SKRIPSI
Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial pada Konsentrasi Kebijakan Publik
Program Studi Ilmu Administrasi Negara
Oleh:
MUHAMAD NURDIN NIM. 6661101571
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
Kecamatan Menteng Jakarta Pusat. Pembimbing I: Leo Agustino, Ph.D dan Pembimbing II: Juliannes Cadith, M.Si
Salah satu prioritas dari kebijakan pembangunan pendidikan di Provinsi DKI Jakarta adalah meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan menerapkan Program Wajib Belajar Malam Hari. Program Wajib Belajar Malam Hari ini merupakan program percontohan yang dilaksanakan pada masing-masing wilayah administratif di Jakarta, Kecamatan Menteng Jakarta Pusat adalah salah satu yang wilayah percontohan dan menjadi lokus dalam penelitian. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui capaian pelaksanaan program Wajib Belajar Malam Hari di Kecamatan Menteng, dan mengidentifikasi masalah pelaksanaan program Wajib Belajar Malam Hari. Penelitian menggunakan metode penelitian kualitatif. Pemilihan informan peneliti menggunakan teknik purposive. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pelaksanaan program belum dapat dikatakan berhasil mencapai tujuan yang ditetapkan, namun dalam pelaksanaan program masih terdapat beberapa kekurangan yang perlu perhatian untuk diperbaiki. Pelaksanaan lapangan berupa sosialisasi program, monitoring evalaluasi yang tidak berjalan. Kurangnya jumlah tenaga pendidik, fasilitas dan sarana prasarana yang tidak memadai untuk pelaksanaan program.
Menteng, Jakarta Pusat. Advisor I: Leo Agustino, Ph.D and Advisor II: Juliannes Cadit, M.Si
One of the priorities of education development policy at Jakarta Province is to increase the quality of education. One of the efforts is by implementing the Compulsory Night Education. Compulsory Night Education is a pilot program that will be implemented in each administrative area in Jakarta, sub-district Menteng of Central Jakarta is one of the pilot area and it become the focus of the research. The purpose of this research is to determine the achievement and identify the problems of Compulsory Night Education program in sub-district Menteng. The research method of this research is qualitative research. Election of researcher informants is using purposive technique. The results indicate that the program not yet succeeded in achieving the goals set, however there are still some lacks of the program that need to be repaired. Implementation of the field such as socialization, monitoring and evaluation are not work well. The lack of the number of educators, facilities and infrastructure are inadequate for the implementation of the program.
Enam hal, yaitu: Cerdas, Selalu ingin tahu, Tabah, Punya bekal dalam menuntut ilmu,
Bimbingan dari guru dan dalam waktu yang lama. (Ali Bin Abi Thalib RA)
Pengetahuan tidaklah cukup, kita harus mengamalkannya. Niat tidaklah cukup, kita harus melakukannya. (Johann Wolfgang Von Goethe)
Terimakasih ya Allah karena Engkau Telah Menganugrahkanku Nikmat Ilmu Pengetahuan yang Mampu Kugapai Sampai Detik ini Semoga Aku Mampu Mengamalkannya Sepenuh Hati
berlimpah akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi dalam rangka memenuhi salah satu syarat sarjana pada Prodi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa yang berjudul
“Evaluasi Peraturan Gubernur Nomor 22 Tahun 2014 Tentang Wajib Belajar Malam Hari Di Kecamatan Menteng Jakarta Pusat”.
Selesainya penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak yang senantiasa mendukung membimbing penulis. Maka dari itu penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Dr. H. Sholeh Hidayat, M.Pd, Rektor Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
2. Dr. Agus Sjafari, M.Si, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
3. Rahmawati, S.Sos, M.Si, Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
4. Iman Mukhroman, M. Ikom, Wakil Dekan II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
5. Kandung Sapto Nugroho, S.Sos, M.Si, Wakil Dekan III Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
6. Listyaningsih, S.Sos, M.Si selaku Ketua Prodi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
9. Juliannes Cadith, M.Si sebagai Pembimbing II yang meluangkan waktunya membantu dan memberikan masukan bagi peneliti dalam menyusun skripsi ini dari awal hingga akhir dan juga dalam perkuliahan.
