• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.2.1. Sejarah

Pada tahun 1920, Kylin dari Swedia orang yang pertama kali menjelaskan mengenai kumpulan gangguan metabolik, yang melibatkan faktor-faktor risiko penyakit kardiovaskular, atherosclerotic cardiovascular

disease (ASCVD),hipertensi,hiperglikemia, dan gout. Pada tahun 1988,

Reaven membuat postulat beberapa faktor rIsiko seperti

dyslipidemia,hiperglikemia,dan hipertensi yang dinamakan sebagai

multiple risk factors terhadap CVD yang disebut dengan sindrom X. Pada tahun 1998, Reaven memperkenalkan lagi hipotesa bahwa resistensi insulin juga menjadi penyebab faktor-faktor resiko asal mula gangguan metabolik. Pada tahun 1989 Kaplan menamai kembali sindroma tersebut menjadi “ The Deadly Quartet” (kuartet yang mematikan) atau sindroma dismetabolik dan pada tahun 1992 kembali dinamai ulang menjadi Sindroma Resistensi Insulin. Pada tahun 1998 oleh World Health Organization diresmikan istilah “ Sindrom Metabolik” yang sekarang telah dikenal luas dan tetap menjadi deskripsi yang paling umum dari sekelompok kelainan metabolik ini.8,9,30

2.2.2. Definisi

Sindrom Metabolik (Syndrome X, insulin resistance syndrome) adalah kumpulan keadaan metabolisme yang tidak normal yang saling mempengaruhi dan memberi resiko tinggi dengan timbulnya penyakit

jantung dan pembuluh darah (CardioVascular Disease / CVD) dan Diabetes Mellitus. SM bukan merupakan suatu penyakit.6

Kriteria SM berkembang sejak WHO membuat definisi pada tahun 1998, mencerminkan pertumbuhan bukti klinis dan analisa dari beragam konferensi-konferensi konsensus dan organisasi profesional, diantaranya adalah:6,7,8,9,31

1. National Cholesterol Education Program Adult Treatment Panel III (NCEP:ATP III).

2. The European Group for the Study of Insulin Resistance Definition (EGIR).

3. American College of Endocrinology Criteria (ACE) 4. International Diabetes Federation Criteria (IDF).

5. American Heart Assiciation/National Heart,Lung and Blood Institute Criteria (AHA/NHLBI).

Tabel 2.1. Kriteria Diagnosa Sindrom Metabolik8

Komponen sindrom metabolik

WHO NCEP:ATPIII EGIR ACE AHA/NHLBI

Hipertensi TD≥140/90 mmHg TD≥130/85 mmHg atau sedang terapi antihipertensi TD≥140/90 mmHg atau sedang terapi antihiperten si TD≥130/85 mmHg atau sedang terapi antihipertensi TD≥130/85 mmHg atau sedang terapi antihipertensi Dislipidemi a TG≥150mg/dL HDL<35mg/dL (pria) HDL<39mg/dL (wanita) TG≥150mg/dL atau sedang terapi menurunkan TG HDL<40mg/dL (pria) HDL<50mg/dL (wanita) atau sedang terapi menaikkan HDL TG>190 mg/dL atau HDL<40 mg/dL TG≥150mg/dL atau sedang terapi menurunkan TG HDL<40mg/dL (pria) HDL<50mg/dL (wanita) atau sedang terapi menaikkan HDL TG≥150mg/dL atau sedang terapi menurunkan TG HDL<40mg/dL (pria) HDL<50mg/dL (wanita) atau sedang terapi menaikkan HDL

