• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III ETIKA POLITIK

PEMIKIRAN ETIKA POLITIK NURCHOLISH MADJID

A. Prinsip Demokrasi

Demokrasi merupakan salah satu prinsip etika politik modern yang utama, di samping konsep tentang hak-hak asasi manusia (HAM), civil society, dan lain sebagainya. Perlu kita pahami bahwa seringkali ada klaim yang bertolak bahwa praktik politik yang etis dan modern harus berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi. Artinya, suatu praktik politik yang etis haruslah demokratis.5

Ditinjau dari segi universalnya, demokrasi merupakan suatu ide tentang tatanan politik. Lebih fokusnya adalah konsep kekuasaan yang didasarkan atas kehendak rakyat, sehingga demokrasi adalah bagian dari perbincangan besar ilmu politik, filsafat politik, dan etika politik. Demokrasi merupakan konsep atau perangkat kekuasaan yang dimaksudkan sebagai penghayatan, tatanan dan pengelolaan bernegara yang dikehendaki dan disetujui oleh rakyat melalui suara mayoritas. Jadi, dapat disimpulkan bahwa demokrasi merupakan salah satu fenomena pengelolaan kekuasaan dalam suatu institusi negara yang menempatkan suara rakyat mayoritas yang bebas dan berkesamaan hak menjadi penentu. Demokrasi kemudian dapat ditegaskan sebagai salah satu bentuk pemerintahan

negara di samping bentuk-bentuk lain yang kita kenal, seperti Monarki dan Aristokrasi.6

Pemilihan umum (pemilu), misalnya, adalah bentuk demokrasi yang diselenggarakan di Indonesia. Pemilu merupakan wahana penting bagi aktualisasi konsep demokrasi dalam tata negara. Karena pemilu melibatkan peran penting rakyat secara langsung untuk menentukan pemimpin negara. Sedangkan, muara dari kegiatan politik tersebut adalah kekuasaan dalam dimensi yang luas.

Pada saat gerbang reformasi ditarik, demokrasi bisa dikatakan sebagai isu aktual yang dibicarakan. Angin reformasi berdampak pada kembali bangkitnya kekuatan demokrasi. Dimensi-dimensi demokrasi kembali dibicarakan oleh akademisi, tokoh politik dan ilmuwan yang tertarik di bidangnya.

Nurcholish menegaskan bahwa sangatlah mungkin atas pertimbangan agamanya, masyarakat Muslim Indonesia memilih suatu ideologi yang tidak bertentangan dengan cita-cita agama Islam. Bukan hanya karena nilai-nilai demokrasi didukung oleh semangat ajaran Islam, tetapi juga karena fungsinya sebagai aturan permainan politik yang terbuka. Sebagai aturan terbuka, maka demokrasi diperlukan agar dalam sistem politik Indonesia terwujud secara built-in suatu mekanisme untuk sewaktu-waktu mengadakan koreksi atas kesalahan-kesalahan dalam proses pelaksanaan pemerintahan dan penggunaan kekuasaan ditinjau dari sudut kepentingan rakyat dan ketentuan-ketentuan konstitusional.7

Analisis Nurcholish mengenai seluk-beluk demokrasi adalah berlandaskan pada teks al-Quran Surat Āli-„Imrān ayat 159:

6 Hendra Nurtjahjo, Filsafat Demokrasi, h. 87.

7 Nurcholish Madjid, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi (Jakarta: Paramadina, 1999), h. 69.

                                  

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.”

Nilai fundamental ini menjadi pesan mendasar dalam kitab suci yang menuntut kaum Muslim supaya mampu mengaplikasikannya dalam kehidupan berpolitik.8 Prinsip dasar demokrasi dalam pengelolaan negara ialah prinsip musyawarah. Demokrasi yang dimaksud oleh Nurcholish dalam pembahasan kali ini adalah musyawarah. Nurcholish mengatakan bahwa “masyarakat demokratis dilahirkan dalam musyawarah, yang hasil dan mutunya tergantung kepada peserta yang taat dan setia kepada aturan musyawarah”. Dalam masyarakat yang diatur oleh prinsip-prinsip musyawarah, tidak ada “kebenaran mutlak”.9

Musyawarah berarti berpendapat dengan tulus dan penuh toleransi, berusaha mendengarkan, memahami dan menghargai pendapat orang lain. Dalam ungkapan lain, Nurcholish menegaskan bahwa musyawarah adalah hubungan interaktif untuk saling mengikat tentang kebenaran dan kebaikan serta ketabahan dalam mencari penyelesaian masalah, dalam suasana persamaan hak dan kewajiban antar warga masyarakat.10 Kebebasan mengeluarkan ide, pendapat dan gagasan selalu

8 Syamsuar Basyariah, Integrasi Agama dan Negara: Paradigma Politik Nurcholish Madjid

Era Orde Baru Tahun 1966-1998 (Yogyakarta: Kaukaba, 2012), h. 122.

