• Tidak ada hasil yang ditemukan

EVALUASI PERATURAN GUBERNUR NOMOR 22 TAHUN 2014 TENTANG WAJIB BELAJAR MALAM HARI (WBMH) DI KECAMATAN MENTENG JAKARTA PUSAT - FISIP Untirta Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "EVALUASI PERATURAN GUBERNUR NOMOR 22 TAHUN 2014 TENTANG WAJIB BELAJAR MALAM HARI (WBMH) DI KECAMATAN MENTENG JAKARTA PUSAT - FISIP Untirta Repository"

Copied!
372
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial pada Konsentrasi Kebijakan Publik

Program Studi Ilmu Administrasi Negara

Oleh:

MUHAMAD NURDIN NIM. 6661101571

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA

(2)

Kecamatan Menteng Jakarta Pusat. Pembimbing I: Leo Agustino, Ph.D dan Pembimbing II: Juliannes Cadith, M.Si

Salah satu prioritas dari kebijakan pembangunan pendidikan di Provinsi DKI Jakarta adalah meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan menerapkan Program Wajib Belajar Malam Hari. Program Wajib Belajar Malam Hari ini merupakan program percontohan yang dilaksanakan pada masing-masing wilayah administratif di Jakarta, Kecamatan Menteng Jakarta Pusat adalah salah satu yang wilayah percontohan dan menjadi lokus dalam penelitian. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui capaian pelaksanaan program Wajib Belajar Malam Hari di Kecamatan Menteng, dan mengidentifikasi masalah pelaksanaan program Wajib Belajar Malam Hari. Penelitian menggunakan metode penelitian kualitatif. Pemilihan informan peneliti menggunakan teknik purposive. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pelaksanaan program belum dapat dikatakan berhasil mencapai tujuan yang ditetapkan, namun dalam pelaksanaan program masih terdapat beberapa kekurangan yang perlu perhatian untuk diperbaiki. Pelaksanaan lapangan berupa sosialisasi program, monitoring evalaluasi yang tidak berjalan. Kurangnya jumlah tenaga pendidik, fasilitas dan sarana prasarana yang tidak memadai untuk pelaksanaan program.

(3)

Menteng, Jakarta Pusat. Advisor I: Leo Agustino, Ph.D and Advisor II: Juliannes Cadit, M.Si

One of the priorities of education development policy at Jakarta Province is to increase the quality of education. One of the efforts is by implementing the Compulsory Night Education. Compulsory Night Education is a pilot program that will be implemented in each administrative area in Jakarta, sub-district Menteng of Central Jakarta is one of the pilot area and it become the focus of the research. The purpose of this research is to determine the achievement and identify the problems of Compulsory Night Education program in sub-district Menteng. The research method of this research is qualitative research. Election of researcher informants is using purposive technique. The results indicate that the program not yet succeeded in achieving the goals set, however there are still some lacks of the program that need to be repaired. Implementation of the field such as socialization, monitoring and evaluation are not work well. The lack of the number of educators, facilities and infrastructure are inadequate for the implementation of the program.

(4)
(5)
(6)
(7)

Enam hal, yaitu: Cerdas, Selalu ingin tahu, Tabah, Punya bekal dalam menuntut ilmu,

Bimbingan dari guru dan dalam waktu yang lama. (Ali Bin Abi Thalib RA)

Pengetahuan tidaklah cukup, kita harus mengamalkannya. Niat tidaklah cukup, kita harus melakukannya. (Johann Wolfgang Von Goethe)

Terimakasih ya Allah karena Engkau Telah Menganugrahkanku Nikmat Ilmu Pengetahuan yang Mampu Kugapai Sampai Detik ini Semoga Aku Mampu Mengamalkannya Sepenuh Hati

(8)

berlimpah akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi dalam rangka memenuhi salah satu syarat sarjana pada Prodi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa yang berjudul

“Evaluasi Peraturan Gubernur Nomor 22 Tahun 2014 Tentang Wajib Belajar Malam Hari Di Kecamatan Menteng Jakarta Pusat”.

Selesainya penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak yang senantiasa mendukung membimbing penulis. Maka dari itu penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. H. Sholeh Hidayat, M.Pd, Rektor Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

2. Dr. Agus Sjafari, M.Si, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

3. Rahmawati, S.Sos, M.Si, Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

4. Iman Mukhroman, M. Ikom, Wakil Dekan II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

5. Kandung Sapto Nugroho, S.Sos, M.Si, Wakil Dekan III Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

6. Listyaningsih, S.Sos, M.Si selaku Ketua Prodi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

(9)

9. Juliannes Cadith, M.Si sebagai Pembimbing II yang meluangkan waktunya membantu dan memberikan masukan bagi peneliti dalam menyusun skripsi ini dari awal hingga akhir dan juga dalam perkuliahan.

10. Dr. Suwaib Amirudin, M,Si sebagai Penguji yang telah memberikan banyak masukan dan saran bagi peneliti, agar skripsi ini menjadi lebih baik.

11. Semua Dosen dan Staf Jurusan Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa yang membekali penulis dengan ilmu pengetahuan selama perkuliahan. 12. Ibu dan Bapak Syakuri yang telah memberikan kesempatan dan

kepercayaan bagi penulis untuk menempuh gelar Strata Satu. Mohon maaf apabila selama ini belum bisa memberikan yang terbaik dan belum bisa membalas segala kebaikan selama ini.

13. Terima kasih kepada kakak Yuli, Yunita, dan Amat yang memberikan semangat dalam pembuatan skripsi ini.

14. Terimakasih kepada Bapak Dadang Suherman selaku

Penanggungjawab program WBMH di Kecamatan Menteng, yang telah bersedia memberikan waktunya untuk membantu penelitian dalam skripsi ini.

15. Terimakasih kepada bapak RW dan RT, kemudian masyarakat Kecamatan Menteng sebagai narasumber yang sudah bersedia memberikan data dan informasi dalam penelitian ini.

(10)

berikan.

18. Kawan-kawan Jurusan Administrasi Negara FISIP UNTIRTA Reguler kelas B angkatan 2010, Dwie, Umam, Fityan, Syafrudin, Eka, Reni, Siska, Herly, Fany, Nisya, Agryan, Ismat, Iwenk, Nafis, Susi, Fauzi, Fachrurozy, Novryan, yang selalu memberikan canda tawa, masukan dan nasehat yang bermanfaat.

19. Sahabat-sahabatku Anggi, Lukman, Leman, Aripin, Ika, Desta, Wahyu, Budi, Nanang, Achmad, Ipul, Adistian, Lilis, yang selalu memberikan motivasi dan dukungan.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini, karena keterbatasan penulis, maka dari itu saran dan kritik yang membangun tetap di nantikan guna perbaikan dimasa yang akan datang. Akhir kata semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak

Serang, Juli 2016

(11)

Abstrak

Abstract

Lembar Orisinalitas

Lembar Pengesahan

Lembar Persetujuan

Lembar Persembahan

Kata Pengantar... i

Daftar Isi ... iv

Daftar Tabel ... ix

Daftar Gambar ... x

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Identifikasi Masalah ... 17

1.3 Batasan Masalah ... 18

1.4 Rumusan Masalah ... 18

1.5 Tujuan Penelitian ... 18

(12)

2.1 Deskripsi Teori ... 22

2.2 Konsep Evaluasi Program ... 22

2.2.1 Pengertian Evaluasi ... 23

2.2.2 Pengertian Program ... 24

2.2.3 Pengertian Evaluasi Program ... 25

2.3 Tujuan Evaluasi Program ... 27

2.4 Model Evaluasi... 29

2.4.1 Model Evaluasi UCLA ... 29

2.4.2 Model Evaluasi Brinkerhoff ... 30

2.4.3 Model Evaluasi Stake ... 31

2.4.4 Model Evaluasi CIPP ... 33

2.5 Konsep Program Wajib Belajar Malam Hari (WBMH) ... 44

2.5.1 Program WBMH ... 45

2.5.2 Tujuan Program WBMH ... 46

(13)

2.5.7 Dasar Hukum Program WBMH ... 50

2.6 Penelitian Terdahulu ... 52

2.7 Kerangka Berpikir ... 58

2.8 Asumsi Dasar Penelitian ... 60

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Pendekatan dan Metode Penelitian ... 61

3.2 Fokus Penelitian ... 62

3.3 Instrumen Penelitian... 63

3.4 Informan Penelitian ... 64

3.5 Teknik Pengolahan dan Analisis Data ... 66

3.5.1 Teknik Analisis Data ... 73

3.5.2 Pengujian Keabsahan Data ... 77

3.6 Lokasi dan Jadwal Penelitian ... 78

3.6.1 Lokasi Penelitian ... 78

(14)

