• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG MALPRAKTIK

2.2. Perbedaan Tindakan Malpraktik Medik Dengan Tindakan

2.2.2. Etika Profesi Kedokteran

Setiap manusia pada umumnya memiliki profesi sesuai bidang dan keahliannya masing-masing. Dalam menjalankan fungsi dan tugasnya norma mengatur untuk memberi batas-batas dalam berfungsinya suatu profesi. Norma dibagi dalam beberapa jenis, salah satunya norma hukum. Dalam norma hukum termasuk di dalamnya norma etik sebagai penjabaran dari norma agama, kesopanan dan kesusilaan. Etik dalam implementasinya berwujud etika, sehingga sebuah profesi termasuk profesi dokter diatur dan diikat dengan etika profesi.

Istilah etika ini berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos, yang mengandung arti "yang baik, yang layak". Ini merupakan norma-norma, nilai-nilai atau pola

tingkah laku kelompok profesi tertentu dalam memberikan pelayanan jasa kepada masyarakat24. Sedangkan profesi berasal dari profession dirumuskan sebagai ....

the wrong profession refers to a group of men pursuing learned art a common calling in the spirit of a public service, no less a public service because it may incidentally be a means of livelihood25

Etika dapat digunakan dalam arti nilai-nilai atau norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Disini etika berarti sebagai "sistem nilai" yang dapat berfungsi dalam kehidupan seseorang atau suatu masyarakat, mementara menurut Hermien Hadiati Koeswadi 26; sebagaimana mengutip Encylopedia Americana International Edition, etika atau ethic berasal dari kata dalam bahasa Yunani "ethikes" yang berarti moral, dan "ethos" yang berarti tabiat, karakter atau kelakuan. Ethic juga menunjuk kepada nilai-nilai atau aturan-aturan perilaku dalam suatu kelompok manusia, atau manusia perorangan, seperti misalnya dapat dijumpai dalam arti kata "unethical behavior". Oleh karena itu ethic merupakan cabang dari filsafat dimana manusia berusaha untuk mengevaluasi dan memutuskan melalui sarana tertentu tindakan-tindakan moral atau teori-teori umum tentang tingkah laku.

Berbeda dengan Bahder Johan Nasution27 yang menyatakan, bahwa istilah etik pada awalnya bersumber dari istilah Latin yang merupakan paduan dari istilah mores dan ethos. Kedua kata ini merupakan paduan rangkaian dari konsep

24 K. Bertens, Etika, Gramedia, Jakarta, 1993, sebagaimana dikutip Deddy Rasyid,

Perbuatan Malpraktik Dokter Dalam Perspektif Hukum Pidana di Indonesia, Tesis, Pascasarjana, UI

25 Hermien Hadiati Koeswadji, Op. Cit, h. 100 26 Hermien Hadiati Koeswdji, Op Cit, h. 123 27 Bahder Johan Nasution, Op Cit, h. 9

mores of a community dan ethos of the people yang dapat diartikan dengan kesopanan suatu masyarakat dan akhlaq manusia. Konsep ini kemudian berkembang terutama di kalangan masyarakat pengemban profesi. Nilai-nilai yang merupakan mores dan ethos tersebut kemudian oleh kalangan profesi dirumuskan dan dikodifikasi sehingga melahirkan suatu code of conduct atau kode etik. Di kalangan masyarakat pengemban profesi kesehatan kode etik ini dikenal dengan sebutan kode etik kedokteran.

Sehubungan dengan hal tersebut kata etika dapat berarti kumpulan asas atau nilai moral, maksudnya adalah sebagai "kode etik". Etik? berarti juga ilmu tentang yang baik atau buruk. Dalam hal in etika baru menjadi ilmu bila kemungkinan-kemungkinan etik (asas-asas atau nilai-nilai tentang yang dianggap baik dar buruk) yang begitu saja diterima dalam suatu masyarakat seringkali tanpa disadari, menjadi bahan refleksi bagi suatu penelitian sistematis dan metodis28

Demikian pula dikatakan oleh Hermien Hadiati Koeswadji29 bahwa, etika yang mengikat profesi biasanya dikaitkan dengan ilmu yang diajarkan untuk dapat mengamalkan ilmu tersebut, dan yang biasanya mengikat pengemban ilmu tersebut secara internal dan benar-benar suci, atau yang biasanya disucikan melalui pengenalan tentang hakikat ilmu pengetahuan, dalam hal ini ilmu pengetahuan kedokteran, ilmu pengetahuan tersebut harus benar-benar dihayati oleh pengembannya, dan dengan demikian mengamalkannya benar-benar berdasarkan keyakinannya. Oleh karenanya maka keyakinan tersebut harus

28 K. Bertens, Op Cit

dilandasi oleh motivasi dalam mengemban profesinya dalam kedudukan dan ruang lingkup dunia kedokteran.

