• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Evaluasi Lahan TPA Galuga dan Kawasan Sekitarnya

5.1.1 Evaluasi Lahan TPA Galuga dan Kawasan Sekitarnya Berdasarkan

Bahan induk banyak mempengaruhi sifat tanah dengan tingkat yang bervariasi. Secara umum, semakin muda tanah semakin besar pengaruh bahan induk. Pada tanah muda pengaruh bahan induk tampak jelas terhadap tekstur. Namun, hal ini tidak berlaku pada tanah-tanah yang sudah berkembang lanjut. Kriteria berdasarkan geologi/bahan induk dinilai penting dijadikan sebagai kriteria lahan untuk tempat pembuangan akhir sampah karena lahan tersebut relatif harus kedap air untuk mencegah terjadinya kontaminasi air bawah tanah. Kawasan TPA Galuga dan sekitarnya memiliki bahan induk tuf andesit. Bahan induk tuf andesit merupakan bahan induk yang berasal dari tuf volkan intermedier yang bersifat andesit. Tanah dengan bahan induk ini relatif memiliki struktur yang kuat dan tekstur yang cenderung halus.

Berdasarkan Widiatmaka et al. (2004) lahan dengan bahan induk tuf andesit dikelaskan pada lahan kelas S1 (sangat sesuai) untuk dijadikan sebagai TPA (Lampiran 12). Berdasarkan hal itu, lahan TPA Galuga dan kawasan sekitarnya dinilai sangat sesuai (S1), karena bahan induk tuf andesit cukup mampu menahan hasil dekomposisi sampah.

5.1.2 Evaluasi Lahan TPA Galuga dan Kawasan Sekitarnya Berdasarkan Topografi/Fisiografi

Kesesuaian topografi/fisiografi didasarkan pada kondisi fisik wilayah baik faktor ketinggian maupun kemiringan lereng. Topografi/fisiografi perlu diperhatikan dalam penentuan pembangunan suatu lokasi TPA. Bentuk wilayah akan mempengaruhi tingginya gunungan sampah atau timbunan sampah. Fisiografi datar sangat sesuai dijadikan sebagai lokasi TPA karena pertimbangan lingkungan dan aksesibilitas. Sebaliknya, jika topografi wilayah curam atau terjal maka akan rawan terjadinya longsor baik longsor dari gunungan sampah maupun longsor dari lahan. Lokasi TPA sebaiknya tidak berada pada daerah cekungan, karena wilayah dengan karakteristik topografi seperti ini apabila terjadinya

genangan dari air limbah sampah maka akan mudah menimbulkan pencemaran di lingkungan sekitar.

Kawasan TPA Galuga berada pada ketinggian 170-218 mdpl (Gambar 11) dengan tingkat kemiringan lereng <15% (Gambar 12). Artinya, kawasan TPA Galuga berada pada fisiografi agak miring/bergelombang. Analisis terhadap kondisi eksisting lahan dilakukan di 3 (tiga) titik pengamatan di sekitar TPA Galuga. Titik-titik tersebut dinilai cukup mewakili dari lokasi areal TPA Galuga secara keseluruhan. Titik tersebut yaitu T2IPS, T3IPS, dan T4IPS (Gambar 17).

Berdasarkan hasil pengamatan dan analisis peta ketinggian dan peta lereng Desa Galuga, titik-titik tersebut berada pada ketinggian 230-250 mdpl dengan tingkat kemiringan lereng 8-15%, dan >15 % (Tabel 12).

