• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BAGI DOKTER ATAS DUGAAN MALPRAKTIK MEDIK.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BAGI DOKTER ATAS DUGAAN MALPRAKTIK MEDIK."

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

i

TESIS

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BAGI DOKTER

ATAS DUGAAN MALPRAKTIK MEDIK

ENY HERI MANIK NIM. 1390561014

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(2)

ii

PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA BAGI DOKTER

ATAS DUGAAN MALPRAKTIK MEDIK

Tesis ini untuk memperoleh gelar Magister Pada Program Magiser Program Studi Ilmu Hukum

Program Pascasarjana Universitas Udayana

ENY HERI MANIK NIM. 1390561014

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(3)

iii

LEMBAR PENGESAHAN

TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 27 JUNI 2016

Pembimbing I,

Prof. Dr. I Ketut Mertha, SH., M.Hum NIP. 19461231 197602 1 001

Pembimbing II,

Dr. I Gede Artha, SH., MH NIP. 19580127 198503 1 002

Mengetahui Ketua Program Studi

Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana

Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana

Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, S.H., M.Hum., L.LM Prof. Dr. dr. A.A Raka Sudewi, Sp.S(K)

(4)

iv ABSTRAK

Penelitian karya ilmiah tesis ini berjudul : “Pertanggung Jawaban Pidana

Bagi Dokter Atas Dugaan Malpraktik Medik”. Sebagai latar belakang sosio – yuridis fenomenanya muncul di masyarakat bahwa pihak pasien atau keluarganya sering menggugat atau menuntut dokter atas tuduhan telah terjadi malpraktik medik oleh dokter yang menanganinya. Dalam UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit tidak ada ditemukan pengaturan batasan

pengertian dari istilah “malpraktik medik” tersebut, atau terjadi norma kosong.

Terkait mesti adanya tanggung jawab pidana dan perlindungan hukum terhadap dokter dalam menjalankan profesinya, maka disajikan rumusan masalah : 1. Apakah dokter selalu dapat dibebani pertanggung jawaban pidana atas dugaan tuduhan malpraktik medik ? Apa bentuk perlindungan yang dapat diberikan kepada dokter atas adanya tuduhan malpraktik medik tersebut ?

Penulisan tesis ini dilakukan dengan memakai jenis penelitian hukum normatif. Melalui pendekatan perundang-undangan, pendekatan analisis konsep hukum, pendekatan kasus dan pendekatan perbandingan. Kajian memakai teori keadilan, teori kewenangan, teori pemindanaan dan teori hukum pembuktian, serta teknik analisis kajian memakai teknik argumentasi dan teknik evaluasi serta sifat analisis perspektif atas terjadinya norma yang kosong tersebut.

Dengan temuan hasil penelitian : pertama bahwa tidak selalu dokter dapat dibebani pertanggung jawaban pidana atas adanya dugaan tuduhan malpraktik medik. Hal itu tergantung hasil pembuktian sesuai kodek etik oleh organisasi profesi dokter seperti IDI dan atau MKDKI, atau pembuktian oleh persidangan litigasi kedua, bentuk perlindungan hukum bagi dokter yang dituduh atas sangkaan malpraktik medik, dapat berupa perlindungan hukum atas hak-hak keperdataan, perlindungan hukum administrasi, serta perlindungan hukum atas hak-hak dalam hukum pidana.

(5)

v

ABSTRACT

This thesis of research its scientific work entitled : “Criminal Liability for Doctors for Alleged Medical Malpractice”. Judicial social phenomenon emerged

in the community that the patient or his the pamily ofen. Its sued or sue doctors for alleged medical malpractice has occurred by the doctor in charge. The Act No. 29 of 2004 on Medical Practice, ActNo. 36 of 2009 on Health, Act No. 44 of 2009 on Hospital there is not to set of definition terms such medical malpractice, or the case of legal norms empty. This ower phenomenant the doctors is liability and the protection in the professions should receive legal protection of their rights.

Thesis was based on normative legal research, with the approach, of legislation, legal concept analysis approach, cases approach, and comparative approach. Using legal theories such as the therory of justice, authrority theory, the theory of punishment and the legal theory of evident, as for the study of analytical tecniques to understand the technique of argument and evaluation techniques, the nature prespectif analysis to the provide solution to the existance of the existing legal norms.

With research findings that : First that doctor can not be saddied with criminal responsiblity for the ecistence of the medical malpractice, defending proof in court or by a profesional organization (IDI, MKDKI) of doctor who handle. The second, forms of legal protection for doctors who is allegedly on suspicion of malpractice ma include protection of civil law, of administration in law and criminal law protection in the rights.

(6)

vi

KATA PENGANTAR

Puja dan puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa / Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena berkat rahmat dan karuniaNya, sehingga penulisan Tesis yang berjudul “Pertanggung Jawaban Pidana Bagi Dokter Atas Dugaan Malpraktek Medik”. kiranya dapat penulis selesaikan guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Program Pascasarjana Universitas Udayana.

Dalam penyusunan tesis ini, berbagai pihak telah banyak memberikan dorongan, bantuan serta masukan sehingga dalam kesimpulan ini penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat : 1. Bapak Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD,

KEMD atas kesempatan dan fasilitas yang telah diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister Ilmu Hukum di Universitas Udayana.

2. Ibu Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp.S (K) atas kesempatan dan fasilitas yang telah diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister di Universitas Udayana

(7)

vii

mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister di Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan arahan dan saran serta ilmu kepada penulis dalam penyelesaian tesis ini.

4. Bapak Sekretaris Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Dr. Putu Tuni Cakabaw Landra, S.H., M.H atas kesempatan yang telah diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Magister di Program Pascasarjana Universitas Udayana.

5. Bapak Prof. Dr. I Ketut Mertha, SH.,M.Hum selaku Pembimbing I yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, arahan dan saran serta ilmu yang penulis terima baik selama mengikuti perkuliahan maupun selama bimbingan.

6. Bapak Dr. I Gede Artha, SH., MH selaku Pembimbing II yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan arahan dan saran serta ilmu yang penulis terima baik selama mengikuti perkuliahan maupun selama bimbingan.

7. Bapak Prof. Dr. I Ketut Rai Setiabudhi, SH., MS., selaku Anggota Penguji I yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan arahan dan saran serta ilmu kepada penulis dalam penyempurnaan tesis ini.

(8)

viii

9. Bapak Dr. I Dewa Made Suartha, SH., MH selaku III yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan arahan dan saran serta ilmu kepada penulis dalam penyempurnaan tesis ini.

10.Para Dosen pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana yang telah memberikan arahan serta ilmu yang penulis terima selama mengikuti perkuliahan,

11.Seluruh karyawan/karyawati pada Program Magister Program Studi Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Udayana yang telah banyak membantu dan memberikan kemudahan serta kelancaran pelayanan administrasi baik selama penulis mengikuti perkuliahan maupun sampai dengan penyelesaian tesis ini.

12.Segenap informan yang telah memberikan masukan data atau bahan hukum sehingga penelitian tesis dapat tersusun dan terselesaikan.

13.Bapak, ibu, serta keluarga tercinta yang yang dengan tekun memberi doa dan dorongan sehingga tesis ini bisa terselesaikan

14.Bapak dan Ibu serta saudara-saudara, teman seangkatan, handai taulan, yang telah memberikan dukungan serta doa dalam penyelesaian tesis ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu

(9)

ix

kasih, semoga Tuhan Yang Maha Esa melimpahkan rahmat dan karuniaNya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian Tesis ini dan semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan pembaca pecinta hukum pada umumnya.

