• Tidak ada hasil yang ditemukan

ETIKA POLITIK PERSPEKTIF NURCHOLISH MADJID. Skripsi. Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ETIKA POLITIK PERSPEKTIF NURCHOLISH MADJID. Skripsi. Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I."

Copied!
101
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I.)

Oleh:

Desy Yeni Verawati NIM:1111033100025 P R O G R A M S T U D I A Q I D A H F I L S A F A T F A K U L T A S U S H U L U D D I N U N I V E R S I T A S I S L A M N E G E R I S Y A R I F H I D A Y A T U L L A H J A K A R T A 1437 H. / 2016 M.

(2)
(3)
(4)
(5)

v

Kata Kunci: Etika, Politik, Etika Politik, Nurcholish Madjid.

Tulisan ini fokus pada pemikiran etika politik menurut Nurcholish Madjid yang tertuang dalam sejumlah karyanya. Salah satu karya Nurcholish yang menjadi referensi penulis adalah Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi. Buku tersebut berisi wawasan-wawasan mengenai etika politik dan pemikiran mengenai kehidupan bernegara, yang dikontekskan dalam suatu cita-cita politik modern di Indonesia.

Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan bahwa pemikiran Nurcholish memuat konsep-konsep etika politik dalam sejumlah karyanya. Poin utama dari pemikiran etika politiknya adalah harus berdasarkan kepada asas Piagam Madinah dan Pancasila, agar sesuai dengan konteks keislaman dan keindonesiaan. Selain itu, etika politik dalam pemikiran Nurcholish juga harus mengacu pada nilai-nilai kemodernan yang universal.

Tujuan dari etika politik Nurcholish adalah untuk mencapai masyarakat madani (civil society). Untuk mencapai masyarakat yang berperadaban tersebut, Nurcholish menawarkan tiga prinsip: prinsip demokrasi, demokrasi yang dimaksud Nurcholish tertuang dalam bentuk musyawarah mufakat; prinsip keadilan, dengan tujuan untuk menciptakan hukum yang adil; dan prinsip pluralisme, bertujuan untuk mengajak umat Islam Indonesia untuk mewariskan semangat pluralisme yang tinggi.

(6)

vi

Syukur atas nikmat Allah SWT yang terus mengiringi setiap langkah para hamba-Nya dalam segala poros kehidupan. Karena-Nya penulis diberi kemudahan selama penyusunan skripsi ini, sehingga dapat menyelesaikannya dengan baik. Salawat serta salam semoga selalu tercurah limpahkan kepada insan pilihan, Nabi Muhammad Saw. Atas selesainya karya ilmiah ini tidak lepas dari bantuan materil maupun moril dari berbagai pihak. Untuk itu saya ucapkan terimakasih kepada:

1. Din Wahid, Ph.D., selaku Dosen Pembimbing yang selalu meluangkan waktu, memberikan arahan, motivasi, dan membimbing penulis dengan baik, sehingga terselesaikannya skripsi ini.

2. Prof. Dr. Masri Mansoer, MA., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin.

3. Dr. Syamsuri, MA., selaku Ketua Program Studi Aqidah Filsafat dan Dra. Tien Rohmatin, MA., selaku Sekretaris Program Studi Aqidah Filsafat. 4. Drs. Nanang Tahqiq, MA., selaku dosen mata kuliah metode penelitian

filsafat yang telah mengajarkan pada penulis tentang ketelitian dan ketekunan.

5. Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan, MA., selaku Dosen Pembimbing Akademik. 6. Ayahanda Ma’ruf dan Ibunda Aminah, kedua orang tua yang selalu

memberikan motivasi, serta doa selama perjalanan penulis dalam menuntut ilmu di manapun penulis berada, serta adik-adik tercinta, Muhamad Deni dan Siti Nurhalisa yang selalu memberikan semangat dan doa. Rasanya

(7)

vii

selalu memberikan motivasi, doa serta membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

8. Sahabat seperjuangan, yang menemani suka duka dan selalu mendengar keluh kesah penulis selama lima tahun ini, Muhibatul Fikri, Ahmad Tuki, Muhyiddin, Siti Ikhwanul dan Mundalifah. Serta keluarga IPS 2011, tanpa terkecuali.

9. Sahabat-sahabat Aqidah Filsafat 2011 tanpa terkecuali, yang sudah banyak membantu dan selalu memberikan semangat lewat canda dan tawa.

10. Sahabat-sahabat BIDIKMISI 2011, Ika, Rodiah, Deka, Gini, Ihya, Syauqi, Habib, dan lain-lain. Serta sahabat-sahabat KKN Pucuk, Ayu, Eka, Adibah, Winny, Arin, Laras, Ipunk, Fuad, Malik, Arman, Mail, Fadli, dan Yunus. Semoga silaturahmi kita tetap terjaga.

11. Sahabat-sahabat Keluarga Mahasiswa Sunan Gunung Djati (KMSGD), Mas Wakhid, Mas Kiki, Mahesa. Serta Ikatan Keluarga Mahasiswa Minangkabau (IKMM), bang Hafiz Satria, Imit, Momon, bang Nafi, Bang Hafiz Tukak, Erikh dan lain-lain yang telah memberikan warna dalam kebersamaan ini.

12. Keluarga Alumni Pondok Pesantren Al-Mutawally (KAPPA) Jakara, Ka Jeky Caryono, S.Th.I., Teh Laila Nihayati, Teh Rita Hardiyanti, M. Rahmat

(8)

viii

dalam perjuangan penulis dengan sengaja maupun kebetulan, terimakasih tak terhingga penulis sampaikan. Semoga kita dirahmati Allah Swt. amin

Akhir kata, semoga tulisan ini bermanfaat dan dapat memberikan wawasan pengetahuan bagi siapapun yang berkesempatan membacanya.

Wassalamu’alaikum wr. wb.

Jakarta, 17 Februari 2016

(9)

ix

HALAMAN JUDUL i

LEMBAR PERSETUJUAN ii

LEMBAR PENGESAHAN iii

LEMBAR PERNYATAAN iv ABSTRAK v KATA PENGANTAR vi DAFTAR ISI ix PEDOMAN TRANSLITERASI xi BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Rumusan dan Batasan Masalah 8

C. Tujuan Penelitian 8

D. Tinjauan Pustaka 9

E. Metode Penelitian 12

F. Sistematika Penulisan 12

BAB II RIWAYAT HIDUP NURCHOLISH MADJID

A. Latar Belakang Keluarga 13

B. Latar Belakang Pendidikan 17

C. Kiprah dalam Bidang Agama dan Politik 28

D. Karya-Karya 32

BAB III ETIKA POLITIK

A. Pengertian dan Ruang Lingkup 37

B. Etika Politik Islam 43

1. Dasar-Dasar Etika Politik 43

2. Perspektif Filosof dan Pemikir Muslim 49

C. Etika Politik Barat 57

(10)

x B. Prinsip Keadilan 71 C. Prinsip Pluralisme 76 BAB V PENUTUP Kesimpulan 84 DAFTAR PUSTAKA 88

(11)

xi ا ب ت ث ج ح خ د ذ ر ز س ش ص ض A b t ts j ḥ kh d dz r z s sy ṣ ḍ ط ظ ع غ ف ق ك ل م ن و ه ء ي ة ṭ ẓ ' hg f q k l m n w g ' y h Vokal Panjang barA ansenodnr آ ā ىٳ ī وأ ū

(12)

1 A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan etika politik di Indonesia kini sangat mengandalkan ukuran-ukuran material. Penyimpangan etika berpolitik menjadi sesuatu yang diterima dalam pemerintahan melalui praktik-praktik korupsi, kolusi dan nepotisme. Keadaan itu tidak hanya terjadi di kalangan pemerintahan pusat, tetapi hampir tersebar di seluruh lembaga-lembaga politik dan birokrasi di bawahnya. Masyarakat Indonesia kurang mempertimbangkan etika dalam berpolitik jika faktanya adalah korupsi yang semakin melembaga serta penegakan hukum yang masih jauh dari keadilan.

Ironinya, bangsa yang mengklaim diri sebagai bangsa berbudaya luhur ini telah mengalami krisis moral. Kenyataannya kini telah berbalik: kekerasan, politik uang dan korupsi mendominasi warna kehidupan politik di Indonesia. Tragedi yang menimpa warga Ahmadiyah, Syiah dan konflik agama yang sering terjadi menodai harmoni kehidupan berbangsa. Kekerasan lebih kejam lagi berlangsung dalam konflik antaretnis dan antaragama (Pontianak, Sampit, Ambon dan Poso). Itu semua meninggalkan korban, trauma, pengungsian, penderitaan yang berkepanjangan. Semua kekerasan itu bukan tindak spontan atau peristiwa insidental belaka. Peristiwa-peristiwa tragis itu tidak lepas dari praktik politik kekuasaan kelompok tertentu.1

(13)

Sebagai bukti nyata yang terjadi di dunia perpolitikan Indonesia adalah contoh kasus isu suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) yang dilakukan oleh Front Pembela Islam (FPI). Aksi unjuk rasa FPI di depan gedung DPRD DKI Jakarta dan Balaikota DKI Jakarta pada Jumat, 03 Oktober 2014 yang berakhir rusuh. FPI berunjuk rasa menolak pelantikan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta menggantikan Joko Widodo. FPI menolak Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta karena menurut FPI, kursi Gubernur DKI Jakarta harus diisi oleh kader Muslim. Alasannya adalah sesuai dengan asas proporsional penduduk Jakarta yang mayoritas Muslim. FPI kemudian mendeklarasikan Fakhrurozi Ishaq sebagai Gubernur DKI tandingan. Kelompok FPI menyatakan hanya mengakui Fakhrurozi Ishaq sebagai Gubernur DKI yang sah. 2

Dengan contoh kasus tersebut, jelas bahwa etika sudah tidak lagi menjadi hal penting dalam praktik perpolitikan di Indonesia. Sebagai bangsa yang plural, sudah sepatutnya Indonesia menyikapi kemajemukan ini dengan sikap yang positif. Dalam hal pemilihan pemimpin, sebagian kelompok agama (dalam kasus ini agama Islam) masih mempermasalahkan agama sebagai pertimbangan. Padahal, berasal dari suku, agama, ras atau kelompok apapun calon pemimpin tersebut harus dipertimbangkan berdasarkan kriteria pemimpin yang berlaku di negara Indonesia. Bukan dari perbedaan agamanya, seperti kasus di atas.

