Evaluasi sering dipandang sebagai bagian akhir dalam suatu prosees kebijakan. Umumnya ketika berbicara tentang evaluasi pikiran kita tertuju pada kebijakan yang telah diimplementasikan. Padahal sebenarnya evaluasi juga membahas persoalan perencanaan, isi, implementasi dan efek atau dampak kebijakan. Menurut Lester dan Stewart dalam Agustino (2006:140-141) evaluasi ditujukan untuk melihat sebagian-sebagian kegagalan suatu kebijakan dan untuk mengetahui apakah kebijakan yang telah dirumuskan dan dilaksanakan dapat menghasilkan dampak yang diinginkan. Agustino (2006:55) dalam bukunya yang berjudul Politik dan Kebijakan Publik menyatakan bahwa
“Evaluasi kebijakan adalah rangkaian aktivitas fungsional yang berusaha untuk membuat penilaian melalui pendapat mengenai manfaat atau pengaruh dari kebijakan, program dan proyek yang tengah dan/atau telah dilaksanakan”
Evaluasi menurut Abidin (2012:165) mencakup 3 pengertian
1. Evaluasi awal, proses perumusan kebijakan sampai saat sebelum diimplmenetasikan
2. Evaluasi dalam proses implementasi/monitoring
3. Evaluasi akhir yang dilakukan setelah proses implementasi kebijakan
Evaluasi awal diperlukan karena setelah rumusan draft kebijakan dibuat/disetujui masih dirasa perlu untuk melakukan proses sosialisasi guna memperoleh tanggapan awal dari masyarakat. Bersamaan dengan implementasi, ada kegiatan penilaian yang disebut dengan monitoring. Monitoring tidak boleh sampai mengganggu aktivitas kebijakan, malah diperlukan karena dengan monitoring setiap ketidakcocokan dan kekeliruan yang terjadi sebagai alibat dari kekurangan informasi pada saat formulasi kebijakan atau karena adanya
perubahan-perubahan yang tak terduga dipalangan diharapkan segera dapat diperbaiki dan disesuaikan, kelemahan yang diidentifikasi melalui monitoring adalah kesalahan pelaksana dari manusia karena asumsi yang dipakai disini adalah rencana suatu kebijakan telah dirumuskan dengan sempurna. Monitoring tidak bertujuan untuk mengubah kebijakan, tetapi hanya mengadakan penyesuaian
Monitoring ditujukan untuk mengetahui bagaimana implementasi sebuah kebijakan sesuai dengan target yang direncanakan. Monitoring berakhir saat target output tercapai. Penilaiannya ddasarkan pada efisiensi dan ketepatan dalam pemanfaatan keseluruhan faktor pendukung yang ada dalam proses impementasi
Evaluasi akhir diperlukan untuk mengidentifikasikan berbagai kelemahan secara menyeluruh dari suatu kebijakan, baik yang berasal dari kelemahan strategi kebijakan sendiri, maupun karena kelemahan dalam implementasi. Tujuan dari evaluasi akhir ini adalah untuk membangun dan menyempurnakan kebijakan, sehingga fokusnya tidak hanya pada suatu tahap dalam proses kebijakan, tetapi juga pada keseluruhan proses. Oleh karena itu, objek yang diidentifikasikan bukan hanya pada kegagalan, melainkan juga pada keberhasilan. Kegagalan menjadi sasaran untuk diperbaiki, sedangkan keberhasilan menjadi contoh untuk dikembangkan.
Dunn dalam Abidin (2012:160) berpendapat tentang perbedaan monitoring dengan evaluasi dalam proses implementasi. Dunn mengemukakan bahwa monitoring ditujukan untuk menjawab pertanyaan tentang apa yang terjadi dalam proses implementasi, bagaimana terjadi dan mengapa, sementara itu, evaluasi akhir menjawab tentang perubahan-perubahan apa yang telah terjadi. Perbedaan
monitoring dengan evaluasi akhir juga terdapat pada informasiyang dihasilkan. Monitoring menurut Dunn menghasilkan informasi yang bersifat empiris, berdasarkan fakta-fakta yang ada, sedangkan evaluasi akhir menghasilkan informasi yang bersifat penilaian dalam memenuhi kebutuhan, kesempatan, dan/atau memecahkan permasalahan. Dunn, menunjuk empat aspek dalam evaluasi kebijakan, antara lain:
1. Value artinya evaluasi lebih memusatkan diri pada nilai atau kepatutan dalam pencapaian hasil dari sutau kebijakan
2. Evaluasi memberi tekanan yang sama antara fakta dan nilai. Dilain pihak, keberhasilan suatu kebijakan tidak hanya
3. Orientasi evaluasi tidak hanya pada nilai, tapi juga pada nilai masa lampau.
4. Evaluasi mempunyai dua posisi, yaitu sebagai tujuan, dan sekaligus sebagai alat.
Berbeda dengan Dunn, Hogwood melihat evaluasi dalam hubungan dengan perubahan masyarakat yang diharapkan dapat terjadi sebagai dampak dari suatu kebijakan. Evaluasi diperlukan karena suatu kebijakan tidak boleh merasa cukup hanya pada selesainya proses implementasi hanya karena sebelum evaluasi akhir ada manfaat yang dihasilkan. Hal ini disebabkan karena dampak yang dihasilkan tidak selalu sesuai dengan rencana awal, terdapat ketidakpastian lingkungan dan kemampuan administrasi dalam mengimplementasikan suatu kebijakan. Dalam praktik, selalu ada keterbatasan untuk memahami suatu isu
secara utuh. Juga perlu disadari bahwa kebijakan bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi perubahan pada masyarakat.
Hasil langsung berupa target yang dihasilkan oleh suatu kebijakan disebut dengan output, sedangkan dampak yang diharapkan terjadi pada masyarakat disebut dengan impact/outcome. Sekalipun evaluasi mencakup keseluruhan proses kebijakan, fokusnya adalah pada penilaian terhadap dampak atau kinerja dari suatu kebijakan. Dye mengklasfikasikan dampak suatu kebijakan ke dalam lima komponen
1. Dampak terhadap kelompok sasaran/lingkungan 2. Dampak terhadap kelompok lain
3. Dampak terhadap masa depan 4. Dampak terhadap biaya langsung 5. Dampak terhadap biaya tidak langsung
Menurut Dunn (2003:679) evaluasi ditujukan untuk menilai sejauh mana keefektifan kebijakan publik guna dipertanggungjawabkan kepada konstituennya sejauh mana tujuan dicapai. Evaluasi diperlukan untuk melihat kesenjangan antara harapan dan kenyataan Menurut Jones dalam Soekarno (2003:173) mengemukakan bahwa:
“….. Evaluasi adalah kegiatan yang dapat menyumbangkan pengertian yang besar nilainya dan dapat pula membantu penyempurnaan pelaksanaan kebijakan serta perkembangannya. Evaluasi adalah kegiatan yang dipersiapkan ditujukan untuk menilai mutu dan keberhasilan program pemerintah yang terutama kali sekai terdiri dari kegiatan-kegiatan, pemilah-pemilah objek, cara pengukuran dan metode analisa”
Evaluasi dapat dibedakan kedalam bentuk-bentuk analisis sebagai berikut:
1. Evaluasi dimaksudkan untuk pembuatan keputusan dan untuk menganalisis problem seperti yang didefinsikan oleh pembuat keputusan, bukan oleh periset.
2. Evaluasi adalah penilaian karakter, riset bertujuan untuk mengevaluasi tujuan program.
Adapun menurut Lester dan Stewart dalam Agustino (2006:185) mengungkapkan, evaluasi ditujukan untuk melihat sebagian-sebagian kegagalan suatu kebijakan dan dilaksanakan dapat menghasilkan dampak yang ia inginkan. Yang artinya bila dapat disimpulkan bahwa dengan adanya evaluasi dapat terlihat segala kesenjangan yang dihadapi dalam suatu proses kebijakan.