Tabel 12. Ketinggian dan Kemiringan Lereng Pada Tiga Titik Pengamatan Nama Koordinat Ketinggian

(mdpl)

Kemiringan

Lereng (%) Bentuk Wilayah

E S

T2IPS 106038'39,9'' 06034'02,2'' 233 8-15 Agak miring/

bergelombang

T3IPS 106038'28,6'' 06034'03,9'' 246 >15 Miring/berbukit

T4IPS 106038'30,7'' 06033'55,4'' 247 8-15 Agak miring/

Bergelombang

Pada tiga titik pengamatan, daerah sekitar TPA Galuga berada di wilayah topografi/fisiografi agak miring/bergelombang sampai miring/berbukit. Berdasarkan peta lereng Desa Galuga, areal buangan TPA Galuga berada pada wilayah dengan kemiringan lereng <15% (datar-bergelombang). Berdasarkan Widiatmaka et al. (2004), lahan dengan fisiografi datar sampai bergelombang dikelaskan pada lahan kelas S2 (cukup sesuai) untuk dijadikan sebagai TPA (Lampiran 13). Berdasarkan hal ini, dengan kriteria modifikasi TPA Galuga dan kawasan sekitarnya dikelaskan kepada kategori kelas S3 (sesuai marginal). Artinya, upaya atau alternatif lain yang baik dan terencana terkait manajemen pengelolaan sampah harus dilakukan apabila proses pengelolaan sampah di TPA ini terus akan berlangsung. Sebagai contoh pengelolaan lahan dengan cara mendatarkan bentuk wilayah yang bergelombang atau dengan cara mengoptimalkan sistem buangan air limbah karena hal ini akan dapat meminimalkan ataupun mencegah dampak terhadap pencemaran lingkungan sekitar.

5.1.3 Evaluasi Lahan TPA Galuga dan Kawasan Sekitarnya Berdasarkan Jenis Tanah

Menurut Peta Tanah Bogor (PPT, 1992), TPA Galuga berada pada kawasan dengan jenis tanah latosol cokelat kemerahan (Gambar 13). Berdasarkan Widiatmaka et al. (2004), lahan dengan jenis tanah latosol cokelat kemerahan dikelaskan pada kelas S3 (sesuai marginal) untuk dijadikan sebagai lokasi TPA (Lampiran 14). Namun, berdasarkan jenis tanah ini dilakukan dengan kriteria modifikasi, sehingga evaluasi lahan TPA Galuga dan kawasan sekitarnya dikelaskan pada kelas S1 (sangat sesuai) untuk TPA. Penilaian sampai pada kelas

S1dilihat dari karakteristik tanah meliputi sifat fisika dan kimia tanah dan sifat- sifat tanah lainnya, diantaranya: kedalaman solum tanah, tanah yang bukan jenuh air, serta tanah yang cukup berkembang.

5.1.4 Evaluasi Lahan TPA Galuga dan Kawasan Sekitarnya Berdasarkan Sifat-Sifat Tanah

5.1.4.1Sifat Kimia Tanah TPA Galuga dan Kawasan Sekitarnya

Tanah latosol cokelat kemerahan di TPA Galuga merupakan tanah yang telah mengalami perkembangan lanjut atau tanah tua. Hasil analisis menunjukkan bahwa tanah ini relatif masam dengan kisaran pH 4-5. Tingkat kesuburan tanah ini kurang baik dimana reaksi tanah secara umum rendah yang ditemukan di seluruh lapisan dengan C-organik dan N-total rendah dari lapisan atas sampai lapisan bawah. Nilai C-organik tanah di lapisan atas sebesar 3% dan semakin ke lapisan bawah semakin rendah. Hal serupa juga berlaku terhadap N-total di lapisan atas sebesar 0,26% dan semakin ke lapisan bawah semakin rendah. Hal ini juga terlihat dari nilai KTK dan KB yang cukup rendah. KTK merupakan jumlah total kation yang dapat dipertukarkan (cation exchangable) pada permukaan koloid yang bermuatan negatif. Kation diserap oleh koloid tanah karena adanya muatan listrik. Nilai KTK tanah latosol cokelat kemerahan berada pada kisaran 15-21 me/100g. Nilai ini menunjukkan nilai KTK yang baik apabila tanah dengan nilai KTK tersebut dijadikan sebagai TPA. Artinya, kemampuan tanah latosol cokelat kemerahan dalam menjerap kation yang beracun hasil dari tumpukan sampah cukup bagus sehingga pencemaran lingkungan sekitar relatif berkurang. Hal serupa juga ditunjukkan oleh nilai KB tanah. Nilai KB tanah yang rendah menyebabkan jumlah kation yang beracun bisa dijerap dalam jumlah yang relatif lebih banyak.