Obesitas IMT>30kg/m2 atau WHR>0,90 (pria) WHR>0,85 (wanita) WC>102cm(pria) WC>88cm (wanita) WC≥94cm (pria) WC≥80cm (wanita) ≥ 102 cm(≥ 40 in ) pada pria ≥ 88 cm(≥ 35 in) pada wanita Gangguan metabolism e glukosa DMT2 atau IGT KGDP≥110mg/dL atau sedang terapi hiperglikemia KGDP≥110 mg/dL KGDP 110-125mg/dL KGD2jamPP 140-200mg/dL KGDP≥100mg /dL atau dinyatakan DM sebelumnya Lain-lain Mikroalbuminuri atau Laju ekskresi albumin urin≥20μg/min atau ACR≥30mg/dL - Resisten Insulin atau hiperinsulin emia Kriteria Diagnosa DMT2 atau IGT ditambah 2 dari kriteria lain Dijumpai 3 dari komponen SM Resisten insulin diikuti dengan 2 atau lebih komponen SM Dijumpai minimal 3 dari komponen

Keterangan: TD: Tekanan Darah, HDL: High Density Lipoprotein, TG: Trigliserida, WC: Weist Circumference, DMT2: Diabetes Melitus Tipe 2, KGDP: Kadar Gula Darah Puasa, ACR: Albumin Creatinin Ratio

Tabel 2.2. Kriteria Diagnosa SM menurut IDF 20058

Komponen SM Cutt points kategori

Obesitas WC≥94cm (pria Eropa)

WC≥90cm (Pria Asia Selatan,Cina dan Jepang) WC≥80cm (wanita)

Trigliserida meningkat ≥ 150 mg/dl (1,7 mmol/l) atau dalam pengobatan untuk trigliserida

Kolesterol HDL rendah Pria < 40 mg/dl ; wanita < 50 mg/dl atau Dalam pengobatan untuk kolesterol HDL

Tekanan darah meningkat TDS ≥ 130 mmHg atau TDD ≥ 85 mmHg atau dalam pengobatan hipertensi

Kadar gula darah puasa meningkat ≥ 100 mg/dl atau dalam pengobatan untuk kadar gula darah

Diagnosa Obesitas ditambah 2 komponen lain

Keterangan: WC: Weist Circumference, HDL: High Density Lipoprotein, TDS: Tekanan Darah Sistol, TDD: Tekanan Darah Diastol

Kriteria yang dibuat WHO berdasar pada hipotesa Reaven dengan

syndrome x ditambah dengan obesitas dan mikroalbuminuria yang

belakangan ini sebagai faktor risiko penting terhadap CVD,terutama pada pasien DMT2 sebagaimana dihubungkan dengan resistensi insulin. Perhatian utama NCEP:ATP III adalah mengenal orang-orang yang berisiko tinggi terhadap CVD sabagai tambahan terhadap faktor resiko konvensional yang sudah ada saperti LDL-C, merokok dan riwayat keluarga. IDF lebih menyukai kriteria NCEP:ATP III karena sederhana dan bermakna secara klinis. Kriteria IDF hampir mirip dengan NCEP:ATPIII. Secara umum prevalensi SM lebih tinggi berdasar kriteria IDF karena perbedaan WC. AHA/NHLBI merevisi kriteria yang dibuat oleh NCEP:ATPIII. Sindrom ini terutama digunakan dalam praktek klinis untuk

memberi perhatian lebih dalam menetapkan risiko CVD dan DM dengan memberikan intervensi dini sehingga menurunkan risiko kematian CVD dan DM.6,8

2.2.3. Epidemiologi

Prevalensi SM sangat bervariasi dikarenakan banyak hal yang antara lain adalah ketidakseragaman kriteria yang digunakan, perbedaan ras atau etnis, jenis kelamin, dan umur. Peningkatan prevalensi obesitas secara langsung juga meningkatkan prevalensi SM.18 Prevalensi SM bervariasi di seluruh dunia yang sebagian menggambarkan umur dan etnis dari populasi yang diteliti dan kriteria penegakan diagnosa SM yang digunakan.6

Tercatat prevalensi tertinggi di dunia adalah penduduk asli Amerika, sekitar 60% pada wanita berusia 45-49 tahun dan 45% pada laki-laki berusia 45-49 tahun dengan memakai kriteria NCEP:ATP III. Anand dkk (2003) dalam penelitiannya ditemukan prevalensi SM dewasa dengan memakai NCEP:ATP III sebagai kriteria diagnosa SM di Asia Selatan adalah 25,9%.7