Selain itu definisi mengenai evaluasi kebijakan publik seperti yang diungkapkan oleh Islamy (1997) bahwa
“…. Evaluasi kebijakan adalah merupakan suatu aktivitas untuk melakukan penilaian terhadap akibat-akibat atau dampak kebijakan dari berbagai program-program pemerintah. Pada studi evaluasi kebijakan telah dibedakan antara akibat-akbiat dan konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan dengan dilaksanakannya suatu kebijakan. Adapaun yang dimaksud dengan evaluasi kebijakan adalah dari apa-apa yang telah dihasilkan dengan adanya program pross perumusan kebijakan pemerintah”
Sedangkan Anderson dalam Soekarno (2003:149) mengungkapkan bahwa:
“…. Evaluasi kebijakan adalah lebih dari sekedar proses teknik atau analitis, melainkan juga merupakan proses politis dan selanjutnya evaluasi kebijakan itu menunjukkam bahwa meskipun evaluasi itu dimaksudkan dengan tujuan yang tidak memihak dan objektif akan menjadi politis atau kegiatan politik dengan terjadinya pengaruh terhadap alokasi sumber-sumber daya dalam masyarakat”
Berbeda dengan monitoring yang dilakukan hanya pada pertengahan proses implementasi, evaluasi akhir dari suatu kebijakan dilakukan secara menyeluruh dengan menggunakan teknik penilaian surut. Artinya evaluasi dimulai dari ujung, pada hasil akhir suatu kebijakan, menuju ke output, implementasi dan proses perumusan kebijakan pada tahap awal. Dilihat dari proses, penilaian surut ini, ada dua kelompok besar dalam evaluasi. Pertama, evaluasi dengan membandingkan hasil yang telah dicapai dengan tujuan yang ditetapkan. Kedua, evaluasi terhadap berbagai kegiatan dalam proses kebijakan. Anggapan yang melandasi terhadap dua kelompok besar evaluasi itu, antara lain (1) terdapat kemungkinan penyimpangan, (2) kekurangan/ketidakccocokan antara tujuan yang ditetapkan dengan hasil yang dicapai, (3) terdapat kemungkinan keberhasilan yang lebih baik dari yang biasa, dan diharapkan dapat menjadi contoh untuk kebijakan serupa dimasa yang akan datang.
Menurut Abidin (2012:171) Langka pertama dalam mengevaluasi kelompok-kelompok pertama adalah penilaian terhadap tujuan kebijakan yang telah ditetapkan. Hal ini dimaksudkan untuk menilai apakah tujuan tersebut cukup baik diukur berdasarkan berbagai kriteria kelayakan. Beberapa kriteria yang dapat dipakai untuk menimbang ketepatan tujuan itu, antara lain kepatutan, rasional, time horizon, dan penerimaan.
Ada beberapa pertanyaan yang muncul dari masing-masing kriteria tersebut. Pertama, apakah tujuan yang ditetapkan dalam kebijakan itu patut/pantas? Pertanyaan ini berhubungan dengan nilai/persepsi masyarakat. Pertanyaan kedua, berhubungan dengan kemampuan pencapaian tujuan. Tujuan
yang ditetapkan hendaklah tujuan yang rasional, tidak berlebihan, dan tidak pula terlalu rendah dilihat dari sumebr daya yang tersedia, dan kondisi internal dan eksternal. Rasionalitas dari tujuan suatu kebijakan biasanya bersifat relatif. Suatu tujuan yang rasional dan dapat dicapai oleh suatu organisasi, dalam lingkungan tertentu dcengan persediaan sumber daya yang ada, belum tentu rasional menurut organisasi lain. Kesalahan dalam menetapkan tujuan kebijakan pembangunan di negara-negara berkembang tanpa mempertimbangkan kondisi lingkungan dan sumber daya sering kali menjadi penyebab kegagalan pembangunan.
Pertanyaan tentang jangka waktu pencapaian dari tujuan suatu kebijakan. Penetapan jangka waktu pencapaian yang terlalu singkat dapat menimbulkan kesalahan dalam evaluasi. Nilai keberhasikan yang dievaluasi tidak menunjukkan gambaran yang sebenarnya dari kemampuan organisasi. Dalam pembangunan nasional, kesalahan yang demikian terjadi karena tujuan jangka pendek ditetapkan menjadi tujuan jangka panjang.