4.1 Gambaran Umum lokasi Penelitian ... 81

4.1.1 Kondisi Geografis ... 81

4.1.2 Letak Wilayah ... 82

4.1.3 Pemerintahan ... 84

4.1.4 Keadaan Pendidikan ... 85

4.1.5 Program WBMH ... 86

4.2 Hasil Penelitian ... 91

4.1.1 Deskripsi Informan ... 91

4.3 Evaluasi Program WBMH ... 93

4.3.1 Evaluasi Konteks ... 93

4.3.2 Evaluasi Masukan ... 103

4.3.3 Evaluasi Proses ... 111

4.3.4 Evaluasi Hasil ... 120

(15)

4.4.4 Evaluasi Hasil ... 147

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan ... 156

5.2 Saran…… ... 157

DAFTAR PUSTAKA

(16)

Halaman

Tabel 1.1 Lokasi Percontohan Program WBMH ... 8

Tabel 1.2 Profil Kecamatan Menteng... 13

Tabel 1.3 Sarana dan Prasarana Umum Program WBMH di Kelurahan Pegangsaan, Kecamatan Menteng, Jakarta Pusat ... 13

Tabel 1.4 Jumlah Peserta Didik Program WBMH di Kecamatan Menteng ... 14

Tabel 2.1 Perbandingan Model Evaluasi Program ... 44

Tabel 2.2 Penelitian Terdahulu ... 52

Tabel 3.1 Informan Penelitian ... 65

Tabel 3.2 Jumlah Peserta Didik Program WBMH di Kecamatan Menteng ... 66

Tabel 3.3 Pedoman Wawancara ... 68

Tabel 3.4 Jadwal Penelitian... 80

Tabel 4.1 Penduduk Kecamatan Menteng Menurut Kelurahan 2015 ... 83

Tabel 4.2 Data Kepegawaian di Kecamatan Menteng Tahun 2015 ... 84

Tabel 4.3 Data Jumlah Sekolah Negeri & Swasta di Kecamatan Menteng ... 86

Tabel 4.4 Daftar Informan ... 92

Tabel 4.5 Lokasi Percontohan Program WBMH ... 95

(17)

Halaman

Gambar 2.1 Model Evaluasi Stake ... 31

Gambar 2.2 Fokus Evaluasi Model CIPP ... 39

Gambar 2.3 Alur Kerja Model CIPP ... 43

Gambar 2.4 Organisasi Pelaksana Tingkat RW/RT Penerapan Wajib Belajar Malam Hari ... 49

Gambar 2.5 Kerangka Berpikir ... 59

Gambar 3.1 Komponen Analisis Data Dalam Kualitatif ... ... 74

Gambar 4.1 Peta Kecamatan Menteng ... 82

Gambar 4.2 Tujuan Program WBMH ... 94

Gambar 4.3 Spanduk Program WBMH ... 99

Gambar 4.4 Pertemuan Orangtua Peserta Didik Membahas Program WBMH ...100

Gambar 4.5 Sarana Untuk Program WBMH ... 103

Gambar 4.6 Buku-buku Untuk Program WBMH ... 104

Gambar 4.7 Tenaga Kependidikan Sebagai Fasilitator ... 106

Gambar 4.8 Sumber Pembiayaan Program WBMH Menurut Pedoman Pedoman Pelaksanaan Dinas Pendidikan Prov.DKI Jakarta ... 108

(18)

Gambar 4.12 Pelaksanaan Program WBMH di Kelurahan Pegangsaan ... 117

Gambar 4.13 Tugas Orangtua Sebagai Fasilitator ... 118

Gambar 4.14 Kartu Monitoring Belajar Peserta Didik ... 121

(19)

1.1 Latar Belakang Masalah

Pendidikan adalah suatu instrumen atau komponen yang menentukan

kemajuan suatu bangsa dan merupakan sarana dalam membangun watak bangsa.

Adanya pendidikan diharapkan akan terjadi proses transmisi ilmu pengetahuan,

keyakinan, nilai-nilai, dan keterampilan sehingga dapat menghasilkan masyarakat

yang cerdas dan mandiri. Masyarakat yang cerdas dan mandiri merupakan

investasi besar dalam menunjang proses pembangunan di suatu negara, baik dari

aspek budaya, sosial, politik, ekonomi, serta lingkungan. Terbentuknya kualitas

pendidikan sangat bergantung pada kerangka sistem penyelenggaraan pendidikan

meliputi arah kebijakan pendidikan yang ditetapkan pemerintah (Agryan 2014:1)

Kebijakan pendidikan di Indonesia mendasarkan pada UUD 1945 Pasal 31

yang mengamanatkan bahwa: (i) Setiap warga berhak mendapat pendidikan; (ii)

setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib

membiayainya; (iii) pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem

pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak

mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan

undang-undang; (iv) negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya

dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggran

pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan

(20)

teknologi dengan menunjang tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk

kemajuan perdaban serta kesejahteraan umat manusia. Maka untuk menjalankan

amanat yang demikian, pemerintah membuat Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 4 yang menjadi prinsip

penyelenggaraan pendidikan di Indonesia:

1) Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa;

2) Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbukan dan multi makna;

3) Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat;

4) Pendidikan diselenggarakan dengan member keteladanan,

membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran;

5) Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat; 6) Pendidikan diselenggarakan dengan menberdayakan semua komponen

masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.

Kedudukan Jakarta sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia,

menempatkan pendidikan sebagai pemegang peran penting dan sebagai salah satu

kunci keberhasilan pembangunan nasional dan daerah. Melalui pendidikan yang

bermutu dapat menciptakan Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta sebagai pusat

pendidikan dan pusat pengembangan ilmu pengetahuan serta teknologi bagi

bangsa Indonesia yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana standar

internasional. Keberhasilan penyelenggaraan pendidikan di Provinsi DKI Jakarta

harus dilandasi dengan kemampuan dalam menguasai ilmu pengetahuan dan

(21)

Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah, untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional sebagai

pranata sosial yang kuat dan berwibawa baik di tingkat nasional maupun

internasional, pemerintahan daerah dan masyarakat Provinsi DKI Jakarta bertekad

untuk menghasilkan sumber daya manusia berkualitas melalui pendidikan yang

bermutu sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga

mampu menjawab berbagai tantangan zaman yang selalu berubah. Oleh karena

itu, upaya yang dilakukan adalah melalui peningkatan mutu pendidikan,

pemeratan pendidikan, serta efisiensi peneyelenggaraan dan pengelolaan

pendidikan sesuai dengan prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintah daerah.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah, bahwa urusan pendidikan merupakan salah satu urusan

wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah. Sejalan dengan itu,

Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta menetapkan Peraturan Daerah Nomor 8

Tahun 2006 tentang Sistem Pendidikan sebagai komitmen untuk mencerdaskan

kehidupan dan penghidupan masyarakat Jakarta menjadi manusia yang beriman

dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu,

cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta

bertanggung jawab. Upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta

dalam penyelenggaraan pendidikan sebagaimana tertuang di dalam Peraturan

Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2006 Pasal 3 tentang Sistem

(22)

(1) Pendidikan diselenggarakan secara professional, transparan dan akuntabel serta menjadi tanggungjawab bersama Pemerintah, Pemerintah Daerah, Masyarakat dan Peserta Didik.

(2) Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan system terbuka dan multimakna.

(3) Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan secara berkesinambungan serta berlangsung sepanjang hayat.

(4) Pendidikan diselenggarakan dalam suasana yang menyenangkan, menantang, mencerdaskan dan kompetitiff dengan dilandasi keteladan.

(5) Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan daya budaya membaca dan belajar bagi segenap warga masyarakat.

(6) Pendidikan diselanggarakan dengan memberdayakan seluruh komponen pemerintah daerah dan masyarakat serta memberikan keempatan kepada masyarakat untuk berperan serta dalam penyelenggaran dan peningkatan mutu pendidikan.

Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, sampai saat ini Pemerintah DKI

Jakarta masih dihadapkan dengan berbagai permasalahan, baik permasalahan yang

bersifat internal maupun eksternal, seperti tingkat kualitas pendidik yang belum

memenuhi standar mutu, sarana-prasarana pendidikan yang masih kurang

memadai, serta terbatasnya anggaran pendidikan yang disediakan oleh Pemerintah

Daerah. Selain faktor internal tersebut, tantangan paling berat dihadapi

Pemerintah DKI Jakarta adalah bagaimana menyiapkan sumber daya manusia

yang cerdas, unggul, dan berdaya saing. Untuk itu strategi yang dilakukan oleh

Pemerintah DKI Jakarta dalam pembangunan di bidang pendidikan, sebagaimana

terdapat didalam Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2006

Pasal 16 tentang Sistem Pendidikan adalah:

(a) Mengatur, menyelenggarakan, mengarahkan, membimbing, dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan;

(23)

(c) Menetapkan standar pelayanan minimal dalam penyelenggaraan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah; (d) Memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin pendidikan yang

bermutu bagi warga masyarakat tanpa diskriminasi; (e) Menyediakan dana guna penuntasan wajib belajar 9 tahun;

(f) Menyediakan dana guna terselenggaranya wajib belajar 12 tahun khususnya bagi peserta didik dari keluarga tidak mampu dan anak terlantar;

(g) Pemberian beasiswa atas prestasi atau kecerdasan yang dimilik peserta didik;

(h) Memberikan keempatan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk memperoleh pendidikan;

(i) Memfasilitasi satuan pendidikan dengan pendidik dan tenaga kependidikan yang professional, sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu;

(j) Memfasilitasi tersedianya pusat-pusat bacaan bagi masyarakat, sekurang-kurangnya satu di setiap Rukun Warga (RW);

(k) Mendorong dan mengawasi pelaksanaan kegiatan jam wajib belajar peerta didik di rumah;

(l) Mendorong pelaksanaan budaya membaca dan budaya belajar;

(m) Membina dan mengembangkan pendidik dan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang diselenggarakan Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Masyarakat;

(n) Menumbuhkembangkan sumber daya pendidikan secara terus-menerus untuk terselenggaranya pendidikan yang bermutu;

(o) Memfasilitasi sarana dan prasarana pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi guna mendukung pendidikan yang bermutu;

(p) Memberikan dukungan kepada perguruan tinggi dalam rangka kerjasama pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;

(q) Menumbuhkembangkan motivasi, memberikan stimulitasi dan fasilitas, serta menciptakan iklim yang kondusif bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam penyelenggaraan pendidikan;

(r) Mendorong dunia usaha/industry untuk berpartisipasi secara aktif dalam penyenggaraan dan peningkatan mutu pendidikan.