Di Amerika Serikat, SM lebih sedikit pada pria African-Amerika, lebih banyak pada wanita Mexican-Amerika. Berdasar data National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) III, prevalensi SM di Amerika Serikat adalah 34% pada pria dan 35% pada wanita. Di Prancis, SM pada usia 30-64 tahun <10% pada pria dan wanita, sedangkan pada

Di Indonesia sendiri telah dilakukan beberapa penelitian SM. Diantaranya, Soewondo dkk (2006) meneliti prevalensi SM dengan menggunakan NCEP:ATP III yang dimodifikasi dengan kriteria Asian sebagai kriteria SM di Jakarta. Diantara 1591 subjek yang diteliti 30,4% SM pada pria dan 25,4% pada wanita, prevalensi cenderung meningkat sesuai dengan kenaikan umur. Penelitian Soegondo (2004) menunjukkan prevalensi SM di Indonesia adalah 13,13% berdasarkan Survey Kesehatan Rumah Tangga. Dalam penelitiannya yang dilakukan di Depok (2001) dengan memakai NCEP:ATP III sebagai kategori SM didapat prevalensi SM sebesar 25,7% pada pria dan 25% pada wanita.Tjokroprawiro dkk (2005) dalam penelitiannya di Surabaya didapat prevalensi SM 34% dimana 17,64% pada wanita dan 82,35% pada pria dengan menggunakan NCEP-ATP III sebagai kriteria SM dan melakukan penyesuaian untuk kriteria Indeks Massa Tubuh (IMT) dan lingkar pinggang yang dipakai adalah berdasarkan IMT yang disesuaikan untuk orang Asia yaitu disebut obesitas jika IMT >25kg/m2 dan lingkar pinggang wanita >80cm atau pria >90cm.11,12,13

2.2.4. Etiologi Sindroma Metabolik

2.2.4.1.Resistensi Insulin

Definisi singkat resistensi insulin adalah keadaan dimana respon insulin berkurang dari normal. Hipotesa yang paling bisa diterima untuk menjelaskan patofisiologi SM adalah resistensi insulin. Awal resistensi

insulin ini adalah hiperinsulinemia postprandial, diikuti dengan hiperinsulinemia puasa dan akhirnya hiperglikemia.6,32

Kontributor dini yang utama terhadap berkembangnya resistensi insulin adalah asam-asam lemak yang beredar di sirkulasi dalam jumlah yang berlebih-lebih. Hipotesa Stress Oksidatif merupakan teori sepihak pada umur dan predisposisi SM. Dari penelitian-penelitian yang dilakukan didapat gangguan posporilasi oksidatif mitokondria dengan penumpukan trigliserida dan hubungan molekul-molekul lemak. Penumpukan lemak yang di otot ini dihubungkan dengan resistensi insulin.6,37

Mekanisme lain menyatakan ketika sel-sel yang dipenuhi dengan bahan bakar yang berlebih seperti karbohidrat atau lemak menyebabkan jaringan ini menjadi resisten terhadap insulin. Dimana di dalam sel-sel akan muncul proses metabolik bersifat kritikal seperti penumpukan Uridine

diphosphate (UDP), glukosamine yang ketika tersaturasi mengakibatkan

perubahan kompleks aktivitas enzyme dan merubah respon insulin jadi berhenti.32

2.2.4.2.Obesitas

Peningkatan angka kejadian SM salah satunya disebabkan oleh peningkatan populasi dan prevalensi obesitas. Obesitas dan SM memiliki keterkaitan yang erat dan merupakan suatu hubungan kausal. WHO mendefinisikan obesitas berdasar IMT (kg/m2), dinyatakan obesitas jika IMT=30,0-39,9. Definisi WHO ini memiliki batasan dimana morbiditas

obesitas berhubungan dengan jumlah jaringan lemak di visceral dan bukan berdasar berat badan. Penilaian persentase lemak tubuh lebih baik daripada IMT. Di Asia Selatan morbiditas obesitas lebih berhubungan dengan adipositas jaringan dibanding dengan IMT, sehingga WHO menyarankan cuts-off IMT diturunkan menjadi 25kg/m2 pada kelompok Asia Pasifik.32,33

Tabel 2.3. Klasifikasi BMI untuk dewasa Asia.33

Klasifikasi IMT (kg/m2) Resiko Co-morbidities

Underweight < 18,5 Rendah (Resiko tinggi masalah klinik lain)

Normal range 18,5-22,9 Sedang

Overwight At risk Obese I Obese II >23 23 – 24,9 25 – 29,9 ≥30 Rendah Sedang Berat Keterangan : IMT: Indeks Massa Tubuh

Jaringan adiposa merupakan organ aktif yang berkontribusi terhadap regulasi homeostatis energi tubuh. Terdiri dari White Adipose Tissue (WAT) dan Brown Adipose Tissue (BAT). Dikatakan aktif karena organ ini dialiri sistem syaraf dan vaskularisasi dan mengatur keseimbangan energi tubuh. WAT merupakan depot energi tinggi yang bisa menutupi kebutuhan energi selama selang sampai makan. BAT memiliki energi tinggi untuk menghasilkan panas yang difungsikan oleh UCP1 (Uncoupling Protein1).34

Sejumlah faktor baik genetik maupun lingkungan mempengaruhi perkembangan obesitas, antara lain tingginya konsumsi makanan luar rumah, tingginya porsi makanan, kebiasaan minum soft drink , kebiasaan mengkonsumsi makanan restoran, kebiasaan menonton TV, penggunaan komputer, berkurangnya aktivitas fisik baik di sekolah maupun tempat kerja.3

Dalam populasi umum, obesitas merupakan penyebab utama kenaikan penyakit Kardiovaskular(Garrison dkk,1996). Obesitas juga menjadi penyebab utama DMT2 dan morbiditas lain, dan diduga obesitas memberi dampak penyakit Kardiovaskular di populasi umum kira-kira sama dengan penyebab merokok dan kenaikan LDL-C.32

Manifestasi klinis obesitas dengan penyakit Kardiovaskular antara lain penyakit aterosklerotik koroner, kardiomiopati dan gagal jantung, arritmia dan kematian tiba-tiba, penyakit tromboemboli vena, dan stroke.8,38

Obesitas juga jadi penyebab resistensi insulin. Kerja insulin sebagai hormon antilipolitik gagal sehingga terjadi penumpukan Non Esterify Fatty

Acid (NEFA) di sirkulasi dan terjadi penumpukan lemak di hati dan

mengganggu metabolisme VLDL. Kerja enzyme Lipoprotein Lipase (LPL) sabagai clearance trigliserida dan juga transfer interpartikel apolipoprotein A-1 dan kolesterol menurun pada obesitas, yang berkontribusi secara langsung pembentukan aterogenik.6,40

2.2.4.3.Intoleransi Glukosa Terganggu

Gangguan kerja insulin menimbulkan kegagalan penekanan produksi glukosa oleh hati dan ginjal dan menurunkan uptake glukosa dan metabolisme di dalam jaringan yang sensitif dengan insulin, misalnya otot dan jaringan adiposa. Untuk mengkompensasi gangguan kerja insulin, sekresi dan atau clearance insulin harus dimodifikasi untuk menahan

euglycemia. Akhirnya mekanisme kompensasi gagal, biasanya karena

gangguan sekresi insulin, sehingga kegagalan glukosa puasa atau intoleransi glukosa terganggu jatuh ke DM.6,39

2.2.4.4.Hipertensi

Hubungan antara resistensi insulin dengan hipertensi ditetapkan dengan baik. Pada keadaan fisiologi normal, insulin adalah vasodilator yang mereabsorbsi natrium di ginjal. Pada obesitas, efek vasodilator insulin ini hilang tetapi efek reabsorbsi natrium menetap. Efek insulin untuk meningkatkan aktivitas sistem syaraf simpatis juga menetap. Di endothelium terjadi ketidakseimbangan produksi NO dan sekresi endothelin-1, sehingga terjadi penurunan aliran darah.6,40

