• Tidak ada hasil yang ditemukan

RIWAYAT HIDUP NURCHOLISH MADJID

C. Kiprah dalam bidang Agama dan Politik

Sepulang Nurcholish ke Indonesia, ia mulai menunjukkan kiprahnya baik dalam bidang agama maupun politik. Dalam bidang agama nampaknya tidak dapat dipisahkan dari kiprahnya dalam membangun Yayasan Wakaf Paramadina bersama Ekky Syahruddin (mantan aktivis HMI), Utomo Dananjaya (PII), Ahmad Rifai (PII), Moosolly Noor (PII), Mohammad Yahya (PII), Sugiat Ahmad Sumadi (NU) dan beberapa pengusaha, seperti, Fahmi Idris dan lain-lain pada tahun 1986. Paramadina didirikan sebagai lembaga keislaman yang berambisi untuk menjadi forum terbuka. Saat itu, tahun 1980-an, bukan hal yang mudah untuk

20 Idris Thaha, Demokrasi Religius; Pemikiran Politik Nurcholish dan M. Amien Rais, h. 76-77.

membicarakan Islam di forum-forum publik mengingat rezim Orde Baru Soeharto begitu kekeuh dengan ideologi Pancasila sebagai asas tunggal, di mana semua organisasi harus mencantumkan Pancasila sebagai asas organisasi. Selain itu, kontroversi tentang asas Islam juga masih sensitif. Pandangan yang umum adalah Islam dianggap menentang pancasila.21 Karena umat Islam pada saat itu tengah memperjuangkan masuknya syariat Islam dalam sistem bernegara. Sebagai contoh adalah upaya Masyumi yang mencetuskan konsep “Negara Islam”.

Paramadina dirancang untuk menjadi pusat kegiatan keagamaan yang memadukan tradisi dan modernitas. Ini sejalan dengan pandangan keislaman Nurcholish yang bersandar pada dalil usul fikih: Muḥāfaẓatu ‘alā Qadīm al-Ṣālih, “ Memelihara yang lama yang baik (tradisi)” dan Wa al-akhdzu bī al- Jadīd

al-Aṣlāh, “Dan mengambil yang baru yang lebih baik (modernitas)”. Dengan dasar tersebut Paramadina telah melampaui ormas-ormas Islam besar yang berdiri kukuh mempertahankan tradisi (yakni NU) dan yang condong terhadap modernitas (yakni Muhammadiyah dan Persis, dan lain-lain). Oleh karena itu banyak yang menyebut ideologi Paramadina adalah neomodernisme (jika tekanannya pada modernitas), atau neotradisionalisme (jika tekanannya pada tradisi).22 Secara strategis Paramadina didirikan untuk mengembangkan tradisi intelektual Islam di kalangan kelas menengah kota yang menjadi konstituen Paramadina. Dengan kata lain, ide-ide Paramadina tidak dimaksudkan untuk bisa dikonsumsi oleh seluruh lapisan masyarakat. Menurut Nurcholish, pilihan kepada kelas menengah sebagai audiens Paramadina terkait dengan pendekatan yang

21 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish; Jalan Hidup Seorang Visioner, h. 152-153.

digunakan Paramadina dalam menyampaikan dakwahnya, yakni rasional, ilmiah, dan akademik. Menurutnya, yang paham dengan pola-pola semacam itu ialah kelas menengah. Hal tersebut juga didukung oleh teori-teori perubahan sosial yang mengkonfirmasi peranan kelas menengah sebagai kelompok strategis.23

Model kajian keislaman Paramadina ialah faham keislaman yang terbuka, luas dan mendalam, sejalan dengan semangat keilmuan itu sendiri. Eksplorasi dari kehendak semacam itu tertuang dalam rancangan program pokok Paramadina sebagai berikut:24

1. Pemahaman sumber-sumber ajaran Islam, khususnya proses pembentukannya.

2. Penyadaran tentang sejarah pemikiran Islam, suatu hubungan dialektik antara ajaran dan peradaban.

3. Apresiasi terhadap khazanah budaya dan peradaban Islam dari bangsa-bangsa Muslim.

4. Penanaman semangat non-sektarianisme dan pengembangan serta pemeliharaan “Ukhuwwah Islamiyah” yang berkonotasi dinamis dan kreatif.