Melalui strategi tersebut, diharapkan tujuan pendidikan dapat terwujud

secara efektif dengan melibatkan berbagai pihak secara aktif, baik dari Pemerintah

Daerah ataupun Masyarakat DKI Jakarta yang terlibat dalam penyelenggaraan

pendidikan. Untuk mewujudkan tujuan dan strategi dalam penyelenggaraan dan

(24)

kewajiban yang mendasar bagi warga masyarakat di bidang pendidikan. Salah

satu upaya yang dilakukan Pemerintah DKI Jakarta, adalah menerapkan Program

Wajib Belajar Malam Hari atau lebih dikenal dengan WBMH.

Program Wajib Belajar Malam Hari adalah suatu kegiatan untuk

menciptakan kondisi lingkungan yang ideal untuk mendorong proses

pembelajaran anak dan warga yang berlangsung dalam suasana pembelajaran

yang kondusif, untuk mencapai prestasi secara optimal. (Paparan Program Wajib

Belajar Malam Hari Dinas Pemerintah Provinsi DKI Jakarta 2013:1). Alasan lain

dari pemberlakuan program Wajib Belajar Malam Hari tersebut adalah untuk

mengatasi pola kenakalan remaja yang marak terjadi belakangan ini.

Keselamatan warga Jakarta masih terancam. Pasalnya, pelajar yang tawuran sudah berani menggunakan bahan kimia. Perilaku ini bukan fenomena biasa yang menjadi cermin kualitas kenakalan remaja yang semakin meningkat. “Ini sudah persoalan kriminal yang dilakukan pelajar, tingkat kenakalannya sudah diluar batas pelajar, mulai dari cara melakukan sampai melarikan diri setelah menyiramkan air keras. Perbuatan itu seperti perilaku kriminal jalanan, kenakalan RN pelaku penyiraman bahan kimia pada pekan lalu lebih banyak disebabkan faktor diluar sekolah. Sebab, pihak sekolah tidak pernah mengajarkan kekerasan kepada siswanya”. Kata Kepala Dinas Pemprov DKI Jakarta Taufik Yudi Mulyanto, Senin (7/10), di Jakarta. Dan penggunaan soda api juga terjadi dalam tawuran warga di Jalan Intan Johar Baru , 15 September. Seorang polisi bernama Brigadir Sugito Aritonang (26) menjadi korban siraman soda api (Kompas 2013, Kenakalan remaja makin mencemaskan, diakses tanggal 9 November 2014).

Contoh kejadian di atas menandakan bahwa pola kenakalan remaja pada di

Jakarta semakin memprihatinkan, dan menjadi pukulan bagi pemerintah DKI

Jakarta khususnya di bidang pendidikan. Adapun rencana lain dari diberlakukan

(25)

Menurut Gubernur Joko Widodo, rencana Jam Wajib Malam ini demi memproteksi anak-anak dari bahaya luar lingkungan rumah, selain memastikan perlindungan untuk mereka dari lingkungan rumah sendiri. Apabila proteksi ganda ini diberlakukan, maka keamanan untuk mereka maka keamanan untuk mereka diyakini akan lebih maksimal. (Viva News 2014, Menangkal tabrakan maut aqj dengan jam malam efektifkah, diakses tanggal 14 Oktober 2014).

Landasan hukum dari pelaksanaan program Wajib Belajar Malam Hari

adalah berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2006

dalam Pasal 7 Ayat (3) yang menyebutkan:

“Orangtua berkewajiban untuk mendidik anaknya sesuai kemampuan dan minatnya serta menetapkan waktu belajar setiap hari dirumah bagi anaknya dari pukul 19.00 sampai dengan pukul 21.00 WIB”. Program ini bukan dimaknai bahwa seluruh masyarakat harus belajar pada jam tersebut, namun masyarakat diminta untuk menciptakan suasana yang kondusif untuk belajar anak dalam jangka waktu dua jam setiap hari.

Untuk menindak lanjuti ketentuan Pasal 7 Ayat (3) Peraturan Daerah

Nomor 8 Tahun 2006 tentang Sistem Pendidikan, Pemerintah DKI Jakarta

menetapkan Peraturan Gubernur Nomor 22 Tahun 2014 tentang Wajib Belajar

Malam Hari. Peraturan ini dimaksudkan sebagai pedoman pelaksanaan program

Wajib Belajar Malam Hari. Berdasarkan Peraturan Gubernur Nomor 22 Tahun

2014, Pasal 2 tujuan dari pelaksanaan Program Wajib Belajar Malam Hari

tersebut dimaksudkan:

“Sebagai acuan dalam pelaksanaan wajib belajar malam hari baik di rumah maupun di luar rumah dengan tujuan agar peserta didik dapat mencapai hasil belajar yang maksimal dan optimal sehingga dapat meningkatkan prestasi di bidang akademiknya”.

Dalam upaya mencapai tujuan tersebut Pemerintah Provinsi DKI melalui

Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta melaksanakan program Wajib Belajar

(26)

pilot project atau proyek percontohan pada tahap uji coba di beberapa wilayah

Jakarta. Apabila program tersebut berjalan baik dan efektif dalam meningkatkan

minat belajar dan prestasi anak, maka target Pemerintah DKI Jakarta akan

menerapkan program Wajib Belajar Malam Hari di seluruh wilayah DKI Jakarta.

Tabel di bawah ini menunjukan wilayah yang dijadikan pilot project program

Wajib Belajar Malam Hari:

Tabel 1.1

Lokasi Percontohan Program Wajib Belajar Malam Hari

No Wilayah RT RW Kelurahan Kecamatan

1 Jakarta Pusat 016 006 Pegangsaan Menteng

008 008 Pegangsaan Menteng

2 Jakarta Utara 007 005 Koja Koja

001 002 Semper Barat Cilincing

001 011 Lagoa Koja

3 Jakarta Barat 004 004 Meruya Utara Kembangan

002 003 Meruya Selatan Kembangan

001 010 Sukabumi Utara Kebon Jeruk

4 Jakarta Selatan 003 006 Jagakarsa Jagakarsa

005 005 Ragunan Pasar Minggu

5 Jakarta Timur 001 007 Jati Pulogadung

009 012 Klender Duren Sawit

6 Kep. Seribu - 005 Pulau Panggang Kep. Seribu Utara

- 004 Pulau Tidung Kep. Seribu Selatan

Sumber: Paparan Program Wajib Belajar Malam Hari Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta (2013:9)

Pemilihan wilayah yang dijadikan pilot project atau proyek percontohan

tersebut dilihat dari aspek tingkat partisipasi masyarakat pada masing-masing

wilayah. Berdasarkan hasil wawancara sementara peneliti (Ibu Rini staff seksi

sarana & prasarana sekolah dasar, Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta pada

(27)

Seperti yang ada di Kelurahan Pegangsaan, Kecamatan Menteng sudah menjalankan program ini, dan sama halnya dengan Kecamatan Koja yang sudah terlebih dahulu menerapkan program jam wajib malam. Dan wilayah-wilayah lain di Jakarta yang dianggap tingkat partisipasi masyarakatnya baik”.

Pemerintah DKI Jakarta berharap pelaksanaan program Wajib Belajar

Malam Hari yang dilaksanakan di beberapa lokasi yang menjadi pilot project

tersebut akan berjalan efektif dalam meningkatkan prestasi anak di bidang

akademik. Sehingga akan diikuti oleh wilayah-wilayah lain di Provinsi DKI

Jakarta, karena pada dasarnya program tersebut merupakan program swadaya

yang dilakukan berdasarkan dari peran serta masyarakat yang peduli terhadap

pendidikan. Prinsip dari program tersebut berdasarkan petunjuk pelaksanaan jam

wajib belajar di malam hari dari paparan program Wajib Belajar Malam Hari

Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta (2013:2), yaitu :

1. Pelakasanaan jam belajar wajib di malam hari dalam rangka meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) atau peserta didik.

