• Tidak ada hasil yang ditemukan

EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN TERKAIT

Persoalan mengenai benda, situs, atau kawasan cagar budaya di Indonesia sudah menjadi persoalan nasional mengingat keberadaan fungsi dan manfaatnya yang begitu besar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Terkait dengan hal ini, beberapa regulasi perundang-undangan disusun guna melindungi dan melestarikan Cagar Budaya di Indonesia. Di antara regulasi perundang-undangan tersebut antara lain:

1. Undang-Undang Dasar 1945

Persoalan kebudayaan, disebutkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 32 ayat (1) yang menyatakan: “Negara memajukan

kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan

menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan

mengembangkan nilai-nilai budayanya.”

Tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia adalah bangsa yang sangat kaya budaya, baik budaya yang bersifat tangible (berwujud) maupun intangible (tidak berwujud). Budaya yang berwujud merupakan hasil dari cipta karya manusia berupa benda-benda ataupun bangunan yang mempunyai bentuk dan fungsi tertentu. Benda inilah yang kemudian disebut dengan cagar budaya. Sedangkan budaya yang tidak berwujud dapat berupa nilai-nilai, tradisi, cerita, bahasa, adat istiadat dan lain sebagainya. Kekayaan akan kedua jenis budaya ini membentang dari wilayah barat Indonesia (Aceh) hingga bagian paling timur (Papua).

Baik budaya yang berwujud maupun tidak berwujud dalam kondisi tertentu seringkali terusik bahkan terancam keberadaanya karena faktor usia, kondisi alam dan cuaca, bahkan karena ulah manusia. Karenanya, pasal 32 ayat (1) UUD 1945 hadir dalam konteks melindungi dan melestarikan kedua jenis budaya tersebut.

Dalam pasal 28 ayat (1) juga disebutkan: “ Identitas budaya dan

hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan

zaman dan peradaban.” Pasal ini jelas menegaskan bahwa budaya sebagai identitas suatu kelompok masyarakat harus dihormati dan dijunjung tinggi. Penghormatan yang dilakukan tentu dengan tetap mengedepankan semangat kekinian dan nilai-nilai peradaban yang ada.

2. Undang-Undang Nomor 9 tahun 1990 tentang Kepariwisataan

Meskipun tidak secara khusus mengatur mengenai cagar budaya, Undang-Undang ini memiliki pasal yang berkaitan dengan cagar budaya, yaitu pasal 4 ayat (1) yang menyatakan:

a. Objek dan daya Tarik wisata ciptaan Tuhan yang Maha Esa yang berwujud keadaan alam serta flora dan fauna.

b. Objek dan daya Tarik wisata hasil karya manusia yang berwujud museum, peninggalan purbakala, peninggalan sejarah, seni budaya, wisata agro, wisata tirta, wisata buru, wisata petualangan alam, taman rekreasi, dan tempat hiburan.

Pada tanggal 6 Januari 2009 lahir UU Kepariwisataan yang baru, yaitu UU No. 10 Tahun 2009. Dalam konteks UU kepariwisataan ini Cagar budaya diposisikan sebagai elemen penting dalam kepariwisataan. Bahkan, salah satu pertimbangan penetapan UU kepariwisataan tersebut antara lain dikarenakan peninggalan sejarah dan purbakala merupakan sumber daya dan modal yang besar bagi usaha pengembangan dan peningkatan kepariwisataan serta dalam rangka memperkaya kebudayaan nasional dan memantapkan pembinaannya dalam rangka memperkukuh jati diri bangsa.

3. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya

Undang-Undang nomor 5 tahun 1992 adalah peraturan perundang-undangan pertama yang secara spesifik mengatur mengenai cagar budaya. Hal ini nampak misalnya dalam pasal:

a. Pasal 13:

1) Setiap orang yang memilik atau menguasai benda cagar budaya wajib melindungi dan memeliharanya

2) Perlindungan dan pemeliharaan benda cagar budaya

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan dengan memperhatikan nilai sejarah dan keaslian bentuk serta pengamanannya.

b. Pasal 15:

1) Setiap orang dilarang merusak benda cagar budaya dan situs serta lingkungannya.