Mengacu pada nilai-nilai etik kedokteran itu menjiwai sikap dan perilaku dokter dan mempedomaninya dalam setiap sikap dan tindakannya sehari-hari, nilai etik itu kemudian akan membawanya pada suatu konsekuensi tentang keyakinannya mengenai bagaimana ia harus berbuat dan bersikap. Disinilah nantinya dapat diresapi bahwa etik kedokteran dalam kalangan pengemban profesi kedokteran mempunyai fungsi dan peranan yang sangat penting, untuk menjamin kelangsungan dan kelanggengan profesi mereka. Nilai etik senantiasa ingin menempatkan diri dengan memberi warna dan pertimbangan terhadap sikap dan perilaku dokter dalam memasyarakatkan dan memberi pedoman tentang mana yang dianggap baik, buruk, benar dan salah.30

Besarnya peranan norma etik ini dalam dunia kedokteran telah diakui sejak tumbuhnya ilmu kedokteran pada zaman Hipocrates (5 SM). Hal ini disebabkan oleh adanya kenyataan bahwa para dokter sebagai pengemban profesi merupakan suatu masyarakat moral yang terbentuk dan disatukan oleh latar belakang pendidikan atau keahlian yang sama.31 Adapun yang menjadi landasan

dari Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki) tersebut adalah : 1. Sumpah Hipocrates (460 - 377 SM).

2. Deklarasi Genewa( 1948).

3. International Code of Medical Ethics (1949). 4. Lafal sumpah dokter Indonesia (1960).

5. Pernyataan-pernyataan (deklarasi) Ikatan Dokter Sedunia (World Medical Association, WMA), yaitu antara lain:

30 Bahder Johan Nasution, Op Cit, h. 9-10.

31 Deddy Rasyid, sebagaimana mengutip pendapat Veronica Komalawati, Op Cit, h.

a. Deklarasi Genewa (1948) tentang lafal sumpah dokter. b. Deklarasi Helsinki (1964) tentang riset klinik.

c. Deklarasi Sidney (1968) tentang saat kematian.

d. Deklarasi Oslo (1970) tentang pengguguran kandungan atas indikasi medik.

e. Deklarasi Tokyo (1975) tentang penyiksaan32.

Etika profesi kedokteran Indonesia ini mengatur tentang kode etik dan sumpah dokter. Kodeki ini disusun dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut diatas dan telah disesuaikan dengan falsafah hidup bangsa Indonesia yaitu, Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, dan telah dimantapkan dalam bentuk Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: 434/Menkes/SK.X/1983. Kodeki ini mengatur hubungan antara manusia yang mencakup kewajiban umum seorang dokter, hubungan dokter dengan pasiennya, kewajiban dokter terhadap sejawatnya, dan kewajiban dokter terhadap dirinya sendiri.

Dalam Kodeki tersebut dirumuskan dalam pasal-pasal sebagai berikut yaitu :

A. Kewajiban umum

Pasal 1 Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah dokter.

Pasal 2 Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi yang tertinggi.

Pasal 3 Dalam melakukan pekerjaan kedokteran, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang rnengakibatkan hilangnya ke- bebasan dan kemandirian profesi.

Pasal 4 Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri.

Pasal 5 Setiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun fisik hanya diberikan untuk Tcepentingan dan kebaikan pasien, setelah memperoleh persetujuan pasien.

Pasal 6 Setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan dan menerapkan setiap penemuan teknik atau pengobatan baru

yang belum diuji kebenarannya dan hal-hal yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat.

Pasal 7 Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa sendiri kebenarannya.

Pasal 7a Seorang dokter harus, dalam setiap praktek medisnya, memberikan pelayanan medis yang kompeten dengan kebebasan teknik dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang (compassion) dan penghormatan atas martabat manusia.