Denpasar, 27 Juni 2016

(10)

x DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DEPAN ... i

HALAMAN PRASYARAT GELAR ... ii

HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ... iii

ABSTRAK ... iv

ABSTRACT ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... x

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah………..1

1.2. Rumusan Masalah………...12

1.3. Ruang Lingkup………..12

1.4. Tujuan Penelitian 1.4.1. Tujuan Umum...12

1.4.2. Tujuan Khusus………....13

1.5. Manfaat Penelitian………....13

1.5.1. Manfaat Teoritis……….……....13

1.5.2. Manfaat Praktis... ………..…....13

1.6 Orisinalitas Penelitian………..14

1.7 Landasan Teori dan Kerangka Berpikir ……….…….16

(11)

xi

1.7.2. Kerangka Berpikir………..27

1.8 Metode Penelitian……….…..…..28

1.8.1 Jenis Penelitian……….……….28

1.8.2 Jenis Pendekatan……….…...28

1.8.3 Sumber Bahan Hukum……….. 29

1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum………..31

1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum…………..…………31

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG MALPRAKTIK 2.1. Pemahaman Terhadap Istilah Malpraktik Medik ………....33

2.1.1 Pengertian Malpraktik Secara Etimologi dan Menurut Pendapat Ahli………33

2.1.2. Asas – Asas Hukum Sebagai Landasan Terkait Adanya Hubungan Hukum Antara Dokter Dengan Pasien………....40

2.2. Perbedaan Tindakan Malpraktik Medik Dengan Tindakan Resiko Medik...47

2.2.1. Profesi Dokter……….47

2.2.2. Etika Profesi Kedokteran………...49

2.2.3. Standar Profesi Medis………59

2.3. Timbulnya Malpraktik Medik dari Dokter………..59

2.3.1. Standar Pelayanan Medik Bagi Kesehatan ………..59

(12)

xii

2.3.3. Hal yang Dapat Membebaskan Dokter dari Tuntutan

Hukum……….…63

BAB III BEBAN TANGGUNG JAWAB HUKUM ATAS DUGAAN MALPRAKTIK MEDIK BAGI DOKTER

3.1. Pertanggungjawaban Hukum Bagi Dokter Atas Terjadinya Dugaan Malpraktik Medik………69 3.1.1. Hak dan Kewajiban Dokter dan Pasien ……….69 3.1.2. Hubungan Dokter Dengan Pasien………...71 3.1.3. Tanggung Jawab Dokter Dalam Pelayanan Medik….76 3.2. Aspek Hukum Kesehatan Terkait Profesi Dokter dengan Pasien...80 3.2.1. Dasar Hukum Pelayanan Kesehatan Oleh Dokter…..80 3.2.2. Persetujuan Tindakan Medik Dokter dan Pasien …...83 3.2.3. Kelalaian Dokter atau Resiko Ditanggung Pasien…..86 3.3 Aspek Hukum Pidana Dalam KUHP Terkait Malpraktik

Medik………..87

3.3.1 Kesalahan Dalam Malpraktik Medik………..87 3.3.2. Sikap Batin Dokter dalam Malpraktik Medik……....89 3.3.3. Adanya Akibat Kerugian Terhadap Pasien dan

Implikasinya Dengan Pasal-Pasal KUHP…………..94 3.4. Kajian dan Analisis Berdasarkan Teori Hukum Terkait

Tanggung Jawab Hukum Bagi Dokter dalam Malpraktik

(13)

xiii

BAB IV BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM BAGI DOKTER DAN PENYELESAIAN KASUS ATAS DUGAAN MALPRAKTIK MEDIK

1.1. Penyelesaian Kasus Malpraktik Medik Berdasar Jalur Non Litigasi (Diluar Pengadilan) Melalui Organisasi Profesi Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia

(MKDKI)………...103

1.2. Penyelesaian Kasus Atas Dugaan Malpraktik Medik Dokter Melalui Jalur Litigasi (Pengadilan) Berdasarkan Putusan Pengadilan (Yurisprudensi)………...107

BAB V PENUTUP

5.1. Simpulan………136

5.2 Saran………..137

(14)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Dalam kehidupan manusia pada umumnya sering terdengar semacam prinsip hidup bahwa kesehatan ditempatkan sebagai prioritas utama. Materi yang berlimpah akan tidak ada gunanya ketika dihadapkan dengan kondisi fisik tidak berdaya atau tidak sempurna sebagai layaknya, bila dibandingkan dengan kebanyakan orang dalam kondisi jiwa raga yang sehat serta dapat beraktivitas sebagai layaknya manusia sempurna kondisi kesehatannya.

Secara jelas tersurat dan tersirat dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 bahwa cita-cita bangsa Indonsesia yang sekaligus merupakan tujuan nasional bangsa Indonesia. Tujuan nasional tersebut adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi serta keadilan sosial.

Guna mencapai cita-cita luhur tujuan nasional tersebut diselenggarakan upaya pembangunan yang berkesinambungan yang merupakan suatu rangkaian pembangunan yang menyeluruh, terarah dan terpadu termasuk salah satu prioritas utama adalah sektor pembangunnan kesehatan. Pembangunan bidang kesehatan pada dasarnya ditujukkan untuk meningkatkan kesadaran, keamanan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal sebagai salah satu kesejahteraan sebagaimana diamanatkan dalam

(15)

Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut. Niat dan maksud tersurat dan tersirat tersebut usaha pembangunan kesehatan bagi setiap warga negara Indonesia telah terjabar melalui ketentuan konstitusi Indonesia Pasal 28 H ayat (1) UUD

Negara RI Tahun 1945, dengan tersurat bahwa “ setiap orang berhak hidup sejahtra

lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik

dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.

Perlindungan warga Negara Indonesia dibidang kesehatan tercantum pula dalam Pasal 9 ayat (1),(2), dan ayat (3) Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang secara formalnya tersurat :

(1) Setiap orang berhak untuk hidup mempertahankan hidup dan meningkatkan tarap kehidupanya.

(2) Setiap orang berhak untuk hidup tentram, aman, damai, bahagia, sejahtra, lahir dan batin.

(3) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Ketentuan makna pasal diatas mengandung esensi yang luas menyangkut pembangunan kesehatan secara menyeluruh yakni fisik dan di luar fisik bagi setiap warga Negara. Negara menjamin usaha disektor kesehatan, dalam berbagai bentuk dan cara guna kesejahteraan lahir dan batin. Dalam mengisi pembangunan bangsa negara yang sehat lahir dan batinnya. Sebagai syarat pokok setiap insan mesti sehat untuk dapat beraktivitas mengisi hidup dan kehidupannya. Setiap orang tahu dan berusaha untuk menjaga kesehatannya guna mempertahankan hidup yang layak sebagai manusia normal. Slogan atau pepatah latin menyuratkan “Insano Sana

(16)

bermaksud bahwa setiap orang harus sehat badan dan jiwanya sehingga kesehatan bagi setiap orang akan dibutuhkan setiap orang sebagai kebutuhan primer.

Negara yang berkewajiban melindungi setiap warganya, sangat memperhatikan pula disektor pembangunan kesehatan. Berbagai upaya dilakukan oleh negara, berupa menciptakan perlindungan hukum dengan adanya Undang-Undang Kesehatan yakni Undang-Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2009, Undang – Undang Rumah Sakit yakni Undang – Undang Nomor 44 tahun 2009, serta Undang-Undang Praktik Kedokteran yaitu Undang – Undang Nomor 29 tahun 2004, dan banyak lagi peraturan pemerintah khususnya peraturan menteri kesehatan, yang mengatur berbagai aktivitas menyangkut bidang kesehatan.

(17)

Profesi dokter dengan perangkat keilmuan yang dimilikinya memiliki karakteristik yang khas. Kekhususan ini terlihat dari pembenaran yang diberikan oleh hukum yaitu dari diperkenankanya melakukan tindakan medis terhadap tubuh manusia dalam upaya memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan. Tindakan medis terhadap tubuh manusia seperti operasi, pencangkokan, pemindahan bagian tertentu organ manusia yang dilakukan oleh dokter bukanlah digolongkan sebagai tindak pidana. Sebaliknya bila tindakan kemudian bukan dilakukan oleh dokter maka akan tergolong sebagai tindak pidana. Profesi dokter diposisikan sebagai profesi mulia (afficium mobile) sama dengan profesi advokat. Profesi ini bermisi mulia untuk menolong manusia yang mengalami susah.

(18)

yang dilakukan dokter berhasil dianggap hal biasa-biasa saja, padahal dokter dalam menjalankan tugas dan profesinya didasari perangkat ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimilikinya, hanya berupa ia untuk menyembuhkan kegagalan penerapan ilmu kedokteran tidak selalu identik dengan kegagalan sebagai akibat dalam tindakan yang telah dilakukan dokter. Kesalahan persepsi masyarakat awam terhadap hasil tindakan secara medis yang dialami pasien sebagai korban selalu dokter disudutkan dengan telah melakukan tindakan malpraktik.

Perlu ditelusuri dan dipahami secara keilmuan normatif hukum bahwa

istilah “malpraktik” dalam Undang - Undang Nomor23 Tahun 1992 dan

Undang-undang No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan tidak ada ditemukan mengatur

tentang istilah “malpraktik” tersebut. Dalam UU Kesehatan Pasal 54 dan Pasal 55,

menyebutnya dengan sebutan “kesalahan atau kelalaian dokter apabila terjadi hal

-hal yang tidak diharapkan oleh pasien sebagai akibat tindakan dokter yang telah dilakukannya. Begitu pula halnya Pasal 83 Undang - Undang Nomor29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran menyebutnya dengan istilah “Sebagai pelanggaran

disiplin dokter”. Berarti dalam khasanah hukum formil atau norma hukum terkait

pengaturan kesehatan khususnya mengatur tentang tindakan penyimpang yang dilakukan dokter yang tidak sesuai dengan harapan pihak pasien tidak ada norma

yang mengatur dengan sebutan “malpraktik” bagi profesi oleh dokter tersebut. Atau

(19)

Undang – Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit tidak ada ditemukan pengaturan istilah malpraktik tersebut.

