RESILIENSI WANITA PENYINTAS ERUPSI MERAPI 2010
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun Oleh:
Albertus Guntur Prabawanto NIM : 069114046
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
i
RESILIENSI WANITA PENYINTAS ERUPSI MERAPI 2010
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun Oleh:
Albertus Guntur Prabawanto NIM : 069114046
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
iv
Hadapi, Jalani, dan Jangan Pernah Menyesali
v
Untuk Semesta dan Jiwa-jiwa pemberani; Dalam nama-Nya;
Kita bangkit dan tetap berkarya; Rawe-rawe rantas, malang-malang putung;
vii
RESILIENSI WANITA PENYINTAS ERUPSI MERAPI 2010
Albertus Guntur Prabawanto
ABSTRAK
Bencana alam adalah sesuatu yang di luar kendali manusia. Setelah bencana terjadi, manusia harus memilih untuk bangkit atau justru semakin terpuruk. Salah satu bencana alam yang berdampak luas di Yogyakarta adalah erupsi gunung Merapi pada tahun 2010. Masyarakat sekitar kehilangan harta benda, alam tempat tinggalnya, bahkan saudara. Pengalaman kehilangan dan suasana traumatis yang terjadi ketika itu menuntut individu untuk bangkit pengalaman pahit selama bencana dan sesudah bencana terjadi. Penelitian ini berusaha mengetahui resiliensi pada penyintas erupsi Merapi 2010. Metode penelitian yang digunakan adalah naratif. Pengumpulan data dilakukan lewat wawancara semi terstruktur dengan subyek dua orang. Pemilihan subyek dilakukan lewat dasar pengalaman selama erupsi. Subyek adalah wanita yang mana dalam masyarakat Jawa menjadi subordinat dalam budaya patriarki. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai-nilai kearifan lokal yang berpengaruh terhadap resiliensi wanita penyintas erupsi Merapi 2010 adalah nilai kebersamaan, nilai perjuangan, nilai ketaqwaan, dan nilai kepasrahan. Selain itu, ditemukan adanya kecenderungan yang terarah pada Posttraumatic Stress Disorder (PTSD) akibat kejadian traumatis selama erupsi Merapi.
viii
WOMEN RESILIENCE WHO SURVIVE ON MERAPI ERUPTION 2010
Albertus Guntur Prabawanto
ABSTRACT
Natural disasters are something beyond human control. After a disaster occurred, people must choose to rise or even worse off. One of the natural disasters that have broad impact in Yogyakarta is Mount Merapi eruption in 2010. Communities around have loss of property, natural place of residence, even brothers. An experience of losing and traumatic atmosphere that occurs, require the individual to rise up from bitter experience during the disaster and after the disaster occurred. This study sought to know the resilience of the victims of Merapi eruption 2010. The research method used is narrative. The data was collected through semi-structured interviews with two subjects. Selection of subjects is based on the experience during eruption. Subjects were women which in Java community became a subordinate in patriarchal culture. The results showed that the values of local wisdom that affect the resilience of women victims of Merapi eruption in 2010 is the value of unity, the value of struggle, the value of devotion, and the value of surrender. Else, there was found that directional tend to be Posttraumatic Syndrome Disorder (PTSD) due to traumatic events during the eruption.
x
KATA PENGANTAR
Tugas akhir ini adalah salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana
dari Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Tugas akhir yang
berbentuk skripsi ini dibuat atas kepedulian penulis terhadap kesehatan mental
pada survivors erupsi Merapi 2010, khususnya wanita.
Terdorong keinginan untuk melihat bagaimana resiliensi survivors wanita
erupsi Merapi 2010. Penelitian ini memberi perhatian kepada kaum wanitadan
memberikan tambahan pengetahuan dalam psikologi kesehatan guna
bersama-sama mengembangkan suatu proses trauma healing berbasis Kearifan Lokal.
Akhirnya peneliti memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya pada
semua pihak yang membantu berjalannya penelitian ini dan proses penulisannya.
Terima kasih penulis haturkan kepada :
1. Prof. Dr. A. Supratikya selaku pembimbing skripsi yang dengan sabar
dan telaten membimbing saya dalam penulisan ini.
2. FX. Suwondo, Mardinah, Ch dan Sekar Ayu Ning Tyas yang selalu
mengingatkan untuk segera menyelesaikan kuliah.
3. Keluarga Besar Praptowiharjo yang selalu memberi dukungan untuk
menyelesaikan kuliah.
4. Veronika Dwi Laksmi yang crewetin saya untuk menyelesaikan
tulisan ini.
5. Sahabat Sanggar Anak Akar, teristimewa Ibe Karyanto yang tak
xi
6. Teman-teman Sekertariat Bersama Keistimewaan Yogyakarta,
terkhusus Widhihasto yang selalu menyindir dan memotivasi dalam
pengerjaan tulisan ini.
7. Teman-teman TRC dan SAR DIY yang memfasilitasi saya dalam
pengambilan data.
8. Komunitas Sarikraman, terutama Nazarius Sudaryono yang selalu
mengingatkan saya untuk segera menyelesaikan kuliah.
9. Komunitas Al-Qodir, pimpinan Kyai Masrur yang memfasilitasi saya
untuk wawancara.
10. Teman-teman PT. Ayodya Bumi Lestari yang sudah memberi
kesempatan untuk ―libur‖ guna menyelesaikan tulisan ini.
11. Ucil 08 dan Timo yang menemani saya ngeprint.
12. Teman-teman Ex Seminari yang menemani saya minum bir dikala
penat.
13. Teman-teman Psi 06 yang bersama berjuang.
Akhirnya, penulis menyadari bahwa pikiran selalu bergerak lebih cepat
dari tulisan yang menjadi jejaknya. Sehingga dapat dirasakan bahwa tulisan ini
selalu tidak sempurna jika dipikirkan lebih dalam lagi. Oleh karena itu kritik dan
saran yang membangun tentunya akan sangat membantu untuk kepatutan karya
tulis ini. Terima Kasih.
Yogyakarta, 24 Juni 2013
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING... ii
HALAMAN PENGESAHAN ………... iii
HALAMAN MOTTO.……...………... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN.. ….………….…... v
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA. ... vi
ABSTRAK... vii
ABSTRACT... viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH…... ix
KATA PENGANTAR... x
DAFTAR ISI... xii
DAFTAR TABEL... xv
DAFTAR GAMBAR... xvi
DAFTAR LAMPIRAN... xvii
BAB I. PENGANTAR…... 1
A. Latar Belakang …………... 1
B. Rumusan Masalah. ... 8
C. Tujuan Penelitian... 8
D. Manfaat Penelitian... 9
1. Manfaat Teoritis... 9
xiii
BAB II. LANDASAN TEORI... 10
A. Kajian Kepustakaan Tentang Erupsi Merapi 2010... 10
B. Resiliensi dalam Konteks Erupsi Merapi 2010 dan PTSD…... 17
C. Kearifan Lokal Jawa Sebagai Modal Sosial Meningkatkan Resiliensi... 26
D. Wanita Jawa... 30
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN…... 33
A. Metode Naratif... 33
B. Subyek Penelitian... 35
C. Fokus Penelitian... 36
D. Metode Pengumpulan Data... 37
1. Wawancara... 37
2. Daftar Pertanyaan... 38
E. Metode Analisis Thematic Narrative... 38
1. Pengumpulan Data... 39
2. Pengkodean (coding)... 39
3. Interpretasi dan Pembahasan... 40
BAB IV. PELAKSANAAN PENELITIAN, ANALISIS DATA, DAN PEMBAHASAN... 41
A. Pelaksanaan Penelitian... 41
B. Analisis Data... 44
xiv
2. Ketika Erupsi (Middle)... 46
3. Setelah Erupsi (End)... 48
C. Pembahasan... 55
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN... 69
A. Kesimpulan... 69
B. Saran... 72
1. Bagi Keluarga dan Masyarakat... 72
2. Bagi LSM dan Pemerintah... 73
3. Bagi Peneliti dengan Subyek Survivors... 74
xv
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Data Korban Jiwa dan Pengungsi Erupsi Gunung Merapi 2010
di Provinsi D.I. Yogyakarta dan Jawa Tengah... 12
Tabel 2. Jumlah Rumah Rusak Berat Akibat Erupsi
Gunung Merapi 2010………... 15
xvi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Grafik Fluktuasi Total Pengungsi Bencana Gunung Merapi... 13
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Coding Wawancara Ibu Pur... 78
Lampiran 2. Kategorisasi Tema Ibu Pur... 87
Lampiran 3. Coding Wawancara Ibu Mur... 90
Lampiran 4. Kategorisasi Tema Ibu Mur... 98
Lampiran 5. Persamaan dan Perbedaan Pengalaman antara Ibu Pur dengan Ibu Mur... 101
1
BAB I
PENGANTAR
A. Latar Belakang
Belum hilang ‗trauma‘ Gempa 27 Mei 2006, bumi Yogyakarta
kembali dilanda bencana. Pada tahun 2010 terjadi bencana alam erupsi
Merapi. Gunung Merapi sendiri merupakan gunung api teraktif di dunia.