5. Pendalaman dan perluasan studi komparatif mazhab-mazhab dan aliran-aliran dalam Islam, antara lain guna menghindari kecenderungan sikap anakrinistik dan eksklusivistik.

6. Pengembangan sikap-sikap penuh toleransi dan apresiatif terhadap kelompok-kelompok agama lain untuk menciptakan masyarakat yang damai sebagaimana diajarkan oleh Islam.

Dalam rancangan konkretnya, tercatat banyak kegiatan yang dilakukan Paramadina. Salah satu yang paling fenomenal ialah diskusi bulanan yang disebut Klub Kajian Agama (KKA). Selain KKA, Paramadina juga menyelenggarakan kegiatan kursus keislaman, halaqah muballigh, diskusi mahasiswa, pelatihan dan penerbitan buku, buletin, dan jurnal Paramadina. Dan yang paling prestisius, tentu saja pendirian Universitas Paramadina sejak 1998. Semua kegiatan itu masih

23 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish; Jalan Hidup Seorang Visioner, h. 158.

berjalan hingga sekarang, kecuali halaqah Muballigh dan penerbitan buletin dan jurnal Paramadina, yang hanya sempat terbit tiga edisi.25 Bagi Nurcholish, Paramadina merupakan media atau wadah untuk mensosialisasikan dan meneruskan perjuangan mewujudkan pemikiran pembaruan Islam. Paramadina menjadi ikon dan prototipe cita-cita pemikiran pembaruan Nurcholish yang ingin menghadirkan Islam inklusif untuk mempertemukan nilai transendental agama-agama di tengah-tengah masyarakat plural, terutama di Indonesia.

Selain kiprah Nurcholish dalam bidang agama, Nurcholish juga berkiprah dalam bidang politik. Sepulang dari studinya di Amerika Serikat, Nurcholish telah memiliki bekal pemikiran politik, dan bahkan memperkuat argumen-argumen politiknya. Dibuktikan dengan peran praktis politiknya, ia pernah menjadi juru kampanye Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada pemilu tahun 1977. Istilah “memompa ban kempes” oleh Nurcholish sebagai gambaran dukungannya kepada PPP sebagai partai gurem (under dog). Ia berpandangan bahwa demokrasi tidak akan berjalan dengan baik apabila salah satu rodanya kempes. Ia berbicara tentang keseimbangan politik yang menjadi prasyarat demokrasi yang sehat. Selain itu, ia juga pernah menduduki kursi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI pada tahun 1987-1997. Langkah dan sikap politik ini berlanjut ketika Nurcholish terpilih menjadi salah satu anggota Dewan Penasihat Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) pada awal tahun 1996, dan duduk dalam Tim 11 yang menyeleksi partai-partai politik yang berhak mengikuti pemilu 1999. Peran praktis politik Nurcholish semakin diperhitungkan ketika kekuasaan

Soeharto semakin goyah. Nurcholish sempat dihubungi oleh Menteri Sekretaris Negara, Saadilah Mursyid, pada 28 Mei 1998 –tiga hari menjelang pengunduran diri Soeharto dari kursi Presiden. Dalam percakapan politik yang bersejarah via telepon itu, Saadilah mengatakan bahwa Soeharto ingin bertanya kepada Nurcholish tentang keadaan yang sesungguhnya terjadi pada hari-hari terakhir penuh drama politik itu. Sehari setelah percakapan politik itu, Nurcholish bersama sembilan tokoh masyarakat, yaitu Yusril Ihza Mahendra, Abdurrahman Wahid, Ahmad Bagja, K.H. Cholish Baidawi, K.H. Ma‟ruf Amin, K.H. Ali Yafie, Emha Ainun Nadjib, A. Malik Fajar, bertemu dengan Soeharto di Istana Negara. Saat itu Nurcholish meminta kalau nanti komite reformasi dibentuk dan kabinet

di-reshuffle, jangan mengambil salah satu dari mereka. Nurcholish juga meminta

Soeharto untuk mundur dari kekuasaannya.26

Pertemuan antara Nurcholish dengan Soeharto itu menunjukkan besarnya pengaruh politik Nurcholish dalam masyarakat. Begitu pula ketidakinginan dan ketidaksediaan Nurcholish untuk duduk di komite reformasi dan kabinet reshuffle itu menunjukkan konsistensinya bahwa dirinya tidak ambisi berkuasa. Dalam hal ini, ia menjadi penjaga etika politik. Menjelang pemilu 1999, Nurcholish sebenarnya sempat didukung sekelompok kalangan menjadi calon presiden, namun Nurcholish secara tegas menolak karena ia tahu bahwa dirinya bukan orang partai. Berbeda dengan pemiu 2004, Nurcholish menyatakan kesediaannya untuk masuk ke dunia politik praktis sebagai calon presiden RI. Nurcholish telah siap bersaing dengan calon presiden yang diusulkan dari beberapa partai politik,