2) Tanpa isu dari pemerintah setiap orang dilarang:

a) Membawa benda cagar budaya ke luar wilayah Republik Indonesia.

b) Memindahkan benda cagar budaya dari daerah satu ke daerah lainnya.

c) Mengambil atau memindahkan benda cagar budaya baik sebagian maupun seluruhnya, kecuali dalam keadaan darurat.

d) Mengubah bentuk dan/atau warna serta memugar benda cagar budaya

f) Memperdagangkan atau memperjualbelikan atau memperniagakan benda cagar budaya.

3) Pelaksanaan ketentuan dan perijinan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah

c. pasal 17

1) Setiap kegiatan yang berkaitan dengan penetapan suatu lokasi sebagai situs disertai dengan pemberian ganti rugi kepada pemilik tanah yang bersangkutan.

2) Pelaksanaan pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Berdasarkan ketiga pasal di atas, jelas sekali bahwa pemerintah memberikan perhatian serius terhadap eksistensi dan kelestarian cagar budaya. Perhatian tersebut diwujudkan dalam upaya inventarisasi, pernghargaan bagi yang meletarikan, dan perlindungan terhadap cagar budaya.

4. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya

Undang-Undang ini adalah perubahan atas Undang-Undang nomor 5 tahun 1992. Point penting dalam aturan yang diubah adalah adanya optimalisasi peran Pemerintah Daerah dalam melindungi dan melestarikan cagar budaya, dimana sebelumnya hanya menjadi kewenangan dan tanggungjawab pemerintah pusat. Dalam UU nomor 11

tahun 2010 ditegaskan bahwa “pemerintah daerah diberi kewenangan

untuk menjaga dan melestarikan cagar budaya dan masyarakat juga

diwajibkan berpartisipasi di dalam pelestarian cagar budaya.”

Kepemilikan terhadap cagar budaya secara perseorangan juga diakui oleh pemerintah. Tanggung jawab pemerintah daerah terhadap pelestarian cagar budaya juga menjadi semakin besar. Karena di dalam UUCB dijelaskan bahwa perlindungan cagar budaya di daerah merupakan tanggung jawab dari pemerintah daerah. Sedangkan pemerintah pusat hanya berperan sebagai koordinator, fasilitator, dan dinamisator dalam pelestarian cagar budaya.

Optimalisasi peran pemerintah daerah dalam melindungi dan melestarikan cagar budaya menjadi semakin kuat ketika lahir Undang-Undang nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Otda). UU Pemerintahan Daerah adalah dasar dari pembagian dan distribusi kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Pemerintah Daerah diberi kewenangan luas untuk mengatur rumah tangga pemerintahan daerahnya sesuai dengan karakteristik dan potensi daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Diharapkan dengan adanya otonomi daerah, kinerja pemerintah pusat tidak terlalu terbebani dengan kondisi daerah. Kemudian

pemerintah daerah dapat leluasa di dalam menyelenggarakan

dan aspirasi masyarakat, termasuk dalam hal perlindungan dan pelestarian cagar budaya. Pemerintah pusat, dalam hal ini, hanya menjadi fasilitator, koordinator, dan dinamisator atas kebijakan yang dilaksanakan pemerintah daerah dalam perlindungan dan pelestarian cagar budaya.

5. Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan

Lingkungan Hidup, perubahan atas UU No. 4 tahun 1992 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Undang-undang ini memang tidak secara khusus mengatur cagar budaya, namun jika dicermati dengan seksama, maka terdapat beberapa pasal yang memiliki relevansi dengan persoalan cagar budaya. Hal ini seperti yang disebutkan dalam pasal 1 angka (1) mengenai definisi dari

lingkungan hidup, yaitu “lingkungan hidup adalah kesatuan ruang

dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan peri kehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lain.