Solusi atas terjadinya norma kosong dalam ketiga undang – undang diatas untuk menjamin adanya kepastian hukum kedepannya perlu tindakan pembentukan norma. Pencanangannya norma hukum atas batasan malpraktik medik tersebut paling tepat mesti dimuat dalam undang – undang tentang Praktek Kedokteran, yang sekarang berlaku dalam Undang – Undang Nomor 29 Tahun 2004.

Pembentukan norma hukum secara prinsip merupakan tugas dan wewenang lembaga legislatif. Penormaan suatu substansi tertentu oleh legislator dapat berbentuk penciptaan hukum (rechtshaving), pembentukan hukum (rechtsforming) penghalusan hukum (rechtsvervijning). Khusus bagi kalangan yudikatif utamanya hakim mempunyai tugas pula dalam penormaan berupa fungsi dalam penemuan hukum sebagai perwujudan asas ius curia novit yakni melalui rechtsvinding

(penemuan hukum) oleh hakim di pengadilan.

Berbagai tindakan hukum dapat dilakukan seperti tindakan – tindakan diatas baik oleh legislatif maupun yudikatif guna mengisi kekosongan hukum, khusus disini tentang adanya kekosongan pengaturan oleh dokter tersebut. Hal iu mesti ke depan ada rumusan norma hukum yang tertuang dalam salah satu perundang-undangan di bidang kesehatan, utamanya mesti tercantum dalam undang-undang Praktek Kedokteran.

(20)

sebgai akibat banyaknya pengaduan kasus-kasus yang diduga merupakan malpraktik (menurut sebutan dan istilah di masyarakat) terhadap profesi dokter yang dianggap telah merugikan pasien dalam dokter melakukan perawatan

seseorang pasien. Dalam hubungan kepentingan antara dua pihak yakni pasien dengan dokter telah terjalin secara tidak langsung hubungan

kepentingan yang menghasilkan resiko serta hasil berupa sebab akibat.

Menurut pernyataan Hendrojono Soewono bahwa sudah terjadi sejak permulaan sejarah manusia telah dikenal adanya hubungan kepercayaan antara insan-insan yaitu dokter dan penderita yang dalam jaman modern ini disebut

sebagai transaksi “terapeutik” antara dokter dan pasien1. Adanya transaksi terapeutik berarti satu pihak telah mengikatkan diri yakni penderita atau pasien kepada pihak lain yakni dokter untuk keperluan dan sebab tertentu berupa pelayanan akan profesi yang dimiliki dokter di bidang pelayanan kesembuhan suatu gangguan kesehatan dari si pasien terkait dengan aspek hukum keperdataan pihak dokter dan pasien bila telah terwujud transaksi terapeutik tersebut, maka akan terikat dan tunduk pada ketentuan Pasal 1320 Burgelijke van Weetboek (BW),

transaksi pihak – pihak tersebut terikat pada syarat – syarat : ada kata sepakat dari para pihak yang saling meningkatkan diri, kecakapan untuk membuat sesuatu, mengenai suatu hal / obyek dan karena suatu kausa yang sah. Dalam transaksi terapeutik harus memiliki keempat syarat tersebut. Dan bila transaksi terapeutik

1 Hendrojono Soewono, 2007, Batas Pertanggungjawaban Hukum Malpraktek Dokter Dalam

(21)

sudah terjadi atau terlaksana, kedua belah pihak dibebani dengan hak dan kewajiban sesuai yang telah disepakati bersama dan harus dipatuhi dan dipenuhi.

Terkait antara adanya ikatan atas perjanjian antara pihak dokter dengan pasien akan menimbulkan timbulnya hak dan kewajiban. Pasien dapat menuntut haknya, sedangkan dokter dapat dibebani tanggung jawab atas profesinya, disamping dokter diberi hak pula oleh hukum unutk mendapatkan perundangan hukum dalam menjalankan profesinya. Konsep tanggung jawab yang dibebankan pada dokter dalam menjalankan fungsinya dapat dibedakan antara tanggung jawab profesi dan tanggung jawab hukum. Tanggung jawab profesi merupakan tugas mulia yang diemban dokter, sehingga kesalahan dalam menjalankan profesinya terutama bila dilakukan tidak dengan unsur kesengajaan maka dokter tidak dapat dibebani tanggung jawab hukum.

Apabila dokter dalam menjalankan profesinya terbukti secara fakta hukum dalam proses pembuktian dibuktikan di persidangan ada unsur kesengajaan berbuat sesuatu sehingga sampai menimbulkan hilangnya nyawa pasien, maka dokter tidak dapat menghindar dari tanggung jawab hukum terutama pertanggung jawaban pidana. Atau pelanggaran aspek hukum lain seperti hukum perdata dengan resiko mesti digugat dapat pula menyalahi proses kewenangan administratif sehingga dokter dapat digugat melalui Peradilan Tata Usaha Negara.

(22)

jawab pada orang tersebut, sehingga profesi yang dijalankannya mendapat perlindungan hukum secara organisasi profesi dan kode etik profesi disamping dilindungi oleh hukum secara umum.

Akan berbeda halnya suatu pekerjaan tertentu tiap orang hampir dapat melakukannya, sehingga sebutannya bukan profesi, tapi sebutannya adalah

“pekerja”, seperti misalnya sopir, tukang kayu dan lain-lain, sehingga dalam menjalnakan fungsi pekerjaannya lebih dituntut tanggung jawab atas resiko yang ditimbulkannya dalam menjalankan perannya. Karena peran yang difungsikannya bukan bertujuan mulai, atau bukan misi maka seperti menyembuhkan, menyelematkan jiwa manusia seperti profesi dokter tersebut. Akan berbeda halnya bila seorang dokter pada dasarnya melakukan tindakan medik yang dibenarkan oleh aturan SOP (Standard Operasional Prosedure) medik, namun menimbulkan korban secara fatal orang lain / pihak lain maka tindakan dokter demikian mesti dapat dibebani tanggung jawab hukum.

Pekerja dalam menjalankan fungsinya karena kelalaiannya menimbulkan akibat hukum, tetap ada dasar alasan yang meringankannya. Namun lebih besar dituntut tanggung jawab secara hukum karena bukan menjalankan sebuah profesi. Merupakan hal yang sangat berbeda antara profesi dokter yang mulia bila dibandingkan dengan seorang pekerja.

(23)

hukum administratif terhadap dugaan malpraktik dokter yang dipandang merugikan pihak pasien. Sebagai ilustrasi kasus malpraktik dokter munculnya pertama kali di Indonesia Putusan Pengadilan Negeri Pati dengan Nomor Putusan No. : 8/1980/Pid.B/PN Pt tanggal 2 September 1981 yang menyatakan bahwa dr. Setyaningrum binti Siswoko dinyatakan bersalah melakukan kejahatan karena kealpaannya menyebabkan orang lain meninggal dunia, dan menghukum yang bersangkutan selama 3 (tiga) bulan. Kasus ini berlanjut hingga banding dan kasasi, di tingkat Kasasi Mahkamah Agung membebaskan dr. Setyaningrum Siswoko, karena Mahkamah Agung menilai unsur Pasal 359 KUHP atas tindakan kelalaian tidak terbukti. Karena pertimbangan Mahkamah Agung dokter telah melaksanakan tugasnya dengan baik dilandasi dengan kemurnian niat, kesungguhan kerja, kerendahan hati serta integritas ilmiah dan sosial.2

Kasus dan fenomena dugaan malpraktik serupa kembali muncul di tahun 2014 yang terkenal dengan sebutan kasus dr. Ayu dkk, dengan keluarnya Putusan Pengadilan Negeri Manado No. 90/Pid.B/2011/PN. MDO tertanggal 15 September 2011 dengan memutus bebas para terdakwanya (terdakwa I dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, Terdakwa II dr. Hendry Simanjuntak dan Terdakwa III dr. Hendy Siagian. Fenomena dugaan malpraktik dokter atas 2 (dua) kasus di atas tampak dan cenderung melihat tindakan dokter atas dugaan dan tindakan hanya melihat dari sisi penyelesaian secara tindakan hukum pidana (pelanggaran Pasal dalam hukum pidana). Tanpa menelusuri tindakan yang dilakukan dokter atas tanggung jawab profesi yang penuh dengan resiko atas pasien yang ditanganinya. Secara hukum

(24)

dokter memiliki pula hak-haknya yang patut dilindungi oleh hukum dalam menjalankan profesinya. Untuk membuktikan pihak mana yang salah antara dokter atau keadaan pasienkah sebagai penyebab kefatalan yang tidak diinginkan oleh semua pihak perlu pembuktian secara medik dan hukum.