10. Dr. Suwaib Amirudin, M,Si sebagai Penguji yang telah memberikan banyak masukan dan saran bagi peneliti, agar skripsi ini menjadi lebih baik.
11. Semua Dosen dan Staf Jurusan Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa yang membekali penulis dengan ilmu pengetahuan selama perkuliahan. 12. Ibu dan Bapak Syakuri yang telah memberikan kesempatan dan
kepercayaan bagi penulis untuk menempuh gelar Strata Satu. Mohon maaf apabila selama ini belum bisa memberikan yang terbaik dan belum bisa membalas segala kebaikan selama ini.
13. Terima kasih kepada kakak Yuli, Yunita, dan Amat yang memberikan semangat dalam pembuatan skripsi ini.
14. Terimakasih kepada Bapak Dadang Suherman selaku
Penanggungjawab program WBMH di Kecamatan Menteng, yang telah bersedia memberikan waktunya untuk membantu penelitian dalam skripsi ini.
15. Terimakasih kepada bapak RW dan RT, kemudian masyarakat Kecamatan Menteng sebagai narasumber yang sudah bersedia memberikan data dan informasi dalam penelitian ini.
berikan.
18. Kawan-kawan Jurusan Administrasi Negara FISIP UNTIRTA Reguler kelas B angkatan 2010, Dwie, Umam, Fityan, Syafrudin, Eka, Reni, Siska, Herly, Fany, Nisya, Agryan, Ismat, Iwenk, Nafis, Susi, Fauzi, Fachrurozy, Novryan, yang selalu memberikan canda tawa, masukan dan nasehat yang bermanfaat.
19. Sahabat-sahabatku Anggi, Lukman, Leman, Aripin, Ika, Desta, Wahyu, Budi, Nanang, Achmad, Ipul, Adistian, Lilis, yang selalu memberikan motivasi dan dukungan.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini, karena keterbatasan penulis, maka dari itu saran dan kritik yang membangun tetap di nantikan guna perbaikan dimasa yang akan datang. Akhir kata semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak
Serang, Juli 2016
Abstrak
Abstract
Lembar Orisinalitas
Lembar Pengesahan
Lembar Persetujuan
Lembar Persembahan
Kata Pengantar... i
Daftar Isi ... iv
Daftar Tabel ... ix
Daftar Gambar ... x
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Identifikasi Masalah ... 17
1.3 Batasan Masalah ... 18
1.4 Rumusan Masalah ... 18
1.5 Tujuan Penelitian ... 18
2.1 Deskripsi Teori ... 22
2.2 Konsep Evaluasi Program ... 22
2.2.1 Pengertian Evaluasi ... 23
2.2.2 Pengertian Program ... 24
2.2.3 Pengertian Evaluasi Program ... 25
2.3 Tujuan Evaluasi Program ... 27
2.4 Model Evaluasi... 29
2.4.1 Model Evaluasi UCLA ... 29
2.4.2 Model Evaluasi Brinkerhoff ... 30
2.4.3 Model Evaluasi Stake ... 31
2.4.4 Model Evaluasi CIPP ... 33
2.5 Konsep Program Wajib Belajar Malam Hari (WBMH) ... 44
2.5.1 Program WBMH ... 45
2.5.2 Tujuan Program WBMH ... 46
2.5.7 Dasar Hukum Program WBMH ... 50
2.6 Penelitian Terdahulu ... 52
2.7 Kerangka Berpikir ... 58
2.8 Asumsi Dasar Penelitian ... 60
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Pendekatan dan Metode Penelitian ... 61