Pasal 9 ayat (3) juga secara khusus menyebut kata cagar budaya

di dalamnya. Pasal ini berbunyi, “pengelolaan lingkungan hidup wajib dilakukan secara terpadu dengan penataan ruang, perlindungan sumber daya alam non hayati, perlindungan sumberdaya buatan, konservasi

sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, cagar budaya,

keanekaragaman hayati dan perubahan iklim.”

Berdasarkan kedua pasal di atas dapat dipahami bahwa cagar budaya adalah bagian dari lingkungan hidup yang harus dikelola sedemikian rupa serta dilindungi dari segala hal yang dapat merusak atau menghilangkannya.

6. Undang-Undang Nomor 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung

Melihat fakta bahwa di antara benda cagar budaya adalah bangunan berupa gedung-gedung yang memiliki nilai sejarah, maka Undang-Undang tentang Bangunan Gedung juga menyinggung soal bangunan yang termasuk dalam cagar budaya. Hal ini untuk mengantisipasi dampak dari kemajuan teknologi, baik dalam bidang arsitektur maupun rekayasa bangunan, yang dalam beberapa hal dapat memunculkan disharmoni antara kemegahan dan nilai sosial budaya. Dengan adanya UU tentang Bangunan Gedung diharapkan setiap pembangunan gedung selalu mempertimbangkan nilai-nilai sosial budaya masyarakat setempat, karakteristik arsitektur, serta lingkungan yang ada. Selain itu setiap rencana pembangunan gedung tidak boleh menyebabkan kerusakan atau gangguan terhadap kawasan lindung (seperti hutan lindung, cagar alam, taman nasional, dan suaka marga satwa) yang ditetapkan menurut peraturan perundang-undangan serta kerusakan atau punahnya benda-benda dan bangunan gedung peninggalan sejarah yang bernilai tinggi.

Dalam pasal 5 ayat (1) UU Bangunan gedung disebutkan bahwa fungsi bangunan gedung meliputi fungsi hunian, keagamaan, usaha, sosial dan budaya, serta fungsi khusus. Kemudian dalam pasal 5 ayat (5) disebutkan bahwa bangunan gedung yang berfungsi sosial dan budaya sebagaimana dimaksud ayat (1) meliputi: bangunan gedung untuk pendidikan, kebudayaan, pelayanan kesehatan, laboratorium, dan pelayanan umum.

Adapun pasal yang secara jelas menyebutkan cagar budaya di dalamnya yaitu pasal 38 ayat (1 s/d 5);

1) Bangunan gedung dan lingkungannya yang ditetapkan sebagai cagar budaya sesuai dengan peraturan perundang-undangan harus dilindungi dan dilestarikan;

2) Penetapan bangunan gedung dan lingkungannya yang dilindungi dan dilestarikan sebagaimaa dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh pemerintah daerah dan/ atau pemerintah dengan memperhatikan ketentuan perundang-undangan;

3) Pelaksanaan perbaikan, pemugaran perlindungan serta

pemeliharaan atau bangunan gedung dan lingkungannya

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan sepanjang tidak mengubah nilai dan /atau cagar budaya yang dikandungnya;

4) Perbaikan, pemugaran, dan pemanfaatan bangunan gedung dan lingkungan cagar budaya yang dilakukan menyalahai ketentuan fungsi dan/ atau karakter cagar budaya, harus dikembalikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan;

5) Ketentuan mengenai perlindungan dan pelestarian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) serta teknis pelaksanaan perbaikan, pemugaran dan pemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3 dan 4) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

7. PP Nomor 10 tahun 1993 tentang Pelaksanaan UU nomor 5 tahun

1992 tentang Benda Cagar Budaya.