26 Idris Thaha, Demokrasi Religius; Pemikiran Politik Nurcholish dan M. Amien Rais, h. 96.

seperti Megawati Soekarnoputri dari PDI-P, M. Amien Rais dari PAN, beberapa capres dari Partai Golkar, dan lainnya. Aksi politik Nurcholish sebenarnya merupakan bagian integral dari upaya Nurcholish untuk menghidupkan keislaman sebagai milik nasional yang berharga dan berpengaruh. Menurut Soegeng Sarjadi, aksi politik Nurcholish itu bertujuan agar keislaman yang menjadi milik nasional tidak menjurus kepada sikap mau menang sendiri, anti-toleransi, dan menjadi diktator mayoritas. Sikap konsisten aksi politik Nurcholish ini secara hipotesis tidak bisa dilepaskan dari pemahamannya mengenai ketertinggalan masyarakat Islam Indonesia selama ini.27

D. Karya-Karya

Beberapa buku Nurcholish yang diterbitkan di Indonesia merupakan kompilasi dari artikel, makalah bahan kuliah, bahan ceramah dan materi khutbah yang pernah ditulisnya. Dalam pembahasan ini, karya-karya Nurcholish tidak bisa diungkapkan secara keseluruhan, namun hanya sebagian saja karyanya yang dianggap sudah cukup mewakili. Adapun karya-karyanya antara lain:

1. Khazanah Intelektual Islam, diterbitkan oleh PT. Bulan Bintang, Jakarta 1984. Buku ini adalah langkah awal mengabadikan pemikirannya lewat tulisan di saat Nurcholish melewati hari-harinya di Chicago University, Amerika Serikat. Maksud buku suntingan ini adalah untuk memperkenalkan bidang pemikiran yang merupakan salah satu segi kejayaan Islam bagi para generasi Islam dan para pembaca lainnya. Selain itu dalam buku ini

27 Idris Thaha, Demokrasi Religius; Pemikiran Politik Nurcholish dan M. Amien Rais, h. 97-98.

Nurcholish juga memperkenalkan kepada para pembaca tentang corak pemikiran para tokoh klasik. Tokoh-tokoh yang disebut Nurcholish dalam buku ini adalah: Kindī (258 H/870 M), Asy‟ari (w. 300 H/913 M), al-Farābī (w. 337 H/950 M), Ibn Sīnā (w. 428 H/1037 M), al-Gazālī (w. 505 H/1111 M), Ibn Rusyd (w. 594 H/1198 M), Ibn Taymiyyah (728 H/1328 M), Ibn Khaldūn (808 H/1406 M), Jamāl al-Dīn al- Afgānī (1255 H-1315 H/ 1839 M- 1897 M), dan Muhammad Abduh (1262 H-1323 H/1845 M-1905 M). Penulis tegaskan kembali tentang buku ini, seperti yang diungkapkan Nurcholish sendiri bahwa buku ini hanya sekedar pengantar pemikiran kepada kajian yang lebih luas dan mendalam tentang khazanah kekayaan pemikiran Islam.

2. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, pertama kali diterbitkan oleh penerbit Mizan, Bandung 1987. Buku ini membincangkan permasalahan-permasalahan dan juga isu-isu yang aktual saat itu, dan di sisi lain juga kontribusi penulis buku ini dalam mewujudkan beberapa solusi keagamaan dan keindonesiaan, sekitar tahun 1970-an permasalahan-permasalahan menjadi wacana yang menggegerkan dan penuh dengan pandangan-pandangan yang kontroversial. Dengan sebab itulah, buku ini telah mengalami beberapa kali cetak ulang, yakni sampai cetak ulang hingga 12 kali.