Di saat penyimpangan etika berpolitik sedang marak terjadi di dunia perpolitikan Indonesia, maka etika sebagai cabang filsafat dapat dipahami sebagai pengetahuan yang mendiskusikan apa yang baik dan apa yang buruk berkenaan

2

(14)

dengan perilaku manusia sebagai politikus. Etika politik dianggap sebagai jawaban dari adanya penyimpangan berpolitik karena membahas filsafat moral dalam berpolitik.3

Melihat kondisi perpolitikan di Indonesia yang telah dijelaskan di atas, maka penulis tertarik mengangkat tokoh Muslim Indonesia, yaitu Nurcholish Madjid. Ada beberapa alasan mengapa saya tertarik mengangkat tokoh ini. Pertama, karena ikon pembaruan pemikiran Islam, khususnya di Indonesia, telah melekat pada diri Nurcholish. Pada usia yang relatif sangat muda, Nurcholish sudah menjadi sosok pemikir Muslim yang kontroversial dan telah menggoncang wacana pemikiran Islam di tanah air. Latar belakang pemikiran Nurcholish memiliki keseimbangan antara pemikiran tradisionalis dan pemikiran modernis.4 Kedua, Nurcholis adalah seorang guru bangsa dan memiliki pemikiran fondasi etika politik.

. Terkait permasalahan etika politik di Indonesia, Nurcholish tertarik untuk mengkaji kembali naskah Piagam Madinah5 yang merupakan salah satu sumber etika politik Islam pada masa Rasulullah untuk diterapkan dalam konteks etika politik modern Indonesia.6 Etika politik yang sesuai dengan kondisi perpolitikan Indonesia, selain kembali pada naskah Piagam Madinah adalah harus sesuai

3 Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan, h. 135.

4 Idris Thaha, Demokrasi Religius: Pemikiran politik Nurcholish dan M. Amien Rais

(Jakarta: Teraju, 2005), h. 98.

5 Naskah Politik yang dibuat Muhammad berisi pokok-pokok kenegaraan. Nama aslinya

dalam Bahasa Arab adalah al-aifah al-Madīnah (Piagam Madinah) dibuat pada awal masa

Klasik Islam di permulaan abad 7 Masehi. Lihat Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan

Undang-Undang Dasar 1945: Kajian Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat yang Majemuk (Jakarta: UI Press, 1995), h. 112.

(15)

dengan Pancasila sebagai ideologi negara dan sesuai dengan etika kemodernan. Nurcholish menjelaskan:

Ada sumber-sumber yang menjadi pandangan etis dan dominan secara potensial bisa menjadi corak pandangan etis bangsa secara keseluruhan dan bisa dijadikan bahan pengisian wadah etika Pancasila. Pertama, etika kebangsaan Indonesia yang wujud paling baik dan dinamisnya adalah ideologi bangsa Indonesia yaitu Pancasila; kedua, etika kemodernan yang merupakan akibat langsung keberadaan kita di abad modern ini; ketiga, etika Islam, khususnya dalam bentuk paham persamaan manusia (egalitarianisme) dan pengakuan serta penghargaan kepada adanya hak-hak pribadi, selain paham hidup menurut aturan atau hukum yang berlaku dan lebih bebas dari takhayul.7

Menurut Nurcholish, umat Islam dewasa ini menghadapi suatu keadaan yang seolah-olah bertentangan dari pendapat umum atau kebenaran, akan tetapi kenyataannya hal tersebut mengandung kebenaran dan merupakan kenyataan yang tidak bisa ditolak keberadaannya. Sebagai tokoh Muslim Indonesia, pemikiran politik Nurcholish mempunyai hubungan jauh ke belakang, sampai ke masa yang sangat ideal pada segala seginya, yakni zaman Rasulullah. Sejak Rasulullah melakukan hijrah dari Makkah ke Madinah, hingga saat ini, Islam di manapun telah menampilkan dirinya sangat erat dengan masalah politik. Bahkan hubungan antara agama dan negara dalam Islam telah diberi teladan oleh Rasulullah sendiri. Negara Madinah merupakan contoh model hubungan antara agama dan negara dalam Islam. Hal tersebut menurutnya sebagai sebuah eksperimen Madinah dalam menegakkan sebuah civil society (masyarakat madani) yang memiliki ciri egalitarianisme, penghargaan kepada orang lain berdasarkan prestasi, keterbukaan partisipasi seluruh anggota masyarakat dan penentuan kepemimpinan melalui pemilihan, bukan berdasarkan keturunan. Untuk mencapai etika berpolitik yang

(16)

baik menurut Nurcholish, politisi haruslah memiliki sikap dan prinsip-prinsip etika politik yang baik dan sesuai, di antaranya prinsip demokrasi, prinsip keadilan sosial, dan prinsip pluralisme.

Pertama, prinsip demokrasi. Sikap atau prinsip berdemokrasi yang dimaksud oleh Nurcholish merupakan suatu kesadaran dan pemenuhan ideologi berpolitik, akan tetapi sikap tersebut tidak hanya didasarkan pada ajaran-ajaran Islam dan fungsinya sebagai aturan permainan politik yang terbuka.8 Prinsip demokrasi dianggap penting sebagai salah satu unsur penting dalam etika politik karena demokrasi merupakan sistem pemerintahan di Indonesia dan juga sebagai bentuk etika politik pada masa Rasulullah yakni dalam bentuk musyawarah. Sikap berdemokrasi yang diinginkan oleh Nurcholish adalah sikap di mana masyarakat mampu dan bersedia berpartisipasi secara sukarela dalam menjalankan perpolitikan suatu negara, serta bersedia mengkritik dan mengoreksi sistem kebijakan pemerintahan untuk mencapai kemajuan negara.

Kedua, sikap atau prinsip keadilan. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, etika politik yang sesuai bagi perpolitikan di Indonesia harus sesuai dengan ideologi negara Indonesia, Pancasila. Sila ketiga Pancasila berisi tentang keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, maka menurut Nurcholish keadilan menjadi unsur penting dalam etika politik. Keadilan berarti sikap egalitarianisme yaitu yang menyatakan bahwa manusia itu ditakdirkan sama derajatnya, sehingga mereka memiliki sikap sama rata dan tidak membeda-bedakan antara satu dan lainnya karena kedudukan ataupun harta. Hal ini sejalan dengan ajaran Islam

(17)

bahwa manusia semuanya sama dalam hal apapun di mata Tuhan, hanya ketaqwaan yang membedakannya.

Unsur ketiga adalah prinsip pluralisme atau toleransi terhadap keberagaman. Prinsip ini hampir sejalan dengan prinsip demokrasi dan keadilan sosial, karena prinsip pluralitas ini mencakup maksud dari kedua prinsip etika politik tersebut. Wacana pluralitas menjadi tema yang banyak mendapat sorotan dari sejumlah cendekiawan Muslim. Dilihat dari segi geografis, Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau kurang lebih 13. 667 pulau, baik dihuni atau tidak. Di samping itu, secara sosial Indonesia terdiri dari beragam suku, bahasa dan adat istiadat yang menunjukkan tingkat kemajemukan yang sangat tinggi. Sementara, di sisi lain kebudayaan Indonesia tidak dapat dilepaskan dari sentuhan pengaruh kepercayaan dan agama-agama yang ada dan berkembang di dalamnya. Sekalipun Islam merupakan agama terbesar di Indonesia, namun ia memiliki perbedaan intensitas pemahaman dan pelaksanaan yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya.9 Dengan beragam suku, bahasa, adat istiadat, agama dan kepercayaan, maka unsur etika politik selain demokrasi dan keadilan sosial dibutuhkan sikap toleransi untuk mewujudkan sistem perpolitikan di Indonesia yang bertetika.

Tercapainya tiga prinsip tersebut di atas, diharapkan dapat membentuk masyarakat Indonesia yang berperadaban (masyarakat madani). Karena terbentuknya masyarakat madani adalah bagian terpenting dari perwujudan cita-cita kenegaraan, khususnya negara Indonesia. Negara Indonesia yang bersih dan

9 Syamsuar Basyariyah, Integrasi Agama dan Negara: Paradigma Politik Nurcholish Era

(18)

bebas dari praktik-praktik korupsi, kolusi dan nepotisme, kekerasan antaretnis dan agama, serta ketidakadilan dalam penegakan hukum.

Berdasarkan latar belakang kondisi perpolitikan Indonesia di atas, penulis berusaha mengangkat permasalahan tersebut dalam satu pembahasan Skripsi dengan judul: “ETIKA POLITIK PERSPEKTIF NURCHOLISH MADJID”.

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Dalam skripsi ini penulis memfokuskan diri pada pemikiran Nurcholish Madjid mengenai etika politik dengan tiga prinsip yakni prinsip demokrasi, keadilan dan pluralisme atau toleransi keberagaman. Berdasarkan latar belakang di atas, penulis merumuskan permasalahan yang akan dikaji pada skripsi penulis, yakni:

1. Bagaimana etika politik perspektif Nurcholish Madjid?

2. Apa saja prinsip-prinsip etika politik yang digagas oleh Nurcholish Madjid?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Mendeskripsikan etika politik dan prinsip-prinsipnya perspektif Nurcholish Madjid.

2. Upaya untuk menyinergikan etika ke dalam perilaku politik para politisi. 3. Untuk memenuhi persyaratan memeroleh gelar Sarjana Strata Satu (S1).