Berdasarkan tingkat kesuburannya yang rendah, tanah latosol cokelat kemerahan dinilai kurang produktif untuk pertanian. Ini menunjukkan bahwa lahan kawasan TPA Galuga dinilai sudah baik dijadikan sebagai lokasi untuk TPA. Hal ini juga sesuai menurut SNI T-11-1991-03, dimana salah satu kriteria

Semakin tidak produktif, tanah tersebut dinilai semakin baik untuk dijadikan sebagai TPA. Secara umum beberapa sifat kimia tanah latosol cokelat kemerahan kawasan Desa Galuga disajikan pada Tabel 13.

Tabel 13. Analisis Sifat Kimia Tanah Latososl Cokelat Kemerahan (Desa Galuga) Simbol

horison (baru)

Kedalaman (cm)

pH Basa-Basa (me/100g) Jumlah

Basa-basa (me/100g) KTK Tanah (me/100g) KB(%) C- organik (%) N- total (%) H2O KCl K Na Ca Mg Ap 0-10 5 4,7 0,05 0,12 6,29 1,77 8,24 20,47 40,23 3,05 0,26 E 10-42 4,8 4,5 0,04 0,18 4,71 0,90 5,83 21,02 27,72 1,32 0,12 AB 42-90 5,1 4,5 0,02 0,25 4,43 0,80 5,50 15,03 36,61 1,73 0,10 B 90-156 4,8 4,2 0,02 0,18 2,99 0,64 3,82 18,37 20,79 0,72 0,07 C/R >156 4,3 4,2 0,02 0,15 1,81 0,82 2,80 18,05 15,53 0,47 0,12

Pengamatan dan identifikasi yang dilakukan di 3 (tiga) titik menunjukkan bahwa sifat kimia tanah pada masing-masing titik tidak berbeda jauh karena titik tersebut masih berada di satu lahan dengan jenis tanah latosol cokelat kemerahan. Topsoil atau permukaan tanah pada ketiga titik rata-rata berada pada pH (H2O)

4,2-4,7 dan pH (KCl) 3,9-4,2. Kandungan C-organik yang ada di ketiga titik juga tidak terlalu jauh berbeda kecuali di titik T2IPS. Perbedaan di titik ini lebih disebabkan oleh penggunaan lahan diatasnya yang berupa lahan terbuka, sedangkan dua titik lainnya berupa rerumputan dan kebun campuran karena bahan organik mempengaruhi nilai C-organik. Sifat kimia tanah pada 3 (tiga) titik pengamatan disajikan pada Tabel 14.

Tabel 14. Analisis Sifat Kimia Tanah pada Tiga Titik Pengamatan Nama

pH (1:5) Basa-Basa (me/100g) Jumlah Basa- basa (me/100g) KTK Tanah (me/100g) KB(%) C- organik (%) N- total (%) H2O KCl K Na Ca Mg T2IPS 4,2 3,9 0,03 0,26 2,76 1,02 4,07 26,25 15,51 4,26 0,49 T3IPS 4,7 4,0 0,02 0,24 1,75 0,98 2,99 25,72 11,64 0,84 0,06 T4IPS 4,2 4,2 0,04 0,27 2,76 0,93 3,99 21,08 18,93 3,69 0,31

5.1.4.2Evaluasi Sifat Fisika Tanah TPA Galuga dan Kawasan Sekitarnya Sifat fisik tanah merupakan faktor dasar penting dalam penentuan lahan untuk lokasi tempat pembuangan akhir sampah. Kedalaman solum, tekstur tanah, permeabilitas, dan drainase merupakan beberapa sifat fisik tanah yang dijadikan

kajian. Penilaian atau evaluasi pada masing-masing karakteristik fisik tanah diperlukan untuk penentuan evaluasi dari kondisi tanah secara keseluruhan.

a) Solum Tanah

Ketebalan tanah atau solum tanah menunjukkan berapa tebal tanah diukur dari permukaan tanah sampai ke batuan induk. Kedalaman solum suatu tanah dapat dilihat dari penampang vertikal tanah yang biasa disebut sebagai profil tanah. Profil tanah latosol cokelat kemerahan yang ada di kawasan TPA Galuga disajikan pada Lampiran 6.