Dikatakan teraktif karena Gunung Merapi memiliki periode waktu erupsi
yang relatif singkat yaitu setiap 2-5 tahun sekali. Namun demikian, erupsi
yang terjadi pada tahun 2010 ini tercatat sebagai peristiwa erupsi Merapi
terbesar dalam kurun waktu 100 tahun terakhir.
Erupsi Merapi 2010 mengakibatkan 386 jiwa korban meninggal dunia;
termasuk Mbah Maridjan (Juru Kunci Merapi). 227 jiwa meninggal di
Provinsi D.I Yogyakarta dan di Provinsi Jawa Tengah sebanyak 109 jiwa
(Pusdalops, 2011). Selain korban jiwa, erupsi Merapi 2010 juga merusak
ratusan rumah (BNPB dan BAPPENAS, 2011), ribuan hektar sawah dan
kebun gagal panen serta ratusan hewan ternak mati.
Pada umumnya setiap bencana alam memiliki dampak yang sama,
yaitu menimbulkan kerusakan secara fisik, memakan korban jiwa,
menyisakan trauma, dan perubahan pola hidup pada korban selamat
(survivors) atau penyintas. Secara umum, trauma psikologis disebabkan oleh
suatu tekanan yang luar biasa sehingga si penyintas merasa menderita dan
Merapi 2010, para penyintas biasanya merasa tidak berdaya yang luar biasa
karena merasa tidak mampu menolong dirinya sendiri, menolong orang lain
(anak, saudara, suami, istri, orang tua) ataupun menyelamatkan harta
bendanya yang berharga sehingga mereka merasa ―menderita‖ yang sangat
kuat. Perasaan ―menderita‖ yang sangat kuat inilah yang menjadi indikasi
adanya trauma psikologis pada orang yang mengalaminya. Apabila keadaan
tersebut tidak teratasi dengan baik maka akan mengakibatkan munculnya
beberapa gangguan psikologis.
Faktor alam atau yang biasa disebut sebagai bencana (disaster) adalah
faktor yang dikategorikan sebagai penyebab tekanan yang luar biasa. Tekanan
luar biasa yang dimaksud bukan hanya sekadar peristiwa yang tidak
menguntungkan namun tekanan luar biasa dari peristiwa traumatis
disebabkan oleh adanya ancaman yang serius terhadap hidup atau integritas
diri (tubuh), atau bisa juga karena adanya pengalaman berhadapan langsung
dengan ancaman kehilangan dan kematian. Peristiwa-peristiwa traumatis
tersebut menghampiri manusia pada intensitas ekstrim sehingga menimbulkan
perasaan tidak berdaya dan terancam, akhirnya memunculkan perasaan takut
yang luar biasa (Sulastri, 2007). Dalam bahasa klinis, reaksi yang muncul
setelah peristiwa traumatis itu memiliki istilah Posttraumatic Stress Disorder
(PTSD)atau ‗stres pascatrauma‘ (Parkinson dalam Dewi, 2010).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kondisi kehilangan secara
signifikan terkait dengan stres pascatrauma (Gist & Lubin, 1999). Trauma
yang melebihi situasi stres yang dialami manusia sehari-hari dalam kondisi
wajar (Sidabutar, Dharmawan, Poerwandari, & Nurhaya, 2003). Bencana
yang sifatnya tiba-tiba dan di luar kemampuan seseorang untuk
menghadapinya membuat pengalaman menjadi bersifat traumatis. Stres
pascatrauma adalah reaksi yang menyusul peristiwa traumatis. Terkadang
digunakan istilah stres pascabencana untuk merujuk pada stres pascatrauma
yang disebabkan oleh bencana. Menurut Parkinson (dalam Dewi, 2010), stres
pascatrauma sebenarnya adalah reaksi wajar seseorang setelah mengalami
peristiwa yang abnormal.
Pengalaman langsung terhadap tekanan yang luar biasa atau peristiwa
trauma tersebut akan mempengaruhi diri seseorang yang mengalaminya pada:
fungsi tubuh (fisiologis), emosi, kognisi bahkan juga dapat merubah karakter
atau kepribadian. Keadaan tersebut juga banyak dialami oleh penyintas dari
peristiwa erupsi Merapi 2010 yang lalu, ada cukup banyak yang pengalami
gangguan stres pascatrauma. Hal ini terjadi mungkin karena mereka melihat
sendiri kematian yang tidak wajar, kehilangan orang yang mereka cintai, dan
kehilangan semua harta bendanya. Peristiwa traumatis biasanya akan
memblokir sistem normal yang pada umumnya membuat orang memiliki
kendali minimal terhadap dirinya sendiri, memiliki hubungan dengan dunia di
sekitarnya dan memiliki arti (Williams & Poijula, 2002).
Reaksi psikologis setiap individu dalam menghadapi peristiwa
traumatis sangat bervariasi dan tergantung pada banyak faktor antara lain
apakah individu tersebut mengalami langsung atau tidak langsung peristiwa
tersebut. Karakteristik individu yang berpengaruh antara lain umur atau tahap
perkembangan, kemampuan kognitif, temperamen, status sosial dan
pengalaman trauma sebelumnya (Williams & Poijula, 2002).
Dalam setiap peristiwa bencana alam, anak dan wanita digolongkan
sebagai kelompok rentan. Masyarakat pada umumnya menganggap bahwa
anak sebagai mahluk yang tidak berdaya dan pasif. Begitu pula dengan
wanita, wanita juga digolongkan dalam kelompok rentan karena disadari atau
tidak kita hidup dalam budaya patriarki. Dalam masyarakat Jawa golongan
petani dan pedagang, wanita memiliki peran ganda. Selain berperan mengurus
rumah tangga (domestik), wanita juga berperan dalam mencari nafkah
(Handayani & Novianto, 2008). Berkaitan dengan peran ganda dan
penempatan wanita dalam budaya Jawa yang patriarkis, penelitian dengan
subjek wanita Jawa akan menjadi hal yang menarik.
Dalam perkembangan ilmu psikologi dewasa ini, banyak temuan
penelitian yang memberikan cara pandang baru dalam memahami peranan
dan kehidupan wanita. Banyak penelitian memperlihatkan betapa besar
peranan wanita sebagai entitas yang kuat, berdaya, dan memiliki jiwa yang
mandiri (Komnas Perempuan [KP], 2007), meskipun mereka berhadapan
dengan situasi kekerasan atau peristiwa traumatis lainnya. Dalam banyak
penelitian ditemukan pula bahwa kebanyakan wanita mampu bertahan
(survive) dari situasi sulit tanpa kesulitan yang berarti. Wanita-wanita ini
membutuhkan energi yang besar untuk mengatasi kesulitan-kesulitan mereka,
namun mereka dapat bertahan. Keadaan seperti itu juga dapat kita temui
dalam masyarakat Jawa. Banyak ditemukan wanita Jawa justru dapat
bertindak lebih taktis dan lebih rasional dalam situasi yang penuh tekanan
terutama secara sosial (Handayani & Novianto, 2008). Mereka memiliki
kemampuan untuk melentur dan tidak hancur ketika situasi sulit menekan
hidup mereka (KP, 2007). Hal tersebut juga dapat kita temukan pada
peristiwa Erupsi Merapi 2010 silam.