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini dilakukan bukan semata-mata hanya karena untuk memenuhi persyaratan memeroleh gelar Sarjana Strata Satu (S1), namun juga untuk memberi

(19)

manfaat pada khalayak dengan memerkaya khazanah falsafat tentang etika politik dalam pemikiran Nurcholish di Fakultas Ushuluddin secara khusus dan seluruh akademisi pada umumnya.

E. Tinjauan Pustaka

Sebagai seorang pemikir dan pembaharu di Indonesia, Nurcholish telah menarik perhatian para sarjana di dalam dan di luar negeri untuk menulisnya. Di UIN Jakarta, beberapa mahasiswa telah menulis tentangnya. Salah satunya adalah Sutisna dalam skripsinya Pluralisme dalam Pandangan Nurcholish (Skripsi, Aqidah Falsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004). Dalam skripsinya tersebut, Sutisna menjelaskan gagasan-gagasan pluralisme sangat dominan dalam pemikiran Nurcholish. Jika dipahami lebih komprehensif tentang gagasan pluralisme yang dilontarkan Nurcholish, akan didapati pemahaman yang bernuansa inklusif. Inti dari gagasan pluralisme Nurcholish adalah untuk memandang positif terhadap kemajemukan.

Kemudian Fauzi membahas Hubungan Islam dan Negara Perspektif

Nurcholish (Skripsi, Aqidah Falsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008).

Penulis skripsi ini menjelaskan bahwa hubungan Islam dan negara ada sejak adanya agama Islam. Selama itu pula hubungan antara keduanya menunjukkan pola beragama. Di era Rasulullah dan para sahabat Khulafa’ al-Rāsyidīn, hubungan Islam dan negara bersifat integral, di mana Islam adalah aturan-aturan dan hukum yang mengikat seluruh umatnya. Sedangkan negara adalah bagian sarana untuk menjalankan hukum-hukum dan aturan itu. Setelah era Rasulullah

(20)

dan sahabatnya berlalu, hubungan yang bersifat integral sudah tidak ditemui lagi, termasuk di Indonesia.

Selanjutnya, Anwar Sodik dengan judul Tauhid dan Nilai-nilai

Kemanusiaan dalam Pandangan Nurcholish (Skripsi, Aqidah Falsafat UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, 2008). Dalam karyanya, dapat disimpulkan bahwa seseorang tidaklah dikatakan bertauhid, kecuali jika disertai dengan sikap pasrah (Islam) dan keimanan yang murni, yaitu tidak menyekutukan Tuhan kepada sesuatu yang pada dirinya tidak memiliki kualitas Ilāhiyyah. Dengan model pemahaman dan sikap bertauhid semacam itu, maka secara inheren akan berdampak pada kualitas makna tauhid itu sendiri, yang erat dengan nila-nilai kemanusiaan.

Selanjutnya adalah Fandi Rosadi dengan judul Pandangan Nurcholish pada

Etika Beragama (Skripsi, Aqidah Falsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

2010). Penulis berusaha menggali pemikiran-pemikiran Nurcholish yang berkaitan dengan etika beragama dalam berbagai karya Nurcholish karena memang tidak ditemukan secara spesifik karya yang membahas secara khusus etika beragama. Etika yang dimaksud adalah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang manusia kepada selainnya, menyatakan tujuan apa yang harus dituju oleh manusia dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan apa yang seharusnya diperbuat. Adapun beragama yang dimaksud adalah bagaimana menjalankan suatu sistem keyakinan yang dianut dan tindakan-tindakan yang diwujudkan oleh suatu kelompok atau

(21)

masyarakat dalam menginterpretasi dan memberi respon terhadap apa yang dirasakan dan diyakini sebagai yang ghaib dan suci.

Selain skripsi yang telah dicantumkan di atas, ada buku yang menjadi rujukan penulis mengenai pemikiran Nucholish. Buku tersebut berjudul

Demokrasi Religius: Pemikiran Politik Nurcholish dan M. Amien Rais karya Idris

Thaha yang diterbitkan oleh Teraju di Jakarta pada tahun 2005. Buku ini berisi tentang esensi demokrasi kompatibel dengan Islam dan Islam perlu menyumbangkan nilai-nilai etika bagi perwujudan demokrasi religius.

Di samping buku tentang Nurcholish, ada juga beberapa buku lain yang sudah ditulis oleh sarjana. Di antaranya adalah:

Etika Politik dan Kekuasaan, karya Haryatmoko yang diterbitkan di Jakarta

oleh PT. Kompas pada tahun 2014. Karya ini membahas mengenai politik kekerasan, keterlibatan agama, radikalisme, ideologi dan korupsi. Paham-paham ini ditempatkan Haryatmoko ke dalam sorotan refleksi filsuf seperti Hannah Arendt atau Michael Foucault. Penulis membuka perspektif pemahaman baru untuk menghadapi tantangan-tantangan kehidupan politik bangsa yang bermoral.

Selanjutnya adalah buku Hancurnya Etika Politik, karya Benny Susetyo yang terbit di Jakarta oleh PT. Kompas pada tahun 2004. Di dalam karya ini, penulis mengupas persoalan lunturnya etika politik para politisi maupun elite politik Indonesia pascareformasi. Buku ini memaparkan dengan gamblang dan lugas fenomena korupsi dan mengapa hal itu bisa demikian merebak di Indonesia.

(22)

Pada pembahasan kali ini, penulis mencoba untuk membahas pandangan Nurcholish dalam etika politik. Hal ini penulis lakukan, karena tema ini belum pernah dibahas sebelumnya dalam skripsi terdahulu.

F. Metode Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan teknik library research (studi kepustakaan). Teknik ini berupaya untuk mengumpulkan data-data terkait permasalahan yang dibahas di dalam skripsi ini melalui berbagai literatur, baik primer maupun sekunder.

Metode yang digunakan adalah metode deskriptif dan analitis. Deskriptif digunakan agar mampu memahami dan memberikan gambaran yang jelas mengenai permasalahan yang terkait dengan skripsi ini. Sementara analitis dipakai agar penulis dapat menyusun skripsi ini dalam bentuk yang sistematis sehingga mengena pada inti permasalahan.

Panduan penulisan skripsi ini berdasarkan pada Pedoman Akademik tahun

2011/2012 Program Strata 1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang disusun oleh

tim penyusun Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh CeQDA tahun 2011. Sedangkan mengenai transliterasi dalam penulisan skripsi ini mengacu pada sistem transliterasi Jurnal Ilmu Ushuluddin yang diterbitkan oleh HIPIUS (Himpunan Peminat Ilmu-ilmu Ushuluddin).

G. Sistematika Penulisan

Untuk keserasian pembahasan dan mempermudah analisa materi dalam penulisan skripsi ini, maka penulis menggambarkannya dalam sistematika penulisan di bawah ini:

(23)

Bab I merupakan Pendahuluan yang berisi tentang uraian permasalahan secara global dan menyeluruh mengenai materi, konteks, arah, dan ruang lingkup pembahasan yang terdiri dari; latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II berisi tentang riwayat hidup Nurcholish Madjid yang mencakup latar belakang keluarga, pendidikan, kiprahnya dalam bidang politik dan agama, serta karya-karya yang dihasilkannya, yang nantinya akan menjadi landasan dasar Nurcholish dalam memetakan pemikirannya mengenai etika politik.

Bab III berisi tentang deskripsi umum mengenai etika politik dan berfungsi yang mencakup: pengertian dan ruang lingkup, etika politik Islam, dan etika politik Barat.

Bab IV merupakan kajian inti persoalan yang dikaji oleh penulis, berisi tentang konsep dan prinsip-prinsip etika politik yang digagas oleh Nurcholish dan seberapa banyak keterkaitannya dengan deskripsi umum yang ditulis pada bab III.

Bab V berisi tentang Penutup dari skripsi yang berisi kesimpulan dari pembahasan dengan memberikan jawaban atas rumusan masalah yang telah dicantumkan pada bab Pendahuluan.

(24)

13 BAB II

RIWAYAT HIDUP NURCHOLISH MADJID

A. Latar Belakang Keluarga

Membincangkan karakter, sikap komitmen, pemikiran dan gagasan seorang tokoh tidak terlepas dari latar belakang keluarga, baik sosial-politik dan agama maupun pendidikan yang pernah digeluti dan dilalui oleh tokoh tersebut. Begitupun dengan Nurcholish Madjid sebagai tokoh pemikir dan pembaharu Islam di Indonesia. Nurcholish adalah seorang intelektual Muslim terkemuka, dan seorang guru bangsa yang mampu mengemas Islam dalam denyut humanisme serta humanitas,1 sehingga benih-benih pemikirannya banyak dijadikan solusi oleh sebagian masyarakat Indonesia atas masalah-masalah politik, kemanusiaan maupun keagamaan.