Kriteria terakhir berhubungan dengan demokrasi. Pertanyaannya, sejauh mana tujuan kebijakan dapat diterima oleh rakyat atau pihak-pihak terkait dari masyarakat? Pertanyaan ini didasarkan atas pertimbangan bahwa rakyat adalah pemilik negara. baik-buruknya tujuan suatu kebijakan tergantung pada sejauhmana tujuan itu diterima atau ditolak oleh rakyat. Disamping itu, dalam masyarakat terdapat berbagai pihak yang terkait dengan kebijakan pemerintah. Setiap pihak mempunyai kepentingan dan kemampuan untuk memperngaruhi berhasil tidaknya suatu kebijakan. Divestasi BCA, BII PT Semen Gresik merupakan contoh-contoh yang jelas dari kebijakan publik yang kurang
memperhatikan pihak terkait dalam masyarakat. Tanpa melibatkan pihak-pihak terkait dalam proses perumusan kebijakan, hampir tidak mungkin dapat dirumuskan tujuan kebijakan mewakili aspirasi dan kepentingan mereka. Proses perumusan kebijakan divestasi itu memperlihatkan secara jelas, contoh dari kebijakan publik yang hanya mewakili kepentingan sepihak (pemerintah pusat) untuk jangka waktu sesaat (satu tahun), yakni untuk menutupi defisit APBN tahun 2012 (bisnis indonesia 9 april 2002 hlm 5 dalam Abidin, 2012:172)
Bersamaan dengan penilaian tujuan dan masalah tersebut, perlu juga dilakukan penilaian terhadap kriteria yang dipakai itu sendiri. Sekurang-kurangnya ada dua persoalan yang berkaitan dengan itu, yakni menyangkut relevansi kriteria dengan tujuan kebijakan dan menyangkut bobot dari masing-masing kriteria. Hal ini berkaitan dengan kepentingan masing-masing-masing-masing pihak yang terkait dengan isu yang dievaluasi.
Karena evaluasi dimaksudkan untuk penyempurnaan atau pembangunan kebijakan, temuan hasil evaluasi digunakan untuk bahan anasilis penyempurnaan kebijakan berikutnya, sehingga dalam proses membandingkan tujuan kebijakan dengan hasil yang dicapai, perlu juga dievaluasi ketepatan masalah. Evaluasi terhadap masalah menjadi penting karena evaluasi tujuan saja tanpa disertai penilaian terhadap masalah yang menjadi sebab terjadinya penyimpangan atau kelemahan dan ketidakberhasilan itu, tidak dapat memberi informasi yang lengkap untuk menyusun strategi penyempurnaan dan pembangunan kebijakan.
Langkah kedua yang dilakukan dalam evaluasi kelompok besar pertama adalah membandingkan hasil yang dicapai dengan tujuan yang ditetapkan. Untuk
itu, terlebih dahulu harus dilakukan penyamaan standar penilaian. Artinya, kedua faktor tersebut harus diukur dengan ukuran, nilai tukar, tahun dasar, dan kondisi yang sama. Tujuan yang ditetapkan dalam ukuran panjang tidak boleh dibandingkan dengan hasil yang dicapai dengan ukuran berat.
Dalam tahap langkah evaluasi besar kedua, penilaian dilakukan pada ketepatan substansi kegiatan. Persoalannya berhubungan dengan masing-masing kegiatan dalam setiap tahap kebijakan. Kegiatan pada masing-masing tahap yang terkait dengan berbagai fungsi manajemen perlu dievaluasi, namun, sejalan dengan maksud untuk melakukan evaluasi kinerja kebijakan, evaluasi tidak boleh sama sekali berpretensi untuk mencari kambing hitam atau kambing putih dari sebuah penilaian, tetapi untuk meningkatkan kinerja pada waktu yang akan datang. Oleh sebab itu, seperti yang disebutkan oleh Dunn, hakikat dari evaluasi adalah “jawaban dari apa yang telah terjadi”, dengan maksud untuk mengembangkan kebijakan dalam rangka pengingkatan kinerja pada masa yang akan datang.