Pasal 7b Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan sejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui memiliki kekurangan dalam karakter atau kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau penggelapan, dalam menangani pasien.

Pasal 7c Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya dan tenaga kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien.

Pasal 7d Seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani.

Pasal 8 Dalam melakukan pekerjaannya, seorang dokter harus memperhatikan kepentingan masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh (promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif), baik fisik maupun psiko-sosial, serta berusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenar- benarnya.

Pasal 9 Setiap dokter dalam berkerja sama dengan para pejabat di bidang kesehatan dan bidang lainnya serta masyarakat, harus saling menghormati.

B. Kewajiban Dokter Terhadap Pasien

Pasal 10 Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan keteram-pilannya untuk kepentingan pasien. Dalam hal ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka atas persetujuan pasien, ia wajib merujuk pasien kepada dokter yang mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut.

Pasal 11 Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar senantiasa dapat behubungan dengan keluarga dan penasehatnya dalam beribadah dan atau dalam masalah lainnya.

Pasal 12 Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.

Pasal 13 Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu memberikannya.

Pasal 14 Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan.

Pasal 15 Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawat, kecuali dengan persetujuan atau berdasarkan prosedur yang etis.

D. Kewajiban Dokter Terhadap Diri Sendiri

Pasal 16 Setiap dokter harus memelihara kesehatannya supaya dapat bekerja dengan baik.

Pasal 17 Setiap dokter harus senantiasa mengikuti per-kembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran/kesehatan.

Etika berbeda dengan hukum, karena hukum dibentuk oleh perangkat pembentuk undang-undang, ketaatan atas hukum tersebut dapat dipaksakan dari luar oleh aparat penegak hukum (law enforcement official) karena dikandung sanksi bagi pelanggarnya. Sedangkan etika, ketaatan dan kesadaran untuk melaksanakannya timbul dari dalam diri manusia secara pribadi, dari setiap kalbu insan tidak diperlukan sanksi yang berat. Etika kedokteran bersama-sama dengan norma hukum, mempunyai kaitan yang erat dan saling melengkapi dalam arti saling menunjang tercapainya tujuan masing-masing. Hati nurani dan moralitas, sebagai objek dari norma etika, yang menghendaki agar manusia selalu bersikap tindak yang baik akan membuat pergaulan pribadi-pribadi dalam suatu masyarakat menjadi lebih baik pula, sehingga akan terwujud masyarakat yang tertib dan damai.

Menurut Safitri Hariyani bahwa pelanggaran terhadap butir-butir Kodeki ada yang merupakan pelanggaran etik semata-mata, dan ada pula yang merupakan pelanggaran etik dan sekaligus pelanggaran hukum yang dikenal dengan istilah pelanggaran etikolegal. Beberapa contoh berikut ini:

1. Pelanggaran etik murni:

a. Menarik imbalan yang tidak wajar atau menarik imbalan jasa dari keluarga sejawat dokter dan dokter

b. Mengambil alih pasien tanpa persetujuan sejawatnya. c. Memuji diri sendiri dihadapan pasien.

d. Dokter mengabaikan kesehatannya sendiri. 2. Pelanggaran etikolegal:

a. Pelayanan dokter di bawah standar. b. Menerbitkan surat keterangan palsu.

c. Membuka rahasia jabatan atau pekerjaan dokter.

d. Tidak pernah mengikuti pendidikan dan pelatihan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

e. Abortus provokatus. f. Pelecehan seksual33.

Deddy Rasyid memberikan contoh pelanggaran etik kedokteran semata dan pelanggaran etik sekaligus pelanggaran hukum, yaitu sebagai berikut:

1. Pelanggaran etik kedokteran:

a. Tidak memelihara kesehatannya sendiri dengan baik (melanggar Pasal 17 Kodeki).

b. Melakukan perbuatan yang bersifat memuji diri sendiri (melanggar Pasal 4 huruf a Kodeki).

c. Tidak mengutamakan / mendahulukan kepentingan masyarakat (melanggar Pasal 8 Kodeki).

d. Mengambil alih penderita dari teman sejawat tanpa persetujuan (melanggar Pasal 16 Kodeki).