Dalam bahasa konseptual, kemampuan untuk melentur dan tidak
hancur ketika situasi sulit disebut resiliensi. Ada banyak definisi mengenai
resiliensi, akan tetapi kebanyakan ahli mendefinisikan resiliensi sebagai
kemampuan untuk bangkit dan berubah menjadi lebih baik setelah peristiwa
sulit (Bautista, Auretita, Myra dalam Dewi, 2010; Grotberg, 1995). Padanan
resiliensi yang umum dipakai di Indonesia adalah lentur. Dalam ilmu
psikologis daya lentur dapat diartikan sebagai kemampuan individu untuk
bangkit dan menjadi lebih baik setelah melewati kondisi sulit. Setelah
melewati peristiwa traumatis, hidup seseorang tidak akan pernah sama lagi
(Alexander dalam Dewi, 2010), mereka tidak mudah patah karena tekanan
dan dapat menyesuaikan dengan keadaan. Menyesuaikan dengan keadaan
adalah juga menyesuaikan diri terhadap peristiwa traumatis, yang menjadi
bagian dari dirinya tanpa membuatnya merasa terganggu disaat mengingat
Setiap individu pada dasarnya memiliki dorongan untuk memenuhi
kebutuhan psikologisnya; untuk menjadi bagian dan selalu terhubung dengan
orang lain, memiliki perasaan mampu, aman dan memiliki makna (Bernard,
2004). Kebutuhan-kebutuhan ini membentuk kekuatan dalam diri manusia
dan meningkatkan resiliensi. Dengan begitu, resiliensi lebih menunjuk atribut
personal, namun lingkungan memiliki peran penting. Ada interaksi faktor
individu dan lingkungan yang mempengaruhi perkembangannya (Turner
dalam Sulastri, 2007). Faktor lingkungan yang mempengaruhi resiliensi
meliputi karakteristik budaya kelompok, keluarga, spiritualitas, dan
masyarakat. Hal ini dibuktikan dalam penelitian Sulastri (2007) mengenai
penyintas gempa bumi Yogyakarta 2006 menyimpulkan adanya hubungan
antara penyintas (survivors) dengan dunia sekitarnya atau kearifan lokal
(Sulastri, 2007).
Kearifan lokal yang dimaksud penulis dalam tulisan ini adalah
kearifan lokal masyarakat Jawa yang bertempat tinggal di seputar lereng
Gunung Merapi. Definisi kearifan lokal dalam penelitian ini adalah sistem
sosial yang dijalankan oleh masyarakat pada suatu tempat dalam kehidupan
mereka sehari-hari dan memiliki ciri khas tertentu. Untuk selanjutnya
kekhasan ini menonjol ketika dilihat oleh orang lain (Handayani & Novianto,
2008). Masyarakat Jawa dalam tulisan ini adalah masyarakat yang bahasa
ibunya adalah bahasa Jawa, yaitu bahasa yang dijumpai di pulau Jawa Tengah
Orang Jawa yang masih menghidupi dan menjalankan nilai-nilai luhur
nenek moyangnya juga biasa dianggap masyarakat Jawa Kejawen. Orang
Jawa Kejawen tersebut memiliki kepercayaan bahwa manusia adalah jagad
cilik dan alam serta isinya adalah jagad gede. Orang Jawa Kejawen
mempunyai pandangan hidup bahwa pokok-pokok kehidupan sudah ada yang
mengaturnya. Oleh karena itu, Masyarakat Jawa Kejawen memiliki sikap
hidup bahwa selalu bersikap sabar dalam menanggung kesulitan-kesulitan
dalam hidupnya. Selain itu, Masyarakat Jawa Kejawen memiliki kepercayaan
terhadap bimbingan adikodrati dan bantuan dari nenek moyang atau Tuhan
dalam menghadapi suatu masalah termasuk dalam menghadapi suatu bencana
alam: erupsi Merapi.
Kearifan lokal inilah yang menjadi modal sosial yang meningkatkan
resiliensi pada diri wanita penyintas (suvivors) dalam menghadapi suatu
kesulitan-kesulitan pada peristiwa erupsi Merapi 2010 silam.
Berkaitan dengan kearifan lokal yang menjadi modal resiliensi dan
keberadaan wanita Jawa dalam strata sosial, maka penelitian mengenai
resiliensi wanita Jawa yang menjadi penyintas erupsi Merapi akan menjadi
hal yang menarik. Melalui kajian naratif, penulis akan mencoba mencatat
narasi mengenai peristiwa erupsi Merapi 2010 yang terekam pada ingatan
korban selamat (survivors) atau penyintas. Dalam upaya lebih lanjut, penulis
hendak melihat dan mengkaji tentang kearifan lokal serta pengaruhnya
terhadap resiliensi pada wanita penyintas. Oleh karena itu, untuk menggali
melakukan wawancara dengan subyek. Selain itu, penulis akan menggunakan
bantuan dari berbagai literatur yang berkaitan dengan tema-tema yang muncul
dari hasil wawancara.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian naratif. Analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis
tematik yang dengan fleksibilitasnya akan memberikan kesempatan pada
keseluruhan tema ataupun sub-tema untuk saling dikaitkan dalam
penyempurnaan analisis (Braun, 2006). Penulis berharap bahwa hasil dari
penulisan ini akan bisa memberikan sumbangan dalam menemukan sistem
penanganan bencana yang baik dari sisi psikologis dan sesuai dengan kearifan
lokal yang berkembang dalam masyarakat korban. Hal tersebut juga dapat
kita temukan pada peristiwa Erupsi Merapi 2010 silam.
B. Rumusan Masalah
Bagaimanakah kultur Jawa (kearifan lokal Jawa) yang dikembangkan
melalui pola interaksi sebagai modal sosial berpengaruh pada wanita Jawa
penyintas pada peristiwa erupsi Merapi 2010 sehingga lebih resilien?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk melihat peran kearifan lokal
Jawa dalam meningkatkan resiliensi para penyintas terutama Wanita pada
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis
Hasil penulisan ini bisa memberikan sumbangan teoritis dalam
bidang psikologi, khususnya psikologi sosial mengenai resiliensi dan
kearifan lokal dalam kajian naratif.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Masyarakat
Hasil penelitian ini bisa digunakan sebagai sumber informasi
bagi masyarakat luas, sehingga masyarakat lebih bijaksana dan selalu
siap siaga dalam menghadapi bencana.
b. Bagi LSM dan Pemerintah
Hasil penelitian ini bisa digunakan sebagai sumber informasi
penanggulangan bencana yang baik sehingga bisa menekan jatuhnya
10
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Kajian Kepustakaan Tentang Erupsi Merapi 2010
Secara etimologis, bencana adalah gangguan yang menyebabkan dan
menimbulkan kesusakan, kerugian, penderitaan, malapetaka, kecelakaan dan
marabahaya. Kata bencana dalam bahasa Inggris sepadan dengan kata
disaster identik dengan sesuatu dan situasi yang negatif.Disaster berasal dari
Bahasa Yunani, disatro, dis berarti jelek dan astro yang berarti peristiwa
jatuhnya bintang-bintang ke bumi (BAPPENAS & BNPB, 2011).
Dalam Undang-Undang No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana, bencana didefinisikan sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa
yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat
yang disebabkan, baik oleh faktor alam atau faktor non-alam maupun faktor
manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis (BAPPENAS &
BNPB, 2011).
Dampak umum bencana baik alam dan non-alam dari bencana
meliputi kehilangan jiwa, luka-luka, kerusakan infrastruktur, kerusakan
kehidupan dan hasil panen, gangguan produksi, gangguan kehidupan
sehari-hari, kehilangan keluarga, gangguan dalam pelayanan umum, kerusakan
penurunan ekonomi nasional, dampak sosiologis dan psikologis setelah
bencana terjadi.
Pada penelitian ini, penulis akan memfokuskan diri pada bencana
alam yaitu: Erupsi Merapi 2010. Definisi bencana alam dalam penelitian ini
adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa
yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung
meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor (BAPPENAS &
BNPB, 2011).
Gunung Merapi merupakan bagian dari rangkaian 129 gunung berapi
aktif dari ring of fire yang memanjang dari kepulauan Sumatra, Jawa, hingga
Indonesia bagian timur dan memiliki ekosistem yang unik. Sebagai suatu
kawasan yang memiliki keunikan ekosistem maka kawasan Gunung Merapi
ditunjuk menjadi Taman Nasional pada tahun 2004 melalui Keputusan
Menteri Kehutanan SK Nomor 134/Menhut-II/2004 tanggal 04 Mei 2004.
Selain itu, Gunung Merapi adalah salah satu gunung teraktif di dunia
sehingga banyak peneliti gunung berapi dari berbagai Negara menjadikan
Gunung Merapi sebagai obyek penelitian mereka. Gunung Merapi termasuk
dalam tipe strato, dengan ketinggian 2.980 meter di atas permukaan laut.
Secara geografis terletak pada posisi 7° 32.5¹ Lintang Selatan dan 110° 26.5¹
Bujur Timur. Secara administratif Gunung Merapi terletak di perbatasan
antara Propinsi Jawa Tengah dan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Propinsi Jawa Tengah terbagi atas tiga kabupaten yaitu: Kabupaten Boyolali
Barat. Sedangkan untuk Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yaitu:
Kabupaten Sleman di sisi Selatan (BNPB dan BAPPENAS, 2011).