Tanah latosol cokelat kemerahan di kawasan TPA Galuga dan sekitarnya merupakan tanah dengan perkembangan yang cukup matang dan sudah berkembang lanjut. Solum tanah yang cukup dalam terlihat dari perkembangan horizonnya.Warna tanah dapat digunakan sebagai petunjuk tentang sifat-sifat tanah antara lain: kandungan bahan organik tanah, keadaan drainase dan aerasi tanah. Dengan jenis tanah latosol cokelat kemerahan, warna tanah di setiap horizon tampak sangat mewakili yaitu hue 7,5 YR (cokelat) dan 5 YR (cokelat kemerahan), value berkisar 3 dan 4 dengan chroma berkisar 4 dan 6 (Tabel 15).

Tabel 15. Perkembangan Horizon Tanah Latosol Cokelat Kemerahan Horizon Kedalaman (cm) Warna pH H2O KCl Ap 0-10 7,5 YR 3/4 5,0 4,7 E 10-42 5 YR 4/6 4,8 4,5 AB 42-90 5 YR 3/4 5,1 4,5 B 90-156 5 YR 4/6 4,8 4,2 C/R >156 5 YR 4/6 4,3 4,2

Perkembangan horizon tanah ltosol cokelat kemerahan menunjukkan beberapa parameter kriteria kesesuaian lahan untuk tempat pembuangan sampah secara terbuka yang ditulis dalam Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) meliputi kedalaman sampai hamparan batuan dan sampai padas keras. Kedalaman sampai hamparan batuan dan kedalaman sampai padas keras yang ditunjukkan oleh horizon (C/R) baru terlihat pada kedalaman >150 cm, tepatnya pada kedalaman

156 cm. Berdasarkan kriteria tersebut, lahan di TPA Galuga dan kawasan sekitarnya dinilai baik atau sangat sesuai (S1) dijadikan sebagai lahan untuk TPA. b) Tekstur Tanah

Tekstur tanah merupakan parameter fisik tanah lainnya yang harus diperhatikan sebagai lokasi untuk TPA. Jika tekstur tanah terlalu kasar maka akan berakibat terhadap pencemaran lingkungan. Diakibatkan pori-pori yang cukup besar, aliran air buangan sampah atau yang biasa dikenal dengan air lindi akan mudah masuk ke daerah air bawah tanah sehingga bisa mencemari lingkungan sekitar. Hasil analisis laboratorium dengan menggunakan metode pipet (3 fraksi) menunjukkan bahwa kawasan TPA Galuga dan sekitarnya tepatnya di 3 (tiga) titik yang diamati dengan mengacu kepada segitiga tekstur, kandungan liat yang cukup tinggi yakni 71-89%, tanah di kawasan ini termasuk ke dalam kelas tekstur liat (Gambar 18).

Tekstur liat merupakan tekstur dengan pori-pori yang kecil dimana ukuran pori-pori tanah mencapai <2 mikrometer. Tekstur liat juga menyebabkan terbentuknya pori-pori mikro. Hal ini mengakibatkan daya pegang air cukup kuat dan penyerapan air cukup bagus dan banyak. Rembesan air limbah sampah akan bisa diserap dengan optimal sehingga pencemaran lingkungan baik dari air limbah maupun hasil dekomposisi sampah bisa berkurang. Berdasarkan Widiatmaka et al.

(2004), lahan dengan kelas tekstur liat dikelaskan pada kelas lahan S1 (sangat sesuai) untuk dijadikan sebagai lokasi TPA (Lampiran 15). Ini menandakan bahwa lahan TPA Galuga dan kawasan sekitarnya dinilai sangat sesuai (S1) bila dijadikan sebagai lokasi TPA.