2. Berbasis pada masyarakat dan orangtua (community based development).

3. Prinsip utama dalam kebijakan program Jam Wajib Belajar Malam (JWBM), adalah : a. Edukasi bukan represi (bersifat mendidik bukan memaksa), b. Bottom Up bukan Top Down (di mulai atau diawali pada tingkat RT dan berkembang menjadi RW, Kelurahan, Kecamatan dan Wilayah serta Provinsi).

4. Melibatkan partisipasi masyarakat (orangtua, pemuda, karang taruna, mahasiwa) dunia usaha dan pemerintah (Lurah, Camat, Walikota, Dinas Pendidikan dan SKPD terkait).

5. Menciptakan dan membangun kesadaran masyarakat untuk peduli terhadap pendidikan anak-anak dan lingkungan.

Adapun yang menjadi peserta didik dalam program ini adalah anak yang

berada pada usia 5 (lima) sampai dengan 18 (delapan belas) tahun, yaitu berada

(28)

Menegah Atas (SMA). Kemudian untuk kegiatan program ini adalah peserta didik

belajar sesuai dengan kebutuhan masing-masing, dalam bentuk materi akademik

dan non akademik, misalanya: mengerjakan tugas atau pekerjaan rumah yang

diberikan oleh guru, mengulang/memperdalam materi pelajaran yang didapatkan

pada hari itu, dan materi pembelajaran di kelompokan sesuai dengan jenjang

pendidikan peserta didik.

Namun di sisi lain, banyak masyarakat yang beranggapan bahwa

pelaksanaan dari program Wajib Belajar Malam Hari, tidak akan berjalan dengan

baik dan efektif. Karena masih banyak terdapat kelemahan dalam pelaksanaan

program ini. Hal itu dapat dilihat dari waktu pelaksanaan program tersebut, waktu

belajar dilakukan dari pukul 19.00 sampai dengan pukul 21.00, dan setelah jam

belajar itu berakhir, tidak ada jaminan bahwa anak akan kembali berkeliaran di

luar rumah (Berita Satu 2013, Dampak Pemberlakuan Jam Wajib Belajar, diakses

tanggal 14 Oktober 2014).

Salah satu wilayah yang dijadikan pilot project untuk program Wajib

Belajar Malam Hari adalah di Kecamatan Menteng, Jakarta Pusat. Di Kecamatan

Menteng, program Wajib Belajar Malam Hari lebih dikenal dengan istilah Jam

Wajib Belajar Malam atau disingkat JWBM. Wilayah ini sudah menerapkan

program JWBM sejak tahun 2011, dan itu pun jauh sebelum Pemerintah DKI

Jakarta memberlakukan kebijakan program JWBM, artinya program ini sudah

berjalan selama tiga tahun sampai dengan 2014. Oleh karena itu, peneliti tertarik

(29)

Belajar Malam Hari Kecamatan Menteng, Jakarta Pusat pada 16 Oktober 2014,

menyatakan:

“Bahwa pemberlakuan kegiatan WBMH di Kelurahan Pegangsaan, Kecamatan Menteng sendiri sudah ada selama empat tahun, tepatnya mulai ada semenjak tahun 2011, berarti kita sudah menerapkan terlebih dulu program tersebut di sini”.

Adapun pertimbangan peneliti memilih Kecamatan Menteng menjadi

locus penelitian karena Kecamatan Menteng menjadi salah satu pilot project

implementasi Program JWBM di DKI Jakarta. Karena itu keberhasilan program

JWBM di wilayah ini akan menjadi indikator keberhasilan dari keseluruhan

wilayah di DKI Jakarta. Masyarakat di Kecamatan Menteng relatif masih banyak

yang memiliki respon positif dalam menanggapi berbagai kebijakan yang

dikeluarkan Pemerintah DKI Jakarta. Wilayah tersebut memiliki jumlah penduduk

yang padat dengan heterogenitas yang cukup tinggi, meliputi suku bangsa yang

beragam, diferensiasi pekerjaan/profesi, ragam status dan tingkat perekonomian

warga, tingkat pendidikan yang bermacam-macam dan lain-lain. Hal lainnya yang

menjadi kontradiksi dalam memacu sinergi Program WBMH di wilayah ini adalah

banyak munculnya sarana hiburan seperti rental Playstation (PS), warung internet

(warnet) game, kafe-kafe, dan lain-lain. Tempat-tempat seperti ini menjadi favorit

sebagian warga termasuk pelajar-pelajar sekolah. Kondisi ini akan menjadi

tantangan dalam upaya untuk mendorong keberhasilan program WBMH.

Tetapi dalam pelaksanaan program WBMH di Kecamatan Menteng,

Kelurahan Pegangsaan Jakarta Pusat masih terdapat beberapa masalah yang

dihadapi dalam menjalankan program tersebut. Berdasarkan dari hasil observasi

(30)

prasarana beserta kelengkapan belajar yang disediakan Pemerintah DKI Jakarta

untuk kegiatan Program Wajib Belajar Malam Hari di Kelurahan Pegangasaan,

Kecamatan Menteng. Sedangkan sarana dan prasarana yang ada, hanyalah pos

ronda kecil yang dibangun oleh masyarakat setempat, dan kelengkapan belajar

seperti buku, adalah hasil sumbangan masyarakat setempat. Berdasarkan

Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 22 Tahun 2014, Pasal 7:

“Bahwa sarana dan prasarana yang digunakan untuk wajib belajar malam hari meliputi:

a. Rumah tinggal; b. Balai warga;

c. Pusat kegiatan belajar masyarakat; d. Sarana ibadah; dan

e. Sarana lainnya yang memadai.

Namun, rumah tinggal yang seharusnya menjadi sarana untuk kegiatan

program JWBM tidak kondusif untuk anak atau peserta didik belajar dengan baik.

Menurut Dadang ketua LMK RW 06 pada tanggal 16 Oktober 2014, mengatakan:

“Anak-anak atau peserta didik yang mengikuti kegiatan JWBM di rumah umumnya tidak dapat belajar dengan baik karena situasi di rumah itu sendiri tidak kondusif”. Salah satu faktornya adalah karena umumnya di setiap rumah ditempati oleh beberapa kepala keluarga, jadi kondisi yang ramai tersebut membuat konsentrasi anak terganggu, sehingga tidak dapat belajar dengan baik”.

Kecamatan Menteng merupakan salah satu wilayah padat penduduk di

DKI Jakarta, terutama di Kelurahan Pegangsaan. Tabel di bawah ini menunjukan

(31)

Tabel 1.2

Profil Kecamatan Menteng

No Kelurahan Luas (Km²) KK RT RW

1 Menteng 2,44 4.711 137 10

2 Pegangsaan 0,98 10.780 104 8

3 Cikini 0,82 2.258 66 5

4 Gondang Dia 1,46 1.320 40 5

5 Kebon Sirih 0,83 3.459 77 10

Total 6,53 22.528 424 38

Sumber: Kecamatan Menteng Dalam Angka 2012

Dari data di atas menunjukan bahwa Kelurahan Pegangsaan adalah

kelurahan dengan kepadatan tertinggi di Kecamatan Menteng, yaitu terdapat

10.780 Kepala Keluarga dan Kelurahan Gondang Dia adalah kelurahan dengan

kepadatan terendah yaitu 1.320 Kepala Keluarga. Dan Sarana dan prasarana lain

yang ada di Kelurahan Pegangsaan, Kecamatan Menteng guna kegiatan WBMH,

antara lain:

Tabel 1.3

Sarana dan prasarana umum Program Jam Wajib Belajar Malam di Kelurahan Pegangsaan, Kecamatan Menteng, Jakarta Pusat

No Sarana yang tersedia Jumlah Lokasi

1 Gardu Ilmu 2 RW 06 dan RW 08

2 Pendopo Ilmu 1 RW 06

3 Pos RW 2 RW 06 dan RW 08

Sumber: Diolah peneliti dari Kelurahan Pegangsaan 2013

Berdasarkan Peraturan Gubernur Nomor 22 tahun 2014, Pasal 7, gardu

ilmu, pendopo ilmu dan pos rw tergolong di dalam sarana dan prasaran lain yang

mendukung kegiatan program WBMH. Dari data di atas menunjukan bahwa

sarana dan prasarana yang ada di Kelurahan Pegangsaan, Kecamatan Menteng

(32)

wilayah ini, mengingat bahwa di Kelurahan Pegangsaan ini merupakan wilayah

padat penduduk.

Masalah kedua yang terlihat, rendahnya partisipasi peserta didik untuk

mengikuti program Wajib Belajar Malam Hari.