3.2 Fokus Penelitian ... 62
3.3 Instrumen Penelitian... 63
3.4 Informan Penelitian ... 64
3.5 Teknik Pengolahan dan Analisis Data ... 66
3.5.1 Teknik Analisis Data ... 73
3.5.2 Pengujian Keabsahan Data ... 77
3.6 Lokasi dan Jadwal Penelitian ... 78
3.6.1 Lokasi Penelitian ... 78
4.1 Gambaran Umum lokasi Penelitian ... 81
4.1.1 Kondisi Geografis ... 81
4.1.2 Letak Wilayah ... 82
4.1.3 Pemerintahan ... 84
4.1.4 Keadaan Pendidikan ... 85
4.1.5 Program WBMH ... 86
4.2 Hasil Penelitian ... 91
4.1.1 Deskripsi Informan ... 91
4.3 Evaluasi Program WBMH ... 93
4.3.1 Evaluasi Konteks ... 93
4.3.2 Evaluasi Masukan ... 103
4.3.3 Evaluasi Proses ... 111
4.3.4 Evaluasi Hasil ... 120
4.4.4 Evaluasi Hasil ... 147
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan ... 156
5.2 Saran…… ... 157
DAFTAR PUSTAKA
Halaman
Tabel 1.1 Lokasi Percontohan Program WBMH ... 8
Tabel 1.2 Profil Kecamatan Menteng... 13
Tabel 1.3 Sarana dan Prasarana Umum Program WBMH di Kelurahan Pegangsaan, Kecamatan Menteng, Jakarta Pusat ... 13
Tabel 1.4 Jumlah Peserta Didik Program WBMH di Kecamatan Menteng ... 14
Tabel 2.1 Perbandingan Model Evaluasi Program ... 44
Tabel 2.2 Penelitian Terdahulu ... 52
Tabel 3.1 Informan Penelitian ... 65
Tabel 3.2 Jumlah Peserta Didik Program WBMH di Kecamatan Menteng ... 66
Tabel 3.3 Pedoman Wawancara ... 68
Tabel 3.4 Jadwal Penelitian... 80
Tabel 4.1 Penduduk Kecamatan Menteng Menurut Kelurahan 2015 ... 83
Tabel 4.2 Data Kepegawaian di Kecamatan Menteng Tahun 2015 ... 84
Tabel 4.3 Data Jumlah Sekolah Negeri & Swasta di Kecamatan Menteng ... 86
Tabel 4.4 Daftar Informan ... 92
Tabel 4.5 Lokasi Percontohan Program WBMH ... 95
Halaman
Gambar 2.1 Model Evaluasi Stake ... 31
Gambar 2.2 Fokus Evaluasi Model CIPP ... 39
Gambar 2.3 Alur Kerja Model CIPP ... 43
Gambar 2.4 Organisasi Pelaksana Tingkat RW/RT Penerapan Wajib Belajar Malam Hari ... 49
Gambar 2.5 Kerangka Berpikir ... 59
Gambar 3.1 Komponen Analisis Data Dalam Kualitatif ... ... 74
Gambar 4.1 Peta Kecamatan Menteng ... 82
Gambar 4.2 Tujuan Program WBMH ... 94
Gambar 4.3 Spanduk Program WBMH ... 99
Gambar 4.4 Pertemuan Orangtua Peserta Didik Membahas Program WBMH ...100
Gambar 4.5 Sarana Untuk Program WBMH ... 103
Gambar 4.6 Buku-buku Untuk Program WBMH ... 104
Gambar 4.7 Tenaga Kependidikan Sebagai Fasilitator ... 106
Gambar 4.8 Sumber Pembiayaan Program WBMH Menurut Pedoman Pedoman Pelaksanaan Dinas Pendidikan Prov.DKI Jakarta ... 108
Gambar 4.12 Pelaksanaan Program WBMH di Kelurahan Pegangsaan ... 117
Gambar 4.13 Tugas Orangtua Sebagai Fasilitator ... 118
Gambar 4.14 Kartu Monitoring Belajar Peserta Didik ... 121
1.1 Latar Belakang Masalah
Pendidikan adalah suatu instrumen atau komponen yang menentukan
kemajuan suatu bangsa dan merupakan sarana dalam membangun watak bangsa.