2. Pelanggaran etik sekaligus pelanggaran hukum pidana:

a. Menerbitkan surat keterangan palsu (melanggar Pasal 7 Kodeki sekaligus melanggar Pasal 267 KUHP).

b. Membuka rahasia jabatan atau pekerjaan dokter (melanggar Pasal 13 Kodeki sekaligus Pasal 322 KUHP).

c. Tidak mau melakukan pertolongan darurat kepada orang yang menderita (melanggar Pasal 14 Kodeki sekaligus Pasal 304 KUHP)34.

Memperhatikan dari kode etik kedokteran tersebut telah tertuang dalam perundang-undang baik dalam undang-undang praktek kedokteran maupun dalam

33 Safitri Haryani, 1998, Sengketa Medik : Alternatif Penyelesaian Perselisihan

Antara Dokter Dengan Pasien, Rafika Aditama, Jakarta

34 Deddy Rasyid, Perbuatan Malpraktek Dokter Dalam Perspektif Hukum Pidana Di

KUHP, sehingga dengan demikian telah berlaku sebagai hukum positif yang pelaksanaannya dapat dipaksakan dan bersanksi hukum. Pelanggaran etik kedokteran oleh seorang dokter atau dokter gigi dapat dikenakan sanksi oleh instansi yang berwenahg untuk menjatuhkan sanksi pelanggaran etik kedokteran, yaitu Majelis Kehormatan Kode Etik Kedokteran (MKEK). MKEK merupakan badan yang berada dibawah naungan Ikatan Dokter Indonesia (IDI).

Etik kedokteran yang telah tertuang dalam Undang-Undang Praktek Kedokteran seperti misalnya:

Pasal 2 Kodeki, seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi yang tertinggi, hal ini tercantum dalam Pasal 27 dan 28 UU 29/2004 yaitu, untuk memberikan kompetensi kepada dokter atau dokter gigi maka calon dokter harus telah melaksanakan pendidikan kedokteran yang sesuai dengan pendidikan profesi kedokteran atau kedokteran gigi. Demikian pula walaupun dia telah berpraktek diwajibkan pula untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan berkelanjutan.

Pasal 10 Kodeki dalam hal seorang dokter tidak mampu melakukan pengobatan, maka atas persetujuan pasien wajib merujuk pasien pada dokter yang mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut. Hal ini telah tercantum dalam Pasal 51 UU 29/2004 kewajiban dokter merujuk pasien ke dokter lain apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan. Apabila dokter tidak melakukan merujuk pasien tersebut dokter dapat kena sanksi Pasal 79 huruf c UU 29/2004.

Pasal 12 Kodeki tentang rahasia kedokteran, telah tercantum pada Pasal 48 dan 51 UU 29/2004, seorang dokter wajib menyimpaii rahasia kedokteran kecuali untuk kepentingan kesehatan pasien, memenuhi permintaan aparat penegak hukum, permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan perundang- undangan. Apabila dokter melanggar ketentuan tersebut dapat kena sanksi Pasal 79 c UU 29/2004.

Pasal 13 Kodeki tentang wajib melakukan pertolongan darurat, telah tertuang dalam Pasal 51 d UU 29/2004, apabila seorang dokter tidak melakukan kewajiban tersebut dapat dikenakan sanksi Pasal 79 c UU 29/2004.

Pasal 18 Kodeki tentang harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran, telah tertuang pula dalam Pasal 51 e UU 29/2004 yaitu, seorang dokter berkewajiban menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi, apabila dokter tidak melakukan hal itu maka dapat dikenakan sanksi Pasal 79 c.

Pasal 79 UU 29/2004 tersebut memberikan ancaman maksimal 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Sedangkan Pasal 267 KUHP memberikan sanksi pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun jika seorang dokter yang dengan sengaja memberikan surat keterangan palsu tentang ada atau tidaknya penyakit, kelemahan atau cacat dan jika surat keterangan tersebut dimaksud-kan untuk memasukkan seseorang ke dalam rumah sakit jiwa atau menahannya disitu dijatuhkan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun. Sedangkan ketentuan Pasal 322 KUHP memberikan

ancaman pidana penjara paling lama 9 (sembilan) bulan atau pidana denda paling banyak Rp. 9.000,00 (sembilan ribu rupiah).

Dokumen terkait