Tabel 1.4

Jumlah Peserta Didik Program Jam Wajib Belajar Malam di Kecamatan Menteng

No RW Jumlah Peserta Didik

1 006 39 anak

2 008 36 anak

Total 75 anak

Sumber: Diolah peneliti dari Kelurahan Pegangsaan 2014

Tabel di atas menunjukan jumlah seluruh peserta didik di Kecamatan

Menteng sedangkan, berdasarkan observasi awal pada tanggal 9 Oktober 2014,

dari sekian banyak anak yang menjadi peserta didik dalam program WBMH, di

Kelurahan Pegangsaan, tidak semua peserta didik datang untuk mengikuti

kegiatan WBMH, hanya nampak sekitar 20 anak di pos RW 06 yang mengikuti

program ini. Hal ini menunjukan rendahnya tingkat partisipasi peserta didik untuk

mengikuti program WBMH tersebut.

Masalah ketiga yaitu, kurangnya peran dari orangtua peserta didik untuk

mendukung dalam pelaksanakan program WBMH, terutama tugas orangtua

sebagai garda terdepan dalam mengawasi anak. Dalam menjalankan program ini,

pengawasan dilakukan secara bersama, baik itu orangtua maupun masyarakat

setempat. Peran dari masyarakat dan orangtua dalam program ini adalah sebagai

(33)

“Umumnya orangtua dari anak di daerah sini terkesan tidak peduli terhadap kegiatan jam malam ini. Apabila sudah mendekati jam tujuh malam orangtua tetap saja menyalakan tv sampai larut malam. Biasanya orangtua ini beralasan acara tv pada jam-jam tersebut adalah tontonan favoritnya”.

Hal tersebut bertentangan dengan tugas orangtua sebagai fasilitator dalam

program WBMH, sebagaimana terdapat dalam Peraturan Gubernur Provinsi DKI

Jakarta Nomor 22 Tahun 2014 tentang Wajib Belajar Malam Hari, Pasal 6

menyebutkan Ayat (2) :

“Tugas dan tanggung jawab fasilitator sebagaimana dimaksud pada ayat meliputi :

a. Memotivasi peserta didik; b. Mendampingi peserta didik;

c. Membimbing dalam mata pelajaran; dan d. Menyediakan sarana dan prasarana belajar.

Pelaksanaan program WBMH yang dilaksanakan di rumah diatur

berdasarkan Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 22 Tahun 2014

tentang Wajib Belajar Malam Hari Pasal, 8 Ayat(3):

“Bagi peserta didik yang belajar di rumah didampingi dan dibimbing oleh orangtua/wali dan/atau anggota keluarga lainya serta dilakukan tahapan sebagai berikut :

1. Menghentikan seluruh kegiatan yang menggangu pelaksanaan wajib belajar malam hari;

2. Mengkondisikan peserta didik untuk belajar; dan

3. Membantu peserta didik dalam menyelesaikan belajarnya.

Namun kurangnya peran serta dari orangtua peserta didik untuk ikut

melaksanakan dan mengawasi program ini, menjadi kendala besar untuk

keberhasilan program tersebut. Tentunya hal tersebut menjadi permasalahan yang

penting untuk dikaji, mengingat peran dari orangtua sebagai fasilitator, dan

bertugas untuk memotivasi semangat anak agar meningkatkan prestasi dalam

(34)

Apabila peran dari orangtua sendiri sudah tidak mendukung, maka tujuan

pelaksanaan program WBMH, yakni agar anak dapat memperoleh prestasi

akademik yang baik, akan sulit terwujud.

Masalah keempat yaitu, kurangnya guru pengajar sebagai pendamping

dalam kegiatan program WBMH. Guru pendamping yang ada hanya berjumlah 2

(dua) orang guru saja, yaitu bapak Zaky dan ibu Pipit. Menurut Zaky, salah

seorang guru RW 06 pada tanggal 16 Oktober 2014, mengatakan :

“Disini kita kekurangan tenaga pengajar dalam mendampingi anak-anak untuk belajar. Dari sekian banyak anak yang ikut program ini, hanya ada 2 orang guru pendamping saja untuk mendampingi mereka, yaitu saya dan ibu Pipit.”

Kurangnya tenaga pendidk menjadi salah satu permasalahan yang terdapat

dalam pelaksanaan program WBMH ini, karena guru berperan sebagai pemberi

utama materi kepada peserta didik dalam kegiatan program WBMH ini.

Masalah kelima yaitu, kurangnya peran dari pemerintah daerah setempat

dalam mengawasi dan pelaksanaan program WBMH. Pemerintah daerah sebagai

pembuat keputusan program pilot project ini sudah seharusnya berperan aktif

untuk mengawasi penyelenggaraan program WBMH. Menurut Dadang Ketua

LMK RW 06 pada tanggal 16 Oktober 2014, mengatakan:

(35)

Pernyataan tersebut menandakan bahwa kurangnya peran dari Pemerintah

DKI Jakarta dalam mengawasi pelaksanaan program WBMH di Kecamatan

Menteng, Jakarta Pusat.

Atas dasar latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka peneliti

tertarik untuk mengetahui permasalahan ini. Oleh karena itu peneliti memberi

judul “Evaluasi Peraturan Gubernur Nomor 22 Tahun 2014 Tentang Wajib

Belajar Malam Hari di Kecamatan Menteng Jakarta Pusat”.

1.2 Identifikasi Masalah

1. Tidak adanya fasilitas sarana dan prasarana beserta kelengkapan

belajar yang disediakan oleh Pemerintah DKI Jakarta untuk kegiatan

program Wajib Belajar Malam Hari di Kecamatan Menteng Jakarta

Pusat.

2. Rendahnya partisipasi peserta didik dalam mengikuti kegiatan program

Wajib Belajar Malam Hari.

3. Kurangnya peran dari orangtua peserta didik dan masyarakat di

Kecamatan Menteng untuk mendukung berlangsungnya kegiatan

Wajib Belajar Malam Hari.

4. Kurangnya tenaga pendidik sebagai pendamping dalam kegiatan

program Wajib Belajar Malam Hari.

5. Kurangnya peran dari Pemerintah DKI Jakarta untuk mengawasi

(36)

1.3 Batasan Masalah

Dalam penelitian ini, peneliti membatasi ruang lingkup permasalahan

pada: Evaluasi Peraturan Gubernur Nomor 22 Tahun 2014 Tentang Wajib Belajar

Malam Hari di Kecamatan Menteng Jakarta Pusat.

1.4 Rumusan Masalah

Dengan bertitik tolak pada latar belakang penelitian di atas, maka peneliti

mengangkat rumusan masalah dalam penelitian Evaluasi Program Jam Wajib

Belajar Malam (JWBM) di Kecamatan Menteng Jakarta Pusat, yaitu:

1. Bagaimana Evaluasi Peraturan Gubernur Nomor 22 Tahun 2014 Tentang

Wajib Belajar Malam Hari di Kecamatan Menteng Jakarta Pusat?

2. Bagaimana pelaksanaan program Wajib Belajar Malam Hari di Kecamatan

Menteng Jakarta Pusat?

1.5 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengevaluasi Peraturan Gubernur Nomor 22 Tahun 2014 Tentang

Wajib Belajar Malam Hari di Kecamatan Menteng Jakarta Pusat.

2. Mengidentifikasi masalah pelaksanaan program Wajib Belajar Malam

(37)

1.6 Manfaat Penelitian

a) Secara Teoritis

1. Untuk mengetahui hubungan antara teori dengan praktik yang ada

di lapangan.

2. Untuk dapat memberikan input atau masukan mengenai kebijakan

publik.

b) Secara Praktis

1. Bagi pemerintah, diharapkan dapat menjadi masukan bagi Dinas

Pendidikan Provinsi DKI Jakarta dan masyarakat untuk

mendukung dan mengawasi Program Wajib Belajar Malam Hari.

2. Bagi peneliti dapat memberikan input dan menambah pengetahuan

dan wawasan serta melatih kemampuan menganalisis khususnya di

bidang kebijakan publik.

3. Manfaat bagi masyarakat adalah membangun kesadaran masyarakat terutama dalam meningkatkan prestasi siswa di bidang akademik, sesuai dengan tujuan Program Wajib Belajar Malam Hari itu sendiri.

1.7 Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini menjelaskan tentang latar belakang dalam penelitian

penelitian tersebut, lalu identifikasi masalah, batasan penelitian, rumusan

(38)

BAB II DESKRIPSI TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR

Pada bab ini, peneliti memaparkan teori-teori dari beberapa ahli

yang relevan terhadap masalah dalam penelitian. Setelah memaparkan

teori, lalu membuat kerangka berpikir yang menggambarkan alur pikiran

peneliti sebagai kelanjutan dari deskripsi teori terhadap permasalahan yang

diteliti.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Bab ini menjelaskan tentang metode apa yang akan digunakan

dalam penelitian. Selain itu dalam bab ini juga akan dijelaskan tentang

instrumen penelitian, teknik pengumpulan data, informan penelitian,

teknik analisis data, dan uji validitas.