Dalam menghasilkan informasi mengenai kinerja dari kebijakan tersebut, para analis menggunakan tipe kriteria yang berbeda dalam mengevaluasi hasil kebijakan. Adapun kriteria evaluasi sebagai berikut:
Tabel 2.1
Kriteria Evaluasi menurut Dunn
Tipe kriteria Pertanyaan
Efektivitas Apakah hasil yang diinginkan telah dicapai?
Efisiensi Seberapa banyak usaha diperlukan untuk mencapai hasil yang diinginkan?
Kecukuan Seberapa jauh pencapaian hasil yang diinginkan memecahkan masalah?
Perataan Apakah biaya dan manfaat didistribusikan dengan merata kepada kelompok-kelompok yang berbeda?
Responsivitas Apakah hasil kebijakan memeuaskan kebutuhan, preferensi, atau nilai kelompok-kelompok tertentu?
Ketepatan Apakah hasil (tujuan) yang diinginkan benar-benar berguna atau bernilai?
Sumber: William N. Dunn tahun 2003 Penjabaran lebih jauh dari tabel di atas yaitu:
Efektivitas, berkenaan dengan apakah suatu alternatif mencapai hasil yang diharapkan, atau mencapai tujuan dari diadakannya tindakan. Efisiensi, berkenaan dengan jumlah usaha yang dihasilkan untuk menghasilkan tingkat efektivitas tertentu, kebijakan yang mencapai efektivitas tertinggi dengan biaya terkecil disebut efisien.
Kecukupan, berkenaan dengan seberapa jauh tingkat efektivitas memuaskan kebutuhan, nilai atau kesempatan yang menimbulkan adanya masalah. Kriteria kecukupan ini berkenaan dengan empat tipe masalah, yaitu: (1) Masalah tipe I, meliputi ongkos tetap dan ekektivitas yang berubah. Kebijakan yang paling memadai adalah yang dapat memaksimalkan pencapaian tujuan dengan biaya tetap yang sama. (2) Masalah tipe II, menyangkut ekfektivitas yang sama dengan biaya yang berubah. Kebijakan yang paling memadai adalah yang dapat meminimalkan biaya dalam mencapai tingkat efektivitas yan tetap. (3) Masalah
tipe III, menyangkut biaya yang berubah dan efektivitas yang berubah. Kebijakan yang paling memadai adalah yang memaksimalkan rasio efektivitas terhadap biaya (4) Masalah tipe IV, mengandung biaya sama juga efektivitas tetap. Alternatif yang dapat dilakukan ialah dengan tidak melakukan tindakan apapun. Peraturan atau kesamaan¸ maksudnya ialah sejauh mana kebijakan dapat didistribusikan secara adil baik akibatnya maupun usaha dari kebijakan tersebut. Seperti misalnya pelayanan publik biasanya dirancang dengan kriteria kesamaan. Responsivitas, berkenaan dengan seberapa jauh suatu kebijakan dapat memenuhi kebutuhan, preferensi atau nilai kelompok-kelompok masyarakat tertentu. Dan yang terakhir adalah Ketepatan,merujuk pada nilai atau harga diri tujuan program dan kepada kuatnya asumsi yang melandasi tujuan-tujuan tersebut.
Menurut Carol Weiss dalam Parsonss (2006:547), mengatakan bahwa evaluasi dapat dibedakan dari bentuk-bentuk analisis lainnya dari enam hal:
1. Evaluasi dimaksudkan untuk pembuatan keputusan, dan untuk menganalisis problem seperti yang didefinisikan oleh pembuat keputusan, bukan oleh pejabat.
2. Evaluasi adalah penilaian karakter.
3. Evaluasi adalah riset yang dilakukan dalam setting kebijakan, bukan dalam setting akademik.
4. Evaluasi seringkali melibatkan konflik antara periset dan praktisi. 5. Evaluasi biayanya tidak dipublikasikan.
6. Evaluasi mungkin melibatkan periset dalam persoalan kesetiaan kepada agen pemberi dana dan peningkatan perubahan sosial.
Menurut Dunn (2003) terdapat 3 fungsi utama evaluasi dalam analisi kebijakan, yaitu
1. Evaluasi memberikan informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan, yaitu seberapa jauh kebutuhan, nilai dan kesempatan telah dapat dicapai melalui tindakan publik. Dalam hal ini evaluasi
mengungkapkan seberapa jauh tujuan dan target yang telah ditetapkan tekah tercapai.