Pengajuan tuntutan atas malpraktik yang dilakukan oleh dokter cukup banyak, namun kebanyakan dari kasus-kasus tersebut akhirnya diputus bebas. Bahkan sebelum memasuki proses peradilan pidana, laporan malpraktik sudah terlebih dahulu ditolak. Hal ini tidak lepas dari permasalahan kekosongan norma mengenai malpraktik itu sendiri sehingga batasan dan ruang lingkup dari tindakan medis yang dapat digolongkan sebagai malpraktik tidak diatur secara tegas. Secara sederhana, malpraktik dikatakan sebagai tindakan medis yang menyimpang dari SOP. Permasalahannya, setiap pusat pelayanan kesehatan (rumah sakit, puskesmas dan klinik) memiliki SOP yang berbeda-beda.

Kekosongan norma mengenai malpraktik medik berimplikasi pada putusan pengadilan mengenai kasus tersebut. Kasus malpraktik yang diperiksa di pengadilan hanya menggunakan ketentuan pasal-pasal dalam KUHP, seperti Pasal 346, 347, 359, 360, dan 386 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Hal ini tentu sangat melemahkan dakwaan, sehingga hampir semua kasus malpraktik medik tidak dapat dibuktikan. Pembebasan terdakwa akan menimbulkan preseden bahwa dokter menjadi profesi yang tidak dapat tersentuh oleh hukum (kebal hukum).

(25)

dengan judul “Pertanggungjawaban Pidana Bagi Dokter Atas Dugaan Malpraktik

Medik”

1.2. Rumusan Masalah

Dalam penelitian terkait judul diatas peneliti menampilkan rumusan masalah seperti berikut :

1. Apakah dokter dapat dibebani pertanggungjawaban pidana atas dugaan malpraktik medik terhadap pasien?

2. Apa bentuk perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada dokter atas tindakan malpraktik medik tersebut?

1.3. Ruang Lingkup

Dalam penelitian dan penulisan tesis ini penulis batasi ruang lingkupnya terkait dengan masalah pertama terfokus pada beban pertanggungjawaban pidana bagi dokter atas adanya dugaan malpraktik medik terhadap pasien. Kedua menyangkut tentang pembahasan dan kajian atas bentuk perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada dokter atas tindakan malpraktik medik terhadap pasien. 1.4. Tujuan Penelitian

1.4.1. Tujuan Umum

(26)

2. Untuk memberi pemahaman terhadap pengertian dan lingkup malpraktik medik oleh dokter

1.4.2. Tujuan Khusus

1. Untuk mendeskripsikan serta memberikan analisis secara lebih mendalam terhadap beban pertanggungjawaban pidana bagi dokter terkait adanya dugaan malpraktik medik yang dilakukan terhadap pasien, baik karena dilakukan secara sengaja atau kelalaian atau pula masuk dalam lingkup tindakan profesi yang ditentukan oleh undang – undang

2. Untuk mengetahui dan mengkaji serta memberi solusi hukumnya terhadap pelindungan hukum sebagai hak-hak yang dimiliki dokter dalam menjalankan profesinya berupa pelayanan kesehatan bagi pasien yang ditanganinya.

1.5. Manfaat Penelitian 1.5.1. Manfaat Teoritis

Secara keilmuan dalam dunia teoritis atau akademis untuk menambah wawasan ilmu pengetahuan hukum pada umumnya yang secara substansial lebih terfokus menyangkut bidang studi hukum pidana dalam acara pidana pada tataran proses peradilan terkait tanggung jawab pidana bagi dokter atas dugaan tindakan malpraktik medik terhadap pasien.

1.5.2. Manfaat Praktis

(27)

tahu hak-hak perlindungan hukumnya untuk membela diri bila ada tuduhan malpraktik medik terhadap pasien.

1.6 Orisinalitas Penelitian

Penelitian mengenai “Pertanggungjawaban Pidana Bagi Dokter Atas

Dugaan Malpraktik Medik” merupakan penelitian orisinal yang belum pernah dibahas oleh peneliti lainnya. Sebagai perbandingan, ada beberapa penelitian yang terkait dengan penelitian ini yakni penelitian mengenai mengenai malpraktik ini. Adapun penelitian tersebut dapat dirinci sebagai berikut :

1. Tinjauan yuridis terhadap masalah etik dan hukum sebagai kesalahan praktik kedokteran yang ditulis oleh Wirjowidjojo. Dalam penelitian tersebut dibahas mengenai tanggungjawab hukum atas kesalahan oleh Dokter.3

2. Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Dalam Rangka Penanggulangan Tindak Pidana Malpraktik Kedokteran yang ditulis oleh Priharto Adi. Dalam tesis ini dibahas mengenai kebijakan formulasi hukum pidana saat ini yang mengatur atau berkaitan dengan tindak pidana malpraktik kedokteran dan kebijakan formulasi hukum pidana yang akan datang di dalam upaya menanggulangi tindak pidana malpraktik kedokteran.4

3. Tinjauan Hukum Atas Peristiwa Malpraktek Sebagai Salah Satu Bentuk Kejahatan Korporasi Bisnis Dalam Lingkungan Hukum Indonesia oleh

3 Wirjowidjojo, 1996, Masalah Etik dan Hukum Sebagai Bentuk Kesalahan Praktik Kedokteran

(Tesis), Fakultas Hukum Sumatra Utara, Medan

4 Priharto Adi, 2010, "Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Dalam Rangka Penanggulangan

(28)

Muchammad Alfarisi. Dalam tesis tersebut dibahas mengenai penggolongan malpraktek sebagai kejahatan korporasi serta upaya penanggulangannya.5

Penelitian pertama, kajian penelitian dilakukan terhadap etik dan hukum atas kesalahan yang dibuat oleh Dokter sedangkan dalam penelitian "Formulasi Pengaturan Sebagai Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Pemalsuan Surat Keterangan Dokter", kajian dilakukan terhadap pemalsuan surat keterangan dokter. Pada penelitian kedua dan ketiga, kajian dilakukan terhadap tindakan malpraktik oleh dokter baik dari sisi kebijakan hukum pidananya maupun malpraktik sebagai kejahatan korporasi bisnis. Pemalsuan surat keterangan dokter merupakan delik yang diatur tersendiri yang berbeda dengan malpraktik di bidang kedokteran.

Penelitian-penelitian sebelumnya tidak membahas, mengenai aspek hukum tanggung jawab dokter secara hukum dan perlindungan hukumnya. Sementara dalam penelitian tesis ini akan dibahas mengenai dua hal yakni pertanggungjawaban dokter terhadap pasien yang ditanganinya dan kedua menyangkut perlindungan hukum sebagai hak dokter yang mesti diberikan atas tuduhan adanya malpraktik medik tersebut.

1.7 Landasan Teori dan Kerangka Berpikir 1.7.1 Landasan Teoritis

Dalam penelitian ini akan diperkuat dengan landasan teoritik keilmuan berupa asas-asas hukum, konsep-konsep, doktrin, yurisprudensi dan hasil

5 Muchammad Alfarisi, (2006), "Tinjauan Hukum Atas Peristiwa Malpraktek Sebagai Salah

(29)

penelitian terdahulu serta teori-teori hukum khususnya sebagai pisau analisis dalam mengkaji dan membahas permasalahan yang disajikan. Adapun asas-asas hukum yang terkait dengan variabel judul di atas adalah menyangkut:

1. Asas legalitas (the legal of principle) 2. Asas kesalahan (genstraafzonder shuld) 3. Asas oportunitas

4. Asas manfaat 5. Asas ganti rugi

Konsep-konsep yang membangun dan melandasi variabel-variabel judul yang disajikan akan menyangkut pengertian, makna tentang malpraktik medik dari dokter, serta beban tanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan.

Suatu yurisprudensi dimaksudkan sehubungan penelitian yang akan dilakukan adalah berupa putusan-putusan pengadilan menyangkut dugaan tindak pidana malpraktik dokter. Putusan-putusan dimaksud sebagai penunjang dan untuk memperkuat bahasan dan kajian dari permasalahan yang dibahas.

Hasil-hasil penelitian terdahulu juga dimaksudkan pula sebagai bahan penunjang guna menambah keakurasian kajian yang dilakukan dalam mengkaji dan menganalisis permasalahan yang disajikan dalam penelitian tesis ini.