BAB IV HASIL PENELITIAN

Hasil penelitian mencangkup deskripsi objek penelitian yang

meliputi lokasi penelitian secara jelas, struktur organisasi dari objek yang

diteliti, serta hal lain yang berhubungan dengan objek penelitian. Selain itu

juga mencangkup deskripsi data yang menjelaskan hasil penelitian yang

telah diolah dengan menggunakan teknik analisa data yang relevan.

Kemudian dalam bab ini juga terdapat interpretasi hasil penelitian dan

(39)

BAB V PENUTUP

Bab ini terbagi ke dalam dua bagian yaitu bagian kesimpulan dan

saran. Dalam bab ini akan dikemukakan kesimpulan dari analisis dan

pembahasan yang dikemukakan sebelumnya. Sedangkan pada bagian

saran akan dikemukakan saran demi perbaikan sebagai hasil akhir dari

(40)

2.1 Deskripsi Teori

Deskripsi teori menjelaskan tentang teori atau konsep yang dipergunakan

dalam penelitian yang sifatnya utama di mana tidak tertutup kemungkinan untuk

bertambah seiring dengan pengambilan data dilapangan (Fuad & Nugroho 2012:56).

Deskripsi teori menjadi pedoman dalam penelitian ini untuk menjelaskan dengan

fenomena-fenomena sosial yang terjadi dalam penelitian. Teori yang relevan peneliti

kaji sesuai dengan masalah-masalah yang telah diuraikan pada bab sebelumnya.

Penelitian mengenai Evaluasi Peraturan Gubernur Nomor 22 Tahun 2014

Tentang Wajib Belajar Malam Hari Di Kecamatan Menteng Jakarta Pusat dikaji

dengan beberapa teori dalam ruang lingkup administrasi negara konsentrasi kebijakan

publik, yaitu: Evaluasi Program, Tujuan Evaluasi Program, Model Evaluasi, Wajib

Belajar Malam Hari dan untuk melengkapinya peneliti lampirkan penelitian terdahulu

(41)

2.2 Konsep Evaluasi Program

2.2.1 Pengertian Evaluasi

Evaluasi berasal dari kata bahasa Inggris “evaluation” yang diserap dalam

perbendaharaan istilah bahasa Indonesia dengan tujuan mempertahankan kata aslinya

dengan sedikit penyesuaian lafal Indonesia menjadi “evaluasi” yang dapat diartikan

memberikan penilaian dengan membandingkan sesuatu hal dengan satuan tertentu

sehingga bersifat kuantitatif.

Pengertian evaluasi yang bersumber dari kamus Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English evaluasi adalah to find out, decide the amount or value yang artinya suatu upaya untuk menentukan nilai atau jumlah. Selain arti berdasarkan terjemahan, kata-kata yang terkandung didalam definisi tersebut pun menunjukan bahwa kegiatan evaluasi harus dapat dilakukan secara hati-hati, bertanggung jawab, menggunakan strategi, dan dapat dipertanggungjawabkan. (Arikunto, 2007:1).

Anderson (dalam Arikunto 2004:1) memandang evaluasi sebagai sebuah

proses menentukan hasil yang telah dicapai beberapa kegiatan yang direncanakan

untuk mendukung tercapainya tujuan. Definisi lain dikemukakan oleh Worthen &

Sanders (dalam Arikunto 2004 :1), yang mengatakan bahwa evaluasi adalah kegiatan

mencari sesuatu yang berharga tentang sesuatu; dalam mencari sesuatu tersebut, juga

termasuk mencari informasi yang bermanfaat dalam menilai keberadaan suatu

program, produksi, prosedur, serta alternatif strategi yang diajukan untuk mencapai

tujuan yang sudah ditentukan. Seorang ahli yang terkenal dalam evaluasi program

bernama Stufflebeam (dalam Arikunto 2004:1) mengatakan bahwa evaluasi

merupakan proses penggambaran, pencarian, dan pemberian informasi yang sangat

(42)

Tyler (dalam Tayibnapis 2000:3) mendefinisikan bahwa evaluasi ialah proses yang

menetukan sampai sejauh mana tujuan pendidikan dapat dicapai. Selanjutnya, Stark

& Thomas (dalam Widyoko 2014:4) mengatakan bahwa, “evaluation is the process of

ascertaining the decision of concern, selecting appropriate information, and

collecting and analyzing information in order to report summary data useful to

decision makers in selecting among alternatives”. Evaluasi merupakan suatu proses

atau kegiatan pemilihan, pengumpulan, analisis dan penyajian informasi yang dapat

digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan serta penyusunan program

selanjutnya.

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa evaluasi adalah

kegiatan untuk mengumpulkan informasi tentang bekerjanya sesuatu, yang

selanjutnya informasi tersebut digunakan untuk menentukan alternatif yang tepat

dalam mengambil sebuah keputusan.

2.2.2 Pengertian Program

Joan L. Herman (dalam Tayibnapis 2000:9) mengatakan, program ialah segala

sesuatu yang dicoba dengan harapan akan mendatangkan hasil atau pengaruh.

Kemudian Arikunto (2009:4) pengertian secara umum dapat diartikan bahwa

program adalah sebuah bentuk rencana yang akan dilakukan. Apabila program ini

(43)

kebijakan, berlangsung dalam proses yang berkesinambungan dan terjadi dalam suatu

organisasi yang melibatkan sekelompok orang. Menurut Arikunto (2009:4) ada tiga

pengertian penting yang perlu ditekankan dalam menentukan program, yaitu: (i)

program adalah realisasi atau implementasi dari suatu kebijakan; (ii) terjadi dalam

kurun waktu yang lama dan bukan kegiatan tunggal tetapi jamak berkesinambungan;

dan (iii) terjadi dalam organisasi yang melibatkan sekelompok orang.

Sebuah program bukan hanya kegiatan tunggal yang dapat diiselesaikan

dalam waktu singkat, tetapi merukan kegiatan yang berkesinambungan karena

melaksanakan suatu kebijakan. Oleh karena itu, sebuah program dapat berlangsung

dalam kurun waktu yang relatif lama. Pengertian program adalah suatu unit atau

kesatuan kegiatan, maka program merupakan sebuah sistem, yaitu rangkaian kegiatan

yang dilakukan bukan hanya satu kali tetapi berkesinambungan. Pelaksanaan program

selalu terjadi di dalam sebuah organisasi, yang artinya harus melibatkan sekelompok

orang.

2.2.3 Pengertian Evaluasi Program

Mugiadi (dalam Sudjana 2006:21) menjelaskan bahwa evaluasi program

adalah upaya pengumpulan informasi mengenai suatu program, kegiatan, atau

proyek. Informasi tersebut berguna bagi pengambilan keputusan, antara lain untuk

memperbaiki program, menyempurnakan kegiatan program lanjutan, menghentikan

(44)

kegiatan. Informasi yang dikumpulkan harus memenuhi persyaratan ilmiah, praktis,

tepat guna, dan sesuai dengan nilai yang mendasari dalam setiap pengambilan

keputusan.

Ralp Tyler (dalam Arikunto 2009:5) mendefinisikan bahwa evaluasi program

adalah proses untuk mengetahui apakah tujuan program sudah dapat terealisasi.

Sedangkan Cronbach & Stufflebeam (dalam Arikunto 2009:5) evaluasi program

adalah upaya menyediakan informasi untuk disampaikan kepada pengambil

keputusan. Arikunto (2004:14) evaluasi program adalah proses penetapan secara

sistematis tentang nilai, tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Proses penetapan

keputusan itu didasarkan atas perbandingan secara hati-hati terhadap data yang

diobservasi dengan menggunakan standar tertentu yang telah dibakukan. Sedangkan

menurut Widyoko (2009:10), evaluasi program biasanya dilakukan untuk

kepentingan pengambilan keputusan dalam rangka menetukan kebijakan selanjutnya.

Melalui evaluasi suatu program dapat dilakukan penilaian secara sistematik, rinci dan

menggunakan prosedur yang sudah diuji secara cermat.

Dari beberapa pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa evaluasi program

merupakan proses pengumpulan data atau informasi yang ilmiah yang hasilnya dapat

digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi pengambil keputusan dalam menunjukan

alternatif kebijakan. Dengan menggunakan metode tertentu akan diperoleh data yang

(45)

yang digunakan sebagai dasar pertimbangan tersebut adalah data yang tepat, baik dari

segi isi, cakupan, format, maupun tepat dari segi penyampaian.

2.3 Tujuan Evaluasi Program

Scriven (dalam Tayibnapis 2000:4) adalah orang pertama yang membedakan

antara evaluasi formatif dan evaluasi sumatif sebagai fungsi evaluasi. Kemudian

Stufflebeam (dalam Tayibnapis 2000:4) juga membedakan sesuai di atas yaitu

proactive evaluation untuk melayani pemegang keputusan, dan retroactive evaluation

untuk keperluan pertanggungjawaban. Evaluasi dapat mempunyai dua fungsi, yaitu

fungsi formatif, evaluasi dipakai untuk perbaikan dan pengembangan kegiatan yang

sedang berjalan, seperti: program, orang, produk, dan sebagainya. Dan fungsi

sumatif, evaluasi dipakai untuk pertanggungjawaban, keterangan, seleksi atau

lanjutan. Jadi evaluasi hendaknya membantu pengembangan, implementasi,

kebutuhan suatu program, perbaikan program, pertanggungjawaban, seleksi,

motivasi, menambah pengetahuan dan dukungan dari mereka yang terlibat.