Nurcholish dilahirkan di Desa Mojoanyar, Kecamatan Bareng, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, pada tanggal 17 Maret 1939. Ia lahir di lingkungan keluarga pesantren. Ayahnya, H. Abdul Madjid, adalah santri dari tokoh pendiri NU (Nahdlatul Ulama), Hadratusy Syaikh Hasyim Asy‟ari di Pesantren Tebu Ireng, Jombang. Lebih dari sekedar santri, Abdul Madjid adalah santri yang sangat dipercayai oleh Kyai Hasyim karena prestasi belajarnya, terutama di bidang Tata Bahasa Arab (nahwu-sharaf) dan ilmu hisab atau ilmu hitung. Ketika menjadi santri Tebu Ireng, Kyai Hasyim memberinya nama Muhammad Thahir. Nama Abdul Madjid digunakan setelah ia pulang menunaikan ibadah haji pada

1 Muhammad Wahyuni Nafis dan Achmad Rifki, Kesaksian Intelektual: Mengiringi Guru

(25)

tahun 1927. Hubungan keduanya seperti anak dan bapak. Abdul Madjid, misalnya, sering diminta oleh Kyai Hasyim untuk mengambilkan uang di saku jas di kamar sang Kyai. Ini hal yang tidak biasa, terutama bagi orang Jawa, dan hanya bisa terjadi karena kedekatan pribadi.2

Karena kedekatan pribadi itu pula, Kyai Hasyim menjodohkan Abdul Madjid dengan cucunya sendiri, Halimah. Perkawinan itu berlangsung selama dua belas tahun, namun tidak dikaruniai anak. Akhirnya mereka berpisah. Kyai Hasyim lalu menjodohkan Abdul Madjid dengan Fathonah putri Kyai Abdullah Sajad, pendiri Pesantren Gringging, Kediri, Jawa Timur. Fathonah adalah adik dari Imam Bahri, santri Kyai Hasyim di Pesantren Tebu Ireng. Melalui Imam Bahri inilah Kyai Hasyim mengatur perjodohan Abdul Madjid dan Fathonah. Menginjak tahun kedua pernikahan Abdul Madjid dan Fathonah, lahirlah Nurcholish. Belum genap berusia dua tahun Nurcholish memiliki adik perempuan yang bernama Radliyah atau Mukhlisah. Setelah itu menyusul adik perempuannya yang lain bernama Qoni‟ah (meninggal pada usia 15 tahun akibat penyakit malaria tropika), kemudian berturut-turut lahirlah Saifullah Madjid dan Muhammad Adnan. Seperti halnya Nurcholish, kedua adik laki-lakinya ini disekolahkan di Pesantren Gontor. Hanya saja, berbeda dengan Nurcholish yang menapaki jalur keilmuwan, atau Mukhlisah yang menjadi Guru, Saifullah Madjid dan Muhammad Adnan memilih jalur bisnis setelah lulus kuliah.3

2 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish; Jalan Hidup Seorang Visioner (Jakarta: Kompas,

2010), h. 2.

(26)

Kedekatan Abdul Madjid dengan Kyai Hasyim juga yang mengantarkannya ke dunia politik. Ia mengikuti jejak politik keluarga K. H. Abdurrahman Wahid ini untuk bergabung dalam partai Masyumi. Ia tetap bertahan di Masyumi sebagai rasa penghormatan kepada Sang Guru. Bahkan, ketika Nahdlatul Ulama (NU) berpisah dari Masyumi, dan mendirikan partai politik sendiri, Abdul Madjid tetap menjadi anggota dan pendukung setia Masyumi. Ia menolak bergabung dengan NU sebagai partai politik, sekalipun banyak kalangan dan ulama tradisional meninggalkan Masyumi dan memperkuat barisan NU. Jejak langkah dan aksi politik sang ayah itu mewarnai dan mempengaruhi Nurcholish.4

Meskipun hanya menempuh pendidikan tingkat dasar atau Sekolah Rakyat (SR), ayah Nurcholish memiliki pengetahuan luas dan dalam, yang kemudian memberi pengaruh besar kepada perkembangan pendidikan dan pemikiran Nurcholish. Meskipun tergolong sebagai „orang biasa‟, Abdul Madjid memiliki keinginan besar untuk mendirikan lembaga pendidikan agama. Karena obsesinya itu, ia pun mampu membangun sebuah madrasah. Bahkan, ia berperan besar dalam pembangunan Madrasah al-Wathaniyah di kampung halamannya sendiri, pada tahun 1948. Pendirian Madrasah ini dimaksudkan untuk memperkaya pengetahuan agama para siswa SR yang tidak didapatkan di lembaga pendidikan semacam SR.5

Nurcholish membangun dan membina keluarga dengan Omi Komaria, putri dari H. Kasim, seorang aktivis pergerakan Syarikat Islam dan pengusaha Bioskop di Madiun. Nurcholish menikahi Omi pada 30 Agustus 1969. Mereka dikarunia

4 Idris Thaha, Demokrasi Religius; Pemikiran Politik Nurcholish dan M. Amien Rais

(Jakarta: Teraju, 2005), h. 70-71.

(27)

dua putra-putri yaitu Nadia dan Ahmad Mikail.6 Genap pada usia 66 tahun Nurcholish kembali ke pangkuan Ilahi, pada hari senin 29 Agustus 2005 atau 24 Rajab 1426 H. pada pukul 14.05 WIB.7 Sebelumnya Nurcholish menjalani operasi lever di Cina dan dilanjutkan ke Rumah Sakit Singapura, sampai ia kembali menjalani perawatan intensif di Rumah Sakit Pondok Indah hingga akhirnya ia menghembuskan nafas terakhirnya.8

B. Latar Belakang Pendidikan

Sebagaimana anak-anak pada umumnya, Nurcholish disekolahkan oleh Abdul Madjid di Sekolah Rakyat (SR) yang dilaksanakan pada pagi hari. Alasan Abdul Madjid menyekolahkan Nurcholish di SR karena ia menganggap pengetahuan umum tetap penting. Di SR Nurcholish belajar ilmu bumi, dan ia mampu menggambar peta Jawa Timur lengkap dengan letak kota-kotanya tanpa melihat atlas. Guru-guru di SR semuanya beragama Kristen. Karena itu salah seorang pamannya pernah melarang Nurcholish belajar di SR. Tetapi itu tidak memberikan solusi. Arus pendidikan sekuler harus diimbangi dengan pendidikan agama Islam, tanpa berusaha untuk menyainginya. Oleh karena itu, Nurcholish pun sekolah di Madrasah al-Wathaniyah sebagai pelengkap untuk membekalinya dengan pendidikan agama yang memadai, yang tidak dapat di SR.

Tamat dari SR pada 1953, Nurcholish dimasukkan oleh ayahnya ke Pesantren Darul „Ulum, yang lebih dikenal dengan nama Pesantren Rejoso,

6 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish; Jalan Hidup Seorang Visioner, h. 59.

7 Muhammad Wahyuni Nafis dan Ahmad Rifki, Kesaksian Intelektual: Mengiringi Guru

Bangsa (Jakarta: Paramadina, 2005), h. 1

8 http://www.tokohIndonesia.com/ensiklopedia/n/NurcholishMadjid/index.html. Diakses

(28)

Kecamatan Peterongan, Jombang. Ia tidak dikirim ke Pesantren Tebu Ireng, almamater ayahnya dulu, karena pengasuh Pesantren tersebut, Kyai Hasyim, telah wafat. Pesantren Rejoso pada saat itu diasuh oleh Kyai Romli Tamim dan K. H. Dahlan Cholil. Kyai Romli adalah kawan dekat Abdul Madjid ketika keduanya menjadi santri di Pesantren Tebu Ireng. Ketika masuk ke Pesantren Rejoso, Nurcholish diterima di kelas enam tingkat Ibtidaiyah. Ia melompati kelas lima karena semua pelajarannya telah ia kuasai semenjak duduk di bangku madrasah milik ayahnya, al-Wathaniyah. Pada tahun pertama, Nurcholish sangat menikmati kegiatan belajar. Sebagian besar karena ia telah dibekali pengetahuan dasar di Madrasah al-Wathaniyah dengan kitab-kitab standar seperti al-Jurmiyah, Imriṭi,

Tuḥfah al-Aṭfāl, dan Aqīdah al-‘Awwām. Karena itu, ia relatif tidak mendapat kesulitan ketika harus berhadapan dengan kitab-kitab lanjutan seperti Alfiyah,

Bad’ul Māl, Jauharah al-Tauḥīd, dan lain-lain. Nurcholish juga aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler, bahkan pernah menjadi juara satu pada pidato bahasa Indonesia saat duduk di bangku kelas satu Tsanawiyah.9

Suasana politik menjelang pemilu 1955 sangat terasa di desa-desa. Partai-partai kaum santri yang diwakili oleh NU dan Masyumi berusaha menarik dukungan dari kantong-kantong Islam di Jombang. NU telah keluar dari Masyumi dalam Muktamar Palembang (1952) dengan konflik yang tidak bisa ditutup-tutupi. Oleh sebab itu, persaingan NU dan Masyumi di tingkat pusat merembes ke desa-desa tempat kedua partai ini membangun basis dukungan. Pesantren Rejoso yang berorientasi NU tidak imun dari kepentingan politik untuk membentengi pengaruh

(29)

Masyumi yang cukup kuat di desa-desa. Dalam menghadapi persaingan dengan NU, Masyumi cukup diuntungkan karena Kyai Hasyim Asy‟ari pernah menjadi Rais Akbarnya, sehingga legitimasi politik dari pendiri NU tersebut diekspose kalangan Masyumi untuk meraih suara kaum Nahdliyin. Ayah Nurcholish sendiri, Abdul Madjid, adalah pendukung Masyumi yang setia, karena berpegang pada apa yang diyakininya sebagai “fatwa” dari Kyai Hasyim Asy‟ari bahwa Masyumi sebagai satu-satunya partai Islam. Sampai wafatnya pada tahun 1947, ia tidak pernah mendengar Kyai Hasyim mencabut fatwanya tersebut, sehingga ia tetap mendukung Masyumi. Ibunda Nurcholish pun, H. Fathonah, aktif menjadi juru kampanye partai tersebut menjelang pemilu 1955. Akan tetapi, dampak dari sikap politik orang tuanya itu segera terasa oleh Nurcholish. Saat belajar, ia sering disindir oleh para pengajar sebagai anak Masyumi yang kesasar (di sarang NU).10

Mendekati pelaksanaan pemilu, pertentangan politik antara NU dan Masyumi kian memanas di kalangan masyarakat bawah. Retorika kampanye muncul dalam bentuk sindiran dan ejekan. Forum-forum keagamaan dimanfaatkan oleh aktivis-aktivis NU untuk menyerang Masyumi. Begitu juga sebaliknya. Sindiran terhadap Nurcholish pun makin sering dilakukan oleh anak-anak NU diPesantren Rejoso, sehingga ia mulai merasa tidak betah. Suatu ketika ia pulang kampung, dan menceritakan semua kejadian itu kepada ayahnya. Abdul Madjid menanggapi apa yang dialami Nurcholish sebagai sesuatu yang serius, sehingga ia memutuskan untuk menarik anaknya dari Pesantren Rejoso. Ketika keputusan itu disetujui oleh istrinya, ia lalu memindahkan Nurcholish ke