Pada tanggal 20 September 2010, status kegiatan Gunung Merapi
ditingkatkan dari Normal menjadi Waspada, dan selanjutnya ditingkatkan
kembali menjadi Siaga (Level III) pada 21 Oktober 2010. Sejak 25 Oktober
2010, pukul 06.00 WIB, status kegiatan Gunung Merapi ditingkatkan dari
―Siaga ― (Level III) menjadi ―Awas‖ (Level IV), dan pada 26 Oktober 2010
Gunung Merapi mengalami erupsi pertama dan berlanjut dengan erupsi
lanjutan sampai awal November 2010 (BNPB dan BAPPENAS, 2011).
Erupsi Merapi 2010 ini merupakan bencana terbesar dibandingkan
dengan bencana erupsi pada tahun 1994, 1997, 1998, 2001, dan 2006.
Berdasarkan data pusdalops BNPB pada tanggal 12 Desember 2010 data
korban erupsi Merapi yang meninggal dunia sebanyak 386 jiwa. Selain itu,
bencana tersebut mengakibatkan 15.366 jiwa mengungsi di titik-titik
pengungsian yang tersebar seluruh wilayah di D.I Yogyakarta dan Jawa
Tengah bahkan ada yang sampai mengungsi sampai luar kota (BNPB dan
BAPPENAS, 2011).
Tabel 1.
Data Korban Jiwa dan Pengungsi Erupsi Gunung Merapi 2010
di Provinsi D.I. Yogyakarta dan Jawa Tengah
LOKASI MENINGGAL PENGUNGSI1
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta 277 12.839
Provinsi Jawa Tengah 109 2.527
Total DIY dan Jawa Tengah 386 15.366
1
Gambar 1.
Grafik Fluktuasi Total Pengungsi Bencana Gunung Merapi
Sumber: BAPPENAS & BNPB, 2011
Selain menimbulkan korban jiwa dan luka-luka, bencana erupsi ini
juga membawa dampak kerusakan dan kerugian yang terjadi di 4 (empat)
kabupaten disekitarnya yaitu: Kabupaten Magelang, Kabupaten Klaten dan
Kabupaten Boyolali di Provinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Sleman di
Gambar 2.
Sebaran Dampak Bencana Erupsi Merapi 2010
Sumber: BAPPENAS & BNPB, 2011
Berdasarkan data dari tim analisa gabungan BNPB, BAPPENAS, Pemda
DIY dan Pemda Jawa Tengah pada bulan Januari 2011 teridentifikasi bahwa
Tabel 2.
Jumlah Rumah Rusak Berat Akibat Erupsi Gunung Merapi 2010
Provinsi Kabupaten Jumlah
Jawa Tengah Klaten 165
Magelang 9
Boyolali -
Total Jawa Tengah 174
D. I. Yogyakarta Sleman 2.682
TOTAL 2.856
Sumber: BAPPENAS & BNPB, 2011
Dari data di atas, kita mengetahui bersama bahwa Propinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta terkena dampak terparah pada erupsi Merapi 2010.
Dampak kerusakan terparah tersebut berada di Kecamatan Cangkringan,
Kabupaten Sleman dimana sebagian besar dari total keseluruhan korban jiwa
227 jiwa di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta berasal dari Kecamatan
Cangkringan, Kabupaten Sleman. Selain merenggut ratusan korban jiwa, di
Kecamatan Cangkringan ada 2.856 unit rumah rusak parah dan ribuan rumah
yang lain rusak sedang hingga ringan serta ribuan hektar lahan pertanian dan
pemukiman terkena keganasan awan panas. Berdasarkan data yang diperoleh
tersebut maka dalam penelitian ini, penulis memilih Kecamatan Cangkringan
sebagai tempat penelitian dan secara spesifik memilih daerah Kinahrejo
dusun dimana Mbah Maridjan ―Juru Kunci Merapi‖ hidup dan meninggal
Dampak dari erupsi Merapi 2010 sangatlah besar. Erupsi Merapi 2010
mengakibatkan kerusakan dan kerugian fisik maupun non fisik. Kerusakan
dan kerugian fisik antara lain: rumah, ladang, pemukiman dan banyaknya
korban jiwa. Kerusakan dan kerugian non fisik antara lain: rasa kehilangan,
menderita yang luar bisa dan perubahan pola hidup para penyintas. Lebih dari
itu semua, dampak bencana alam (disaster) akan mengakibatkan perasaan
tidak berdaya dan terancam yang luar biasa pada penyintas, akhirnya
memunculkan perasaan takut yang luar biasa (Sulastri, 2007) atau ‗stres
pascatrauma‘ yang dalam istilah klinis disebut sebagai Posttraumatic Stress
Disorder yang disingkat PTSD (Parkinson dalam Dewi, 2010). Apabila hal
tersebut tidak ditangani dengan baik maka akan memunculkan gangguan
psikologis pada penyintas, keadaan tersebut pada umumnya terjadi disetiap
bencana alam.
Akan tetapi, setiap individu mengalami reaksi yang berbeda-beda
dalam merespon dampak bencana. Faktor-faktornya adalah: (1) tingkat
intensitas kehilangan, semakin banyak kehilangan, akan menimbulkan reaksi
yang lebih hebat, (2) kemampuan individu secara umum untuk menghadapi
situasi emosional, dan (3) peristiwa lain yang menimbulkan stres mengikuti
peristiwa traumatik yang baru dialaminya (American Psychiatri Association
[APA], 2000).
Data menunjukkan bahwa ada peningkatan prosentase yang cukup
signifikan dari penyintas yang mengalami ganguan psikologis pasca bencana
tetap mampu bangkit dan berubah menjadi lebih baik (resiliensi) pasca
bencana alam itu.
B. Resiliensi dalam Konteks Erupsi Merapi 2010 dan PTSD
Ada banyak definisi mengenai resiliensi, banyak ahli berpendapat
bahwa resiliensi adalah kemampuan individu untuk menghadapi, mengatasi,
memperkuat diri, dan tetap melakukan perubahan setelah peristiwa sulit
dialami (Grotberg, 1995). Resiliensi merupakan kemampuan individu untuk
menghadapi penderitaan. Persamaan kata resiliensi dalam bahasa Indonesia
adalah daya lentur. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dapat diartiakan
sebagai tidak mudah patah dan dapat dengan mudah menyesuaikan diri
dengan keadaan. ―Daya Lentur‖ sepertinya lebih pas dengan definisi resiliensi
di atas, yaitu kemampuan untuk bangkit dan berubah menjadi lebih baik
setelah melewati kondisi yang sulit. Lebih dari itu, resiliensi digunakan untuk
menyatakan kapabilitas individual untuk bertahan atau survive dan mampu
beradaptasi dalam keadaan stres dan mengalami penderitaan pada peristiwa
traumatis.
Resiliensi adalah seperangkat pikiran yang memungkinkan untuk
mencari pengalaman baru dan memandang kehidupan sebagai sebuah
kemajuan. Resiliensi adalah kapasitas untuk merespon secara sehat dan
produktif ketika menghadapi kesulitan atau trauma serta bisa menyesuaikan
Karakter individu yang memiliki resiliensi seperti terdapat dalam
beberapa poin berikut ini (www.APAHelpCenter.org/resilience):
a. Memiliki sikap optimis yaitu terdapat harapan akan masa depan;
b. Individu memiliki keyakinan diri bahwa mereka memiliki kemampuan
untuk mengatur secara efektif atau menyelesaikan tugas secara mandiri;
c. Individu juga percaya bahwa mereka tetap memiliki kendali yang baik
terhadap lingkungan, terutama pasca kejadian trauma;
d. Individu memiliki pemahaman yang baik bahwa setiap pengalaman hidup
memiliki alasan tertentu, dan mereka masih memiliki sumber personal
dan sosial untuk memenuhi tuntutan hidup tersebut;
Serta individu yang bersangkutan biasanya aktif, percaya bahwa
mereka memiliki kekuatan untuk menentukan jalan hidup mereka, terutama
pasca kejadian traumatis. Menurut Alexander (dalam Dewi, 2010), setelah
melewati peristiwa traumatis, hidup seseorang tidak akan pernah sama lagi.
Dengan kata lain, individu yang resiliensinya baik akan bisa menyesuaikan
diri dengan keadaan. Menyesuaikan diri dengan keadaan adalah juga
menyesuaikan diri tanpa membuatnya merasa terganggu kembali terhadap
peristiwa traumatis yang menjadi bagian dari dirinya.
Reaksi psikologis individu terhadap peristiwa traumatis bervariasi dan
tergantung pada banyak faktor seperti karakteristik individu, sistem dukung
yang ada dan pengalaman traumatis yang langsung dialami atau tidak pada
peristiwa traumatis tersebut (Webb dalam Dewi, 2010). Hal tersebut juga
traumatis. Narasi reseliensi pada peristiwa erupsi Merapi 2010 silam
terealisasi dengan terbuktinya masyarakat korban erupsi bangkit dari
keterpurukannya.