Arikunto (2009:25), secara singkat evaluasi program merupakan upaya untuk

mengukur ketercapaian program, yaitu mengukur seberapa jauh sebuah kebijakan

dapat terimplementasikan. Seperti disebutkan oleh Sudjana (2006:48) tujuan khusus

evaluasi program terdapat enam hal, yaitu:

1.) Memberikan masukan bagi perencanaan program;

2.) Menyajikan masukan bagi pengambil keputusan yang berkaitan dengan tindak lanjut, perluasan atau penghentian program;

(46)

4.) Memberikan masukan yang berkenaan dengan faktor pendukung dan penghambat program;

5.) Memberi masukan untuk kegiatan motivasi dan pembinaan (pengawasan, supervisi, dan monitoring) bagi penyelenggara, pelaksana, dan pelaksana program;

6.) Menyajikan data tentang landasan keilmuan bagi evaluasi program pendidikan luar sekolah.

Dilihat dari tujuannya, yaitu ingin mengetahui kondisi sesuatu, maka evaluasi

program dapat dikatakan merupakan salah satu bentuk dari penelitian, yaitu

penelitian evaluatif. Oleh karena itu, dalam pembicaraan evaluasi program, pelaksana

berpikir yang menentukan langkah sebagaimana melaksanakan penelitian.

Menurut Arikunto (2009:7), terdapat perbedaan yang mencolok antara

penelitian dan evaluasi program, adalah sebagai berikut :

a. Dalam kegiatan penelitian, peneliti ingin mengetahui gambaran tentang sesuatu kemudian hasilnya dideskripsikan, sedangkan dalam evaluasi program pelaksana ingin mengetahui seberapa tinggi mutu atau kondisi sesuatu sebagai hasil pelaksanaan program, setelah data yang terkumpul dibandingkan dengan kriteria atau standar tertentu.

b. Dalam kegiatan penelitian, peneliti dituntut oleh rumusan masalah karena ingin mengetahui jawaban dari penelitiannya, sedangkan dalam evaluasi program pelaksana ingin mengetahui letak kekurangan itu dan apa sebabnya.

Dengan adanya uraian di atas, dapat dikatakan bahwa evaluasi program

merupakan penelitian evaluatif, dimaksudkan untuk mengetahui akhir dari adanya

kebijakan dalam rangka menentukan rekomendasi atas kebijakan yang lalu, yang

(47)

2.4 Model Evaluasi

2.4.1 Model Evaluasi UCLA

Alkin (dalam Tayibnapis 2000:15) menulis tentang kerangka kerja evaluasi

yang hampir sama dengan model CIPP. Alkin mendefinisikan evaluasi sebagai suatu

proses meyakinkan keputusan, memilih informasi yang tepat, mengumpulkan, dan

menganalisis informasi sehingga dapat melaporkan ringkasan data yang berguna bagi

pembuat keputuan dalam memilih beberapa alternatif. Ia mengemukakan lima macam

evaluasi, yakni:

a. System assessment, yang memberikan informasi tentang keadaan atau posisi

sitem.

b. Program planning, membantu pemilihan program tertentu yang mungkin akan

berhasil memenuhi kebutuhan program.

c. Program implementation, yang menyiapkan informasi apakah program sudah

diperkenalkan kepada kelompok tertentu yang tepat seperti yang

direncanakan?

d. Program improvement, yang memberikan informasi tentang bagaimana

program berfungsi, bagaimana program bekerja, atau berjalan? Apakah

menuju pencapaian tujuan, adalkah hal-hal atau masalah-masalah baru yang

muncul tak terduga?

e. Program certification, yang memberi informasi tentang nilai atau guna

(48)

2.4.2 Model Evaluasi Brinkerhoff

Setiap desain evaluasi umumnya terdiri atas elemen-elemen yang sama, ada

banyak cara untuk menggabungkan elemen tersebut, masing-masing ahli atau

evaluator mempunyai konsep yang berbeda dalam hal ini. Brinkerhoff (dalam

Tayibnapis 2000:15-16) mengemukakan tiga golongan evaluasi yang disusun

berdasarkan penggabungan elemen-elemen yang sama, seperti evaluator-evaluator

lain, namun dalam komposisi dan versi mereka sendiri sebagai berikut:

a. Fixed vs Emergent Evaluation Design. Dapatkah masalah evaluasi dan kriteria

akhirnya dipertemukan? Apabila demikian, apakah itu suatu keharusan?

b. Formative vs Summative Evaluation. Apakah evaluasi akan dipakai untuk

perbaikan atau untuk melaporkan kegunaan atau manfaat suatu program? Atau

keduanya?

c. Experimental and Quasi Ecperimental Design vs Natural/ Unobtrusive

Inquiry. Apakah evaluasi akan melibatkan intervensi ke dalam kegiatan

program/memanipulasi kondisi, orang diperlakukan, variabel ddipengaruhi

dan sebagainya, atau hanya diamati, atau keduanya?

Jawaban untuk ketiga pertanyaan tersebut mungkin tidak terlalu tepat, namun

kategori-kategori yang dikemukakan oleh pembagian yang luas ini mencerminkan

(49)

Secara umum hal ini akan menolong dalam mengembangkan langkah awal yang membantu untuk menerangkan, memberi petunjuk, dan menilai tugas-tugas evaluasi.

2.4.3 Model Evaluasi Stake atau Model Countenance

Stake (dalam Tayibnapis 2000:21), analisis proses evaluasi yang dikemukakannya membawa dampak yang cukup besar dalam bidang ini, dan meletakan dasar yang sederhana namun merupakan konsep yang cukup kuat untuk perkembangan yang lebih jauh dalam bidang evaluasi. Stake menekankan adanya dua dasar kegiatan dalam evaluasi, ialah: Descriptions dan Judgement, dan membedakan adanya tiga tahap dalam program pendidikan, yaitu: Antecedents (Context),

Transaction (Process), dan Outcomes (Output).

Gambar 2.1 Model Evaluasi Stake

Matrix Description menunjukan Intens (Goals) dan Obsevations (Effect) atau yang sebenarnya terjadi. Judgements mempunyai dua aspek, yaitu Standard dan

RASIONAL INTENTS OBSERVATIONS STANDARDS JUDGEMENT

ANTECE-DENTS

TRANSA-CTIONS OUTCO-MES

DESCRIPTION MATRIX

(50)

Judgement. Stake (dalam Tayibnapis 2000:22) mengatakan, bahwa apabila kita

menilai suatu program pendidikan, kita melakukan perbandingan yang relatif antara

satu program dengan program lain, atau perbandingan yang absolut (satu program

dengan standard).

Penekanan yang umum atau hal yang penting dalam model ini ialah, bahwa

evaluator yang membuat penilaian tentang program yang dievaluasi. Stake (dalam

Tayibnapis 2000:22) mengatakan description di satu pihak berbeda dengan

judgement atau menilai. Dalam model ini, antecedents (masukan), transaction

(proses), dan outcomes (hasil) data dibandingkan tidak hanya untuk menentukan

apakah ada perbedaan tujuan dengan keadaan yang sebenarnya, tetapi juga

dibandingkan dengan standar yang absolute, untuk menilai manfaat program.

Sujdana (2006:51), berpendapat bahwa model evaluasi program dapat

dikelompokan dalam enam kategori, yaitu:

a. Model evaluasi terfokus pada pengambilan keputusan (jenis inilah yang terbanyak digunakan).

b. Model evaluasi terhadap unsur-unsur program. c. Model evaluasi terhadap jenis/tipe kegiatan program. d. Model evaluasi terhadap proses pelaksanaan program. e. Model evaluasi terhadap pencapaian tujuan program. f. Model evaluasi terhadap hasil dan pengaruh program.

Kegunaan utama model ini untuk mengkaji sejauhmana suatu lembaga

penyelenggara dan pengelola pelayanan program pendidikan kepada masyarakat telah

(51)

hasil-hasil program yang tidak tercapai, model ini awalnya dikembangkan untuk

mengevaluasi proyek-proyek pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM).

2.4.4 Model Evaluasi CIPP

Model ini menurut Stufflebeam (dalam Tayibnapis 2000:14) pendekatan yang

berorientasi pada pemegang keputusan (a decision oriented evaluation approach

structured) untuk menolong administrator dalam membuat keputusan. Ia

merumuskan evaluasi sebagai suatu proses menggambarkan, memperoleh, dann

menyediakan informasi yang berguna untuk menilai alternatif keputusan. Dia

membuat pedoman kerja untuk melayani para manajer dan administrator menghadapi

empat macam keputusan pendidikan, membagi evaluasi menjadi empat macam, yaitu:

a. Context evaluation to serve planning decision. Konteks evaluasi ini

membantu merencanakan keputusan, menentukan kebutuhan yang akan

dicapai oleh program, dan merumuskan tujuan program (Tayibnapis 2000:14).