(30)

Pesantren Modern Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. Pada tahun 1955, Nurcholish secara resmi menjadi santri Gontor, ketika ia berusia 16 tahun. Ia merasa lebih cocok di pesantren kalangan modernis itu, karena memiliki kesesuaian dengan kecenderungannya kepada jalur kalangan modernis. Pondok Gontor merupakan salah satu pesantren yang berdiri di Jawa Timur yang relatif cukup memberikan nuansa pemikiran reformis. Pesantren reformis dan modernis ini memiliki semboyan atau motto “berdiri di atas dan untuk semua golongan” dan nilai-nilai modern, seperti: “berpikir bebas setelah berbudi tinggi, berbadan sehat dan berpengetahuan luas”, yang selalu menjadi pegangan bagi setiap santrinya, termasuk juga bagi Nurcholish. Semboyan dan motto ini berpengaruh kepada iklim pendidikan yang menawarkan untuk tidak berpihak kepada hanya satu mazhab Islam secara fanatik, berpikir analitis-kritis, dan memberikan pengajaran untuk hidup sederhana tapi tidak ketinggalan zaman.11

Nurcholish termasuk santri yang cerdas dan berprestasi cukup baik. Ia menjadi salah seorang santri terbaik dengan meraih juara kelas, sehingga ia dapat meloncat kelas, dari kelas satu ke kelas tiga. Kepandaian dan kecerdasan Nurcholish tampaknya mendapat perhatian dari Kyai Imam Zarkasyi, pimpinan Pondok Modern Gontor. Setamat dari Pesantren, pada 1960 –ketika itu ia berusia 21 tahun, Nurcholish diberi kesempatan untuk melanjutkan pendidikannya ke Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir. Namun, karena terjadi krisis Terusan Suez, rencana keberangkatan itu ditunda. Sambil menunggu kepastian keberangkatannya, Nurcholish mengabdi di Pesantren, dengan mengajar selama

11 Idris Thaha, Demokrasi Religius; Pemikiran Politik Nurcholish dan M. Amien Rais, h.

(31)

setahun. Karena tidak ada kepastian yang jelas, setelah menunggu cukup lama, Nurcholish dikirim oleh Kyainya ke lembaga pendidikan Islam di Jakarta. Sebagai tamatan Pondok Gontor, ijazahnya tidak diakui oleh pemerintah Indonesia, Nurcholish hanya berbekal surat pengantar dari Kyainya untuk melanjutkan pendidikannya di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Atas bantuan salah seorang alumni Pondok Gontor, Nurcholish dapat diterima menjadi Mahasiswa IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 1961.

Nurcholish telah terbiasa dengan pola pendidikan yang dianggapnya sebagai pendidikan yang progresif atau tidak kolot, bahkan sangat revolusioner. Dia juga terlatih untuk belajar secara disiplin, teratur dan tertata, karena mendapat pengalaman belajar di pesantren tersebut. Model sistem pendidikan di Pondok Gontor memudahkan Nurcholish memasuki kuliah di Jurusan Bahasa Arab dan Sejarah Pemikiran Islam, Fakultas Adab. Pilihan jurusan ini cukup relevan dengan latar belakang pendidikannya. Nurcholish berhasil menyelesaikan pendidikan sarjananya di IAIN Jakarta pada 1968, sebagai sarjana terbaik. Ia menulis skripsi berjudul “Al-Qur‟an „Arabiyyun Lughatan wa „Alamiyyun Ma‟nan” (Al-Qur‟an secara bahasa adalah bahasa Arab, secara makna adalah Universal).

Setamat sarjana di IAIN Jakarta, Nurcholish tidak langsung melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi. Ia memilih memulai karir politiknya di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Keterlibatan Nurcholish di HMI Ciputat pada mulanya karena ia mengetahui di HMI ada A. M. Fatwa, seorang aktivis PII dan HMI yang dekat dengan Masyumi. Sebelum berangkat merantau untuk kuliah di IAIN, ayahnya pernah berpesan agar di Jakarta Nurcholish menjalin hubungan

(32)

dengan tokoh-tokoh Masyumi. Karena itu ia berpikir bahwa melalui Fatwa perkenalan dengan tokoh-tokoh Masyumi dapat terwujud. HMI Cabang Ciputat sendiri awalnya hanya komisariat dari HMI Cabang Jakarta. Komisariat ini didirikan oleh Fatwa bersama tiga orang temannya: Abu Bakar, Salim Umar, dan Komaruddin. Fatwa sebelumnya kuliah di Universitas Ibn Khaldun, setelah mendapat beasiswa ikatan dinas dari Angkatan Laut, ia masuk Fakultas Tarbiyah IAIN Jakarta, pada tahun yang sama dengan Nurcholish (1961). Namun di HMI ia lebih senior. Setelah sukses mendirikan komisariat HMI IAIN Ciputat, Fatwa dan kawan-kawan mulai menjaring anggota untuk melihat potensi mahasiswa. Di situlah ia mengenal Nurcholish sebagai salah seorang anggota baru HMI. “Sejak pertama kali saya perhatikan Nurcholish dari cara bicara dan pikiran yang disampaikannya, saya tahu dia orang yang cerdas,” ujar Fatwa. Nurcholish dan Fatwa kemudian berkawan dekat.12

Ketika pimpinan HMI Komisariat Ciputat berencana meningkatkan status Komisariat menjadi Cabang, Fatwa ditunjuk menjadi salah seorang tim formatur. Dalam rapat tim formatur, ia mengusulkan Nurcholish menjadi sekretaris umum. Kawan-kawannya merasa heran karena belum mengetahui Nurcholish. Tetapi Fatwa meyakinkan mereka bahwa pilihannya tidak akan keliru. Akhirnya semuanya setuju. Setelah menjadi Sekretaris Umum HMI Cabang Ciputat, aktivitas Nurcholish bertambah padat. Ia harus hadir dalam semua kegiatan organisasi itu, di Ciputat maupun luar kota. Kurang dari dua tahun menjadi Sekretaris Umum, Nurcholish terpilih sebagai Ketua Umum HMI Cabang Ciputat.

(33)

Pada tahun itu juga (1963) ia diangkat menjadi Ketua IV Badko (Badan Koordinasi) HMI Jawa Barat, yang membidangi masalah pengkaderan.

Ketika Pengurus Besar (PB) HMI menyelenggarakan Kongres ke-7 di Masjid Agung al-Azhar (8-14 Septemper 1963), Nurcholish melakukan kesalahan yang –di mata para koleganya di Ciputat- sangat fatal. Saat itu ada isu HMI akan dibubarkan karena dianggap kontra revolusi. Desakan pembubaran itu datang dari PKI dan organ-organnya seperti Pemuda Rakyat dan lain-lain. PB HMI merasa perlu melakukan pendekatan dengan penguasa, dengan mengusung ide “adaptasi nasional”, untuk menyelamatkan organisasi. Yaitu penyesuaian dengan kebijakan pemerintah agar HMI tidak dibubarkan. Pro-kontra bermunculan dari cabang-cabang HMI. Sebagian mendukung kebijakan PB HMI, tidak sedikit pula yang menentang. Nurcholish sebagai Ketua Umum HMI Cabang Ciputat ternyata menyampaikan pandangan yang keras menentang kebijakan PB HMI, dengan alasan hal tersebut berarti menjilat penguasa. Tentu saja para koleganya di HMI Ciputat tersentak. Fatwa yang lebih senior di HMI langsung menegur Nurcholish. Bagaimanapun, itu adalah kebijakan PB HMI yang harus dihargai, katanya. Namun, hubungan pribadinya dengan Nurcholish setelah kasus itu tetap baik. Fatwa menghormati Nurcholish karena intelektualitasnya; sementara Nurcholish menghormati Fatwa karena ketokohannya yang cemerlang di organisasi PII dan HMI.13

Faktor paling signifikan yang mendorong “karir” Nurcholish di HMI datang dari integritas pribadinya sendiri. Sebagai Ketua Umum Cabang Ciputat waktu

(34)

itu, Nurcholish sering mengikuti training-training yang diselenggarakan oleh PB HMI. Pada salah satu training yang disampaikan oleh Mar‟ie Muhammad di Asrama Giri pada tahun 1963-1964 yaitu tentang Islam dan Sosialisme-nya H.O.S. Tjokroaminoto. Nurcholish mengaku sangat terkesan dengan ceramah Mar‟ie Muhammad. Kemudian ia mempelajari buku Islam dan Sosialisme itu lebih dalam lagi. Ia menilai bahwa buku itu hanya menjurus ke masalah sosialisme saja, dan tidak mencakup weltanschaaung lain yang lebih luas. Kemudian ia berpikir bahwa harus ada format secara khusus ditulis untuk mahasiswa waktu itu. Maka, di sela-sela kesibukannya, ia menulis risalah kecil berjudul Dasar-dasar Islamisme.14 Tulisan ini kemudian menjadi inspirasi dasar pemikiran Nurcholish yang tertuang dalam buku kecil sebagai pedoman ideologis HMI, yang disebut dengan Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP), pada awal 1969. Buku kecil yang sangat kental dipengaruhi oleh gagasan sosialis Tjokroaminoto, dan diterima kalangan HMI dan Masyumi ini diluncurkan pada Kongres HMI di Malang. Pemikiran-pemikirannya tersebut membuka peluang besar bagi Nurcholish untuk memimpin HMI, dan mendapat dukungan politik dan pemikiran para tokoh Masyumi. Bahkan, Nurcholish dipandang sebagai figur “Natsir Muda” oleh tokoh-tokoh Masyumi, seperti K.H. E.Z. Muttaqien.15

Gagasan dan pemikiran Nurcholish selanjutnya, tertuang ketika ia mengemukakan ceramah berjudul “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”, yang diadakan oleh HMI, Pelajar Islam Indonesia (PII), Gerakan Pemuda Islam (GPI) dan Persatuan Sarjana Muslim Indonesia (Persami),

14 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish; Jalan Hidup Seorang Visioner, h. 38-39. 15 Idris Thaha, Demokrasi Religius; Pemikiran Politik Nurcholish dan M. Amien Rais, h.