Teori-teori yang relevant dan berkorelasi serta cocok untuk dipakai membahas dan mengkaji permasalahan yang disajikan menurut persepsi penulis adalah:

(30)

3. Teori Hukum Pembuktian 4. Teori Kewenangan

Adapun penjabaran ringkas teori-teori hukum tersebut di atas terurai seperti berikut:

1. Teori Keadilan (Justice Theory)

Menurut pendapat Ahmad Ali, bahwa tujuan hukum dititikberatkan pada segi "keadilan". Sehubungan dengan anasir keadilan menurut Gustav Radbruch (fliosof Jerman) mengkonsepsi salah satu tujuan hukum atau cita hukum adalah "keadilan”, di samping kemanfaatan, dan kepastian.6

Maka dalam mengkaji rumusan masalah yang disajikan, sebelum masuk pada ranah teori hukum yang aplikatif seperti teori-teori hukum lainnya, lebih awal dipaparkan teori keadilan dengan beberapa jenis penggolongannya yang relevan dengan topik bahasan dalam judul dan permasalahan penelitian ini.

Filosof Aristoteles memperkenalkan teori etis dalam bukunya yang berjudul "Rhetorica" dan "Ethicanikomachea". Teori ini berpendapat bahwa tujuan hukum itu semata-mata untuk mewujudkan keadilan. Keadilan di sini adalah ius suum quique tribuere, yang artinya memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi bagian atau haknya.7

Selain model keadilan yang berbasis kesamaan, Aristoteles juga mengajukan model keadilan lain, yakni keadilan distributif dan keadilan korektif. Keadilan distributif identik dengan keadilan atas dasar kesamaan

6 Achmad Ali, 2002, Menguak Tabir Hukum Suatu Kajian Filosolis Sosiologis, PT. Toko

Gimung Agung Tbk, Jakarta, h. 72

7 Dudu Duswara Machmudin, 2001, Ilmu Hukum Sebuah Sketsa, PT. Refika Aditama,

(31)

proporsional. Sedangkan keadilan korektif atau remidial, berfokus pada "pembetulan pada sesuatu yang salah". Jika sesuatu dilanggar, atau kesalahan dilakukan, maka keadilan korektif berupaya memberi kompensasi yang memadai bagi pihak yang dirugikan. Jika suatu kejahatan dilakukan, maka hukuman yang sepantasnya perlu diberikan pada si pelaku.

Singkatnya, keadilan korektif bertugas membangun kembali kesetaraan. Keadilan korektif merupakan standar umum untuk memperbaiki setiap akibat dari perbuatan, tanpa memandang siapa pelakunya. Prinsip-prinsip itu adalah hukuman harus memperbaiki kejahatan, ganti rugi harus memperbaiki kerugian dan memulihkan keuntungan yang tidak sah. Konsep Themis, Sang Dewi Keadilan melandasi keadilan jenis ini yang bertugas menyeimbangkan prinsip-prinsip tersebut tanpa memandang siapa pelakunya.8

Sumber lain juga menyatakan bahwa Aristoteles menempatkan keadilan sebagai nilai yang paling utama, bahkan menyebut keadilan sebagai nilai yang paling sempurna atau lengkap. Alasannya keadilan dasarnya terarah baik pada diri sendiri maupun pada orang lain. Bertindak adil berarti bertindak dengan memperhitungkan orang lain. Karena itu, hukum yang adil bagi Aristoteles berarti hukum harus memihak pada kepentingan semua orang. Hukum harus membela kepentingan atau kebaikan bersama (common good).9

Sehubungan dengan esensi teori keadilan John Rawls menyangkut peran dokter, maka merupakan prinsip kesamaan bagi semua pihak yang ada dalam proses peradilan pidana untuk dapat dibebani pertanggungjawaban hukum bagi dokter dan perlindungan hukum yang patut diberikan.

2. Teori Pemidanaan

Munculnya teori-teori mengenai pemidanaan sebagai landasan untuk menjustifikasi pelaku suatu tindak pidana dibenarkan untuk dijatuhi pidana oleh

8 Ibid, h. 53 54

9 Andre Ata Ujian, 2009, Filsafat Hukum Membangun Hukum dan Membela Keadilan.

(32)

pengadilan, tidak terlepas dari adanya tujuan pidana itu sendiri yang terus mengalami perkembangan.

Menurut para ahli hukum pidana ada 3 (tiga) golongan utama teori untuk membenarkan penjatuhan pidana yakni:

a. Teori Absolut atau Teori Pembalasan (Vergeldings Theorien). b. Teori Relatif atau Teori Tujuan (Doeltheorieri).

c. Teori Gabungan (Verenigingstheorieri).10

Secara pokok masing-masing teori di atas menggariskan prinsip-prinsip sebagai berikut:

a. Teori Absolut atau Teori Pembalasan

Teori Pembalasan mengatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk yang praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan tu sendirilah yang mengandung unsur-unsur untuk dijatuhkannya pidana. Pidana secara mutlak ada, karena dilakukan suatu kejahatan, tidaklah perlu untuk memikirkan manfaat penjatuhan pidana setiap kejahatan harus berakibat dijatuhkannya pidana kepada pelaku. Oleh karena itulah maka teori ini disebut Teori Absolut. Pidana merupakan tuntutan mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi menjadi keharusan hakikat suatu pidana adalah pembalasan.11

10 Andi Hamzah, 1986, Sistem Pidana dan Pemidanaan dari Retribusi ke Reformasi, PT.

Pradnya Paramita, Jakarta, h. 17.

(33)

b. Teori Tujuan atau Teori Relatif / Teori Perbaikan

Teori tujuan pemidanaan berdasarkan atau bergantung kepada tujuan pemidanaan berdasarkan atau bergantung kepada tujuan pemidanaan yang meliputi dua hal : (1) untuk perlindungan masyarakat dan (2) untuk pencegahan terjadinya kejahatan. Yang dalam teori tujuan atau relatif dibedakan lag! dalam 2 (dua) bagian :

1) Prevensi Umum, berupa menakut-nakuti calon penjahat atau penjahat yang bersangkutan agar orang pada umumnya tidak melakukan delik. 2) Prevensi Khusus, berupa mencegah niat buruk pelaku (dader),

mencegah pelanggar mengulangi perbuatannya atau mencegah bakal pelanggar melaksanakan perbuatan jahat yang direncanakannya. c. Teori Gabungan

Teori gabungan yang menitikberatkan keadilan mutlak yang diwujudkan dalam pembalasan, tetapi yang berguna bagi masyarakat. Dasar tiap-tiap pidana ialah penderitaan yang sesuai dengan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terpidana.

Menurut teori gabungan tersebut sebagai penjabaran dan tujuan pidana itu sendiri yang pada masa sekarang banyak mewarnai pemikiran para pakar hukum pidana, seperti diantaranya Muladi menyebutnya sebagai tujuan pidana yang integratif yaitu:

1) Tujuan pidana adalah pencegahan (umum dan khusus). 2) Tujuan pidana adalah perlindungan masyarakat.

(34)

4) Tujuan pidana adalah pengimbalan / pengimbangan12

Ahli hukum asing Herbert L. Packer berpendapat pula bahwa teori gabungan sangat menjiwai tujuan pidana, seperti dinyatakan "In my view, there are two and only two ultimate purpose to be served by criminal punishment: the

served infliction if suffering on evildoers and prevention of crime",13jadi pidana mempunyai tujuan pokok, yaitu pengenaan dan penderitaan yang layak serta untuk mencegah terjadinya kejahatan.

Antara teori-teori pemidanaan dan tujuan pemidanaan secara substansial mengandung esensi yang hampir sama, sulit untuk dibedakan, karena falsafah pemidanaan yang tertuang dalam teori pemidanaan merupakan esensi dan tujuan akhir pemidanaan tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut Sue Titus Reid menyatakan dalam pendapatnya bahwa, "Merinci ada 4 (empat) hal filsafat pemidanaan yang digunakan untuk membenarkan atau menjustifikasi pemidanaan yaitu, rehabilitasi, inkapasitasi, pencegahan dan retribusi yang dalam pernyataanya mengatakan “four basic punishment philosophies are used to justify sentencing rehabilitation, incapacitation, deterrence and

retribution"14

3. Teori Hukum Pembuktian

Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian yang terpenting dalam proses Hukum

12 Muhari Agus Santosa, 2002, Paradigma Baru Hukum Pidana, Averroes Press, Malaysia, h.

8.

13 Herbert L. Packer, 1969, The Limits of Criminal Sunction, Stanford University Press, USA

Californian, h. 12.

(35)

Acara Pidana. Akan berakibat fatal jika seseorang yang didakwa melakukan tindak pidana namun setelah dibuktikan melalui proses pembuktian di persidangan, ia tidak terbukti bersalah. Untuk menghindari hal seperti itu Hukum Acara Pidana bertujuan untuk mencari dan menemukan atau paling tidak agar mendekati kebenaran materiil.

