• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG MALPRAKTIK

2.3. Timbulnya Malpraktik Medik dari Dokter

2.3.2. Resiko Medik Bagi Dokter

Berbeda dengan pengertian resiko medis (ada yang menyebut dengan kecelakaan medis), karena pada resiko medis ini dokter atau dokter gigi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas akibat yang tidak dikehendaki dalam melakukan pelayanan medis (dalam malpraktek dokter atau dokter gigi dapat dituntut secara hukum).

Resiko medis adalah suatu keadaan yang tidak dikehendaki baik oleh pasien maupun oleh dokter atau dokter gigi sendiri, setelah dokter atau dokter gigi berusaha semaksimal mungkin dengan telah memenuhi standar profesi, standar pelayanan medis dan standar operasional prosedur, namun kecelakaan tetap juga terjadi. Dengan demikian resiko atau kecelakaan medis ini mengandung unsur yang tidak dapat dipersalahkan (verwijtbaar-heid), tidak dapat dicegah

(vermijtbaarheid) dan terjadinya tidak dapat diduga sebelumnya

(verzienbaarheid).

Dalam The Oxford Illustrated Dictionary (1975)36 telah dirumuskan

makna kecelakaan medis atau resiko medis, adalah sebagai berikut: suatu peristiwa yang tak terduga, tindakan yang tak disengaja. Sinonim yang disebutkan adalah, accident, misfortune, bad fortune, mischance, ill luck,

J. Guwandi menyatakan bahwa makna resiko medis ini adalah sebagai berikut: Setiap tindakan medis, lebih-lebih dalam bidang operasi dan anestesia,

akan selalu mengandung suatu resiko. Ada resiko yang dapat diperhitungkan dan ada resiko yang tidak dapat diperhitungkan sebelumnya. Maka timbulnya resiko itu harus membuat seminimal mungkin, misalnya dengan melakukan pemeriksaan-pemeriksaan pendahuluan, anamnesa yang teliti atau tambahan tes- tes laboratorium, jika dalam pemeriksaan dicurigai ada hal-hal yang perlu dipastikan terlebih dahulu.37 Walau demikian tidak semua tindakan yang tak disengaja termasuk perumusan kecelakaan atau resiko medis, karena tindakan kelalaianpun dilakukan tidak dengan sengaja.

Dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 hal tersebut diatur dalam Pasal 44 ayat (1) yang menyatakan bahwa, dokter atau dokter gigi dalam menyelenggarakan praktek kedokteran wajib mengikuti standar pelayanan kedokteran atau kedokteran gigi. Aturan lebih lanjut tentang hal tersebut akan diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan. Namun sayangnya sampai ditulis-nya buku ini aturan dimaksud belum pernah ada.

2.3.3. Hal yang Dapat Membebaskan Dokter dari Tuntutan Hukum

Dibawah ini akan dikemukakan beberapa hal yang dapat membebgskan seorang dokter atau dokter gigi dari tuntutan hukum. Hal-hal tersebut berdasarkan hukum positif Indonesia dan beberapa teori yang ditarik dari kesimpulan beberapa yunsprudensi dari sistem hukum Anglo Saxon, misalnya38 :

1. Telah melakukan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan medis dan standar operasional prosedur.

37 J. Guwandi, Op Cit, h. 27. 38 J. Guwandi, Loc Cit

Sebagaimana telah diuraikan pada bahasan sebelumnya bahwa berdasarkan Pasal 50 huruf a dari Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang praktek kedokteran, apabila seorang dokter atau dokter gigi telah melaksanakan pelayanan medis atau praktek kedokteran telah sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional maka la (dokter atau dokter gigi) tersebut tidak dapat dituntut hukum baik hukum administrasi, hukum perdata maupun hukum pidana.

2. Informed Concent (Persetujuan Atas Informasi)

Informed concert berarti, concent adalah persetujuan, sedangkan

informed adalah telah diinformasikan, sehingga informed concent berarti persetujuan atas dasar informasi. Istilah lain yang sering dipergunakan adalah persetujuan tindakan medik.

Sebelum melakukan tindakan medik seorang dokter berkewajiban memberikan penjelasan terhadap pasien dan/atau keluarganya tentang diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis yang dilakukan, alternatif tindakan lain dan resikonya, resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.

Pengaturan tentang informed concent ini terdapat pada Pasal 39, 45 dari UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran yang menyatakan bahwa, praktek kedokteran diselenggarakan berdasarkan pada kesepakatan antara dokter dengan pasien dalam upaya untuk pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan

pemulihan kesehatan. Segala tindakan medik yang akan dilakukan dokter harus mendapat persetujuan pasien.

3. Contribution Negligence (Kesalahan Pasien)

Selain hal-hal diatas, dokter tidak dapat dipersalahkan apabila dokter gagal atau tidak berhasil dalam penanganan terhadap pasiennya apabila, pasien tidak koperatif karena tidak menjelaskan dengan sejujurnya tentang riwayat penyakit yang pernah dideritanya serta obat-obatan yang pernah dimakannya selama sakit, atau tidak mentaati petunjuk-petunjuk serta instruksi dokter atau menolak cara pengobatan yang telah disepakati.