(35)

pada 2 Januari 1970, di Jalan Menteng Raya No. 58 Jakarta. Pada 30 Oktober 1972, Nurcholish berceramah lagi dengan judul “Menyegarkan Faham Keagamaan di Kalangan Ummat Islam di Indonesia”, di Taman Ismail Marzuki (TIM Jakarta).16 Benang merah dari kedua pidato itu ialah menarik Islam dari

panggung politik; kekuatan-kekuatan potensial Islam diarahkan untuk menjadi gerakan kultural, di mana ide-ide perjuangan Islam dilepaskan dari kontrol partai, dan Islam dikembalikan menjadi agama kemanusiaan universal yang merahmati semua golongan. Dalam pidato 2 Januari 1970, slogannya yang terkenal ialah

sekularisasi dan Islam yes, partai Islam no. Dalam pidato TIM 30 Oktober 1972,

seruannya yang terkenal ialah menolak gagasan negara Islam. Kedua pidato itu berlatar belakang situasi politik awal Orde Baru, yang menyimpan trauma terhadap Islam politik. Sebagai contoh adalah aspirasi negara Islam seperti yang di bawa oleh para pemimpin politik Islam (Masyumi) harus ditinggalkan karena berdampak menciptakan hubungan yang buruk dan ketegangan yang permanen antara Islam dan negara. Dan pengalaman di masa lalu, di mana tokoh-tokoh Islam selalu memusuhi Soekarno, dan akibatnya Soekarno dikelilingi orang-orang PKI. Agar hal-hal tersebut tidak terulang, maka Nurcholish menyerukan agar pemimpin Islam segera menyatakan dukungan kepada pemerintah Orde Baru. Tujuannya adalah agar umat Islam mendapatkan kesempatan untuk andil dalam pembangunan yang sedang dijalankan pemerintah.17

Ceramah pemikiran pembaruan Islam yang dicetuskan Nurcholish ini mendapat respon berbeda-beda di kalangan umat Islam. Sebagai contoh adalah

16 Idris Thaha, Demokrasi Religius; Pemikiran Politik Nurcholish dan M. Amien Rais, h.

100-101.

(36)

kritik dari tokoh-tokoh Masyumi seperti Natsir, Hamka dan H.M. Rasjidi. Natsir mengatakan bahwa pembaruan hendaknya tidak mengorbankan persatuan umat. Setiap usaha yang bermaksud menyegarkan paham keagamaan harus sejalan dengan kepentingan dan paham umat terdahulu. Sedangkan menurut Hamka, suatu gerakan pembaruan tidak perlu merombak atau memperbarui seluruh bangunan Islam agar dapat memenuhi tuntutan dan kebutuhan manusia modern. Bahkan, akan lebih baik lagi jika didasarkan pada pemikiran yang telah diformulasikan oleh para ulama salaf. Berbeda dengan Natsir dan Hamka, H.M. Rasjidi mengambil posisi yang tegas dalam menghadapi gerakan pembaruan Nurcholish. Kritiknya disampaikan lewat karya yang ia tulis di Harian Abadi terbitan Masyumi pada bulan November 1972, dan dituangkan dalam buku berjudul Koreksi terhadap Drs. Nurcholish Madjid tentang Sekularisasi, diterbitkan oleh Bulan Bintang, 1972. Rasjidi melihat kesejajaran pandangan Nurcholish tentang sekularisasi dalam “Makalah Pembaruan” dengan pidatonya di TIM yang menyerang konsep Negara Islam dan memahami agama dan negara sebagai dua entitas yang terpisah. Bagi Rasjidi, pandangan Nurcholish itu membuktikan bahwa sekularisasi itu akan berujung pada sekularisme, yaitu pemisahan antara agama dan negara.18 Respon lain adalah sebutan “Natsir Muda” yang dulu melekat pada diri Nurcholish karena pemikirannya dianggap sejalan dengan Masyumi, kini sudah tidak lagi melekat padanya.

Setelah tidak lagi menjabat sebagai Ketua Umum PB HMI, Nurcholish memiliki banyak waktu untuk tinggal di rumah. Kegiatan Nurcholish di rumah

(37)

ialah menulis artikel satu minggu dua kali di koran Pos Sore milik Harmoko. Selama dua setengah tahun Nurcholish menjalani kegiatannya di rumah, sebelum akhirnya ia kembali disibukkan oleh aktivitas diskusi kelompok pembaruan. Bersama kolega aktivisnya ia mendirikan LSIK (Lembaga Studi Ilmu-ilmu Kemasyarakatan, 1972), kemudian LKIS (Lembaga Kajian Islam Samanhudi, 1974). Pada 1973, Dr. Taufik Abdullah, Direktur Leknas LIPI, mengajak Nurcholish untuk aktif dalam kegiatan-kegiatan penelitian lembaga tersebut. Nurcholish pun mengikuti program penelitian ke daerah-daerah. Di LIPI Nurcholish juga memperdalam ilmu-ilmu sosial kepada Taufik Abdullah.19

Pada 1973 the Ford Foundation membiayai sebuah proyek berjudul “Islam and Social Change” yang dipimpin oleh Prof. Fazlur Rahman dan Prof. Leonard Binder dari Universitas Chicago, AS. Keduanya berkunjung ke Indonesia untuk mencari kandidat potensial untuk menjadi peserta di program seminar dan lokakarya di Universitas Chicago. Ruben Smith dari Ford Foundation mendorong Nurcholish untuk menjadi peserta. Nurcholish berminat, namun syarat untuk mengikutinya haruslah Pegawai Negeri Sipil (PNS). Taufik Abdullah membantu Nurcholish untuk memproses kepegawaiannya sebagai peneliti LIPI. Kegiatan Nurcholish di Universitas Chicago hanya seminar dan lokakarya. Namun mentornya di sana, Prof Leonard Binder telah mengusahakan beasiswa dari Ford Foundation untuk program doktor. Pada 1978 ia masuk ke University of Chicago dengan beasiswa dari Ford Foundation. Pada mulanya ia masuk ke Departemen Ilmu Politik. Karena peraturan di sana bisa mengambil materi apa saja asal tidak

(38)

lebih dari dua pertiga, maka ia juga mengambil studi Near Eastern Languages and Civilization (Bahasa-bahasa dan Peradaban Timur Dekat). Pada saat inilah ia bertemu dengan Fazlur Rahman, ilmuwan dan pemikir Islam neo-modernis dari pakistan, yang mengajaknya untuk mengambil di bidang kajian keislaman. Karena pengaruh Fazlur Rahman, Nurcholish lebih memilih kajian keislaman ketimbang kajian ilmu politik. Nurcholish pun resmi menjadi murid Fazlur Rahman. Nurcholish berhasil menyelesaikan studinya dan meraih gelar doktor filsafat dengan predikat summa cum laude pada tahun 1984. Ia lulus mempertahankan disertasi doktornya, yang berjudul “Ibn Taymiya on Kalam and Falsafah: A Problem of Reason and Revelation in Islam” (Ibn Taymiyah tentang Kalam dan Filsafat: Masalah Akal dan Wahyu dalam Islam). Begitu sukses meraih gelar Ph.D dalam bidang filsafat dari Chicago, Nurcholish pulang kembali ke Jakarta, setelah enam tahun belajar di Amerika Serikat.20

C. Kiprah dalam bidang Agama dan Politik

Sepulang Nurcholish ke Indonesia, ia mulai menunjukkan kiprahnya baik dalam bidang agama maupun politik. Dalam bidang agama nampaknya tidak dapat dipisahkan dari kiprahnya dalam membangun Yayasan Wakaf Paramadina bersama Ekky Syahruddin (mantan aktivis HMI), Utomo Dananjaya (PII), Ahmad Rifai (PII), Moosolly Noor (PII), Mohammad Yahya (PII), Sugiat Ahmad Sumadi (NU) dan beberapa pengusaha, seperti, Fahmi Idris dan lain-lain pada tahun 1986. Paramadina didirikan sebagai lembaga keislaman yang berambisi untuk menjadi forum terbuka. Saat itu, tahun 1980-an, bukan hal yang mudah untuk

20 Idris Thaha, Demokrasi Religius; Pemikiran Politik Nurcholish dan M. Amien Rais, h.

(39)

membicarakan Islam di forum-forum publik mengingat rezim Orde Baru Soeharto begitu kekeuh dengan ideologi Pancasila sebagai asas tunggal, di mana semua organisasi harus mencantumkan Pancasila sebagai asas organisasi. Selain itu, kontroversi tentang asas Islam juga masih sensitif. Pandangan yang umum adalah Islam dianggap menentang pancasila.21 Karena umat Islam pada saat itu tengah memperjuangkan masuknya syariat Islam dalam sistem bernegara. Sebagai contoh adalah upaya Masyumi yang mencetuskan konsep “Negara Islam”.