9 Nurcholish Madjid, Tradisi Islam: Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di

Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 130.

bergandengan dengan musyawarah, karena itu dalam konteks ini pula, Nurcholish menjelaskan bahwa prinsip musyawarah tidak bernilai produktif tanpa adanya kebebasan dalam menyatakan pendapat. Dalam masyarakat demokratis, perbedaan pendapat bernilai positif atau membawa rahmat, apabila disertai anggapan bahwa perbedaan itu dapat diatasi secara bijak. Dengan semangat musyawarah, di mana setiap orang dimungkinkan siap untuk menerima adanya pandangan dasar yang belum tentu, dan tidak harus, seluruh keinginan atau pikiran seseorang atau kelompok akan diterima dan dilaksanakan sepenuhnya.11

Dengan kata lain, akan muncul suatu bentuk-bentuk kompromi. Kompromi menurut Nurcholish merupakan perwujudan dari semangat mengutamakan pendapat dan mendengar, memberi dan menerima atau dikenal dengan istilah “musyawarah mufakat”. Nurcholish menyadari bahwa perbedaan pendapat dalam masyarakat demokratis bukan tanpa persoalan, karena biasanya berujung pada munculnya kelompok mayoritas dan kelompok minoritas. Dari kenyataan ini, ia menegaskan bahwa tidak ada “tirani mayoritas”, di mana golongan mayoritas melanggar dan mengabaikan hak-hak kelompok minoritas. Kelompok mayoritas harus tetap berpegang pada etika musyawarah dan menghargai pendapat minoritas.12

Nurcholish juga menjelaskan bahwa musyawarah yang benar adalah musyawarah yang terjadi atas dasar kebebasan dan tanggung jawab kemanusiaan, yaitu dasar tatanan masyarakat dan demokrasi. Maka demokrasi, sebagaimana

11 Syamsuar Basyariah, Integrasi Agama dan Negara: Paradigma Politik Nurcholish

Madjid Era Orde Baru Tahun 1966-1998, h. 131.

12 Syamsuar Basyariah, Integrasi Agama dan Negara: Paradigma Politik Nurcholish

dikehendaki oleh logika musyawarah itu sendiri, senantiasa menuntut dari masing-masing pihak yang bersangkutan untuk bersedia dengan tulus bertemu dengan titik kesamaan dan kebaikan bagi semua. Dalam semangat memberi dan mengambil keputusan yang dijiwai oleh pandangan kemanusiaan yang optimis dan positif. Oleh karena itu pula, demokrasi dengan musyawarah yang benar sebagai landasan tidak akan terwujud tanpa pandangan persamaan manusia atau egalitarianisme yang kuat, dan akan kandas oleh stratifikasi sosial yang kaku dan

a priori sistem-sistem paternalistik dan feodalistik.13

Menurut Nurcholish, Islam sepanjang ajarannya menghendaki kebaikan bersama. Ukuran kebaikan tersebut adalah kemanusiaan umum seluruhnya dan meliputi sesama makhluk hidup lain dalam lingkungan yang lebih luas. Ajaran-ajaran universal Islam menyediakan pandangan etika asasi bagi kaum Muslimin untuk melandaskan pilihan dan keputusan dalam tindakan hidup, termasuk dalam sosial-politik tertentu yang dianggapnya paling menopang usaha mewujudkan cita-citanya, yaitu kebaikan bagi semua.14

Dalam masyarakat demokratis, ketika demokrasi semakin dipahami maknanya, maka diperlukan adanya sistem yang efektif agar terjadinya saling mengingatkan tentang apa yang benar dan menjadi kebaikan bersama. Sebagaimana diproyeksikan secara teologis dan moralis. Dalam konteks ini, gagasan Nurcholish, dari pandangannya yang agak filosofis, manusia tidak mungkin selalu benar. Oleh karena itu, dalam tatanan pemerintahan diperlukan

13 Nurcholish Madjid, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, h. 191.

14 Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1998), h. 67.

adanya prinsip demokrasi sebagai sarana kritik ideologi, sebagaimana fungsi etika politik.