Sebagai dasar dan pemeriksaan sidang adalah surat dakwaan yang dibuat oleh Jaksa. Di depan sidang pengadilan inilah dakwaan akan dibuktikan kesalahan terdakwa, dan Hakim akan menentukan salah tidaknya terdakwa melalui proses pembuktian. Diakui memang oleh praktisi hukum Ansorie Sabuan bahwa pembuktian ini adalah merupakan masalah yang pelik (ingewikkeld) dan justru masalah pembuktian menempati titik sentral dalam Hukum Acara Pidana. Adapun tujuan dari pembuktian adalah untuk mencari dan mendapatkan kebenaran materiil, dan bukan untuk mencari kesalahan seseorang.15

Sejalan dengan maksud dan tujuan pembuktian untuk mencari dan menemukan kebenaran materiil tersebut adalah sama pula dengan salah satu tujuan dalam fungsi Hukum Acara Pidana seperti dinyatakan oleh Van Bemmelen yakni mencari dan menemukan kebenaran.16 Teori pembuktian dikenal adanya 4 (empat) sistem pembuktian sebagai berikut :

a. Teori pembuktian atas keyakinan belaka (Conviction in time).

b. Teori pembuktian atas aJasan yang logis (Conviction Raisonee) atau Teori Pembuktian Bebas.

15 Ansorie Sabuan, Syarifiiddin Fetanase, Ruben Ahmad, 1990, Hukum Acara Pidana,

Angkasa, Bandung, h. 185.

16 Andi Hamzah, 1985, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia Dari Retribusi Ke

(36)

c. Teori Pembuktian berdasarkan Undang-Undang secara positif (Positive Wettelijke Bewijstheorie).

d. Teori pembuktian berdasarkan Undang-Undang secara negatif (Negatief Wettelijke Bewfistheorie)17

Sejarah perkembangan hukum Acara Pidana menunjukkan bahwa adanya 4 (empat) sistem atau teori untuk membuktikan perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa, dan berperan bagi hakim untuk menilai alat bukti yang diajukan tersebut guna menentukan salah tidaknya terdakwa.

4. Teori Kewenangan

Guna menjastifikasi tindakan hukum yang dilakukan seseorang atau oleh kelembagaan karena jabatannya maka dilakukanlah melalui tindakan yang namanya "wewenang". Secara keilmuan hukum wewenang merupakan konsep inti dalam ranah hukum tata negara dan hukum administrasi negara. Wewenang yang dalam konsep keilmuan hukum telah pula diakui menjadi sebuah teori yang lazimnya disebut dengan "teori kewenangan".

Secara etimologi kewenangan berasal dari kata wenang, dengan variasi imbuhan yang menjadi wewenang, kewenangan, berwenang dan sebagainya. Wewenang berarti hak dan kekuasaan untuk bertindak. Kewenangan berarti hak dan kekuasaan yang dipunyai untuk melakukan sesuatu, berwenang artinya mempunyai/mendapat hak dan kekuasaan untuk melakukan sesuatu.18

Kalangan doktrinal memberikan pengertian sebagai perumusan makna wewenang tersebut. Para ilmuan hukum di bidangnya seperti :

17 Ansorie Sabuan, Syarifuddin Fetanase, Ruben Ahmad, Op. Cit, h. 186.

18 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1991, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai

(37)

1. H.D. Stout, wewenang adalah keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintah oleh subyek hukum publik dalam hubungan hukum publik.19

2. FPCL. Tonnaer, kewenangan pemerintah dalam kaitan ini dianggap sebagai kemampuan untuk melaksanakan hukum positif, dan dengan begitu, dapat diciptakan hubungan hukum antara pemerintah dengan warga negara. 3. Indoharto, wewenang sebagai suatu kemampuan yang diberikan oleh suatu

peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk menimbulkan akibat-akibat hukum yang sah.20

4. Bagir Manan, wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban.21

Kalau dicermati dari beberapa pendapat dan rumusan pengertian dan wewenang tersebut, maka mengandung unsur-unsur seperti:

1. Adanya tindakan hukum yang sifatnya hukum publik. 2. Dilakukan oleh subyek hukum publik.

3. Adanya kemampuan bertindak.

4. Untuk melakukan hubungan-hubungan hukum publik. 5. Diberikan oleh undang-undang.

6. Mengandung hak dan kewajiban. 7. Menumbuhkan akibat hukum yang sah.

19

Lukman Hakim, 2010, Kedudukan Hukum Komisi Negara di Indonesia, Program Pasca Unibra, Malang, h. 52.

20

Indoharto, 2004, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, h. 94.

21 Bagir Manan, 2007, (Dalam Sadjijono: Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum

(38)

Wewenang dengan unsur-unsur di atas, tidak secara otomatis diperoleh atau melekat setiap pejabat pemerintahan. Secara teori terdapat tiga cara untuk memperoleh wewenang pemerintah seperti yang dikemukakan oleh HD Van Wijk/Willem Konijnembelt melalui cara atributif, delegatie dan mandat. Yang masing-masing dimaknai sebagai berikut : Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan, delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya, mandat adalah terjadi ketika organ pemerintahan mengijinkan wewenangnya dijalankan oleh organ lain atas namanya.22

Kewenangan yang bersumber dari perundang-undangan (atribusi) secara jelas dinyatakan diberikan kepada organ pemerintahan. Dalam SPP salah satu sub sistem struktur yang tergolong ke dalam aparat penegak hukum termasuk pula organ pemerintahan dalam hukum publik adalah jaksa. Peran jaksa adalah sebagai pejabat hukum publik selaku penuntut umum guna mengemban misi due process of law.

Jaksa penuntut umum sebagai pejabat negara sekaligus wakil publik dan aparat penegak hukum (Pasal 1 ayat (1) Undang - Undang Nomor 15 Tahun 1961 jo Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1991 jo Undang - Undang Nomor 16 Tahun 2004, tentang Kejaksanaan RI) yang mengemban tugas penuntutan dan eksekusi. Landasan tugas dan wewenang bagi Jaksa Penuntut Umum

22 HD. Van Wijk/Willem Konijnenbelt, 2008, Dalam : Sadjijono; Memahami Beberapa Bab

(39)

tersebut mulai dari amanat konstitusi berupa Undang – Undang Dasar RI Tahun 1945, Undang – Undang Kekuasaan Kehakiman, dan Undang – Undang Kejaksaan RI.

(40)

1.7.2. Kerangka Berpikir

 Sering muncul tuduhan masyarakat dokter melakukan malpraktik medik

 Dalam UU di bidang praktek kedokteran dan UU kesehatan tidak terdapat istilah malpraktik

 Terdapat norma hukum yang kosong

 Perlu tanggung jawab bagi dokter secara hukum

 Perlu dokter dilindungi secara hukum porofesinya

MASALAH 1

Jenis – jenis penelitian, normatif, pendekatan :

perundang-1. Agar masyarakat tidak gampang menuduh doker telah melakukan malpraktik medik 2. Agar dalam penyelesaian kasus-kasus

(41)

1.8 Metode Penelitian 1.8.1 Jenis Penelitian

Dalam penelitian tesis ini tergolong ke dalam jenis penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan atau penelitian hukum doktrinal, karena penelitian hukum ini dilakukan dengan cara meneliti bahan kepustakaan

(library research) yang terdiri dari bahan hukum dan ditunjang oleh bahan hukum sekunder. Menurut Soerjono Soekanto, penelitian hukum normatif atau kepustakaan tersebut mencakup:

1. Penelitian terhadap asas-asas hukum 2. Penelitian terhadap sistematik hukum

3. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horisontal 4. Perbandingan hukum

5. Sejarah hukum23

Sehubungan dengan klasifikasi tersebut di atas maka penelitian hukum normatif ini menyangkut penelitian taraf sinkronisasi vertikal dan horisontal. Suatu peraturan perundang-undangan yang tergolong dalam bahan hukum primer dengan meneliti beberapa undang-undang.

1.8.2 Jenis Pendekatan

Sesuai dengan karakteristik dan sifat penelitian normatif (kepustakaan), maka dalam penelitian ini akan memakai beberapa metode pendekatan, diantaranya:

23 Soerjono Soekanto, 2001, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Cetakan

(42)

1. The Statute Approach pendekatan perundang-undangan yakni beberapa penelusuran terhadap beberapa peraturan penmdang-undangan dibidang kesehatan, seperti Undang – Undang Kesehatan, Undang – Undang Praktek Kedokteran dan Undang – Undang Rumah Sakit serta peraturan – peraturan terkait di bidang kesehatan.

2. The Analitical and Conseptual Approach (pendekatan analisis konsep hukum) yakni berupa menelusuri tentang keberadaan hubungan yang kontekstual antara peraturan perundang-undangan terkait antara yang satu dengan yang lainnya dalam hal menyangkut malpraktik

3. Pendekatan Kasus (The Cases Approach), menyangkut kasus-kasus malpraktik oleh dokter yang diputus oleh pengadilan.

4. Pendekatan Perbandingan, yakni meninjau keberadaan malpraktik di beberapa negara asing, dalam perannya dokter melayani kesehatan masyarakat (pasien).