Peristiwa traumatis pada umumnya berpotensi menimbulkan stres.
Dalam fase yang lebih akut, stres ini akan memunculkan gangguan stres
pascatrauma atau PTSD. Tanda-tanda PDSD meliputi ketakutan,
ketidakberdayaan, dan rasa dihantui. Lebih lanjut, gejala gangguan ini antara
lain: (a). mengalami kembali peristiwa traumatis, misalnya melalui mimpi
buruk atau terbayang kembali peristiwa tersebut; (b). menghindari stimulus
yang berkaitan dengan peristiwa traumatis, tidak dapat merespons, atau
berkurangnya responsivitas terhadap lingkungan sekitar; dan (c).
meningkatnya ketergugahan, seperti sulit tidur atau tidur tidak nyenyak,
mudah jengkel atau marah, kesulitan berkonsentrasi, dan menampilkan
respons keterkejutan (APA, 2000).
Pada penelitian ini, penyintas wanita dikatakan bebas dari PTSD
ketika terbebas dari gejala-gejala PTSD. Deskripsi gejala-gejala PTSD
berikut ini diadaptasi dari DSM IV (APA, 2000):
a. Seseorang telah mengalami peristiwa traumatik dimana kedua hal berikut
ini muncul:
Penderita atau korban mengalami, menyaksikan atau dikonforontasi
dengan sebuah peristiwa atau peristiwa-peristiwa yang melibatkan
pengalaman kematian atau ancaman kematian, cedera yang serius, atau
Respons penderita atau korban terhadap peristiwa tersebut melibatkan
ketakutan yang intens, perasaan tidak berdaya, perasaan horror, atau
persepsi anda terhadap peristiwa yang menyebabkan emosi-emosi
tersebut
b. Seseorang mengalami kembali peristiwa dengan satu atau beberapa cara
berikut ini:
Penderita atau korban mengalami rekoleksi peristiwa yang
mengganggu, intrusif dan sering muncul yang meliputi bayangan,
pikiran dan persepsi
Penderita atau korban mengalami mimpi yang mengganggu dan
berulang atas peristiwa yang terjadi
Penderita atau korban bertindak atau merasakan seakan-akan peristiwa
traumatis tersebut terjadi berulang ulang dan penderita atau korban
mungkin mengalami perasaan dimana ia mengalami kembali peristiwa
tersebut melalui halusinasi, ilusi dan kilas balik aktif
Penderita atau korban mengalami gangguan psikologis atau reaksi
tubuh yang intens ketika terekspos pada tanda-tanda eksternal maupun
internal yang menandakan atau menyerupai peristiwa traumatis tersebut
(misalnya: penglihatan, bau, suara, tanggal), hal-hal ini disebut triggers
(Pemicu)
c. Seseorang tetap menghindari hal-hal atau peristiwa (pemicu) yang
diasosiasikan dengan trauma dan mebekukan respon dengan tiga atau
Penderita atau korban melakukan berbagai macam cara untuk
menghindari munculnya pikiran, perasaan atau percakapan yang terkait
dengan trauma tersebut atau menghindari aktivitas, tempat, atau
orang-orang yang dapat menyebabkan anda mengingat trauma tersebut
Penderita atau korban tidak dapat menngingat aspek penting yang
terjadi pada peristiwa tersebut
Minat dan partisipasi dalam aktivitas menjadi jauh berkurang
Penderita atau korban merasa terasing dari orang lain
Kemampuan penderita atau korban untuk merasakan emosi dan jumlah
emosi yang dirasakan menjadi terbatas (misalnya: ia tidak dapat
merasakan perasaan mencintai)
Penderita atau korban mengalami perasaan dimana pandangan terhadap
masa depan menjadi terbatas. Penderita atau korban tidak dapat melihat
jauh ke masa depan (misalnya: ia tidak memiliki pengharapan untuk
memiliki karir, pernikahan, anak-anak, atau usia yang normal)
d. Seseorang juga memiliki gejala persisten berupa rangasangan fisik yang
meningkat yang tidak ada muncul sebelum terjadinya trauma seperti yang
diindikasikan oleh dua atau lebih hal berikut ini:
Sulit tidur atau sulit untuk tetap tidur
Mudah tersinggung atau kemarahan yang meluap
Sulit berkonsentrasi
Waspada yang berlebihan
e. Gejala tersebut berlangsung lebih dari sebulan
f. Karena gejala ini, penderita atau korban mengalami stres dan gangguan
dan fungsi sosial, kerja dan area yang penting lainnya.
PTSD dianggap akut jika gejala-gejala tersebut telah berlangsung
kurang dari tiga bulan dan dianggap kronis jika gejala telah berlangsung
selama tiga bulan atau lebih. PTSD dianggap sebagai serangan yang tertunda
jika gejala mulai muncul setidaknya setelah enam bulan setelah terjadinya
peristiwa traumatis tersebut. Jika seseorang hanya memiliki beberapa
gejala-gejala yang tersebut di atas maka ia baru bisa disebut sebagai penderita PTSD
parsial.
Dalam sebuah jurnal psikologi dikatakan bahwa perbedaan dari orang
yang hanya mengalami tekanan untuk sementara dalam bagian kehidupannya
dengan orang yang mengalami PTSD, secara mendasar dan sederhana
dikatakan bahwa orang tidak mengalami PTSD apabila orang tersebut mampu
untuk memulai mengelola hidupnya kembali ―berdampingan‖ dengan trauma
yang mereka alami. Jadi, pada orang yang mengalami PTSD terdapat proses
mengumpulkan kembali memori (recollection) yang mengganggu secara terus
menerus (persistent) pasca terjadinya peristiwa traumatis. Persistent
recollection terhadap kejadian-kejadian traumatis yang dialami dan dilakukan
gangguan secara biologis dan psikologis, yang merupakan bagian dari PTSD
(Sulastri, 2007).
Komponen lain yang membuat sebuah peristiwa traumatis dapat
menjadi gangguan adalah penilaian subyektif dari penyintas terhadap
seberapa parah mereka merasa tertekan, terancam atau merasa tidak berdaya
oleh adanya pengalaman tersebut. Jadi, meskipun fakta adanya pengalaman
yang tidak biasa (extraordinary atau unusual) bisa disebut sebagai inti dari
munculnya PTSD, namun arti (meaning) yang dilekatkan penyintas terhadap
peristiwa tersebut juga bisa menjadi bagian paling mendasar dari gangguan
yang dialami (Herman, 1992). Proses interpretasi seseorang terhadap arti dari
peristiwa traumatis biasanya akan terus terjadi terhadap trauma yang pernah
dialami, walaupun peristiwa itu sendiri telah berhenti.
Gejala khas dari PTSD dimulai dari fase, di mana bayangan-bayangan
kejadian traumatis seperti terulang kembali (flashback) atau bayangan
kejadian tersebut muncul kembali dalam mimpi, terjadi dengan latar belakang
yang menetap berupa kondisi perasaan ―beku‖ (daze) dan penumpukan emosi
(emotional numbness), menjauhi orang lain, tidak responsive terhadap
lingkungan, tidak mampu merasakan perasaan senang (anhedonia), serta
menghindari aktivitas dan situasi yang berkaitan dengan traumanya
(avoidance). Selain itu, juga muncul ketakutan dan penghindaran dari hal-hal
yang meningkatkan kembali pada trauma yang pernah dialami.Walaupun
jarang, kadang-kadang terjadi bisa terjadi reaksi yang dramatis
dimunculkan oleh stimulus yang mendadak mengingatkannya kembali pada
trauma yang pernah dialaminya serta memunculkan reaksi asli terhadap
trauma itu. Hyperarousal seperti ini pada dasarnya jarang terjadi, namun
simptom hyperarousal menjadi salah satu simptom kuat adanya gangguan
PTSD. Munculnya PTSD harus didahului dengan dengan adanya traumatis,
dengan masa laten (belum menampakkan secara nyata simtom-simtom PTSD,
namun sudah mulai menjangkiti) yang berkisar antara beberapa minggu
hingga beberapa bulan, jarang melampaui 6 bulan.
PTSD tidak terbatas pada salah satu jenis peristiwa traumatis tak
terkecuali peristiwa traumatis yang diakibatkan karena faktor alam (disaster).
Disaster dikategorikan sebagai penyebab tekanan yang luar biasa.Tekanan
luar biasa yang dimaksud adalah peristiwa traumatis yang menyebabkan
adanya ancaman serius terhadap hidup atau integritas diri (tubuh), atau
pengalaman berhadapan langsung dengan kematian dan kehilangan. Dalam
beberapa penelitian menunjukkan bahwa kondisi kehilangan secara signifikan
terkait dengan stres pascatrauma (Gist & Lubin, 1999).