Hal ini dianggap sebagai kesalahan pasien yang dikenal dengan istilah

contribution negligence atau pasien turut bersalah. Kejujuran serta mentaati saran dan instruksi dokter ini dianggap sebagai kewajiban pasien terhadap dokter dan terhadap dirinya sendiri.

4. Respectable Minority Rules Dan Error Of (in) (Pilihan Tindakan Medis Dokter yang Keliru)

Bidang kedokteran merupakan suatu bidang yang sangat kompleks, seperti dalam suatu upaya pengobatan sering terjadi ketidaksepakatan atau pendapat yang sama tentang terapi yang cocok terhadap suatu situasi medis khusus. II mu medis adalah suatu seni dan sains (art and science) disamping teknologi yang dimatangkan dalam pengalaman. Maka dapat saja cara pendekatan terhadap suatu penyakit berlainan bagi dokter yang satu dengan yang lain. Namun tetap harus berdasarkan ilmu pengetahuan yang dapat dipertanggung-jawabkan.

5. Volenti Non Fit Iniura atau Asumption of Risk (Asumsi Yang Telah Diketahui dan Beresiko)

Volenti non fit iniura atau asumption of risk merupakan doktrin lama dalam ilmu hukum yang dapat pula dikenakan pada hukum medis, yaitu suatu asumsi yang sudah diketahui sebelumnya tentang adanya resiko medis yang tinggi pada pasien apabila dilakukan suatu tindakan medis padanya.

Setelah penjelasan selengkapnya telah diberikan dan ternyata pasien dan/atau keluarga setuju (informed concent), apabila terjadi resiko yang telah diduga sebelumnya ini maka dokter tidak dapat dipertanggungjawabkan atas tindakan medisnya. Selain itu doktrin ini dapat juga diterapkan pada kasus pulang paksa (pulang atas kehendak sendiri walaupun dokter belum mengizinkan), maka hal semacam itu membebaskan dokter dan rumah sakit dari tuntutan hukum.

6. Respondeat Superior Atau Vicarious Liability (Hospital Liability/Corporate Liability) (Tanggung Jawab Lembaga / Atasan)

Dalam sistem hukum Indonesia yang mengikuti Eropa Continental masalah tersebut diatur dalam Pasal 1367 BW, adapun maksud ketentuan pasal ini adalah, majikan berhak mengontrol tindakan bawahannya baik atas hasil yang dicapai maupun tentang cara yang digunakan. Demikian pula dengan perkembangan hukum kesehatan serta kecanggihan teknologi kedokteran, rumah sakit tidak dapat melepaskan diri dari tanggung jawab pekerjaan yang dilakukan oleh pegawainya termasuk apa yang diperbuat oleh para medis.

Hanya saja pendapat sebagian pakar hukum kita rnasih membedakan hubungan kerja antara atasan dengan bawahan dan tindakan bawahan harus dalam lingkup pekerjaan yang ditugaskan kepadanya. Hubungan kerja ada apabila atasan mempunyai hak secara langsung mengawasi dan mengendali- kan aktivitas bawahan dalam melakukan tugas-tugasnya. Dalam hal ini pekerjaan yang dilakukan harus merupakan suatu wujud perintah yang diberikan oleh atasan.

7. Res Ipsa Loquitur (Kelalaian yang Nyata / Jelas)

Doktrin res ipsa loquitur ini berkaitan secara langsung dengan beban pembuktian (onus, burden of proof), yaitu pemindahan beban pembuktian dari penggugat (pasien dan/atau keluarganya) kepada tergugat (tenaga medis). Terhadap kelalaian tertentu yang sudah nyata, jelas sehingga dapat diketahui seorang awam atau menurut pengetahuan umum antara orang awam atau profesi medis atau kedua-duanya, bahwa cacat, luka, cedera atau fakta sudah jelas nyata dari akibat kelalaian tindakan tenaga medik, dan hal semacam ini tidak memerlukan pembuktian dari penggugat akan tetapi tergugatlah yang harus membuktikan bahwa tindakannya tidak masuk katagori lalai atau keliru

Asumsi dan tuduhan secara dini dari pihak pasien atau masyarakat terhadap dokter bahwa telah melakukan tindakan malpraktik medik terkadang sering suatu hal yang berlebihan, khususnya dari pihak pasien, apalagi sebagai korban atas ketidakpuasan atau kesehatan yang diharapkannya. Semua usaha tindakan medik yang dilakukan dokter bila ada dugaan atas tuduhan malpraktik medik memerlukan pembuktian secara standar medik dan hukum.

Untuk tidak secara cepat menuduh pihak dokter telah melakukan tindakan malpraktik medik.

Profesi dokter adalah mulia, untuk memberikan pertolongan bagi setiap orang yang memerlukan keahliannya, sehingga dokter secara hukum mendapat perlindungan pula akan hak-haknya. Proses pembuktian atas kelalaian baik sengaja maupun tidak sengaja hukum tetap menjamin setiap profesi apapun, tidak terkecuali dokterpun mendapat perlakuan dan perlindungan yang sama dimuka hukum (azas equality before the law).

Dokumen terkait