1.8.3 Sumber Bahan Hukum

Dalam penelitian hukum yang bersifat normatif maka jenis bahan hukum yang lazim dipergunakan adalah :

1. Bahan-bahan Hukum Primer a. Norma Dasar Pancasila

b. Peraturan Dasar, Batang Tubuh Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945

(43)

2. Bahan-bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat kaitannya dengan bahan-bahan primer dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer adalah:

a. Rancangan Peraturan Perundang-undangan b. Hasil Karya Ilmiah Para Sarjana

c. Hasil-hasil Penelitian

3. Bahan-bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder meliputi bibliografi.24

Dalam hubungan dengan penelitian hukum normatif maka memakai sumber bahan hukum dari:

1. Bahan hukum primer, berupa bpberapa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan malpraktik medik oleh dokter sehubungan layanan kesehatan oleh dokter yakni :

a. Undang – Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan b. Undang – Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit c. Undang – Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran

2. Bahan hukum sekunder, yakni memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer (dalam hubungan dengan penelitian ini) seperti menyangkut penggunaan buku-buku hukum (text book), jurnal-jurnal hukum karya tulis atau pandangan para ahli hukum yang dimuat dalam media massa sepanjang menyangkut dan

24 Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group,

(44)

berhubungan dengan materi malpraktik medik oleh dokter terhadap pasiennya , kegunaan dari bahan hukum sekunder itu antara lain adalah sebagai berikut: a. Untuk dirujuk pertama-tama sebagai sumber materiil.

b. Untuk meningkatkan mutu interprestasi atas hukum positif yang berlaku. c. Untuk mengembangkan hukum sebagai suatu sistem normatif yang

komprehensif dan tuntas, baik dalam makananya yang formal maupun dalam maknanya yang materiil.25

3. Bahan hukum tersier, dalam hubungan penelitian ini menyangkut seperti kamus atau ensiklopedi yang memberi batasan pengertian secara etimologi/arti kata atau secara gramatikal untuk istilah-istilah tertentu terutama yang berkaitan dengan komponen variabel judul.

1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Dalam penelitian ini untuk pengumpulan bahan hukum memakai metode sistematis, yakni berupa pengumpulan bahan peraturan perundang-undangan yang pelayanan kesehatan bagi masyarakat (pasien) oleh dokter

1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum

Guna menganalisis bahan hukum yang telah terkumpul dalam penelitian menggunakan beberapa teknik analisis seperti :

1. Teknik deskripsi, berarti uraian apa adanya terhadap suatu kondisi (sistem peradilan pidana terpadu) atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non hukum.

2. Teknik argumentasi, tidak terlepas dari teknik evaluasi karena penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum

25 Burhan Ashshofa, 2001, Metode Penelitian Hukum, Cetakan Ketiga, PT. Rineka Cipta,

(45)

3. Teknik sistematisasi, adalah berupa upaya mencari kaitan rumusan suatu konsep hvikum atau proposisi hukum antara peraturan perundang-undangan yang sederajat maupun antara yang tidak sederajat.

4. Teknik evaluasi, adalah penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak setuju, adil atau tidak adil, benar atau salah, sah atau tidak sah oleh peneliti terhadap suatu pandangan, proposisi, pernyataan rumusan norma baik tertera dalam bahan hukum primer maupun dalam bahan hukum sekunder.

5. Teknik interpretasi, berupa penggunaan jenis-jenis penafsiran dalam ilmu hukum seperti penafsiran gramatika, historis, sistematis, teleologis, kontektual, evolutif dinamical, futuristik dan lain-lain.26

Demikian beberapa teknik analisis yang dikenal dan yang digunakan penulis dalam mengkaji bahan hukum yang diperoleh memakai teknik yang diperlukan sehubungan dengan masalah yang disajikan.

26 Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Tesis dan Penulisan Program Studi Magister (S2)

(46)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG MALPRAKTIK

2.1. Pemahaman Terhadap Istilah Malpraktik Medik

2.1.1 Pengertian Malpraktik Secara Etimologi dan Menurut Pendapat Ahli Terdapat dua istilah yang lazim dipakai dan didengar oleh etiap kalangan bagi mereka terutama berkecimpung atau bahkan sedang mengalami dan berurusan kondisi kesehatan fisik dan psikis seseorang. Dalam masyarakat ketika seseorang mengalami penderitaan kesehatan sebagai akibat dari pihak tenaga medis (kesehatan) seperti dokter, perawat ataupun petugas kesehatan lainnya

timbul kecenderungan menyebut dengan istilah telah terjadi “malpraktek”, atau

disambung dengan ikutan kata “medik”, menjadilah sebutan istilah “malpraktik

medik”.

Berbicara mengenai malpraktik atau malpractice berasal dari kata “mal

yang berarti “buruk” Sedangkan kata “practice” berarti suatu tindakan atau

praktik. Dengan demikian secara harfiah dapat diartikan sebagai suatu tindakan

medik “buruk”.1

Bagi negara Indonesia, istilah malpraktik yang sudah sangat dikenal oleh para tenaga kesehatan sebenarnya hanyalah merupakan suatu bentuk Medical Malpractice, yaitu Medical Negligence yang dalam bahasa Indonesia disebut sebagai Kelalaian Medik.2 Menurut Martin Basiang “Malpractice” diartikan

(47)

kealpaan profesi3. Menurut Azrul Azwar dalam makalahnya yang dibawakan pada sidang KONAS IV Perhimpunan Hukum Kesehatan Indonesia di Surabaya, 1996, dengan mengambil beberapa pendapat para pakar dikatakan bahwa malpraktik adalah :

1. Malpraktik adalah setiap kesalahan profesional yang diperbuat oleh dokter, oleh karena pada waktu melakukan pekerjan profesionalnya, tidak memeriksa, tidak menilai, tidak berbuat atau meninggalkan hal-hal yang diperiksa, dinilai, diperbuat atau dilakukan oleh dokter pada umumnya, di dalam situsai dan kondisi yang sama; atau

2. Malpraktik adalah setiap kesalahan yang di perbuat oleh dokter, oleh karena melakukan pekerjaan kedokteran di bawah standar yang sebenarnya secara rata-rata dan masuk akal, dapat dilakukan oleh setiap dokter dalam situasi atau tempat yang sama

3. Malpraktik adalah setiap kesalahan profesional yang diperbuat oleh seorang dokter, yang didalamnya termasuk kesalahan karena perbuatan-perbuatan yang tidak masuk akal serta kesalahan karena ketrampilan ataupun kesetiaan yang kurang dalam menyelenggarakan kewajiban dan ataupun kepercayaan profesional yang dimilikinya.4

Adanya istilah malpraktik secara etimologi seperti tersebut diatas, mengandung komponen unsur seperti : adanya tindakan, dilakukan oleh dokter, ada indikasi kesalahan, berakibat buruk, ada seseorang atau pihak yang merasa dirugikan, ada sebab dan akibat. Dari unsur – unsur tersebut akan berakibat timbulnya hubungan hukum diantara pihak-pihak. Ada pihak sebagai pelaku atau pembuat tindakan, sesuatu dalam hal ini pihak tenaga medis atau dokter. Sedangkan pihak kedua yakni seseorang yang memerlukan bantuan medis demi kesehatannya yakni pasien. Malpraktik tidak hanya dapat dilakukan oleh dokter namun juga oleh tenaga medis lainnya. Disebutkan pula medical malpractice cases are generally sought by patients who have been harmed or injured due to

(48)

poor medical treatment or mistaken diagnosis from a medical provider such as a

doctor, nurse, technician, hospital or medical worker.5 (Kasus malpraktik medis

umumnya dicari oleh pasien yang telah dirugikan atau terluka karena perawatan medis yang buruk atau diagnosis keliru dari penyedia medis seperti dokter, perawat, teknisi, rumah sakit atau pekerja medis).

Sulit untuk memahami apa yang dimaksud dengan malpraktek, bisa saja terjadi kesimpangsiuran pengertian antara malpraktek, pelanggaran kode etik atau pelanggaran hukum. Secara etimologis malpraktek berasal dari kata mal artinya salah, jadi malpraktek ini adalah salah melakukan prosedur yang berujung pada

kerugian pasien atau bahkan sampai fatal. Atau bisa juga melakukan tindak pidana seperti abortus provokatus.6 Malpraktek harus memenuhi unsur kecerobohan, kesem-bronoan, kekurang hati-hatian (Professional Misconduct) atau kekurangmampuan yang tidak pantas (Unreasonable' lack of skill) yang hanya dilakukan oleh pengemban profesi Dokter, Advokat, Notaris, dan lain-lain. Suatu perbuatan malpraktek hanya bisa dilakukan oleh seseorang-profesional yang mempunyai karakteristik tertentu.