Paramadina dirancang untuk menjadi pusat kegiatan keagamaan yang memadukan tradisi dan modernitas. Ini sejalan dengan pandangan keislaman Nurcholish yang bersandar pada dalil usul fikih: Muḥāfaẓatu ‘alā Qadīm al-Ṣālih, “ Memelihara yang lama yang baik (tradisi)” dan Wa al-akhdzu bī al- Jadīd

al-Aṣlāh, “Dan mengambil yang baru yang lebih baik (modernitas)”. Dengan dasar tersebut Paramadina telah melampaui ormas-ormas Islam besar yang berdiri kukuh mempertahankan tradisi (yakni NU) dan yang condong terhadap modernitas (yakni Muhammadiyah dan Persis, dan lain-lain). Oleh karena itu banyak yang menyebut ideologi Paramadina adalah neomodernisme (jika tekanannya pada modernitas), atau neotradisionalisme (jika tekanannya pada tradisi).22 Secara strategis Paramadina didirikan untuk mengembangkan tradisi intelektual Islam di kalangan kelas menengah kota yang menjadi konstituen Paramadina. Dengan kata lain, ide-ide Paramadina tidak dimaksudkan untuk bisa dikonsumsi oleh seluruh lapisan masyarakat. Menurut Nurcholish, pilihan kepada kelas menengah sebagai audiens Paramadina terkait dengan pendekatan yang

21 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish; Jalan Hidup Seorang Visioner, h. 152-153. 22 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish; Jalan Hidup Seorang Visioner, h. 154.

(40)

digunakan Paramadina dalam menyampaikan dakwahnya, yakni rasional, ilmiah, dan akademik. Menurutnya, yang paham dengan pola-pola semacam itu ialah kelas menengah. Hal tersebut juga didukung oleh teori-teori perubahan sosial yang mengkonfirmasi peranan kelas menengah sebagai kelompok strategis.23

Model kajian keislaman Paramadina ialah faham keislaman yang terbuka, luas dan mendalam, sejalan dengan semangat keilmuan itu sendiri. Eksplorasi dari kehendak semacam itu tertuang dalam rancangan program pokok Paramadina sebagai berikut:24

1. Pemahaman sumber-sumber ajaran Islam, khususnya proses pembentukannya.

2. Penyadaran tentang sejarah pemikiran Islam, suatu hubungan dialektik antara ajaran dan peradaban.

3. Apresiasi terhadap khazanah budaya dan peradaban Islam dari bangsa-bangsa Muslim.

4. Penanaman semangat non-sektarianisme dan pengembangan serta pemeliharaan “Ukhuwwah Islamiyah” yang berkonotasi dinamis dan kreatif.

5. Pendalaman dan perluasan studi komparatif mazhab-mazhab dan aliran-aliran dalam Islam, antara lain guna menghindari kecenderungan sikap anakrinistik dan eksklusivistik.

6. Pengembangan sikap-sikap penuh toleransi dan apresiatif terhadap kelompok-kelompok agama lain untuk menciptakan masyarakat yang damai sebagaimana diajarkan oleh Islam.

Dalam rancangan konkretnya, tercatat banyak kegiatan yang dilakukan Paramadina. Salah satu yang paling fenomenal ialah diskusi bulanan yang disebut Klub Kajian Agama (KKA). Selain KKA, Paramadina juga menyelenggarakan kegiatan kursus keislaman, halaqah muballigh, diskusi mahasiswa, pelatihan dan penerbitan buku, buletin, dan jurnal Paramadina. Dan yang paling prestisius, tentu saja pendirian Universitas Paramadina sejak 1998. Semua kegiatan itu masih

23 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish; Jalan Hidup Seorang Visioner, h. 158. 24 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish; Jalan Hidup Seorang Visioner, h. 159.

(41)

berjalan hingga sekarang, kecuali halaqah Muballigh dan penerbitan buletin dan jurnal Paramadina, yang hanya sempat terbit tiga edisi.25 Bagi Nurcholish, Paramadina merupakan media atau wadah untuk mensosialisasikan dan meneruskan perjuangan mewujudkan pemikiran pembaruan Islam. Paramadina menjadi ikon dan prototipe cita-cita pemikiran pembaruan Nurcholish yang ingin menghadirkan Islam inklusif untuk mempertemukan nilai transendental agama-agama di tengah-tengah masyarakat plural, terutama di Indonesia.

Selain kiprah Nurcholish dalam bidang agama, Nurcholish juga berkiprah dalam bidang politik. Sepulang dari studinya di Amerika Serikat, Nurcholish telah memiliki bekal pemikiran politik, dan bahkan memperkuat argumen-argumen politiknya. Dibuktikan dengan peran praktis politiknya, ia pernah menjadi juru kampanye Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada pemilu tahun 1977. Istilah “memompa ban kempes” oleh Nurcholish sebagai gambaran dukungannya kepada PPP sebagai partai gurem (under dog). Ia berpandangan bahwa demokrasi tidak akan berjalan dengan baik apabila salah satu rodanya kempes. Ia berbicara tentang keseimbangan politik yang menjadi prasyarat demokrasi yang sehat. Selain itu, ia juga pernah menduduki kursi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI pada tahun 1987-1997. Langkah dan sikap politik ini berlanjut ketika Nurcholish terpilih menjadi salah satu anggota Dewan Penasihat Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) pada awal tahun 1996, dan duduk dalam Tim 11 yang menyeleksi partai-partai politik yang berhak mengikuti pemilu 1999. Peran praktis politik Nurcholish semakin diperhitungkan ketika kekuasaan

(42)

Soeharto semakin goyah. Nurcholish sempat dihubungi oleh Menteri Sekretaris Negara, Saadilah Mursyid, pada 28 Mei 1998 –tiga hari menjelang pengunduran diri Soeharto dari kursi Presiden. Dalam percakapan politik yang bersejarah via telepon itu, Saadilah mengatakan bahwa Soeharto ingin bertanya kepada Nurcholish tentang keadaan yang sesungguhnya terjadi pada hari-hari terakhir penuh drama politik itu. Sehari setelah percakapan politik itu, Nurcholish bersama sembilan tokoh masyarakat, yaitu Yusril Ihza Mahendra, Abdurrahman Wahid, Ahmad Bagja, K.H. Cholish Baidawi, K.H. Ma‟ruf Amin, K.H. Ali Yafie, Emha Ainun Nadjib, A. Malik Fajar, bertemu dengan Soeharto di Istana Negara. Saat itu Nurcholish meminta kalau nanti komite reformasi dibentuk dan kabinet

di-reshuffle, jangan mengambil salah satu dari mereka. Nurcholish juga meminta

Soeharto untuk mundur dari kekuasaannya.26

Pertemuan antara Nurcholish dengan Soeharto itu menunjukkan besarnya pengaruh politik Nurcholish dalam masyarakat. Begitu pula ketidakinginan dan ketidaksediaan Nurcholish untuk duduk di komite reformasi dan kabinet reshuffle itu menunjukkan konsistensinya bahwa dirinya tidak ambisi berkuasa. Dalam hal ini, ia menjadi penjaga etika politik. Menjelang pemilu 1999, Nurcholish sebenarnya sempat didukung sekelompok kalangan menjadi calon presiden, namun Nurcholish secara tegas menolak karena ia tahu bahwa dirinya bukan orang partai. Berbeda dengan pemiu 2004, Nurcholish menyatakan kesediaannya untuk masuk ke dunia politik praktis sebagai calon presiden RI. Nurcholish telah siap bersaing dengan calon presiden yang diusulkan dari beberapa partai politik,

26 Idris Thaha, Demokrasi Religius; Pemikiran Politik Nurcholish dan M. Amien Rais, h.

(43)

seperti Megawati Soekarnoputri dari PDI-P, M. Amien Rais dari PAN, beberapa capres dari Partai Golkar, dan lainnya. Aksi politik Nurcholish sebenarnya merupakan bagian integral dari upaya Nurcholish untuk menghidupkan keislaman sebagai milik nasional yang berharga dan berpengaruh. Menurut Soegeng Sarjadi, aksi politik Nurcholish itu bertujuan agar keislaman yang menjadi milik nasional tidak menjurus kepada sikap mau menang sendiri, anti-toleransi, dan menjadi diktator mayoritas. Sikap konsisten aksi politik Nurcholish ini secara hipotesis tidak bisa dilepaskan dari pemahamannya mengenai ketertinggalan masyarakat Islam Indonesia selama ini.27

D. Karya-Karya

Beberapa buku Nurcholish yang diterbitkan di Indonesia merupakan kompilasi dari artikel, makalah bahan kuliah, bahan ceramah dan materi khutbah yang pernah ditulisnya. Dalam pembahasan ini, karya-karya Nurcholish tidak bisa diungkapkan secara keseluruhan, namun hanya sebagian saja karyanya yang dianggap sudah cukup mewakili. Adapun karya-karyanya antara lain:

1. Khazanah Intelektual Islam, diterbitkan oleh PT. Bulan Bintang, Jakarta 1984. Buku ini adalah langkah awal mengabadikan pemikirannya lewat tulisan di saat Nurcholish melewati hari-harinya di Chicago University, Amerika Serikat. Maksud buku suntingan ini adalah untuk memperkenalkan bidang pemikiran yang merupakan salah satu segi kejayaan Islam bagi para generasi Islam dan para pembaca lainnya. Selain itu dalam buku ini

27 Idris Thaha, Demokrasi Religius; Pemikiran Politik Nurcholish dan M. Amien Rais, h.

(44)

Nurcholish juga memperkenalkan kepada para pembaca tentang corak pemikiran para tokoh klasik. Tokoh-tokoh yang disebut Nurcholish dalam buku ini adalah: Kindī (258 H/870 M), Asy‟ari (w. 300 H/913 M), al-Farābī (w. 337 H/950 M), Ibn Sīnā (w. 428 H/1037 M), al-Gazālī (w. 505 H/1111 M), Ibn Rusyd (w. 594 H/1198 M), Ibn Taymiyyah (728 H/1328 M), Ibn Khaldūn (808 H/1406 M), Jamāl al-Dīn al- Afgānī (1255 H-1315 H/ 1839 M- 1897 M), dan Muhammad Abduh (1262 H-1323 H/1845 M-1905 M). Penulis tegaskan kembali tentang buku ini, seperti yang diungkapkan Nurcholish sendiri bahwa buku ini hanya sekedar pengantar pemikiran kepada kajian yang lebih luas dan mendalam tentang khazanah kekayaan pemikiran Islam.

2. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, pertama kali diterbitkan oleh penerbit Mizan, Bandung 1987. Buku ini membincangkan permasalahan-permasalahan dan juga isu-isu yang aktual saat itu, dan di sisi lain juga kontribusi penulis buku ini dalam mewujudkan beberapa solusi keagamaan dan keindonesiaan, sekitar tahun 1970-an permasalahan-permasalahan menjadi wacana yang menggegerkan dan penuh dengan pandangan-pandangan yang kontroversial. Dengan sebab itulah, buku ini telah mengalami beberapa kali cetak ulang, yakni sampai cetak ulang hingga 12 kali.

3. Bilik-Bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan, diterbitkan oleh Paramadina, Jakarta 1992. Dalam buku ini ia menyinggung lembaga pendidikan tradisional pesantren. Kritik Nurcholish tertuju pada kurikulum

(45)

pesantren yang ada di Indonesia. Menurutnya, bahwa materi keagamaan masih mendominasi di lingkungan pesantren yang disajikan hanya dan selalu dalam bahasa Arab, seperti Fiqh, ‘Aqaid, Nahwu-Sharaf. Padahal menurutnya, ada yang lebih penting pada tataran praktis di saat seorang Muslim berinteraksi dengan sesama, yakni semangat Religiusitas dan Tasawuf yang merupakan inti dari kurikulum keagamaan. Sedangkan di sisi lain, pengetahuan umum masih diajukan secara setengah-setengah, akibatnya kemampuan santri sangat terbatas dan kurang mendapat pengakuan dari masyarakat dalam ilmu-ilmu eksak. Dalam buku ini tidak hanya tulisan Nurcholish yang membicarakan lembaga pendidikan tradisional pesantren tapi juga tulisannya Malik Fadjar serta laporan tim Kompas.

4. Islam, Doktrin dan Peradaban: sebuah telaah kritis tentang masalah

keimanan, kemanusiaan dan kemodernan, diterbitkan oleh penerbit

Paramadina, 1992. Dalam buku ini, Nurcholish memaparkan tentang bagaimana manusia mempunyai tujuan hidup yang transendental berdasarkan iman yang dinyatakan dalam bentuk amal, kebajikan sosial, menciptakan masyarakat egaliter dan inklusif dalam mencari kebenaran dan keadilan. Sebenarnya, buku ini hanya kumpulan sebagian makalah dari Klub Kajian Agama yang diselenggarakan oleh Yayasan Wakaf Paramadina yang diadakan sekali dalam sebulan dengan beranggotakan 200 orang.

5. Islam; Agama Peradaban, Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam

(46)

adalah pada reinterpretasi dan rekonstruksi ajaran pokok Islam yang selama ini telah mengalami pendangkalan dan kesalahan umat dalam memandang ajarannya, mengakibatkan umat mengidentikkan dengan hasil penafsiran Ulama semata. Nurcholish dalam buku ini menghendaki agar umat Islam Indonesia khususnya menjadikan Islam bisa kembali menjadi ajaran yang lebih aspiratif terhadap perubahan dan perkembangan zaman.

6. Pintu-Pintu Menuju Tuhan, Paramadina, 1994. Isi buku ini merupakan kumpulan tulisan Nurcholish yang tercecer, yang telah dimuat pada Harian Pelita dan Majalah Tempo. Di sini Nurcholish menjelaskan bahwa umat Islam jangan hanya melihat satu pintu untuk menuju Tuhan, karena Islam telah menyediakan banyak pintu untuk menuju dan meraih perkenan Tuhan. 7. Islam Agama Kemanusiaan, Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam

Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1995. Kajian pokok dalam buku ini ada

pada pembahasan tentang wajah Islam yang kosmopolit dan universal, yang menampilkan nilai humanisme, keadilan, inklusivitas, pluralitas juga egaliter, tetapi pada saat yang bersamaan menampilkan Islam yang menampung nilai-nilai dan kultur parsial.

8. Tradisi Islam, Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia, Paramadina, 1997. Buku ini memuat pikiran-pikiran Nurcholish tentang peran intelektual Indonesia dalam membangun etos keilmuan dan tradisi intelektual, mengembangkan demokratisasi serta membangun sumber daya manusia yang siap memasuki era industrialisasi dan era tinggal landas.

(47)

9. Masyarakat Religius, diterbitkan oleh Paramadina tahun 1997. Buku ini mengetengahkan Islam dan konsep kemasyarakatan, komitmen pribadi dan sosial, dan konsep pendidikan agama Islam di lingkungan keluarga. Dalam hal ini, Nurcholish menerangkannya dengan bahasa yang sederhana dan menarik, tapi tidak berarti substansi permasalahan diabaikan.

10. Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, diterbitkan oleh Paramadina, Jakarta, 1999. Dalam buku ini, Nurcholish mengetengahkan gagasan politiknya, demokrasi, kebangsaan dan kenegaraan. Ia menyampaikan persoalan-persoalan tersebut dengan argumentasi yang fresh dan jernih. Uraiannya dikaitkan dengan persoalan-persoalan kontemporer yang tengah menghadang bangsa Indonesia, seperti cita-cita politik bangsa dan persoalan keadilan.

(48)

37

BAB III ETIKA POLITIK

A. Pengertian dan Ruang Lingkup

Ungkapan bahwa “manusia adalah makhluk politik” sering diartikan bahwa kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari persoalan politik. Sedangkan dalam persoalan politik terdapat nilai-nilai etika yang tidak bisa dipisahkan, agar kegiatan politik manusia dapat terlaksana dalam mencapai tujuan, baik dalam tujuan di dunia maupun sebagai ibadah dalam umat Islam.

Kata “etika” menurut etimologi berasal dari bahasa Yunani Kuno dari kata “ethos” dalam bentuk tunggal yang mempunyai banyak arti: tempat tinggal yang biasa; padang rumput, kandang habitat; kebiasaan, adat; akhlak, watak; perasaan, sikap, cara berpikir. Dalam bentuk jamak ta etha berarti adat kebiasaan. Arti terakhir ini menjadi latar belakang bagi terbentuknya istilah etika oleh filosof besar Aristoteles (384-322 S.M.) dan kini dipakai untuk menjelaskan filsafat moral. Dari asal-usul kata ini, maka etika berarti ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Dengan memakai istilah modern, dapat dikatakan juga bahwa etika membahas kesepakatan-kesepakatan sosial yang ditemukan dalam masyarakat.1

Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika dijelaskan secara terminologi dengan membedakan tiga arti: 1) ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak); 2) kumpulan asas atau

(49)

nilai yang berkenaan dengan akhlak; 3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.2

Dari pengertian etimologi dan terminologi tersebut, maka pengertian etika adalah cabang filsafat yang mencari hakikat nilai-nilai baik dan buruk yang berkaitan dengan perbuatan dan tindakan seseorang, yang dilakukan dengan penuh kesadaran. Persoalan etika adalah yang berhubungan dengan eksistensi manusia dalam segala aspeknya, baik individu maupun masyarakat, baik hubungannya dengan Tuhan, dengan sesama manusia dan dirinya maupun dengan alam di sekitarnya, baik dalam kaitannya dengan manusia di bidang sosial, ekonomi, politik, budaya maupun agama.3

Kata “politik” berasal dari bahasa Yunani, yaitu “polis” yang berarti kota, negara kota. Dari konsep polis berkembang konsep polites yang bermakna warga negara dan konsep politicos yang berarti kewarganegaraan.4 Dalam KBBI, politik berarti pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan seperti tata sistem pemerintahan dan dasar pemerintahan.5

Pengertian politik yang diletakkan kepada etika politik mengandung pengertian luas, bukan pengertian yang sempit seperti dibahas dalam ilmu politik. Kata “politik”, dari kata “polites” dalam bahasa Yunani, mempunyai arti khusus dalam ilmu politik. Dari penjelasan etimologi tersebut maka politik adalah sesuatu yang berhubungan antara warga negara pada suatu negara. Sedangkan akar

2 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar

Bahasa Indonesia (selanjutnya ditulis KBBI) (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), Cet. ke-3, h. 237.

3 Musa Asy‟ari, Filsafat Islam, Sunnah Nabi dalam Berpikir (Yogyakarta: Lesfi, 1999), h.

83.

4 Damsar, Pengantar Sosiologi Politik (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, t.t.), h. 10. 5 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, KBBI, h. 694.

Referensi

Dokumen terkait

Jadual koefisien regresi logistik dari pemboleh ubah-pemboleh uabh ketersampaian terhadap minat masyarakat, memperlihatkan bahawa hanya pemboleh ubah masa yang

Kualitas pelayanan publik melalui SIMPUS di Puskesmas Cimahi Utara merupakan upaya yang dilakukan oleh pemerintah kota Cimahi Utara dalam hal ini adalah puskesmas dalam

Sedangkan [Valery, 2007], Kepemimpinan pelayan (Servant Leadership) adalah sebuah pendekatan terhadap kepemimpinan, dengan altruistik dan etika yang kuat yang

Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) adalah salah satu strategi dan langkah yang dilakukan oleh suatu perguruan tinggi (UNNES) yang mempunyai calon lulusan tenaga

Amanat Undang Undan Dasar 1945 telah dijabarkan ke dalam berbagai Undang-Undang sistem pendidikan, terakhir adalah Undang- Udang Sistem Pendidikan Nasional th

The Regional Community Safety and Resilience Forums (RCSRF) has been proposed in response to the outcomes of the Annual South-East Asia (SEA) Leaders Meeting 2013

Lingkungan kerja merupakan sarana penunjang kelancaran proses kerja, dimana kenyamanan dan keselamatan dalam bekerja juga sangat diperhitungkan dalam menciptakan

bahwa dalam rangka menindaklanjuti Pasal 8 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012