• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

4.3 Evaluasi Program WBMH

4.3.2 Evaluasi Masukan

Evaluasi masukan terhadap program WBMH dibutuhkan untuk dapat mengetahui masalah yang terdapat pada tahap input (masukan) dari sumberdaya yang ada, seperti: sarana dan prasarana untuk kegiatan program WBMH, tenaga pendidik untuk kegiatan program WBMH, dan sumber pembiayaan untuk pelaksanaan program WBMH. Informan 1, menyatakan mengenai sarana dan prasarana yang digunakan untuk program WBMH.

“Untuk sarana yang digunakan, kita memanfaatkan pos RW dengan pos-pos ronda yang ada, kemudian kita hias sendiri pos-pos-pos-pos itu agar terlihat menarik dan untuk menambah semangat belajar juga untuk peserta didik. Tetapi kalau jumlah peserta didiknya banyak dan pos-pos itu tidak menampung lagi, terpaksa kita belajar dilapangan bulu tangkis yang ada. Dan prasarana seperti buku, kita dapatkan dari sumbangan-sumbangan warga, kemudian seperti meja belajar ada yang diberikan dari ibu Camat. Pemerintah sama sekali tidak menyediakan apapun.” (Wawancara Informan 1, tanggal 14 Desember 2015)

Gambar 4.5

Sarana Untuk Program WBMH

Dari pernyataan di atas, menyatakan bahwa pemerintah tidak menyediakan sarana dan prasarasana untuk kegiatan ptogram WBMH, tetapi sarana dan prasarana yang disediakan, semuanya berasal dari sumbangan masyarakat. Sebagaimana disebutkan oleh Informan 2, bahwa program WBMH ini merupakan program swadaya yang dilaksanakan oleh masyarakat.

“Sarana yang digunakan bisa di gardu-gardu, mushola atau masjid kemudian pos RW. Untuk buku-buku pelajaran dan alat tulis lainnya didapat dari sumbangan warga atau yang lainnya. Karena ini kan program swadaya mas.” (Wawancara Informan 2, tanggal 14 Maret 2014)

Gambar 4.6

Buku-buku untuk Program WBMH

Sumber: Dokumentasi peneliti (Desember 2015)

Hal senada disampakan oleh Informan 4, bahwa sarana dan prasarana tidak disediakan oleh Pemerintah, hanya didapat dari sumbangan warga.

“Untuk sarana kegiatan WBMH kita gunakan yang ada, seperti gardu ilmu, pendopo hijau, ataupun lapangan bulu tangkis apabila peserta didiknya banyak. Kalau untuk prasarananya sendiri, seperti buku, dan lain-lannya, kita kumpulkan dari sumbangan warga. Ibu Camat juga waktu itu ikut menyumbangkan beberapa meja belajar untuk digunakan kegiatan WBM itu. Jika dari pihak kelurahan, kecamatan atau Pemerintah DKI tidak menyediakan itu. Tetapi sih seharusnya Pemerintah perlu menyediakannya, karena kan kalau hanya mengandalkan sumbangan dari masyarakat pasti tidak mencukupi.” (Wawancara Informan 4, tanggal 17 Desember 2015)

Hal itu dibenarkan oleh Informan 7 selaku sekretaris program WBMH Kelurahan Pegangsaan, yang menyatakan:

“Kegiatannya kita adakan di gardu-gardu ataupun di pos RW, untuk bukunya sendiri kita kumpulkan dari sumbangan warga, ada juga waktu itu Ibu Camat datang memberikan beberapa meja belajar untuk digunakan kegiatan WBMH.” (Wawancara Informan 7, tanggal 15 Desember 2015) Hal senada juga disampaikan oleh Informan 9, selaku Guru Pendamping Program WBMH, menyatakan:

“Sarana yang kita gunakan itu gardu-gardu yang ada, seperti disini ada gardu ilmu, pendopo hijau. Untuk prasarana seperti buku-buku dan meja belajar kita dapatkan dari sumbangan warga, jika untuk alat tulisnya peserta didik membawa sendiri dari rumah.” (Wawancara Informan 9, tanggal 15 Desember 2015)

Dilihat dari pernyataan di atas, bahwa pemerintah tidak menyediakan sarana dan prasarana untuk program WBMH. Meskipun program WBMH ini merupakan program swadaya, seharusnya pemerintah ikut mendukung dalam membantu menyediakan fasilitas untuk program WBMH, karena program WBMH ini merupakan kebijakan yang dibuat Pemerintah DKI Jakarta. Kemudian, untuk tenaga pendidik dalam program WBMH, dijelaskan oleh Informan 2, menyatakan: “Fasilitator tenaga pendidik berasal dari warga yang memiliki kemampuan untuk memberikan pengajaran kepada peserta didik dan mampu untuk membimbing dan memotivasi peserta didik, agar belajar dengan baik.” (Wawancara Informan 2, tanggal 14 Maret 2014)