3. Bilik-Bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan, diterbitkan oleh Paramadina, Jakarta 1992. Dalam buku ini ia menyinggung lembaga pendidikan tradisional pesantren. Kritik Nurcholish tertuju pada kurikulum

pesantren yang ada di Indonesia. Menurutnya, bahwa materi keagamaan masih mendominasi di lingkungan pesantren yang disajikan hanya dan selalu dalam bahasa Arab, seperti Fiqh, ‘Aqaid, Nahwu-Sharaf. Padahal menurutnya, ada yang lebih penting pada tataran praktis di saat seorang Muslim berinteraksi dengan sesama, yakni semangat Religiusitas dan Tasawuf yang merupakan inti dari kurikulum keagamaan. Sedangkan di sisi lain, pengetahuan umum masih diajukan secara setengah-setengah, akibatnya kemampuan santri sangat terbatas dan kurang mendapat pengakuan dari masyarakat dalam ilmu-ilmu eksak. Dalam buku ini tidak hanya tulisan Nurcholish yang membicarakan lembaga pendidikan tradisional pesantren tapi juga tulisannya Malik Fadjar serta laporan tim Kompas.

4. Islam, Doktrin dan Peradaban: sebuah telaah kritis tentang masalah

keimanan, kemanusiaan dan kemodernan, diterbitkan oleh penerbit

Paramadina, 1992. Dalam buku ini, Nurcholish memaparkan tentang bagaimana manusia mempunyai tujuan hidup yang transendental berdasarkan iman yang dinyatakan dalam bentuk amal, kebajikan sosial, menciptakan masyarakat egaliter dan inklusif dalam mencari kebenaran dan keadilan. Sebenarnya, buku ini hanya kumpulan sebagian makalah dari Klub Kajian Agama yang diselenggarakan oleh Yayasan Wakaf Paramadina yang diadakan sekali dalam sebulan dengan beranggotakan 200 orang.

5. Islam; Agama Peradaban, Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam

adalah pada reinterpretasi dan rekonstruksi ajaran pokok Islam yang selama ini telah mengalami pendangkalan dan kesalahan umat dalam memandang ajarannya, mengakibatkan umat mengidentikkan dengan hasil penafsiran Ulama semata. Nurcholish dalam buku ini menghendaki agar umat Islam Indonesia khususnya menjadikan Islam bisa kembali menjadi ajaran yang lebih aspiratif terhadap perubahan dan perkembangan zaman.

6. Pintu-Pintu Menuju Tuhan, Paramadina, 1994. Isi buku ini merupakan kumpulan tulisan Nurcholish yang tercecer, yang telah dimuat pada Harian Pelita dan Majalah Tempo. Di sini Nurcholish menjelaskan bahwa umat Islam jangan hanya melihat satu pintu untuk menuju Tuhan, karena Islam telah menyediakan banyak pintu untuk menuju dan meraih perkenan Tuhan. 7. Islam Agama Kemanusiaan, Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam

Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1995. Kajian pokok dalam buku ini ada

pada pembahasan tentang wajah Islam yang kosmopolit dan universal, yang menampilkan nilai humanisme, keadilan, inklusivitas, pluralitas juga egaliter, tetapi pada saat yang bersamaan menampilkan Islam yang menampung nilai-nilai dan kultur parsial.

8. Tradisi Islam, Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia, Paramadina, 1997. Buku ini memuat pikiran-pikiran Nurcholish tentang peran intelektual Indonesia dalam membangun etos keilmuan dan tradisi intelektual, mengembangkan demokratisasi serta membangun sumber daya manusia yang siap memasuki era industrialisasi dan era tinggal landas.

9. Masyarakat Religius, diterbitkan oleh Paramadina tahun 1997. Buku ini mengetengahkan Islam dan konsep kemasyarakatan, komitmen pribadi dan sosial, dan konsep pendidikan agama Islam di lingkungan keluarga. Dalam hal ini, Nurcholish menerangkannya dengan bahasa yang sederhana dan menarik, tapi tidak berarti substansi permasalahan diabaikan.

10. Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, diterbitkan oleh Paramadina, Jakarta, 1999. Dalam buku ini, Nurcholish mengetengahkan gagasan politiknya, demokrasi, kebangsaan dan kenegaraan. Ia menyampaikan persoalan-persoalan tersebut dengan argumentasi yang fresh dan jernih. Uraiannya dikaitkan dengan persoalan-persoalan kontemporer yang tengah menghadang bangsa Indonesia, seperti cita-cita politik bangsa dan persoalan keadilan.

37

BAB III

Dokumen terkait