Aspek lain termasuk hiperinsulinemia yang diprovokasi oleh hiperglikemia menyebabkan peningkatan aktivitas sistem syaraf simpatis dan aktivasi Hypothalamo-Pituitary Adrenal Axis (HPAA) yang berkontribusi dengan hipertensi.32

2.2.4.5.Adiponektin

Adiponektin adalah sitokin antiinflamasi yang dihasilkan adiposit. Adiponektin meningkatkan sensitivitas insulin dan menghambat proses inflamasi. Di hati, adiponektin menghambat ekspresi enzyme glukoneogen dan laju produksi glukosa. Di otot, adiponektin meningkatkan transport glukosa dan meningkatkan oksidasi asam lemak. Adiponektin ini berkurang pada SM.6,36

2.2.4.6.Dislipidemia

Secara umum, peningkatan asam lemak bebas di hati dihubungkan dengan peningkatan produksi apoB yang berisi trigliserida yang kaya VLDL. Proses ini sangat kompleks, tetapi hipertrigliseridemia adalah penanda yang tepat dari keadaan resistensi insulin.6

Gangguan yang lain berupa penurunan HDL-C, merupakan konsekuensi dari perubahan komposisi dan metabolisme HDL. Hipertrigliseridemia dan penurunan HDL-C adalah konsekuensi dari penurunan ester kolesterol dari core lipoprotein dalam penggabungannya dengan protein pemindah ester kolesterol melalui perubahan dalam trigliserida membuat partikel kecil dan padat.6,41

2.2.4.7. Sitokin-sitokin proinflamasi

Peningkatan sitokin-sitokin proinflamasi seperti IL-1,IL-6, IL-18, resistin, TNF-α, dan CRP merupakan gambaran produksi yang berlebihan

dari massa jaringan adiposa. Subjek dengan obesitas sebenarnya berada dalam keadaan proinflamasi, hal ini ditandai dengan adanya peningkatan kadar high sensitivity C- reactive protein (CRP) serum. Peningkatan hs-CRP secara tidak langsung mencerminkan tingginya kadar sitokin dalam serum.6,9

2.2.5. Patofisiologi Sindrom Metabolik

Asam lemak bebas (FFA) dilepas dalam jumlah yang banyak dari massa jaringan lemak yang berkembang. Di dalam hati,asam lemak bebas yang meninggi diproduksi dari glukosa dan trigliserida dan sekresi dari VLDL. Hubungan abnormalitas lipid atau lipoprotein termasuk penurunan kolesterol HDL dan peningkatan densitas LDL. Asam lemak bebas juga menurunkan sensitifitas insulin dalam otot melalui penghambatan

insulin-mediated glucose uptake. Hubungan gangguan ini termasuk penurunan

pembentukan glukosa menjadi glikogen dan peningkatan akumulasi lipid dalam trigliserida. Peningkatan glukosa,asam lemak bebas,sekresi insulin di sirkulasi membuat suatu keadaan hiperinsulinemia. Hiperinsulinemia mungkin menyebabkan peningkatan reabsorbsi natrium dan meningkatkan aktifitas sistem saraf simpatis yang berkontribusi ke hipertensi karena peningkatan kadar asam lemak bebas di sirkulasi.6

Status proinflamatori adalah superimposed dan merupakan kontribusi resistensi insulin yang sebagai produk dari asam lemak bebas yang berlebih. Peningkatan sekresi interleukin-6 (IL-6) dan Tumor

Necroting Factor α (TNF-α) yang dihasilkan adiposit dan monosit turunan makrophag menghasilkan keadaan resistensi insulin yang berlebih dan lipolisis simpanan trigliserida jaringan lemak menjadi asam lemak bebas di sirkulasi. IL-6 dan sitokin-sitokin yang lain juga meningkatkan produksi glukosa dan VLDL di hati dan resistensi insulin di otot. Sitokin dan asam lemak bebas juga meningkatkan produksi fibrinogen dari hati dan