2. Evaluasi memberikan sumbangan pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari pemilihan tujuan dan target. Nilai tersebut dikritik mengenai kepantasan tujuan dan target yang telah ditetapkan dan keterkaitan dan kesesuaian dengan permasalahan yang dituju.
3. Evaluasi memberi sumbangan pada aplikasi metode-metode analisis kebijakan lainnya, termasuk perumusan masalah dan rekomendasi. Informasi yang dihasilkan dari proses evaluasi dapat dijadikan sebagai bahan masukan untuk merumuskan ulang masalah dan memberikan alternatif kebijakan baru maupun revisi kebijakan sebelumnya.
Sedangkan menurut Wibawa, dkk dalam Nugroho (2004:186-187), evaluasi kebijakan memiliki empat fungsi, yaitu:
1. Eksplanasi
Melalui evaluasi kebijakan dapat diperoleh realitas pelaksana program dan dapat dibuat suatu generalisasi tentang pola-pola hubungan antar berbagai dimensi realitas yang dialaminya. Dari evaluasi ini, evaluator dapat mengeidentifikasikan masalah, kondisi dan aktor yang mendukungkeberhasilan atau kegagalan kebijakan.
2. Kepatuhan
Melalui evaluasi dapat diketahui apakah tindakan yang dilakukan oleh para pelaku, aik birokrasi maupun pelaku lainnya, sesuai dengan standar dan prosedur yang ditetapkan oleh kebijakan.
3. Audit
Melalui evaluasi dapat diketahui, apakah 0 benar-benar sampai ketangan kelompok sasaran kebijakan, atau justru ada kebocoran atau penyimpangan.
4. Akunting
Dengan evaluasi dapat diketahui apa akbiat sosial ekonomi dari kebijakan tersebut.
Anderson dalam Winarno (2002:230), membagi evaluasi kebijakan menjadi tiga tipe evaluasi. Yaitu:
1. Tipe Pertama, evaluasi kebijakan dipahami sebagai kegiatan fungsional, maka evaluasi kebijakan dipandang sebagai kegiatan yang sama pentingnya dengan kebijakan itu sendiri.
2. Tipe kedua, merupakan tipe evaluasi yang memfokuskan diri kepada bekerjanya kebijakan atau program-program tertentu. Tipe evaluasi ini cenderung menghasilkan informasi yang sedikit mengenai dampak suatu program terhadap masyarakat.
3. Tipe ketiga, adalah tipe evaluasi kebijakan sistematis. Tipe ini melihat secara objektif program-program kebijakan yang dijalankan untuk mengukur dampaknya, dan sejauh mana tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dicapai.
Untuk dapat mengevaluasi kebijakan, menurut Pasolong (2010:60) diperlukan rincian apa yang perlu dievaluasi, pengukuran terhadap kemajuan yang diperoleh dengan mengumpulkan data, dan analisis terhadap data yang ada terutama berkaitan dengan output dan outcome yang diperoleh untuk kemudian dibandingkan dengan tujuan suatu program. Hubungan sebab akibat harus diteliti dengan cermat antara kegiatan program dengan output dan outcome yang nampak. Menurut Suchman dalam Winarno (2002:230), mengemukakan enam langkah dalam evaluasi kebijakan, yaitu:
1. Mengidentifikasi tujuan program yang akan dievaluasi 2. Analisis terhadap masalah
3. Deskripsi dan standarisasi kegiatan
4. Pengukuran terhadap tingkatan perubahan yang terjadi
5. Menentukan apakah perubahan yang diamati merupakan akibat dari kegiatan tersebut atau karena penyebab yang lain
6. Beberapa skema umum untuk penilaian untuk menentukan keberadaan suatu dampak
Dalam evaluasi sering kali terdapat masalah-masalah yang menyebabkan kurang efektifnya proses evaluasi tersebut. Masalah yang biasanya dihadapi dalam proses evaluasi kebijakan adalah kelemahan dalam penyusunan skema umum
penilaian keberhasilan, dalam merumuskan masalah, mengidentifikasikan tujuan, perbedaan tentang persepsi terhadap tujuan antara penilai dan yang dinilai, perbedaan dalam orientasi waktu dan sebagainya.