Gambar 18. Perbandingan Tekstur Tiga Fraksi pada Tiga Titik Pengamatan c) Permeabilitas Tanah

Penentuan apakah suatu tanah jenuh air atau tidak bisa dilihat dari nilai permeabilitas tanah. Permeabilitas secara kuantitatif diartikan sebagai kecepatan bergeraknya suatu cairan pada suatu media berpori dalam keadaan jenuh. Secara lebih sederhana permeabilitas tanah merupakan cepat lambatnya air meresap ke dalam tanah melalui pori-pori tanah baik ke arah horizontal maupun ke arah vertikal. Cepat atau lambatnya perembesan air ini sangat ditentukan oleh tekstur tanah. Semakin kasar tekstur tanah semakin cepat perembesan air.

Ketiga titik analisis yaitu T2IPS, T3IPS, dan T4IPS, nilai permeabilitasnya tidak jauh berbeda. Nilai permeabilitas tanah berada pada nilai <5 cm/jam (Gambar 19), dengan kelas permeabilitas agak lambat sampai sedang. Ini menandakan bahwa tanah ini relatif tidak jenuh air. Berdasarkan kriteria kesesuaian lahan untuk tempat pembuangan sampah secara terbuka dalam Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007), lahan kawasan TPA Galuga dengan nilai permeabilitas <5 cm/jam dinyatakan baik atau sangat sesuai (S1) untuk dijadikan sebagai lokasi TPA.

0 20 40 60 80 100

T2IPS T3IPS T4IPS

Persentase (% ) Titik Pengamatan Pasir Debu Liat

Gambar 19. PerbandinganNilai Permeabilitas pada Tiga Titik Pengamatan d) Muka Air Tanah

Muka air tanah merupakan kedalaman air yang berada di dalam tanah baik berada di lapisan atas maupun di lapisan bawah. Hal yang perlu dilihat sebagai kriteria tanah lainnya untuk dijadikan sebagai lokasi TPA yaitu muka air tanah (apparent dan perched). Apparent merupakan air tanah yang langsung terlihat di lapisan bagian atas, sedangkan perched merupakan air bawah tanah (ground water). Dari tiga titik pengamatan didapatkan kedalaman muka air tanah baik

apparent maupun perched berturut-turut berada pada kedalaman >150 cm dan >90 cm (Tabel 16). Berdasarkan kriteria kesesuaian lahan untuk tempat pembuangan sampah secara terbuka dalam Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007), dengan kedalaman tersebut menandakan bahwa muka air tanah lahan kawasan TPA Galuga ini dinilai baik atau sangat sesuai (S1) untuk dijadikan sebagai lokasi TPA.

Tabel 16. Kedalaman Muka Air Tanah Pada Tiga Titik Pengamatan No Titik

Pengamatan Apparent (cm) Perched (cm)

1 T2IPS >150 >90 2 T3IPS >150 >90 3 T4IPS >150 >90 0 1 2 3 4 5

T2IPS T3IPS T4IPS

Nilai Permeabilitas

(cm/jam)

Titik Pengamatan

Kedalaman (30-60) cm Kedalaman (0-30) cm

e) Drainase Tanah

Drainase dapat diartikan sebagai kemampuan tanah melalukan air atau aliran air keluar dari tanah. Kelas drainase perlu menjadi kajian terkait dengan lokasi atau lahan untuk tempat pembuangan akhir sampah. Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2001) dalam Widiatmaka et al. (2004), kelas drainase merupakan resultan dari drainase permukaan penampang tanah dan permeabilitas tanah. Penilaian kelas drainase didasarkan pada tekstur dan struktur tanah.

