibu Mur)

Sama keimanan. Saat itu ya mungkin kalau orang itu keimanannya ya labil ya nganu. Misalnya berdoa, ternyata ya masih. Walaupun namanya bencana, walaupun tidak

digunung, kalau Allah menghendaki ya gitu. (Ibu Mur)

e. Pengalaman traumatis

Kedua subjek mengalami pengalaman traumatis. Namun, bobot dari masing-masing pengalaman traumatis akan berbeda sesuai dengan

tingkat pengalaman kehilangan. Ibu Pur yang cenderung lebih aman dibandingkan Ibu Mur juga mengalami pengalaman traumatis yang hampir serupa dengan Ibu Mur.

Ya saya kan nggak melihat, nek Pak Masrur kan mungkin masih teringat. Saya kan nggak melihat, jadi nggak tahu, jadi di perasaan nggak ada. Cuma itu, terasa getaran-getarannya itu, terus ketakutan-ketakutannya suara-suara

itu. (Ibu Pur)

[Kalau ingat jaman dahulu apakah masih merasa takut]

Iya, ya tetep. (Ibu Pur)

Lain dengan Ibu Mur yang justru merasa biasa ketika mendengar suara-suara dari perut Merapi. Ibu Mur merasa sudah biasa mendengar suara tersebut sejak dulu. Ibu Mur mengalami pengalaman traumatis dengan suara sirine. Dia mengaku merasa kesal, kaget, marah, dan sakit ketika mendengar suara sirine. Suara sirine mengingatkan pada segala pengalaman pahit ketika erupsi Merapi 2010.

Kalau saya yang paling pokok ya sirine itu. Kalau kaitan dengan Merapi ya kalau ada suara gludak-gluduk, luncuran kecil-kecil itu ya dari dulu kan memang sering.

Sebelum erupsi itu kan sering, hal biasa gitu lho. (Ibu Mur)

Langsung merasa ngeri. Kaget. Kalau ada orang coba-coba membunyikan sirine pasti saya malah sering marah saya.

Nggak pas lagi. (Ibu Mur)

Terus apa ya, bunyi sirene itu lho Mas. Sirene mobil ambulan itu lho yang sampai sekarang tidak hilang. Saya tu kalau dengar suara apa itu, ya sirene di ambulan atau HT, rasanya tu di sini tu sakit itu lho. Teringat yang dulu itu sampai sekarang itu. Itu sulit dihilangkan. Kayak trauma

kalau ada suara itu. Kalau ada suara itu sakit rasanya. (Ibu

Mur)

Kan sirene di atas cuma ngak-ngek gitu. Tapi nggak tahu, awal mulanya di Barek kan semalam cuma ada sirene itu

terus. Sampai sekarang sulit saya untuk..rasanya itu masih sakit kalau denger suara itu. Kalau denger suara itu

rasanya ya kayak “Ngungsi! Ngungsi!” (Ibu Mur)

Dapat dipahami bahwa dengan level bencana yang lebih tinggi dibandingkan dengan Ibu Pur, Ibu Mur mengalami pengalaman traumatis yang juga berlebih. Selain itu, berkaitan dengan suara aktivitas magma di Merapi dapat dipahami bahwa keakraban dengan Merapi menjadi faktor yang membedakan pengalaman traumatis satu sama lain di mana Ibu Pur merasa takut dengan suara itu, sedangkan Ibu Mur justru sudah resisten.

f. Keyakinan akan nasib

Keyakinan akan nasib ini muncul pada Ibu Pur saja. Asal-muasal keyakinan ini bersumber pada keberadaan suami Ibu Pur. Oleh karena itu keyakinan akan nasib di sini juga berkelindan dengan adanya dependensi terhadap otoritas luar. Dalam hal ini adalah terhadap suami Ibu Pur. Namun, dependensi di sini dipandang positif dalam nilai-nilai religius.

Iya, ngrasa cemas, takut. Ya namanya manusia. Pak Masrur aja juga tapi dia mengira itu meletusnya ke sana, seandainya ke sini, dia yo lari. Bukan kita itu nggak persiapan terus cuma pasrah itu ya nggak. Itu kan dilihat dulu, dari jauh to. Kalau mau lari ya bisa ke arah sana misalnya. Ternyata laharnya di sana, di Gendol. Nggak

mungkin ke arah sini. (Ibu Pur)

Gitu terus habis itu disuruh ngungsi yo nggak mau, wong itu udah meletus yang paling besar itu. Tapi kan beritanya masih gencar itu, nanti beritanya masih akan meletus besar

lagi itu. Mau sigar to itu. (Ibu Pur)

Terus prinsip dalam kitab saya, wanita itu yang baik itu yang tongat sama suami. Ya udah itu, ya cuma manut sama

Allah gitu. Wanita yang bagus itu…ya manut aja.

g. Memandang sekitar sebagai sesuatu yang mutualistis

Pandangan terhadap sekitar yang mutualistis ini muncul pada kedua subjek. Namun pada Ibu Pur pandangan ini bercampur-aduk dengan kepatuhan terhadap suami. Sedangkan pada Ibu Mur, pandangan ini membuatnya semakin hidup dan merasa berkewajiban untuk bekerjasama satu sama lain. Pada tema ini, pandangan mutualistis lebih mengarah pada Ibu Mur yang juga masih berkaitan dengan cara mengatasi keadaan.

Karena sekarang ilmunya sudah ada BPPTK. Kadang kalau Merapi bergejolak ya kadang diSMS, kadang saya SMS. (Ibu Mur)

Merapi itu ya seperti sahabat. Kalau saya ya memang

harus ikut menjaga lingkungannya,

penanaman-penanaman, penghijauan. (Ibu Mur)

Kan tidak sendirian. Kita tidak sendirian. (Ibu Mur)

Anak-anak kan juga trauma, harus membesarkan hatinya, iya to? Seperti itu kan..iya anak-anak. Kasih dukungan. Ternyata cukup banyak orang kasih dukungan, support. Niliki itu, jenguk. Walaupun saya itu ngungsinya mandiri to. (Ibu Mur)

Kadang kan juga butuh teman. Di sana kan juga guyonan

karo kancane. (Ibu Mur)

Dokumen terkait