Menurut Anderson dalam Winarno (2002:230) terdapat enam masalah yang akan dihadapi dalam proses evaluasi kebijakan yaitu:
1. Ketidakpastian atas tujuan-tujuan kebijakan
Kejelasan tujuan kebijakan sangat penting sebagai acuan dalam pelaksanaan kebijakan yang telah ditetapkan. Ketidakjelasan tujuan biasanya berangkat dari proses penetapan kebijakan. Sebuah kebijakan seringkali melibatkan beberapa kelompok kepentingan di dalamnya, dimana masing-masing kelompok kepentingan memiliki nilai-nilai yang berbeda. Kondisi ini mendorong terjadinya ketidakjelasan tujuan karena harus merefleksikan banyak kepentingan yang terlibat di dalam perumusan kebijakan.
2. Kausalitas
Dalam kehidupan nyata seringkali kita menemukan perubahan terjadi tetapi tidak oleh tindakan atau kebijakan, melainkan dengan sendirinya. Apabila suatu tindakan di ambil, dan terjadi suatu perubahan di suatu masyarakat yang menjadi objek kebijakan, maka terjadi hubungan kausalitas. Namun sesuatu dapat timbul dengan atau tanpa tindakan kebijakan.
3. Dampak kebijakan yang menyebar
Seringkali kita mendengar istilah eksternalitas, yaitu suatu dampak yang ditimbulkan oleh suatu kebijakan pada keadaan kelompok-kelompok di luar kelompok-kelompok yang menjadi sasaran kebijakan.
4. Kesulitan-kesulitan dalam memperoleh data
Kekurangan data statistik atau informasi-informasi yang relevan dapat menghalangi para evaluator untuk melakukan evaluasi kebijakan. Untuk itu model-model ekonomi bisa digunakan untuk meramalkan dampak dari pengurangan pajak pada ekonmi dapat dilakukan, meskipun sulit diperoleh.
5. Resistensi pejabat
Jika evaluasi yang dilakukan menurut badan administrasi dan para pejabat program akan menjadi perhatian para pembuat keputusan, maka akan berpengaruh terhadap karir mereka. Akibatnya para pejabat pelaksana program akan memiliki kecenderungan untuk meremehkan proses evaluasi, menolak memberikan data dan tidak menyediakan dokumen yang lengkap.
6. Evaluasi mengurangi dampak
Suatu hasil valuasi tidak akan diiterima apabila tidak direncanakan dengan baik, data yang digunakan tidak memadai, atau tidak didukung dengan
data yang memadai. Hal inilah yang menyebabkan suatu evaluasi tidak mendapat perhatian yang semestinya bahkan diabaikan meskipun hasil evaluasi itu benar.
Evaluasi implementasi kebijakan dibagi menjadi tiga menurut timing implentasi, yaitu sebelum dilaksanakan, pada waktu dilaksanakan dan setelah dilaksanakan. Evaluasi pada saat pelaksanaan disebut evaluasi proses. Evaluasi setelah pelaksaan disebut evaluasi konsekuensi kebijakan atau evaluasi impak. Dunn (2003) mengembangkan tiga pendekatan evaluasi implementasi kebijakan, yaitu:
1. Evaluasi semu adalah evaluasi yang bertujuan untuk menghasilkan informasi yang solid mengenai hasil kebijakan
2. Evaluasi formal adalah evaluasi yang bertujuan utnuk menghasilkan informasi yang terpercaya dan valid mengenai hasil kebijakan secara formal diumumkan sebagai tujaun program kebijakan,
3. Evaluasi keputusan teoritis adalah evaluasi yang bertujuan menghasilkan informasi yang terpercaya dan valid mengenai hasil kebijakan yang secara eksplisit diinginkan oleh berbagai pelaku kebijakan.
Terdapat kriteria yang berbeda untuk mengevaluasi hasil kebijakan. Perbedaan antara kriteria yang di gunakan untuk evaluasi dan kriteria untuk