Apabila kelas drainase tanah tersebut buruk, maka akan terjadi penghambatan pada proses dekomposisi sampah. Kelas drainase di wilayah kawasan TPA Galuga dan sekitarnya berada pada kelas drainase sedang/agak baik. Drainase sedang/baik menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2001) dalam

Widiatmaka et al. (2004), dinyatakan sebagai air ditahan massa tanah, penampang terlihat basah untuk sementara waktu. Karatan di horizon B bagian bawah antara kedalaman 80-120 cm dari permukaan dengan daerah dataran atau lereng bagian bawah. Kelas drainase sedang/agak baik yang ada di kawasan TPA Galuga ini juga dapat dilihat dari nilai permeabilitas yang lambat-sedang dengan tekstur halus/liat. Sehingga aliran air tanah menjadi cukup baik atau tidak tergenang karena tanah memiliki peredaran udara yang cukup baik.

Berdasarkan Widiatmaka et al. (2004), lahan dengan drainase sedang/agak baik dikelaskan pada lahan kelas S2 (cukup sesuai) untuk dijadikan sebagai TPA (Lampiran 16), sehingga penilaian drainase lahan TPA Galuga dan kawasan sekitarnya dikategorikan pada kelas S2 (cukup sesuai) untuk dijadikan sebagai TPA. Penilaian pada kelas S2 ini memiliki sejumlah pembatas diantaranya sistem drainase buangan dari pengelolaan TPA. Secara hidrologi TPA Galuga kurang baik dalam sistem drainase pada saat pengolahan untuk menampung air limpasan. Kondisi ini diperburuk dengan kurang optimalnya instalasi pengeluaran leachate

(air lindi). Setelah peristiwa longsoran sampah di sebelah utara TPA yang terjadi pada bulan Februari 2010 (Nusantaraku, 2010). Kondisi ini rentan terutama pada saat curah hujan yang cukup tinggi dapat mencemari lingkungan sekitar terutama kawasan persawahan yang berada di sebelah utara TPA. Tingkat kesesuaian S2

dari segi drainase tanah ini akan lebih terlihat jika didukung dengan sistem drainase pengolahan sampah yang baik.

5.1.5 Evaluasi Lahan TPA Galuga dan Kawasan Sekitarnya Berdasarkan Penggunaan Lahan

Tempat pembuangan akhir sampah bukanlah tempat yang dipenuhi dengan kegiatan dan keramaian penduduk atau daerah yang padat di kawasan pemukiman. Selain itu, lokasi TPA bukanlah tempat yang berada disekitar kawasan degan nilai ekonomis yang tinggi atau lahan yang dimanfaatkan oleh penduduk untuk industri dan pemanfaatan ekonomi lainnya. Lokasi TPA juga bukan tempat yang berada di kawasan persawahan atau pemanfaatan lahan untuk kebutuhan pangan lainnya karena dapat mempengaruhi produktivitas tanaman pertanian yang ditanama serta mencemari lingkungan. Data penggunaan lahan diambil dari data Citra Quickbird tahun 2010 yang mencakup kawasan TPA Galuga dan sekitarnya meliputi areal wilayah Desa Galuga (Gambar 12). Terlihat bahwa penggunaan lahan di wilayah Desa Galuga didominasi oleh vegetasi dan kawasan TPA Galuga berada dekat dengan persawahan.

Areal persawahan yang relatif dekat di sebelah utara bagian barat dari TPA Galuga menyebabkan kawasan TPA Galuga dikelaskan ke dalam kelas S3 (sesuai marginal) menurut penggunan lahan. Hal ini berlainan seperti yang ada dalam Widiatmaka et al. (2004), dimana lahan dengan penggunaan lahan berupa sawah dan vegetasi dikelaskan pada kelas S1 (sangat sesuai) untuk dijadikan TPA di DKI Jakarta (Lampiran 17). Berdasarkan hal ini, penilaian sampai pada kelas S3 dilakukan dengan kriteria modifikasi yang didasarkan dengan kondisi eksisting lahan TPA Galuga saat ini.