Plasminogen Activator Inhibitor 1 (PAI-1) dari sel adiposa membuat suatu keadaan prothrombotic state. Kadar sitokin yang lebih tinggi juga merangsang hati untuk mengeluarkan CRP.6,9,30

2.2.6. Inflamasi, hs-CRP, Sindrom Metabolik dan Penyakit Kardiovaskular

Hotamisligil dkk yang pertama kali menjelaskan hubungan antara inflamasi dan obesitas dan menjadi fundasi pertama konsep ini. Mereka mendukung hubungan kuat antara obesitas dan proses inflamasi, seperti mereka tunjukkan bahwa jaringan adiposa mengekspresikan mediator-mediator inflamasi ( TNF-α, IL-6, CRP, MIF/Migration Inhibitor Factor ). Mereka juga menunjukkan bahwa mekanisme inflamasi berperan pada resistensi insulin dan ahli patologi juga menghubungkannya dengan peningkatan risiko kardiovaskular. Insulin berefek sebagai antiinflamatori di endotel dan sel-sel mononuklear dengan melalui kenaikan kadar I-κB, sehingga kadar sitokin-sitokin proinflamasi (TNF-α,IL-6, adhesion

molecule, intercellular adhesion molecule dan kemokin seperti CRP)

berkurang. Efek inilah yang dihambat resistensi insulin dan sitokin-sitokin

Menurut Khreiss dkk, CRP berbentuk pentamer mengalami dissosiasi menjadi monomer sebelum dapat merangsang terjadinya inflamasi.46

Gambar 2.2. Perubahan bentuk CRP sebagai proatherosklerotik46

C-reactive protein yang ada dalam sirkulasi berbentuk sebagai disc shaped pentamer dan mengalami dissosiasi (terurai) melalui terpaparnya terhadap lemak bioaktif membran sel dari platelet-platelet yang diaktifkan dan sel-sel yang nekrosis dan apoptosis. Sebagai hasilnya yaitu mCRP (monomer CRP) kemudian memberi efek proinflamasi seperti digambarkan dibawah ini.47

Gambar 2.3. Peran CRP pada inflamasi vaskular47

Protein fase akut CRP mendatangkan efek proatherogenik dan proinflamatori secara langsung dan bekerja sebagai mediator langsung pada gangguan fungsi endothel. CRP pada kadar yang bisa diterima umum sebagai prediktor terjadinya risiko penyakit kardiovaskular secara langsung menurunkan produksi NO sabagai relaksan di sel endotelial melalui sintesa endothelial NO (eNOS). Dengan berkurangnya kadar NO, CRP menghambat angiogenesis dan merangsang apoptosis sel endothel. CRP juga mengawali pelepasan endothelium-derived contracting factor

endothelin-1 (ET-1) dan IL-6 dari sel-sel endotel, menginduksi

upregulation adhesion molecule seperti InterCellular Adhesion Molecule (ICAM-1) dan Vascular Cell Adhesion Molecule (VCAM) dan E-selectin.

CRP juga merangsang pelepasan MCP-1 yang memfasilitasi transmigrasi leukosit. Bukti juga menunjukkan bahwa CRP juga meningkatkan upregulasi NF-κB yang memfasilitasi transkripsi sejumlah gen proatherosklerotik. Dalam proses atherogenik, CRP secara langsung menaikkan uptake LDL alami ke dalam makrofag.9,42,43,47

Gambar 2.3. Proses pembentukan sel foam pada aterosklerosis49

Low Density Lipoprotein (LDL) dapat lewat masuk dan keluar dari Intima, tetapi ketika dijumpai jumlahnya berlebih, cenderung terperangkap di dalam matriks melalui ikatan dengan Proteoglycan. Pada saat jumlah antioksidan terbatas, lemak-lemak dan protein LDL adalah subjek oksidasi melalui turunan produk-produk oksidatif dari sisa sel-sel dalam dinding pembuluh darah, protein LDL sebagai subjek juga mengalami proses glikasi. Sehingga terjadi kenaikan Minimally Modified – LDL (MM-LDL) dimana akan mengalami oksidasi lanjut menjadi Oxidized-LDL.49