Pengalaman-pengalaman yang mengagetkan dan menyakitkan dimana Pengalaman-pengalaman itu
melebihi situasi stres yang dialami manusia dalam kehidupan sehari-hari
dalam kondisi wajar maka itu bisa dikatakan sebagai pengalaman traumatik
(Sidabutar dkk., 2003). Terkadang digunakan istilah stres pascabencana untuk
merujuk pada stres pascatrauma yang disebabkan oleh bencana.
Pada peristiwa erupsi Merapi 2010 yang lalu ada cukup banyak
sendiri kematian yang tidak wajar, kehilangan orang yang mereka cintai, dan
kehilangan semua harta bendanya. Situasi traumatis seperti itu akan
memblokir sistem normal sehingga membuat orang tidak bisa mengendalikan
dirinya sendiri, dan lingkungannya serta arti (Williams & Poijula, 2002).
Dalam pengalaman penulis, gejala-gejala PTSD pada penyintas pada
erupsi Merapi 2010 silam nampak secara kuat. Respons keterkejutan
cenderung bertahan lebih lama dibandingkan gejala lainnya. Penyintas
biasanya menampilakan respons berlari, wajah pucat atau keterkejutan yang
lainnya apabila mendengar atau melihat stimulus yang mirip atau ada
hubungannya dengan peristiwa traumatis, misalnya: berlari bila mendengar
suara gemuruh atau pucat ketika melihat api.
Pada kasus erupsi Merapi, wanita memiliki kemampuan resiliensi
yang lebih baik daripada laki-laki. Oleh karena itu, penulis mengambil wanita
sebagai subyek dalam penelitian ini.Wanita memiliki karakteristik personal
yang menonjol seperti kreativitas, dan kompetensi sosial (Kelly dalam
Handayani & Novianto, 2007).Wanita juga memiliki kemampuan berempati,
kemampuan untuk melihat makna dari suatu kejadian, sikap realistis melihat
situasi diri dan lingkungannya sebagai ciri dari individu-individu yang lentur.
Wanita cenderung memiliki kemampuan untuk membangun hubungan
positif dengan orang lain atau ―keterampilan sosial‖. Dalam kasus ini, penulis
menemukan bahwa ketika bencana terjadi para ibu masih bisa memikirkan
dan mengurusi anak serta anggota keluarga yang lain. Wanita memiliki
―keterampilan memecahkan masalah‖, misalnya: ketika para laki-laki masih
bingung karena lahan pertanian mereka hilang atau belum bisa ditanami, para
wanita mencari alternatif untuk mendapatkan rejeki dengan membuka warung
atau menjual kebutuhan para wisatawan disekitar rumah mereka yang hancur.
Wanita mempunyai kemampuan untuk percaya pada kemampuan diri dan
mandiri atau ―kemandirian‖. Para wanita yang kehilangan suami atau
pasangan hidupnya karena menjadi korban keganasan erupsi Merapi tetap
mampu mengurusi anak dengan melakukan aktivitas ekonomi, misalnya:
memecah batu, menjadi buruh pada proyek-proyek, bertani, berdagang dan
pemandu wisata.
C. Kearifan Lokal Jawa Sebagai Modal Sosial Meningkatkan Resiliensi
Sejarah mencatat, pengalaman masyarakat Yogyakarta dalam
menghadapi bencana alam yang pernah terjadi terbukti lebih cepat bangkit
melakukan pembenahan pasca bencana alam (gempa bumi 2006). Dalam
tulisan ini, penulis membahasakan hal tersebut bahwa masyarakat Yogyakarta
cenderung resilien. Faktor penting yang perlu kita gali adalah dukungan
nilai-nilai filosofis yang terkandung dalam kearifan lokal yang berkembang dalam
masyarakat Yogyakarta. Salah satu landasan filosofi yang berkembang dalam
masyarakat Yogyakarta adalah ―Memayu Hayuning Bawana‖ (menghiasi
dunia). Narasi Memayu Hayuning Bawana tersebut terealisasi dalam
Hamemasuh Memalaning Bumi. Dalam arti bebas Memalaning Bumi dapat
Falsafah lain yang dipegang dan dihidupi oleh masyarakat Jawa
adalah Hangengasah Mingising Budi yang dapat kita artikan sebagai upaya
yang tidak berhenti untuk mempertajam budi manusia sehingga dari waktu ke
waktu dapat menyinergikan kehidupan manusia dengan alam, manusia
dengan manusia yang lain dan manusia dengan Tuhan-nya sehingga dapat
mencapai keharmonisan di dunia ini (Mulder, 2007). Hal ini menunjukkan
bahwa orang Jawa mengedepankan sikap kehati-hatian, harmoni dan
melestarikan alam. Narasi Hangengasah Mingising Budi terealisasikan antara
lain dengan kegiatan labuhan, merti dusun, dan slametan yang sudah menjadi
tradisi masyarakat lereng gunung Merapi. Slametan berasal dari kata Slamet
yang berarti selamat.Dengan demikian Slametan bertujuan untuk menjaga
keselamatan dan ketentraman masyarakat dan menetralisir kekuatan-kekuatan
yang berbahaya.
Selain dua falsafah besar tersebut di atas, masyarakat Jawa juga
mengenal istilah sepi ing pamrih rame ing gawe (tidak mementingkan diri
sendiri, giat bekerja). Ini adalah ungkapan pokok bagi gaya hidup masyarakat
Jawa Kejawen yang mengedepankan perilaku dan sikap sabar, nrimo,
eling-waspada, andhap asor dan prasaja (Mulder, 2007). Pada peristiwa traumatis
erupsi Merapi 2010, solidaritas sosial orang jawa tersebut terlihat secara
nyata. Masyarakat bergerak dengan cepat, banyak relawan yang berasal dari
masyarakat sendiri yang bahu membahu membantu masyarakat korban erupsi
Merapi 2010 dengan mengadakan penggalangan bantuan yang kemudian
komunitas lokal mempunyai kecerdasan lokal dan lebih cepat tanggap
dibanding pemerintah.
Masyarakat Jawa juga mengenal petungan Jawa (penanggalan Jawa)
yang berfungsi untuk menyelaraskan kejadian-kejadian di bumi dengan
kondisi-kondisi adiduniawi yang ternarasikan dalam kepercayaan jagad cilik;
jagad gede. Masyarakat Jawa mempunyai pandangan hidup bahwa
pokok-pokok kehidupan sudah ada yang mengaturnya. Oleh karena itu, masyarakat
Jawa memiliki sikap hidup bahwa selalu bersikap sabar dalam menanggung
kesulitan-kesulitan dalam hidupnya. Masyarakat Jawa juga memiliki
kepercayaan terhadap bimbingan adikodrati, bantuan nenek moyang atau
Tuhan (mitos) dalam menghadapi suatu masalah termasuk dalam menghadapi
erupsi Merapi 2010. Narasi dari kearifan lokal tersebut adalah masyarakat
lereng gunung Merapi bisa ―niteni‖ (membaca) tanda-tanda alam yang
terkadang tidak bisa dirasionalkan dengan menggunakan ilmu pengatahuan.
Hal tersebut adalah bagian dari ilmu pengetahuan lokal (local knowledge)
yang perlu kita cari dan kembangkan supaya ada peningkatan kapasitas
masyarakat dalam menghadapi bencana atau dengan kata lain masyarakat
lebih ―waspodo‖ (bila terjadi bencana sewaktu-waktu).
Lebih khusus lagi, kita dapat mengartikan bahwa kearifan lokal
merupakan tata nilai atau perilaku hidup masyarakat lokal dalam berinteraksi
dengan lingkungan tempatnya hidup secara arif. Berdasarkan dari penelitian
yang berkembang dan termanifestasikan dalam bentuk perilaku masyarakat
Sleman adalah sebagai berikut:
Tabel 3.
Nilai-nilai yang Berkembang di Kabupaten Sleman
No. Nilai Makna
1. Nilai Kedermawanan Nilai untuk berbagi dan memberi
kepada sesama sebagai bentuk
solidaritas terdapat dalam ungkapan lebih baik tangan di atas daripada tangan di bawah.
2. Nilai Kebersamaan Nilai untuk melakukan besama-sama sebagai bentuk kerukunan dalam bermasyarakat.
3. Nilai Keteladanan Memberikan contoh yang baik kepada masyarakat untuk melakukan perbuatan yang baik.
4. Nilai Kepasrahan Nilai untuk selalu percaya akan keadilan dan kekuasaan Tuhan atas semua yang terjadi dalam kehidupan.
5. Nilai Perjuangan Nilai untuk selalu memperjuangkan hak, kemakmuran dan kesejahteraan.
6. Nilai Kepemimpinan Ada contoh yang baik dalam setiap tindakan dan memberikan keteladanan. 7. Nilai Ketaqwaan Nilai untuk selalu menyerahkan kepada
Tuhan setelah melakukan segala upaya. 8. Nilai Kegotongroyongan Nilai untuk melakukan kegiatan secara
bersama.
9. Nilai Kesetiaan Nilai untuk berpegang teguh pada
komitmen.
10. Nilai Pengorbanan Bahwa setiap pengorbanan yang tulus demi kesejahteraan dan keselamatan rakyat tidak sia-sia.
Sumber: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Sleman, 2009
Basis kearifan lokal menjadi modal sosial untuk melakukan inovasi
dalam penanggulangan bencana berbasis komunitas. Strategi ini sebagai
bencana yang ada disekelilingnya. Bahkan dalam penanggulangan bencana
berbasis kearifan lokal yang bisa mengapresiasi keberagaman dan
keharmonisan masyarakat tersebut akan bisa meningkatkan resiliensi
penyintas, khususnya wanita sebagai kelompok rentan dalam setiap bencana.
D. Wanita Jawa
Secara etimologis, kata ―wanita‖ berasal dari kata wani (berani) dan
ditata (diatur). Secara harafiah dapat diartikan bahwa seorang wanita adalah
sosok yang berani ditata atau diatur. Dalam kehidupan praktis masyarakat
Jawa, wanita adalah sosok yang selalu mengusahakan keadaaan yang tertata
sehingga untuk itu pula dia harus menjadi sosok yang berani ditata. Hal yang
senada juga diungkapkan oleh ahli filsafat UGM Damarjadi Supadjar bahwa
kata ―wanita‖ berasal dari kata wani (berani) dan tapa (menderita). Artinya,
wanita adalah sosok yang berani menderita bahkan untuk orang lain
(Handayani & Novianto, 2008).
Dalam kebudayaan Jawa ada istilah bahwa wanita itu hanya sebagai
―konco wingking‖ sekaligus sebagai sigaraning nyawa (belahan jiwa atau
separo dari jiwa). Narasi dari kata ―sigaraning nyawa‖ tersirat bahwa posisi
yang sejajar dan lebih egaliter daripada konco wingking. Karena suami dan
istri adalah dua yang telah menjadi satu maka masing-masing adalah separo
dari satu entitas (Handayani & Novianto, 2007).
Namun demikian, kebudayaan patriarki selaku memposisikan wanita
kebudayaan patriarki tersebut dapat kita temukan pada setiap kebudayaan tak
terkecuali kebudayaan Jawa. Namun demikian, ikatan dan konsepsi nilai
tersebut berlaku sebagai kondisi ―sakprayoganipun‖ (seyogianya) atau ideal
bagi budaya Jawa. Sakprayoganipun ini berarti bahwa segala tindakan
dilakukan dengan ndelog kahanan (lihat-lihat situasinya) sehingga
―memberlakukannya‖ pun gumantung kahanan (tergantung keadaan).
Kultur Jawa telah membentuk karakter psikologis masyarakat yang
memiliki kecerdasan emosional. Kecenderungan gerak diri orang Jawa dari
dunia lahir ke dunia batin telah membentuk karakter psikologis masyarakat
Jawa yang akan selalu peka dan memiliki kesadaran diri (mampu
menempatkan diri secara tepat dalam posisi sosial), dimana kesadaran diri
menjadi inti kecerdasan emosional. Kecenderungan dari gerak sosial dan
kultur Jawa tersebut telah membentuk karakter wanita Jawa yang memiliki
rasa empati, kesadaran diri tinggi dan peka). Selain itu, ciri karakter yang
menonjol pada wanita Jawa, yaitu: sabar, sumeleh dan sumarah (Handayani
& Novianto, 2007). Karakter-karakter yang dimiliki oleh wanita Jawa
tersebut adalah modal dasar bagi seseorang yang resilien.
Dalam setiap bencana alam wanita selalu digolongkan menjadi
kelompok rentan. Hal ini tentu saja akibat dari pengaruh budaya patriarki.Di
mana wanita dianggap sebagai makhluk yang tak berdaya dan pasif termasuk
dalam budaya Jawa. Namun dalam perkembangan ilmu psikologi dewasa ini,
banyak temuan penelitian yang memberikan cara pandang baru dalam
menunjukkan bahwa betapa besar peranan wanita sebagai entitas yang kuat,
berdaya, dan memiliki jiwa mandiri (KP, 2007), meskipun mereka
berhadapan dengan situasi kekerasan atau peristiwa bencana alam.
Wanita-wanita ini mungkin merasakan pengalaman yang tidak menyenangkan, dan
membutuhkan energi yang besar namun mereka tetap bertahan. Keadaan
seperti itu juga dapat kita temukan pada wanita-wanita penyintas erupsi
Merapi 2010 silam. Para wanita Jawa justru dapat bertindak lebih taktis dan
lebih rasional dalam situasi yang penuh tekanan terutama secara sosial
(Handayani & Novianto, 2008). Berita baiknya, menurut KP (2007), wanita
memiliki kemampuan untuk melentur dan tidak hancur ketika situasi sulit
33
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Metode Naratif
Penelitian ini bertujuan untuk melihat peran kearifan lokal Jawa dalam
meningkatkan resiliensi para penyintas wanita pada erupsi Merapi 2010.
Guna melihat peran kearifan lokal dalam erupsi Merapi 2010, maka
penghadiran pengalaman personal penyintas wanita perlu diketahui.
Berdasarkan tujuan tersebut maka tipe studi naratif pada penelitian ini adalah
personal experience story (Lyons & Coyle, 2007). Personal experience story
memungkinkan untuk menggambarkan pengalaman tertentu di satu fase
kehidupan, di mana dalam penelitian ini adalah erupsi Merapi 2010.
Sebuah penelitian naratif dalam metode kualitatif memiliki dimensi
sosial yang terdiri dari narasi-narasi kelompok atau masyarakat yang bercerita
tentang diri, sejarah, dan aspirasi yang dimiliki oleh kelompok atau
masyarakat. Oleh karena itu, narasi sosial mampu menjelaskan sejarah suatu
kelompok atau masyarakat yang membedakannya dengan
kelompok-kelompok atau masyarakat-masyarakat lain. Supaya tidak tumpang tindih
dengan narasi personal maka individu yang menjadi subyek penelitian dapat
mendefinisikan dirinya sebagai bagian dari kelompok atau masyarakat. Selain
itu dalam melakukan analisa terhadap narasi personal yang telah diperoleh,
Menurut Smith (2009), ada dua langkah besar dalam penelitian
dengan pendekatan psikologi naratif. Pertama adalah mengumpulkan narasi.
Adapun pengumpulan ini dilakukan lewat wawancara kisah kehidupan yang
berisi mengenai pengalaman sehari-hari (dalam penelitian ini berarti
pengalaman ketika erupsi). Selain itu, pembuatan jurnal pribadi seseorang,
pengumpulan foto, bahkan pembuatan video dapat membantu dalam
memperoleh data naratif seseorang.
Kedua adalah menganalisis narasi. Ada dua fase dalam analisis narasi.
Yang pertama adalah fase deskriptif. Proses analisis pada fase deskriptif ini
dapat dibantu dengan membaginya ke dalam sekuensi, misalnya; awal,
tengah, dan akhir. Analisis ini dilakukan dengan cara menyoroti isu penting
dalam teks dan mengidentifikasi keterkaitan naratif antar bagian. Selain itu,
sub-alur dalam narasi juga perlu untuk ditemukan kemudian dibuat ringkasan
agar dapat mengembangkan kerangka coding lewat gagasan atau isu utama
dalam cerita. Kerangka coding ini dibuat dengan tujuan menangkap makna
menyeluruh dari narasi dan isu khusus yang ada dalam narasi. Fase kedua
adalah fase interpretatif. Fase interpretatif berusaha untuk mengaitkan narasi
dengan literatur teoritis yang lebih luas sebagai pedomannya.
Guna mencapai tujuan penelitian, studi naratif yang dilakukan dalam
penelitian ini meliputi langkah sebagai berikut (untuk detail akan dijelaskan
pada bagian E):
a. Membuat daftar pertanyaan yang mengungkap pengalaman sebelum,
b. Memastikan subyek dan mengumpulkan data.
c. Menganalisa kisah subyek dan menceritakannya kembali lewat sebuah
story line.
d. Menganalisa peran kearifan lokal terhadap resiliensi subyek.
B. Subyek Penelitian
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang berawal dari asumsi
mengenai realitas atau fenomena sosial yang khas dan kompleks memiliki
tujuan untuk mendiskripsikan fenomena tersebut secara utuh (Bungin, 2008).
Oleh karena itu, untuk memenuhi tujuan dasar penelitian kualitatif tersebut
maka dalam penelitian ini penulis akan menggunakan dua orang subyek
penelitian yang dengan sengaja dipilih karena sebagai penyintas atau pelaku
dan memiliki ingatan tentang peristiwa erupsi Merapi 2010 (Bungin, 2008).
Pemilihan ketiga subyek penelitian tersebut juga didasari dengan adanya
kecenderungan bahwa cara seseorang untuk mengingat masalalunya
bergantung dari hubungannya dengan komunitas (Pennebaker & Banastik,
1997) tidak hanya dalam arti kualitas hubungan namun juga peranan dalam
komunitas juga menentukan adanya keterkaitan dari model tersebut.
Peneliti memilih subyek dengan berbagai macam karakteristik yang
berdasarkan pada kelas sosial dan kelas ekonomi; abangan dan santri (Geertz,
1960). Subyek pertama adalah Ibu Pur. Ibu Pur merupakan wanita yang
berasal dari kelas ekonomi menengah ke atas, hidup di lingkungan pondok
puncak Merapi) pada saat terjadi erupsi tidak mengungsi dan rumahnya
menjadi tempat pengungsian warga sekitar. Subyek kedua adalah Ibu Mur.
Ibu Mur berasal dari kelas ekonomi menengah, yakni menantu almarhum
Mbah Maridjan (Juru Kunci Merapi) yang menjadi korban dari erupsi Merapi
2010. Berdasarkan pada penggolongan yang dilakukan Geertz (1960), maka
subyek pertama yang cenderung lekat dengan agama digolongkan sebagai
santri, sedangkan subyek kedua yang cenderung lekat dengan adat lokal
adalah golongan abangan. Kedua karakteristik yang berbeda diharapkan dapat
menghasilkan data yang memperlihatkan variasi sekaligus dinamika untuk
saling memperkuat data.
Subyek yang termasuk dalam kategori ‗korban langsung‘(penyintas)
merupakan sampel yang akan memberikan informasi langsung, faktual dan
apa adanya berdasarkan pada pengalaman pribadi (Bungin, 2008). Dalam
kasus ini subjek pertama adalah korban tidak langsung dan korban kedua
adalah korban langsung. Dengan perbedaan ini diharapkan diperoleh sebaran
data dari dua perspektif yang berbeda.
C. Fokus Penelitian
Penelitian ini akan berfokus pada resiliensi penyintas, khususnya:
wanita pada peristiwa erupsi Merapi 2010. Dengan mengetahui detail dari
narasi, perasaan, dan sudut pandang subyek mengenai peristiwa erupsi
Merapi 2010, penulis akan dapat mengetahui bagaimana kearifan lokal
tersebut dan menempatkan makna-makna baru yang khas sehingga bisa
bangkit dan menjalani kehidupannya dengan normal kembali (resiliens) serta
bebas dari PTSD.
D. Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini akan dilakukan secara intensig dengan mengolah
temuan yang diperoleh dari data-data yang dikumpulkan dengan
menggunakan berbagai macam sarana. Dalam penelitian kualitatif disebutkan
bahwa sarana pengumpulan data dalam prosedur kualitatif meliputi:
pengamatan, wawancara, namun bisa juga mencakup dokumen, buku, kaset
video, dan data sensus (Strauss & Corbin, 2003). Selain itu, keutamaan dari
penelitian kualitatif adalah dengan mengumpulkan data yang bersifat meluas
serta dari berbagai sumber (Creswell, 1998) dengan tetap berfokus pada
pengalaman penyintas mengenai erupsi Merapi 2010. Guna memenuhi
prosedur penelitian kualitatif tersebut di atas maka dalam pengumpulan data
diawali dengan pengumgumpulan dan pengolahan terhadap penelitian
sebelumnya tentang resiliensi dan budaya Jawa, serta berita dari media
tentang erupsi Merapi. Guna memperoleh data langsung dari subyek,
digunakan wawancara. Berikut adalah uraian mengenai wawancara;
1. Wawancara
Wawancara merupakan sumber utama bagi penelitian naratif
(Smith,2009). Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan metode
empiris yang telah disusun sebelum wawancara dilakukan. Namun tidak
menutup kemungkinan adanya perluasan pertanyaan pada saat wawancara.
Maksud dan tujuan penulis adalah untuk memperoleh kesaksian
(testimoni) dari subyek-subyek penelitian mengenai erupsi Merapi 2010.
Kepentingan dari kesaksian (testimoni) adalah memberikan ruang bagi
penyintas untuk menceritakan peristiwa yang dilihat ataupun dialami
secara bebas dan alami melalui cerita (Creswell,1998). Nilai kesaksian
(testimoni) tidak terletak pada kemampuannya untuk digunakan sebagai
alat klarifikasi atau penyelidikan namun lebih sebagai mediasi
truth-telling.
2. Daftar Pertanyaan
a. Tolong Anda ceritakan mengenai peristiwa erupsi Merapi 2010?
b. Apakah saat ini Anda masih sering teringat peristiwa tersebut?
c. Apakah ada kepercayaan atau keyakinan atau persepsi masyarakat
(kearifan lokal) yang berkembang di dusun ini mengenai Gunung
Merapi?
d. Bagaimana pikiran dan perasaan Anda sekarang terhadap kejadian itu?
e. Apa dan bagaimana harapan Anda ke depan dalam menjalani hidup ini?
E. Metode Analisis Thematic Narrative
Analisis thematic narrative adalah sebuah pendekatan dalam
penciptaan dan penerapan kode pada data. Analisis tematik sendiri harus
dilihat sebagai metode dasar dalam sebuah analisis kualitatif. Identifikasi dan
memberi tema adalah salah satu keterampilan umum yang harus dimiliki
dalam berbagai macam penelitian kualitatif (Braun, 2006).
Karakteristik analisis tematik adalah fleksibilitas, dimana fleksibilitas
tersebut dapat berguna atau berpotensi untuk memberikan laporan yang kaya
dan rinci dari sebuah data yang kompleks (Braun, 2006). Tema dalam analisis
ini dapat menangkap sesuatu yang penting di dalam data yang berkaitan
dengan pertanyaan penelitian dan mewakili beberapa tingkat respon atau
makna yang berlainan.
1. Pengumpulan Data
Data yang diperoleh dari penelitian ini adalah berupa data narasi
dan deskripsi yang berasal dari transkrip wawancara semi tersetrukur.
Langkah pertama yang akan dilakukan peneliti adalah membaca narasi
yang telah ditranskrip tersebut dengan cermat kemudian baru melakukan
pengelompokan data.
2. Pengkodean (coding)
Coding (koding) mengacu pada penciptaan kategori dalam
kaitannya dengan data. Dalam penelitian kualitatif, model analisis yang
digunakan adalah analisis induktif, dimana peneliti akan membuat
kategori-kategori, tema-tema, dan pola-pola tertentu yang bersumber dari
data (Denzin & Lincoln, 1997). Dengan kata lain, di sini peneliti akan
istilah umum yang dapat memungkinkan data-data tersebut dimasukkan
sebagai jenis yang sama.
Pendekatan induktif yang digunakan dalam analisis data bertujuan
untuk (1) menyingkat data yang luas dan beragam teks yang masih kasar
ke dalam format ringkasan yang singkat, (2) membangun jaringan yang
jelas antara tujuan penelitian dan ringkasan hasil temuan yang berasal dari
data yang masih kasar, dan (3) mengembangkan teori tentang model atau
struktur yang mendasari penelitian atau proses yang menjelaskan data
mentah (Thomas, 2003).
3. Interpretasi dan Pembahasan
Setelah fase deskripsi, penulis masuk pada fase interpretatif dimana
penulis akan mengkaitkan narasi dengan kerangka teoritis (Smith, 2009)
dan menuliskan analisis penelitiannya ke dalam bentuk narasi. Penulis
lebih tertarik untuk menyebutnya sebagai analisis dan bukan ‘hasil’ karena
analisis dalam penelitian kualitatif merupakan suatu rangkaian penafsiran
yang terbuka terhadap pertanyaan (Parker, 2008).
Peneliti akan memasukkan pengalaman personal ke dalam narasi
kesimpulan tanpa mengubah alur dan inti dari analisis penelitian
(Creswell, 1998), serta mencantumkan berbagai referensi dan beberapa
perspektif baru sehingga memungkinkan untuk mengembangkan sebuah