Jarak sawah terdekat dengan TPA Galuga berdasarkan eksisting lahan adalah 35 m. Jarak ini dinilai terlalu dekat dengan TPA sehingga dipastikan TPA Galuga memiliki beberapa pembatas terkait operasionalnya. Kondisi ini ditunjukkan dengan kondisi lapang dimana akibat peristiwa longsoran sampah, tumpukan sampah dan air lindi juga sudah berada di sebagian areal persawahan dekat TPA yang notebene saat ini sudah tidak lagi berfungsi. Lahan ini akhirnya dibebaskan sehingga kegiatan pertanian tidak ada lagi kecuali di bagian utara.

Artinya areal persawahan yang cukup luas di sebelah utara dari TPA yang masih digunakan oleh penduduk sekitar TPA merupakan pembatas operasional TPA. Disamping itu, pembatas lain diantaranya IPAL (Instalasi pengolahan Air Limbah) juga merupakan pembatas yang harus diterapkan di TPA Galuga seperti sistem IPAL yang tidak mencemari areal persawahan yang masih berfungsi dan lingkungan sekitar.

5.1.6 Evaluasi Lahan TPA Galuga dan Kawasan Sekitarnya Berdasarkan Potensi Bencana (Ancaman Banjir dan Longsor)

Bencana alam meliputi ancaman banjir dan longsor menjadi salah satu kriteria kesesuaian lahan untuk tempat pembuangan akhir sampah secara terbuka yang ada dalam Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007). Bencana alam merupakan salah satu faktor penentu dalam menetapkan lokasi TPA. Daerah yang rawan dengan bencana alam sangat sulit untuk dijadikan sebagai lokasi TPA. Lokasi TPA Galuga berada pada bentuk wilayah yang bergelombang. Sifat fisik tanah yang cukup baik menyerap air hujan menyebabkan potensi bencana berupa ancaman longsor dari lahan dan banjir tidak pernah terjadi di kawasan ini. Berdasarkan kondisi tersebut, daerah kawasan TPA Galuga saat ini dinilai baik atau sangat sesuai (S1) untuk dijadikan sebagai lokasi TPA.

Evaluasi terhadap beberapa parameter utama (kondisi lahan) meliputi geologi, topografi/fisiografi, jenis tanah (sifat fisika dan kimia tanah), penggunaan lahan, serta potensi bencana (banjir dan longsor) kawasan TPA Galuga saat ini dinilai cukup baik (sesuai) untuk dijadikan sebagai lokasi untuk TPA. Berdasarkan kriteria kesesuaian lahan untuk tempat pembuangan akhir sampah secara terbuka (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007) dan Widiatmaka et al.

(2004), TPA Galuga dan kawasan sekitarnya dikelaskan ke dalam kelas S3 (sesuai marginal) untuk dijadikan sebagai tempat pembuangan akhir sampah. Penilaian sampai pada kelas S3 ini memiliki sejumlah pembatas yang dominan, yaitu topografi meliputi ketinggian dan kemiringan lereng, serta penggunaan lahan. Hal ini menunjukkan bahwa operasional TPA Galuga saat ini harus tetap memperhatikan dan melakukan upaya-upaya penanganan terhadap permasalahan

terbaru terkait dengan manajemen pengelolaan dan operasioanl di TPA agar keberlangsungan TPA Galuga tidak mencemari lingkungan sekitar.

Tabel 17. Harkat Evaluasi Lahan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Galuga dan Kawasan Sekitarnya

No. Parameter

Kelas Kesesuaian Lahan untuk TPA Galuga Widiatmaka et al. (2004) Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007), Widiatmaka et al. (2004), dan Modifikasi 1 Geologi/Bahan Induk S1 S1 2 Lereng (%) S2 S3 3 Jenis Tanah S3 S1 4 Sifat Tanah - Kedalaman sampai hamparan batuan - Kedalaman sampai padas keras - Tekstur - Permeabilitas

- Muka air tanah

Apparent Perched - Drainase S1 S2 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S2 6 Penggunaan Lahan S2 S3 7 Ancaman Banjir S1 S1 8 Longsor S1 S1

Evaluasi Lahan TPA Galuga dan

Kawasan Sekitarnya : S3

Dokumen terkait