Modal utama untuk mewujudkan demokrasi di Indonesia adalah Pancasila. Pancasila melengkapi Indonesia dengan prasyarat yang bersifat dasar untuk mewujudkan demokrasi atau tatanan sosial-politik yang membawa pada kebaikan untuk semua. Prasyarat dasar itu ialah: pertama, adanya orientasi hidup transendental. Kedua, ikatan batin pada nilai-nilai kemanusiaan. Ketiga, kesadaran akan tanggungjawab bersama. Keempat, pandangan yang lebih mendahulukan kepentingan masyarakat daripada kepentingan pribadi. Dan kelima, di tengah antara yang empat itu, prasarana dan wadah persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.15

Nurcholish melihat Pancasila sebagai common platform yang bisa diperbandingkan dengan Piagam Madinah, namun tidak bisa disamakan. Oleh karena itu, hubungan Islam dengan demokrasi menjadi diskursus kajiannya. Nurcholish lebih banyak berpedoman kepada landasan otoritatif (normatif) dan empiris. Pada landasan normatif, Nurcholish mengkaitkan nilai-nilai demokrasi dari segi pandang ajaran Islam. Sementara pada landasan empiris, ia menganalisis realisasi demokrasi dalam praktik politik.

Tantangan masa depan demokrasi di Indonesia adalah bagaimana mewujudkan nilai-nilai tersebut agar terus berlangsung secara konsisten. Dengan kata lain, bagaimana melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan agar demokrasi di Indonesia benar-benar

dijadikan pegangan hidup. Yang setidaknya, telah berkembang, baik secara teoritis maupun praktis di negara-negara yang cukup mapan dalam hal demokrasinya. Beberapa hal tersebut di antaranya:16

1. Pentingnya kesadaran kemajemukan. Kesadaran ini tidak hanya pengakuan (pasif) akan kenyataan masyarakat yang majemuk. Kesadaran kemajemukan menghendaki tanggapan yang positif terhadap kemajemukan itu sendiri secara aktif. Masyarakat yang teguh berpegang pada pandangan hidup demokratis harus dengan sendirinya teguh memelihara dan melindungi lingkup keanekaragaman yang luas. Pandangan hidup demokratis seperti ini menuntut moral pribadi yang tinggi.

2. Semangat musyawarah. Hal ini menuntut agar setiap orang menerima kemungkinan terjadinya “partical functioning of ideals”, yaitu pandangan dasar bahwa belum tentu, dan tidak harus, seluruh ide seseorang atau kelompok dapat diterima dan dilaksanakan sepenuhnya. Korelasi prinsip ini ialah kesediaan untuk kemungkinan menerima bentuk kompromi atau iṣlāḥ.

3. Ungkapan “tujuan menghalalkan cara” mengisyaratkan kepada orang yang berusaha meraih tujuannya dengan cara-cara yang tidak peduli kepada pertimbangan moral. Pandangan hidup demokratis mewajibkan adanya keyakinan bahwa cara haruslah sejalan dengan tujuan. Maka antara keduanya tidak boleh ada pertentangan. Apabila terjadi

pertentangan antara cara dan tujuan, kemudian tumbuh secara meluas, maka akan menimbulkan reaksi-reaksi yang menghancurkan demokrasi. 4. Pemufakatan yang jujur dan sehat. Hal tersebut adalah hasil akhir

musyawarah yang juga jujur dan sehat. Suasana masyarakat demokratis dituntut untuk menguasai dan menjalankan seni permusyawaratan yang jujur dan sehat. Permufakatan yang dicapai melalui “engineering”, manipulasi atau taktik yang sesungguhnya hasil sebuah konspirasi, bukan saja merupakan permufakatan yang curang, cacat atau sakit, malah dapat disebut sebagai pengkhianatan terhadap nilai dan semangat demokrasi.

5. Pentingnya pendidikan demokrasi. Karena pandangan hidup demokrasi modern terlaksana dalam abad kesadaran universal sekarang ini, maka nilai-nilai dan pengertian-pengertiannya harus dijadikan unsur yang menyatu dengan sistem pendidikan di negara kita. Tidak dalam arti menjadikannya ekstrakurikuler yang klise, tetapi dengan cara diwujudkan dalam hidup nyata dalam sistem pendidikan di Indonesia. Demokrasi bukanlah sesuatu yang akan terwujud secara instan, melainkan menyatu dengan pengalaman nyata dan eksperimentasi sehari-hari.

Karena demokrasi dengan sendirinya mengasumsikan kebersamaan dan partisipasi, maka tidak mungkin demokrasi ditegakkan hanya dengan mengandalkan peran seorang individu atau sebuah kelompok saja. Usaha-usaha menumbuhkan demokrasi harus dalam sistem yang meliputi seluas mungkin dan

sebanyak mungkin partisipan, paling tidak usaha bersama dengan saling pengertian dan memahami masing-masing ide seseorang ataupun kelompok.

Dokumen terkait