Masuknya sel-sel Monosit dan Limfosit T sebagai respon inflamasi terhadap Modified-LDL adalah tahap awal pembentukan lesi aterosklerosis. Adhesion Molecules Spesific seperti Von Willebrand Factor, Selectin, dan VCAM-1, ditampilkan di permukaan sel-sel endotel pembuluh darah yang diaktifkan Mediated Leukocyte Adhesion. Sel-sel mononukleus masuk secara langsung ke dinding arteri melalui

Chemoattractant Chemokine seperti Monocyte Chemoattractant Protein-1

(MCP-1). Partikel-partikel LDL yang terperangkap di intima cenderung mengalami oksidasi yang progresif, membuat mereka dapat dikenal oleh reseptor-reseptor scavenger makrofag sehingga Modified-LDL menjadi target-target internalisasi oleh sel-sel ini.49

Pada pengambilan ekstensive Modified LDL melalui reseptor-reseptor scavenger (CD36 dan SR-A), makrofag akhirnya masuk ke dalam sel foam. Proses differensiasi ini kemungkinn dipercepat oleh MCSF (Macrophage Colony Stimulating Factor), Lipopolisakarida (LPS) melalui rseptor CD14 dalam hubungannya dengan Toll-Like Receptor 4 (TLR-4) oleh HSP-60 (Heat Shock Protein) melalui CD14, dan oleh Platelet Activity

Factor (PAF) dan sitokin-sitokin yang di lepas dari makrofag secara

autokrin.49

Peroxisome Proliferator-Activated Receptor-γ (PPAR-γ) diaktifkan oleh LDL, penting untuk upregulasi CD36 dan downregulation pelepasan sitokin-sitokin. Dalam proses pembentukan sel foam, sitokin-sitokin

sel endotel. Mobilisasi sel Limfosit T dan interferon-γ (IFN-γ) aktivasinya mensekresikan sitokin-sitokin dimana peran utama makrofag yang membuat mereka lebih mudah kena dengan TLR. Sel Limfosit T juga mengekspresikan ligand CD40 dalam makrofag. Chemoattractant yang dilepas dari LDL, makrofag, dan sel-sel foam (MCP-1) mempercepat pengambilan monosit lebih banyak lagi ke tunika intima.49

Pada Januari 2003 The Centers for Disease Control and Prevention

(CDC) dan AHA mempublikasikan petunjuk awal untuk mengesahkan pemakaian hs-CRP sebagai tambahan screening faktor risiko tradisional penyakit Kardiovaskular.43

Ridker PM dkk dalam penelitiannya tahun 2003 menyimpulkan bahwa pengukuran CRP merupakan tambahan klinis yang penting untuk memberikan informasi prognostik SM.16

Dalam penelitian Framingham Offspring oleh Ruter MK dkk

menyimpulkan bahwa proses inflamasi yang diukur dengan memakai CRP berhubungan kuat dengan semua komponen SM baik pada pria maupun wanita. Dan keduanya merupakan faktor resiko terhadap CVD. Keduanya juga bisa digunakan sebagai prediktor risiko CVD.44

Nilai cut-off points yang direkomendasikan oleh CDC/AHA terhadap risiko penyakit CVD adalah44,50:

Risiko rendah jika hs-CRP < 1,0 mg/L. Risiko sedang jika hs-CRP 1,0-3,0 mg/L Risiko tinggi jika hs-CRP > 3,0 mg/L

2.3. Kerangka Konsep

Hipertensi

TG↑ Obesitas

HDL-C↓

Gangguan Metabolisme Glukosa

Sindrom Metabolik Peradangan yang bersifat perlahan-lahan dan menahun Atherosclerosis Penyakit Jantung dan Pembuluh

hs-CRP

Inhibitor : gangguan fungsi hati, mengkonsumsi obat statin, colchitin

Enhancer : Infeksi, artritis, merokok aktif

Hati

IL-1 IL-6 TNα

BAB 3

Dokumen terkait