Gambar 4.7

Tenaga Kependidikan Sebagai Fasilitator

Sumber: Peraturan Gubernur Nomor 22 Tahun 2014

Pernyataan yang tidak jauh berbeda disampaikan oleh Informan 1, menyatakan:

“Kalau untuk tenaga pengajar sendiri, kita menggunakan tenaga sukarela dari warga yang bersedia untuk menjadi guru pendamping kegiatan Jam malam. Di Kelurahan Pegangsaan sendiri ada beberapa warga yang menjadi guru pendamping, tetapi yang aktif mengajar hanya dua orang saja, yaitu Bapak Zaky dan Ibu Pipit. Karena beberapa orang yang lainnya yang menjadi guru pendamping lainnya masih punya kesibukan lain seperti pekerjaan dan lain-lain.” (Wawancara Informan 1, tanggal 14 Desember 2015)

Pernyataan tersebut dibenarkan oleh Informan 9 selaku Guru Pendamping Program Wajib Belajar Malam Hari, yang menyatakan:

“Guru pendamping disini cuma ada saya sama bapak Zaky pak, sebenarnya ada juga warga lainnya yang menjadi tenaga pengajar program jam malam, tetapi yang aktif mengajar hanya tinggal saya dan pak Zaky. Mungkin karena kesibukan pekerjaan mereka atau hal lain, oleh karena itu hanya kami berdua yang masih aktif mengajar, terkadang juga saya atau bapak Zaky tidak bisa mengajar karena ada urusan mendadak, Akhirnya anak-anak yang belajar sendiri-sendiri pak.” (Wawancara Informan 9, tanggal 14 Desember 2015)

Kemudian hal serupa disampaikan oleh Informan 14, selaku peserta didik program Wajib Belajar Malam Hari tingkat SMA/SMK Kelurahan Pegangsaan, menyatakan:

“Gurunya ibu Pipit, ada juga yang diajar sama bapak Zaky.” (Wawancara Informan 14, tanggal 20 Desember 2015)

Hal yang tidak jauh berbeda diungkapkan oleh Informan 15, selaku peserta didik tingkat SMA/SMK program Wajib Belajar Malam Hari Kelurahan Pegangsaan, menyatakan:

“Ada bapak Zaky sama ibu Pipit, kadang-kadang juga kita belajar sendiri kalau gak ada pak Zaky sama bu Pipit.” (Wawancara Informan 15, tanggal 20 Desember 2015)

Hal lainnya diungkapkan oleh Informan 3, yang menyatakan bahwa minimnya ketersediaan guru pendamping:

“Guru yang ada untuk kegiatan ini, itu sangat minim jumlahnya mas, dan tidak sesuai dengan jumlah peserta didik yang ada. Dan juga latar belakang mereka macam-macam ada yang memang benar guru dan ada yang hanya pegawai kantor. Tetapi karena susah juga untuk mencari tenaga sukarela yang mau menjadi guru pendamping, yasudah siapa saja yang mau membantu mengajar silahkan.” (Wawancara Informan 3, tanggal 17 Desember 2015)

Hal serupa disampaikan oleh informan 4, yang menyatakan bahwa kurangnya jumlah guru pendamping yang ada di Kelurahan Pegangsaan:

“Kita kekurangan tenaga pendidik disini, sedangkan tenaga pendidik yang ada tidak sesuai dengan jumlah peserta didik. Dan kualitas dari guru itu sebenarnya penting, karena salah satu faktor yang menentukan prestasi peserta didik adalah kualitas dari guru yang baik. Sedangkan tenaga pendidik atau guru disini, mereka mengajarkan yah apa adanya yang mereka ketahui. Dan orangtua peserta didik ikut mengawasi dan membimbing anak-anaknya. Tetapi tidak semua orangtua disini itu pernah duduk dibangku sekolah, ada juga yang dulunya tidak bersekolah. Bagaimana orangtua dari peserta didik mau membimbing, sedangkan (mohon maaf) mereka tidak bersekolah, yang mereka lakukan mungkin hanya mengawasi anak-anaknya belajar.” (Wawancara Informan 4, tanggal 17 Desember 2015)

Dari pernyataan di atas, dapat dilihat bahwa jumlah tenaga pendidik yang tidak sebanding dengan jumlah peserta didik yang ada di Kelurahan Pegangsaan, dan kurang diperhatikannya kualitas tenaga pendidik yang baik sebagai guru pendamping dalam program WBMH, dikarenakan sulitnya mencari tenaga sukarela. Kemudian sumber pembiayaan untuk program WBMH dijelaskan oleh Informan 2, menyatakan:

“Program Wajib Belajar Malam Hari ini adalah program swadaya, jadi anggaran untuk program ini semuanya bersumber dari masyarakat, dan tidak ada anggaran dari Pemerintah DKI Jakarta untuk program Wajib Belajar Hari ini.” (Wawancara Informan 2, tanggal 14 Maret 2014)

Hal tersebut dibenarkan oleh Informan 1, yang menyatakan bahwa tidak adanya anggaran dari Pemerintah DKI Jakarta untuk program WBMH:

“Untuk anggaran kita dapatkan dari masyarakat, tetapi yang paling sering menyumbang adalah ibu Camat, pak RW, bahkan saya sendiri pun juga ikut menyumbang, walaupun tidak banyak. Jumlahnya juga tidak tentu, karena untuk SatGas sendiri kan mereka juga butuh minum dan makan, dan untuk membeli minuman dan makanan butuh uang apalagi untuk menyediakan sarana dan prasarana kegiatan Jam Malam.” (Wawancara Informan 1, tanggal 14 Desember 2015)

Gambar 4.8

Sumber Pembiayaan Program WBMH

Sumber: Pedoman Program WBMH Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta

Hal serupa disampaikan oleh Informan 5, yang menyatakan bahwa anggaran untuk program WBMH didapat dari sumbangan masyarakat:

“Yah kita semua menyumbang, tetapi kita tidak bisa memaksakan kepada warga, karena sebagian warga juga ada yang tidak mampu. Karena dalam pelaksanaan program ini kan butuh dana juga, mustahil kan kalo kita menjalankan suatu kegiatan tidak menggunakan anggaran.” (Wawancara Informan 5, tanggal 17 Desember 2015)

Kemudian hal tersebut dibenarkan oleh Informan 6, selaku Ketua Pelaksana Program WBMH Kelurahan Pegangsaan, menyatakan:

“Kalau anggaran dari Pemerintah tidak ada, yah kita dapet dana untuk kegiatan Jam Malam dari sumbangan aja sih, seperti dari Ibu Camat, Pak RW, Pak Dadang dan warga disini. Jumlahnya juga gak tentu, tetapi kita usahakan agar dana yang ada cukup untuk melaksanakan kegiatan.” (Wawancara Informan 6, tanggal 17 Desember 2015)

Berdasarkan pernyataan di atas, bahwa sumber pembiayaan untuk program WBMH dibebankan kepada masyarakat, tidak ada anggaran yang diberikan oleh Pemerintah DKI Jakarta. Tetapi di dalam PerGub Nomor 22 Tahun 2014, Pasal 12 di sebutkan bahwa:

“Biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan kegiatan wajib belajar malam hari dibebankan pada:

a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) melalui Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) SKPD/UKPD masing-masing yang terkait; dan/atau

Gambar 4.9

Sumber Pembiayaan Program WBMH

Sumber: Peraturan Gubernur Nomor 22 Tahun 2014

Hal itu dijelaskan oleh Informan 2, yang menjelaskan bahwa belum dilakukan perencanaan terhadap pelaksanaan program WBMH, oleh karena itu tidak ada anggaran dari pemerintah melalui Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA):

“Jika ada anggaran dari pemerintah untuk program WBMH, pastinya ada didalam DPA, namun kenyataan tidak ada. Program ini kan masih tahap percobaan, mungkin belum masuk dalam perencanaan.” (Wawancara Informan 2, tanggal 14 Maret 2014)

Hal yang serupa disampaikan oleh Informan 4, yang menyatakan bahwa belum dilakukannya perencanaan anggaran untuk program WBMH ini:

“Iyah memang ada didalam PerGub, tetapi kalau tidak direncanakan dan dibawa ke badan perencanaan, tidak akan keluar di DPA pak. Nah, tetapi karena itu masih percobaan, maksudnya masih dalam tahap uji coba, mungkin belum masuk kedalam perencanaan. Jika ada anggaran untuk program ini, pastinya masuk lewat saya pak, tetapi kenyataannya kan disini tidak ada.” (Wawancara Informan 4, tanggal 17 Desember 2015) Hal tersebut dibenarkan oleh Informan 1, yang menyatakan bahwa anggaran untuk pelaksanaan program WBMH bersumber dari swadaya masyarakat:

“Jujur saya baru tahu bahwa didalam PerGub itu, anggaran untuk kegiatan Jam Malam ini dibebankan pada APBD. Karena selama ini kita mendapatkan dana untuk pelaksanaan kegiatan Jam Malam ini dari swadaya, seperti yang saya jelaskan tadi.” (Wawancara Informan 1, tanggal 14 Desember 2015)

Berdasarkan dari pernyataan di atas, bahwa kurangnya dukungan dari Pemerintah DKI Jakarta untuk program WBMH, dari mulai penyediaan sarana dan prasarana, tenaga pendidik sampai dengan sumber pembiayaan untuk program WBMH semuanya berasal dari masyarakat. Program WBMH ini memang merupakan program swadaya, namun Pemerintah DKI Jakarta sebagai pembuat kebijakan seharusnya mendukung ketersediaan input (masukan) untuk program WBMH seperti, sarana dan prasarana, tenaga pendidik dan anggaran. Karena semua program yang dilaksanakan/dijalankan, apabila kurang mendapatkan perhatian khususnya dari Pemerintah program tersebut tidak akan berjalan dengan baik.

Dokumen terkait