Black Law ; dictionary sebagaimana dikutip oleh HM Soedjatmiko; merumuskan malpraktek sebagai: "any professional misconduct, unreasonable lack of skill or fidelity in professional or judiary duties, evil practice, or illegal or

immoral conduct...

5 Findlaw, 2016, First Steps in a Medical Malpractice Case, Available at

http://injury.findlaw.com/medical-malpractice/first-steps-in-a-medical-malpractice-case.html, accessed 7th July 2016.

6 Edi Setiadi, Pertanggungjawaban pidana Dalam Kasus Mal Praktek Dokter, Makalah

(49)

(perbuatan jahat dari seseorang ahli, kekurangan dalam keterampilan yang di bawah standar, atau tidak cermatnya seorang ahli dalam menjalankan kewajibannya secara hukum, praktek yang jelek atau illegal atau perbuatan yang tidak bermoral)7.

Ada beberapa pendapat dari kalangan para ahli atau doktrin yang memberikan batasan pengertian serta makna dari istilah malpraktik medik atau

medical malpractice seperti berikut :

1. Vironika ; malpraktek berasal dari kata "malpractice" yang pada hakekatnya adalah kesalahan dalam menjalankan profesi yang timbul sebagai akibat adanya kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan dokter. Dengan demikian

medical malpractice atau kesalahan dalam menjalankan profesi medik yang tidak sesuai dengan standar profesi medik dalam menjalankan profesinya8.

2. Hermien Hadiati Koeswadji ; malpractice secara harfiah berarti bad practice

atau praktek buruk yang berkaitan dengan praktek penerapan ilmu dan teknologi medik dalam menjalankan profesi medik yang mengandung ciri-ciri khusus. Karena malpraktek berkaitan dengan "how to practice the medical science and technology", yang sangat erat hubungannya dengan sarana kesehatan atau tempat melakukan praktek dan orang yang melaksanakan

7 HM. Soedjatmiko, 2001 Masalah Hukum Medik Dalam Malpraktek Yuridis, dalam

kumpulan makalah seminar tentang Etika dan Hukum Kedokteran RSUD dr. Syaiful Anwar Malang, h. 3

8 Vironika Komalasari,1998, Hukum dan Etika Dalam Praktek Dokter, Pustaka Sinar

(50)

praktek, maka Hermien lebih cenderung menggunakan istilah

"maltreatment"9.

3. Danny Wiradharma ; melihat dari sudut perikatan antara dokter dengan pasien, yaitu dokter tersebut melakukan praktek buruk10.

4. Ngesti Lestari ; mengartikan malpraktek sebagai pelaksanaan atau tindakan yang salah, dengan demikian arti malpraktek medik sebagai tindakan dari tenaga kesehatan yang salah dalam rangka pelaksanaan profesi di bidang kedokteran (profesional misconduct) baik di pandang dari sudut norma etika maupun norma hukum11.

5. John D Blum sebagaimana dikutip oleh Hermien Hadiati Koeswadji; memberikan rumusan tentang medical malpractice sebagai "a form of professional negligence in which measrable injury occurs to a plaintiff patient

as the direct result of an act or ommission by the defendant practitioner"

(malpraktek medik merupakan bentuk kelalaian profesi dalam bentuk luka atau cacat yang dapat diukur yang terjadinya pada pasien yang mengajukan gugatan sebagai akibat langsung dari tindakan dokter)12.

6. Anny Isfandyarie ; menyimpulkan sebagai kesalahan dokter karena tidak mempergunakan ilmu pengetahuan dan tingkat keterampilan sesuai

9 Hermien Hadiati Koeswadji, 1996, Hukum Kedokteran (Studi Tentang Hubungan

Hukum Dalam Mana Dokter Sebagai Salah Satu Pihak). Citra Aditya bakti, Bandung, h. 124

10 Danny Wiradharma, 1996, Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran, Bina Rupa

Aksara, Jakarta, 1996, h. 87

11 Ngesti Lestari, 2001, Masalah Malpraktek Etika Dalam Praktek Dokter (Jejaring

Biotia dan Humaniora), dalam kumpulan makalah seminar tentang Etika dan Hukum Kedokteran, RSUD dr. Syaiful Anwar Malang, h. 2, 114-115

(51)

dengan standar profesinya yang akhirnya mengakibatkan pasien terluka atau cacat badan bahkan meninggal dunia13.

7. Mr. L.D Vorstman mengutip pendapat Prof. Hector Treub dalam R Abdoel Djamal CS ; seorang dokter melakukan kesalahan profesi jika ia tidak melakukan pemeriksaan, tidak mendiagnose, tidak melakukan sesuatu atau membiarkan sesuatu yang oleh dokter yang baik pada umumnya dan dengan situasi kondisi yang sama, akan melakukan pemeriksaan dan diagnose serta melakukaan atau membiarkan sesuatu tersebut14.

8. Coughlin bekas presiden New York State Bar Association; merumuskan sebagai berikut:

Professional misconduct on the part of a professional person, such as a physician, engineer, lawyer, accountant, dentist, or veterinarian. Malpractice may be the result of ignorance, neglect, or lack of skill or fidelity in the performance of professional duties, intentional wrongdoing, or illegal or unethical practice.15

9. Soerjono Soekanto ; menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan medical malpractice adalah, segala sikap tindak yang menyebabkan terjadinya tanggung jawab. Sikap tindak tersebut dilakukan berdasarkan lingkup profesional pelayanan kesehatan16.

13 Anny Isfandyarie, Op Cit, h. 22

14 R Abdoel Djamal & Lenawati Tedjapermana, 1988, Tanggung Jawab Hukum

Seorang Dokter Dalam Menangani Pasien, CV Abardin, h. 119.

15 George Gordon Coughlin, 1982, Dictionary of Law, 1982, New York : Barnes &.

Note Books, termuat dalam Soerjono Soekanto, Loc Cit

(52)

10.Zulkifli Muchtar ; menyebutkan bahwa malpraktek profesi kedokteran adalah, setiap kesalahan yang diperbuat oleh dokter karena melakukan suatu pekerjaan di bawah standar yang sebenarnya secara rata-rata dan masuk akal17.

11.M. Yusuf Hanafiah ; Malpraktek Medis adalah, kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama18.

Setelah mencermati pengertian dan unsur – unsur pengertian malpraktik medik dari para ahli (doktrin) diatas, maka secara definitif tidak kita dapati pengertian malpraktek ini dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, demikian pula dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Akan tetapi makna atau pengertian malpraktek justru kita dapati dalam Pasal 11b dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1963 tentang Kesehatan yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tersebut.

Mengacu dari berbagai pendapat diatas maka dapat dikatakan bahwa, seorang dokter telah melakukan praktek yang buruk manakala dia karena dengan sengaja atau akibat kelalaian tidak memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan baik dalam kode etik kedokteran, standar profesi, maupun standar pelayanan medik, yang berakibat pasien mengalami kerugian.

17 Zulkifli Muchtar, Dokter Dalam Peadilan Dan Hukum Indonesia, Berita Ikatan

Dokter Indonesia, No. 1 3, Juli 1987

18 M. Yusuf Hanafiah & Amri Amir. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehtan, EGC.

Referensi

Dokumen terkait

Pasal 1 butir 12 Undang — undang nomor 29 tahun 2014 tentang Praktek Kedokteran yang menyatakan bahwa Organisasi Profesi adalah Ikatan Dokter Indonesia ( IDI ) untuk dokter.

Usage of lion parcel sangatlah murah, tarif pengiriman udara, anda dapat berangkat dari pusat kota bangkok melalui beberapa detik untuk mengurangi resiko yang telah sesuai..

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, ditemukan fakta bahwa dalam hubungan patron klien antara juragan bawang dan buruh wanita di pasar bawang

Dalam buku yang ditulis Julius Pour tertulis, bahwa pada tanggal 13 Februari 1967, Jenderal Nasution secara terbuka mencurigai Presiden Soekarno terlibat dalam

Sebagaimana telah diuraikan pada bahasan sebelumnya bahwa berdasarkan Pasal 50 huruf a dari Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang praktek kedokteran, apabila

Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana aturan-aturan hukum internasional tentang pemanasan global, bagaimana perangkat hukum Internasional mengatur tentang

Melihat ketentuan diatas, jelas bahwa anak angkat hanya dalam hal pemeliharaannya dan pendidikannya saja yang beralih dari orang tua kandung kepada orang tua

Dalam rangka pelaksanaan tugas sebagai Satuan Kerja Kepatuhan Terintegrasi tersebut, Divisi Risiko dan Kepatuhan berkoordinasi dengan satuan fungsi kepatuhan pada Entitas