Untuk mempertegas dan memperjelas secara teknis-operasional UU nomor 5 tahun 1992 tentang benda cagar budaya, pemerintah menyusun Peraturan tentang Benda Cagar Budaya. Secara lebih detail Peraturan Pemerintah ini mengatur lebih lanjut mengenai penguasaan,

pemilikan, pendaftaran, pengalihan, penemuan, pencarian,

perlindungan, pemeliharaan, pemanfaatan, pembinaan, dan pengawasan serta hal-hal lain yang berkenaan dengan upaya pelestarian benda cagar budaya.

Perlindungan dan peeliharaan benda cagar budaya diatur secara detail dalam pasal 22, 23, 29, 30, 32, 34, dan 35 PP nomor 10 tahun 1993 sebagai berikut:

“Setiap orang yang memiliki atau yang menguasai benda cagar budaya wajib melakukan perlindungan dan pemeliharaan benda

cagar budaya yang dimiliki atau yang dikuasainya.”

b. Pasal 23

1) Perlindungan dan pemeliharaan benda cagar budaya dilakukan dengan cara penyelamatan, pengamanan, perawatan, dan pemugaran.

2) Untuk kepentingan perlindungan benda cagar budaya dan situs diatur batas-batas situs dan lingkungannya sesuai dengan kebutuhan.

3) Batas-batas situs dan lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan system pemintakatan yang terdiri dari mintakat inti, penyangga, dan pengembangan.

c. Pasal 29

1) Untuk kepentingan perlindungan dan pemeliharaan benda cagar budaya, setiap orang dilarang merusak benda cagar budaya, situs, dan lingkungannya.

2) Termasuk kegiatan yang dapat merusak benda cagar budaya dan situsnya adalah kegiatan:

a) mengurangi, menambah, mengubah, memindahkan, dan

mencemari benda cagar budaya; dan

b) Mengurangi, mencemari, dan / atau mengubah fungsi situs. d. Pasal 30

1) Setiap orang hanya dapat membawa benda cagar budaya keluar wilayah RI atas dasar ijin yang diberikan oleh menteri.

2) Ijin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya diberikan untuk kepentingan:

a) Penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi;

b) Sosial atau budaya;

c) Pemanfaatan lain yang diatur oleh menteri.

3) Permohonan ijin untuk membawa benda cagar budaya keluar wilayah RI untuk kepentingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib disampaikan dengan disertai data benda cagar budaya, kerangka acuan, dan system pengamanannya.

4) Ketentuan lebih lanjut mengenai perijinan sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur oleh menteri.

e. Pasal 32

1) Setiap orang hanya dapat memindahkan benda cagar budaya tertentu dengan tidak menghilangkan atau mengurangi nilai

sejarah dan fungsi pemanfaatannya dari daerah satu ke daerah lainnya atas dasar ijin yang diberikan oleh menteri.

2) Tatacara perijinan sebagaimaa dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh menteri.

f. Pasal 34

1) Setiap orang tanpa ijin menteri dilarang:

a) Mengambil atau memeindahkan sebagian benda cagar

budaya ataupun seluruhnya;

b) Mengubah bentuk dan/atau warna benda cagar budaya; c) Memisahkan sebagian benda cagar budaya dari kesatuannya. 2) Larangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan

huruf c tidak berlaku apabila perbuatan tersebut dilakukan untuk penyelamatan dalam keadaan darurat.

3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tatacara perijinan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh menteri.

g. Pasal 35

1) Setiap orang yang memperdagangkan, memperjualbelikan, atau memperniagakan benda cagar budaya tertentu sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 (2) huruf b sebagai usaha dagang, wajib memiliki ijin usaha perdaganngan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2) Ijin usaha perdagangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan setelah mendapat rekomendasi dari menteri.

3) Setiap orang yang melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib melaporkan secara berkala benda cagar

budaya yang diperjualbelikan kepada instansi yang

bertenggungjawab atas pendaftaran benda cagar budaya setempat.

8. Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 1995 tentang Pemeliharaan

dan Pemanfaatan Benda Cagar Budaya di Museum

Guna kepentingan pelestarian dan pemanfaatan, beberapa benda cagar budaya terkadang disimpan di museum. Hal ini untuk mempermudah dan menjamin perawatan, pengamanan, penyimpanan, dan pemanfaatan benda cagar budaya tersebut yang diselaraskan dengan upaya pengembangan kebudayaan nasional.

Kehadiran PP nomor 19 tahun 1995 adalah keberlanjutan amanat PP pasal 40 PP nomor 10 tahun 1993 yang menyebutkan bahwa

“pengaturan mengenai permuseuman yang meliputi penyimpanan,

perawatan, pengamanan, dan pemanfaatan koleksi museum yang

Karenanya, PP nomor 19 tahun 1995 disusun untuk memberi

penjabaran, kejelasan, dan pedoman mengenai penyimpanan,

perawatan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan penyimpanan, perawatan, pengamanan dan pemanfaatan penyimpanan, perawatan, dan pengawasan di museum. Selain mengatur hal-hal tersebut di atas, PP ini mengatur pula persyaratan museum dalam rangka penyimpanan, perawatan, pengamanan dan pemanfaatan benda cagar budaya di museum. Persyaratan tersebut meliputi standar bangunan museum, sarana dan pra sarana, tenaga, dan sumber dana yang tetap.

Mengingat museum tidak hanya merupakan tempat penyimpanan, perawatan, pengamanan dan pemanfaatan benda cagar budaya guna menunjang upaya perlindungan dan pelestarian kekayaan budaya bangsa, tetapi juga bukan benda cagar budaya, maka pengaturan mengenai benda cagar budaya di museum dapat pula diperlakukan kepada benda cagar budaya di museum sepanjang jenis dan unsur bahan yang dikandungnya dapat dipersamakan dengan benda cagar budaya.

9. Peraturan Pemerintah Nomor 67 tahun 1996 tentang

Penyelenggaraan Kepariwisataan.

PP ini sebenarnya adalah penjabaran dan sekaligus penjelasan dari UU nomor 9 tahun 1990 tentang kepariwisataan. Karenanya,

penjelasan mengenai cagar budaya berada dalam konteks

kepariwisataan. Pasal 3 PP nomor 67 tahun 1996 menyebutkan bahwa penyelenggaraan kepariwisataan dilakukan deengan memperhatikan:

a) Kemampuan untuk mendorong dan meningkatan perkembangan

kehidupan ekonomi dan sosial budaya.

b) Nilai-nilai agama, adat istiadat, serta pandangan dan nilai-nilai yang hidup di masyarakat.

c) Kelestarian budaya dan mutu lingkungan hidup; dan d) Kelangsungan usaha pariwisata.

Adapun pasal pasal 51 menyebutkan bahwa pengusaha objek dan daya Tarik wisata budaya yang berupa benda cagar budaya atau peninggalan sejarah lainnya, diselenggarakan dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

10.Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 52 Tahun

2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Pelestarian Cagar Budaya dan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 28 tahun 2013 tentang Rincian Tugas Balai Pelestarian Cagar Budaya

Berdasarkan Peraturan Menteri ini, Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) disebut sebagai lembaga yang kedudukannya berada di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang berfungsi

untuk melakukan upaya pelestarian dan konservasi terhadap cagar budaya. BPCB memiliki kantor perwakilan yang berada di setiap Provinsi di Indonesia.