Stufflebeam (dalam Hasan 2008:216) menyebutkan, tujuan evaluasi konteks

yang utama adalah untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan yang dimiliki evaluan,

dengan mengetahui kekuatan dan ini, evaluator akan dapat memberikan arah

perbaikan yang diperlukan. Arikunto (2004:29) menjelaskan bahwa, evaluasi konteks

adalah upaya untuk menggambarkan dan merinci lingkungan kebutuhan yang tidak

terpenuhi, populasi dan sampel yang dilayani, dan tujuan proyek. Dalam hal ini

Arikunto (2004:29) memberikan contoh evaluasi Program Makanan Tambahan Anak

(52)

saja yang belum terpenuhi oleh program, misalnya jenis makanan dan siswa yang

belum menerima?; (b) tujuan pengembangan apakah yang belum tercapai oleh

program, misalnya peningkatan kesehatan dan prestasi siswa karena adanya makanan

tambahan?; (c) tujuan pengembangan apakah yang dapat membantu megembangkan

masyarakat, misalnya kesadaran orangtua untuk memberikan makanan yang bergizi

kepada anaknya?; (d) tujuan-tujuan manakah yang paling mudah untuk dicapai,

misalnya pemerataan makanan, ketepatan penyediaan makanan?

b. Input evaluation, structuring decision. Evaluasi ini menolong mengatur

keputusan. Menentukan sumber-sumber yang ada, alternatif apa yang diambil,

apa rencana dan strategi untuk mencapai kebutuhan. Bagaimana prosedur

kerja untuk mencapainya (Tayibnapis 2000:14).

Tahap kedua dari model CIPP adalah evaluasi input, atau evaluasi masukan.

Menurut Widyoko (2014:182), evaluasi masukan membantu mengatur keputusan,

menentukan sumber-sumber yang ada, alternatif apa yang diambil, apa rencana dan

strategi untuk mencapai tujuan, dan bagaimana prosedur kerja untuk mencapainya.

Komponen evaluasi masukan meliputi: (1) Sumber Daya Manusia (SDM); (2) saran

dan peralatan yang pendukung; (3) dana atau anggaran; dan (4) berbagai prosedur dan

aturan yang diperlukan. Suharsimi (2004:30) memberikan contoh

pertanyaan-pertanyaan evaluasi PMTAS yang dapat diajukan pada tahap evaluasi masukan ini:

(53)

atas makanan tambahan itu?; (3) bagaimana reaksi siswa terhadap pelajaran setelah

menerima makanan tambahan?; (4) seberapa tinggi tingkat kenaikan nilai siswa

setelah menerima makanan tambahan?

c. Process evaluation, to serve implementing decision. Evaluasi proses untuk

membantu mengimplementasikan keputusan. Sampai sejauh mana rencana

yang telah diterapkan? Apa yang harus direvisi? Begitu pertanyaan tersebut

terjawab, prosedur dapat dimonitor, dikontrol, dan diperbaiki (Tayibnapis

2000:14).

Worthen & Sanders (dalam Widyoko 2014:182) menjelaskan bahwa, evaluasi

proses menekankan pada tiga tujuan: (1) do detect or predict in procedural design or

its implementation stage; (2) to provide information for programmed decision; and

(3) to maintain a record of the procedure as it occurs. Evaluasi proses digunakan

untuk mendeteksi atau memprediksi rancangan prosedur atau rancangan

implementasi selama tahap implementasi, menyediakan informasi untuk keputusan

program dan sebagai rekaman atau arsip prosedur yang telah terjadi. Evaluasi proses

meliputi koleksi data penilaian yang telah ditentukan dan diterapkan dalam praktik

pelaksanaan program. Pada dasarnya evaluasi proses untuk mengetahui sampai sejauh

mana rencana telah diterapkan dan komponen apa yang perlu diperbaiki. Sedangkan

menurut Suharsimi (2004:30), evaluasi proses dalam model CIPP menunjuk pada

“apa” (what) kegiatan yang dilakukan dalam program, “siapa” (who) oramg yamg

(54)

Dalam model CIPP, evaluasi proses di arahkan pada seberapa jauh kegiatan yang

dilaksanakan di dalam program sudah terlaksana sesuai dengan rencana. Stuflebeam

(dalam Arikunto 2004:30) mengusulkan pertanyaan-pertanyaan untuk evaluasi

proses, sebagai berikut: (1) apakah pelaksana program sesuai dengan jadwal?; (2)

apakah staf yang terlibat di dalam pelaksanaan program akan sanggup menangani

kegiatan selama program berlangsung dan kemudian jika dilanjutkan?; (3) apakah

sarana dan prasarana yang di sediakan dimanfaatkan secara maksimal?; (4)

hambatan-hambatan apa saja yang yang di jumpai selama pelaksanaan program dan

kemunginan jika program dilanjutkan?

d. Product evaluation, to serve recycling decision. Evaluasi produk untuk

menolong keputusan selanjutnya. Apa hasil yang telah dicapai? Apa yang

dilakukan setelah program berjalan? Huruf pertama dari konteks evaluasi

dijadikan ringkasan CIPP, model ini terkenal dengan nama CIPP oleh

Stufflebeam (Tayibnapis 2000:14).

Sax (dalam Widyoko 2014:183) memberikan pengertian evaluasi produk atau

hasil adalah “to allow to project director (or teacher) to make decision of program”.

Dari evaluasi proses diharapakan dapat membantu pimpinan proyek atau guru untuk

membuat keputusan yang berkenaan dengan kelanjutan, akhir, maupun modifikasi

program. Dari pendapat tersebut maka dapat di tarik kesimpulan bahwa, evaluasi

(55)

sebelumnya. Pada tahap evaluasi inilah seorang evaluator dapat menentukan atau

memberikan rekomendasi kepada evaluan, apakah suatu program dapat dilanjutkan,

di kembangkan/modifikasi, atau bahkan di hentikan. Pada tahap evaluasi ini Arikunto

(2004:31) memberi contoh pertanyaan evaluasi PMTAS, sebagai berikut: (1) apakah

tujuan-tujuan yang ditetapkan sudah tercapai?; (2) pernyataan-pernyataan apakah

yang mungkin di rumuskan berkaitan antara rincian proses dalam pencapaian tujuan?;

(3) dalam hal apakah berbagai kebutuhan siswa sudah dapat di penuhi selama proses

pemberian makanan tambahan, misalnya variasi makanan, banyaknya ukuran

makanan, dan ketepatan waktu pemberian?; dan (4) apakah dampak yang di peroleh

siswa dalam waktu yang relatif panjang dengan adanya program makanan tambahan

ini?

Model evaluasi ini dikembangkan oleh Daniel Stufflebeam (1967) di Ohio

State University. Evaluasi ini pada awalnya digunakan untuk mengevaluasi ESEA

(the Elementary and Secondary Education Act). CIPP merupakan singkatan dari,

context evaluation (evaluasi terhadap konteks), input evaluation (evaluasi terhadap

proses), process evaluation (evaluasi terhadap proses), dan product evaluation

(evaluasi terhadap hasil). Keempat singkatan dari CIPP itulah yang menjadi

komponen evaluasi. Model CIPP berorientasi pada suatu keputusan. Menurut

Stufflebeam (dalam Widyoko 2014:181) mengungkapakan bahwa, “the CIPP

approach is based on the view that the moest important purpose of evaluation is not

Gambar

Tabel di bawah ini menunjukan wilayah yang dijadikan pilot project program
Tabel 1.3 Sarana dan prasarana umum Program Jam Wajib Belajar Malam di
Gambar 2.1 Model Evaluasi Stake
Gambar 2.2 Fokus Evaluasi Model CIPP
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada awalnya masyarakat yang berada di sampit sangat konformitas terhadap persinggungan budaya hal ini dikarenakan tragedi sampit yang menjatuhkan korban jiwa

Dua kejadian itu adalah,  pertama , adanya petisi dari 241 tokoh (sebenarnya 258 tokoh,­ pen

Mempengaruhi Kinerja Sistem Informasi Akuntansi Berbasis Komputer pada PT. Telekomunikasi Indonesia, Tbk Kota

(2003) yang menguji secara empiris hubungan antara komposisi dan ukuran komite audit terhadap kualitas pelaporan keuangan memperoleh bukti empiris bahwa setelah

menunjukkan bahwa pada uji Chi- Square analisis hubungan antara usia dengan komplikasi stroke memiliki nilai p= 0,124, karena nilai p >0,05 maka dapat diambil

Pada indikator anak mampu menggunakan (berkomunikasi) dengan kata-kata lisan secara efektif, berbicara dengan efektif lewat kata-kata yang diucapkan, menampakkan

Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode Maximum likelihood sehingga dalam menentukan model ARCH/GARCH terbaik pada penelitian ini berdasarkan pada nilai

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini