• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III ETIKA POLITIK

C. Etika Politik Barat

Sejarah pemikiran etika politik jauh hari sudah ada, bahkan sebelum adanya negara yang mengatur tata kehidupan manusia dalam bermasyarakat. Hal ini merupakan suatu upaya untuk membumikan nilai-nilai moral ke dalam masalah-masalah aktual. Perkembangan ini merupakan titik balik pengakuan terhadap adanya realitas dari berbagai masalah etika yang aktual.33 Filosof klasik hingga modern berusaha menjawab tentang struktur-struktur organisasi mana yang paling baik. Di sini akan dijelaskan dasar-dasar serta pendapat para filosof Barat mengenai etika politik.

31 M. Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam dari Masa Klasik hingga

Indonesia Kontemporer, h. 174.

32 M. Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam dari Masa Klasik hingga

Indonesia Kontemporer, h. 180.

33 Franz Magnis Suseno, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Dasar Moral Kenegaraan Modern, h. 12.

1. Dasar-dasar etika politik Barat

Etika politik sebagai cabang filsafat lahir pada zaman Yunani Kuno pada saat keadaan sosial politik saat itu mulai kacau. Kekacauan ini terjadi karena perang Peloponnesia34 pada tahun 431-404 SM. Perang tersebut menyebabkan berakhirnya masa kejayaan Athena (ibu kota Yunani) dan menjadikan sebagian rakyat Athena menjadi budak.35 Kunci kemenangan Sparta atas Athena adalah karena Sparta adalah sebuah negara aristokrasi militer yang kuat. Sedangkan, Athena adalah negara demokrasi yang tidak memiliki program militerisasi yang ketat seperti Sparta.

Kekalahan Athena menimbulkan trauma sejarah dan psikologis serta merupakan event yang monumental dilihat dari sudut sejarah pemikiran Barat. Orang-orang Athena, termasuk Plato meratapi kehancuran Athena. Menurut Robert Nisbet, lebih dari kekalahan militer; kekalahan tersebut menandakan akhir suatu demokrasi yang pernah ada di dunia kuno; dengan degradasi etos moral yang menyertai dan permulaan suatu perubahan radikal dalam bentuk pemikiran dan budaya.36 Dari latar belakang tersebut kemudian muncul pertanyaan-pertanyaan bagaimana seharusnya masyarakat itu bertindak serta bagaimana sistem pemerintahan dapat mengatur dan mensejahterakan masyarakat. Adapun unsur-unsur etika politik pada zaman Yunani Kuno di antaranya, keadilan, kebahagiaan dan kebijaksanaan.37

34 Perang antara Negara Sparta dan Athena. Lihat Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik

Barat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), h. 32.

35 Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, h. 32.

36 Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, h. 33.

37 Franz Magnis Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, h. 13.

Pertama, dalam soal keadilan, Plato menggagas pola kehidupan kenegaraan yang baik. Yaitu kehidupan yang akan tercapai apabila masyarakat ditata berdasarkan cita-cita keadilan, tidak secara individualistik namun hak semua anggota masyarakat terjamin. Keadilan ini dipahami sebagai tatanan seluruh masyarakat yang selaras dan seimbang di mana masing-masing anggota memperoleh kedudukan sesuai dengan kodrat dan tingkat pendidikan mereka.38 Motivasi inilah yang mendorong Plato membangun sekolah atau akademi pengetahuan. Plato menilai negara yang mengabaikan prinsip keadilan jauh dari negara yang didambakan manusia (negara ideal). Mereka yang berhak menjadi penguasa hanyalah mereka yang mengerti sepenuhnya mengenai prinsip keadilan.39

Kedua, adalah prinsip kebahagiaan. Aristoteles membahas permasalahan kebahagiaan dalam etika politik terkait dengan tujuan manusia bahwa tujuan akhir manusia adalah kebahagiaan. Karena kebahagiaan yang diusahakan untuk dirinya sendiri tidak akan bisa diraih sendiri, maka ia membutuhkan negara sebagai tatanan kehidupan bersama dalam masyarakat. Dari sini Aristoteles menarik kesimpulan bahwa tujuan negara sama dengan tujuan manusia yaitu mencapai kebahagiaan. Sehingga kebahagiaan menjadi unsur penting dalam etika politik. Ketiga, kebijaksanaan. Berkaitan dengan dua unsur tersebut, Plato dan Aristoteles sepakat bahwa untuk menciptakan negara yang adil, baik dan membahagiakan diperlukan adanya unsur kebijaksanaan. Karena kebijaksanaan dapat meningkatkan kualitas hidup semua anggota masyarakat. Dan orang yang

38 Franz Magnis Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, h. S187.

bijaksana akan mendukung keadilan dan pencapaian kebahagiaan. Penguasa atau negarawan yang didambakan Plato selain adil adalah orang yang bijaksana (seorang filsuf).40

Selain etika politik menurut kedua filsuf zaman Yunani Kuno tersebut, penulis juga mengangkat tokoh lain dari dua periode yang berbeda. Pertama, dari periode Abad Pertengahan, Thomas Aquinas (1225 M) dan kedua, dari periode Modern, Jean Jacques Rousseau (1712-1778 M).

2. Perspektif filosof Barat

a. Thomas Aquinas (1225 M)

Dalam pendapatnya mengenai negara, Thomas Aquinas banyak dipengaruhi oleh Aristoteles, seperti pendapatnya bahwa hukum kodrat tidak mungkin bertentangan dengan hukum Tuhan. Oleh karenanya, keberadaan negara tidak terlepas dari hukum alam. Dan eksistensi sebuah negara juga bersumber dari sifat alami manusia yang bersifat sosial dan politis yang tidak hanya berdasarkan insting, tapi juga akal budi. Manusia juga disebut sebagai makhluk politik yang hidupnya akan saling bergantung dengan manusia juga disebut sebagai makhluk politik yang hidupnya akan saling bergantung dengan manusia yang lainnya.41

Thomas Aquinas berpendapat mengenai bentuk negara. Bentuk negara yang ideal menurut Aquinas adalah Monarki. Pandangan Thomas mengenai negara tidak terlepas dari Aristoteles dalam bukunya yaitu politics. Maksud dari Aquinas yaitu negara yang memiliki satu penguasa dan tujuan negara adalah untuk kebaikan bersama dalam hal kekayaan, kebaikan dan kebebasan. Monarki

40 Franz Magnis Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, h. 188-190.

merupakan bentuk kekuasaan tunggal, tetapi tujuannya baik. Menurutnya, negara yang diperintah oleh satu orang akan lebih mungkin untuk mencapai keamanan dan perdamaian negara. Karena pandangan, tujuan dan cita-cita yang berbeda dapat dihindari.42

b. Jean Jacques Rousseau (1712-1778 M)

Gagasan Rousseau mengenai negara dan kekuasaan merupakan refleksi kritisnya atas sistem kenegaraan yang berlaku pada masa itu. Penguasa mengklaim Geneva, Swiss (tanah kelahiran Rousseau) sebagai republik, negara yang begitu mementingkan kedaulatan rakyat dan rakyat sebagai sumber legitimasi kekuasaannya. Tetapi, pada praktiknya Geneva adalah sebuah negara yang dikuasai oleh sebagian keluarga bangsawan (aristokrat) dan kekuasaannya bersifat turun-temurun.

Negara atau sistem pemerintahan yang ideal menurut Rousseau adalah suatu negara atau sistem pemerintahan yang memberlakukan demokrasi langsung. Yaitu sistem kenegaraan di mana setiap warga negara menjadi pembuat keputusan dalam suatu wilayah. Ia mendambakan negara-negara kota seperti zaman Romawi Kuno, atau sistem pemerintahan di desa-desa di Swiss ketika ia masih kanak-kanak. Di negara-negara seperti itu, rakyat dapat menjadi subyek pemerintah sekalipun berada di bawah kekuasaan negara. Dengan kata lain, rakyat diperintah tetapi pada saat yang sama juga memerintah.43

42 Firdaus Syam, Pemikiran Politik Barat: Sejarah, Filsafat dan Pengaruhnya (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), h. 47.

61 BAB IV

PEMIKIRAN ETIKA POLITIK

Dokumen terkait