Adapun mengenai rincian tugas BPCP diatur di dalam Pasal 1 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2013 tentang Rincian Tugas Balai Pelestarian Cagar Budaya, yaitu:

a. melaksanakan penyusunan program kerja Balai;

b. melaksanakan kajian perlindungan, pengembangan, dan

pemanfaatan, cagar budaya;

c. melaksanakan perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan,

cagar budaya;

d. melaksanakan zonasi cagar budaya;

e. melaksanakan pemeliharaan dan pemugaran cagar budaya;

f. melaksanakan penyelamatan dan pengamanan cagar budaya;

g. melaksanakan adaptasi dan revitalisasi pengembangan cagar budaya;

h. melaksanakan pelayanan perijinan dan pengendalian pemanfaatan cagar budaya;

i. melaksanakan dokumentasi dan publikasi cagar budaya; j. melaksanakan sosialisasi cagar budaya;

k. melaksanakan kemitraan di bidang pelestarian cagar budaya;

l. melaksanakan pemberian bantuan teknis pelaksanaan pelestarian cagar budaya;

m. melaksanakan pemberian bantuan teknis pengembangan tenaga teknis di bidang pelestarian cagar budaya;

n. melaksanakan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan program

pelestarian cagar budaya;

o. melaksanakan penyajian koleksi cagar budaya;

p. melaksanakan urusan perencanaan, keuangan, kepegawaian,

ketatalaksanaan, persuratan dan kearsipan, barang milik Negara dan kerumahtanggaan Balai;

q. melaksanakan pengelolaan perpustakaan Balai;

r. melaksanakan penyimpanan dan pemeliharaan dokumen Balai; dan

s. melaksanakan penyusunan laporan Balai.

Dalam melaksanakan tugasnya, BPCB melakukan koordinasi dan kerjasama dengan berbagai pihak yang sama memiliki kepedulian dan selalu berupaya untuk melakukan pelestarian cagar budaya. Pihak-pihak lain tersebut di antaranya: pemerintah daerah, masyarakat,

pemilik cagar budaya, organisasi masyarakat pemerhati cagar budaya, dan lain sebagainya.

11.Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 10 Tahun 2013

tentang Pelestarian dan Pengelolaan Cagar Budaya Provinsi Jawa Tengah

Perlindungan cagar budaya di Provinsi Jawa Tengah diatur di dalam Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 10 Tahun 2013 tentang Pelestarian dan Pengelolaan Cagar Budaya Provinsi Jawa Tengah. Provinsi Jawa Tengah merupakan daerah yang memiliki banyak cagar budaya sehingga keberadaannya perlu dilindungi, dikelola, dan dilestarikan mengingat begitu pentingnya keberadaan cagar budaya sebagai salah satu faktor penguat jati diri bangsa.

Perubahan paradigma tentang pelestarian cagar budaya

merupakan konsekuensi logis atas disahkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, yaitu bahwa pemerintah daerah memiliki tanggung jawab yang besar di dalam pelestarian dan pengelolaan cagar budaya di daerah. Sehingga Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Tengah menerbitkan peraturan daerah provinsi untuk memberikan perlindungan hukum terhadap cagar budaya di Jawa Tengah sesuai dengan kewenangan yang diamanatkan oleh undang-undang tersebut. Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2013 juga mengandung ketentuan pidana bagi pihak yang melakukan tindak

pidana terhadap cagar budaya seperti pencurian, perusakan,

pemindahan, dan penjualan cagar budaya tanpa izin pemerintah daerah. Berdasarkan beberapa peraturan perundang-undangan di atas, nampak bahwa persoalan cagar budaya adalah persoalan bangsa yang menuntut kerjasama dari seluruh warga bangsa untuk bersama-sama menjaga dan melestarikannya. Keberadaan Raperda Cagar Budaya di Kabupaten Cilacap adalah dalam rangka menggali, menata, melindungi, dan melestarikan benda-benda cagar budaya yang ada di Kabupaten Cilacap. Selain sebagai amanat perundang-undangan, ini adalah bagian dari ikhtiar bersama masyarakat Cilacap dalam upaya memperteguh jatidirinya melalui pelestarian cagar budaya.

--BAB IV

Dokumen terkait