Adanya pendidikan diharapkan akan terjadi proses transmisi ilmu pengetahuan,
keyakinan, nilai-nilai, dan keterampilan sehingga dapat menghasilkan masyarakat
yang cerdas dan mandiri. Masyarakat yang cerdas dan mandiri merupakan
investasi besar dalam menunjang proses pembangunan di suatu negara, baik dari
aspek budaya, sosial, politik, ekonomi, serta lingkungan. Terbentuknya kualitas
pendidikan sangat bergantung pada kerangka sistem penyelenggaraan pendidikan
meliputi arah kebijakan pendidikan yang ditetapkan pemerintah (Agryan 2014:1)
Kebijakan pendidikan di Indonesia mendasarkan pada UUD 1945 Pasal 31
yang mengamanatkan bahwa: (i) Setiap warga berhak mendapat pendidikan; (ii)
setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib
membiayainya; (iii) pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem
pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak
mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan
undang-undang; (iv) negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya
dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggran
pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan
teknologi dengan menunjang tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk
kemajuan perdaban serta kesejahteraan umat manusia. Maka untuk menjalankan
amanat yang demikian, pemerintah membuat Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 4 yang menjadi prinsip
penyelenggaraan pendidikan di Indonesia:
1) Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa;
2) Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbukan dan multi makna;
3) Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat;
4) Pendidikan diselenggarakan dengan member keteladanan,
membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran;
5) Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat; 6) Pendidikan diselenggarakan dengan menberdayakan semua komponen
masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.
Kedudukan Jakarta sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia,
menempatkan pendidikan sebagai pemegang peran penting dan sebagai salah satu
kunci keberhasilan pembangunan nasional dan daerah. Melalui pendidikan yang
bermutu dapat menciptakan Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta sebagai pusat
pendidikan dan pusat pengembangan ilmu pengetahuan serta teknologi bagi
bangsa Indonesia yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana standar
internasional. Keberhasilan penyelenggaraan pendidikan di Provinsi DKI Jakarta
harus dilandasi dengan kemampuan dalam menguasai ilmu pengetahuan dan
Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional sebagai
pranata sosial yang kuat dan berwibawa baik di tingkat nasional maupun
internasional, pemerintahan daerah dan masyarakat Provinsi DKI Jakarta bertekad
untuk menghasilkan sumber daya manusia berkualitas melalui pendidikan yang
bermutu sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga
mampu menjawab berbagai tantangan zaman yang selalu berubah. Oleh karena
itu, upaya yang dilakukan adalah melalui peningkatan mutu pendidikan,
pemeratan pendidikan, serta efisiensi peneyelenggaraan dan pengelolaan
pendidikan sesuai dengan prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintah daerah.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, bahwa urusan pendidikan merupakan salah satu urusan
wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah. Sejalan dengan itu,
Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta menetapkan Peraturan Daerah Nomor 8
Tahun 2006 tentang Sistem Pendidikan sebagai komitmen untuk mencerdaskan
kehidupan dan penghidupan masyarakat Jakarta menjadi manusia yang beriman
dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab. Upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
dalam penyelenggaraan pendidikan sebagaimana tertuang di dalam Peraturan
Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2006 Pasal 3 tentang Sistem
(1) Pendidikan diselenggarakan secara professional, transparan dan akuntabel serta menjadi tanggungjawab bersama Pemerintah, Pemerintah Daerah, Masyarakat dan Peserta Didik.
(2) Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan system terbuka dan multimakna.
(3) Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan secara berkesinambungan serta berlangsung sepanjang hayat.
(4) Pendidikan diselenggarakan dalam suasana yang menyenangkan, menantang, mencerdaskan dan kompetitiff dengan dilandasi keteladan.
(5) Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan daya budaya membaca dan belajar bagi segenap warga masyarakat.
(6) Pendidikan diselanggarakan dengan memberdayakan seluruh komponen pemerintah daerah dan masyarakat serta memberikan keempatan kepada masyarakat untuk berperan serta dalam penyelenggaran dan peningkatan mutu pendidikan.
Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, sampai saat ini Pemerintah DKI
Jakarta masih dihadapkan dengan berbagai permasalahan, baik permasalahan yang
bersifat internal maupun eksternal, seperti tingkat kualitas pendidik yang belum
memenuhi standar mutu, sarana-prasarana pendidikan yang masih kurang
memadai, serta terbatasnya anggaran pendidikan yang disediakan oleh Pemerintah
Daerah. Selain faktor internal tersebut, tantangan paling berat dihadapi
Pemerintah DKI Jakarta adalah bagaimana menyiapkan sumber daya manusia
yang cerdas, unggul, dan berdaya saing. Untuk itu strategi yang dilakukan oleh
Pemerintah DKI Jakarta dalam pembangunan di bidang pendidikan, sebagaimana
terdapat didalam Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2006
Pasal 16 tentang Sistem Pendidikan adalah:
(a) Mengatur, menyelenggarakan, mengarahkan, membimbing, dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan;
(c) Menetapkan standar pelayanan minimal dalam penyelenggaraan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah; (d) Memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin pendidikan yang
bermutu bagi warga masyarakat tanpa diskriminasi; (e) Menyediakan dana guna penuntasan wajib belajar 9 tahun;
(f) Menyediakan dana guna terselenggaranya wajib belajar 12 tahun khususnya bagi peserta didik dari keluarga tidak mampu dan anak terlantar;
(g) Pemberian beasiswa atas prestasi atau kecerdasan yang dimilik peserta didik;
(h) Memberikan keempatan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk memperoleh pendidikan;
(i) Memfasilitasi satuan pendidikan dengan pendidik dan tenaga kependidikan yang professional, sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu;
(j) Memfasilitasi tersedianya pusat-pusat bacaan bagi masyarakat, sekurang-kurangnya satu di setiap Rukun Warga (RW);
(k) Mendorong dan mengawasi pelaksanaan kegiatan jam wajib belajar peerta didik di rumah;
(l) Mendorong pelaksanaan budaya membaca dan budaya belajar;
(m) Membina dan mengembangkan pendidik dan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang diselenggarakan Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Masyarakat;
(n) Menumbuhkembangkan sumber daya pendidikan secara terus-menerus untuk terselenggaranya pendidikan yang bermutu;
(o) Memfasilitasi sarana dan prasarana pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi guna mendukung pendidikan yang bermutu;
(p) Memberikan dukungan kepada perguruan tinggi dalam rangka kerjasama pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
(q) Menumbuhkembangkan motivasi, memberikan stimulitasi dan fasilitas, serta menciptakan iklim yang kondusif bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam penyelenggaraan pendidikan;
(r) Mendorong dunia usaha/industry untuk berpartisipasi secara aktif dalam penyenggaraan dan peningkatan mutu pendidikan.
Melalui strategi tersebut, diharapkan tujuan pendidikan dapat terwujud
secara efektif dengan melibatkan berbagai pihak secara aktif, baik dari Pemerintah
Daerah ataupun Masyarakat DKI Jakarta yang terlibat dalam penyelenggaraan
pendidikan. Untuk mewujudkan tujuan dan strategi dalam penyelenggaraan dan
kewajiban yang mendasar bagi warga masyarakat di bidang pendidikan. Salah
satu upaya yang dilakukan Pemerintah DKI Jakarta, adalah menerapkan Program
Wajib Belajar Malam Hari atau lebih dikenal dengan WBMH.
Program Wajib Belajar Malam Hari adalah suatu kegiatan untuk
menciptakan kondisi lingkungan yang ideal untuk mendorong proses
pembelajaran anak dan warga yang berlangsung dalam suasana pembelajaran
yang kondusif, untuk mencapai prestasi secara optimal. (Paparan Program Wajib
Belajar Malam Hari Dinas Pemerintah Provinsi DKI Jakarta 2013:1). Alasan lain
dari pemberlakuan program Wajib Belajar Malam Hari tersebut adalah untuk
mengatasi pola kenakalan remaja yang marak terjadi belakangan ini.
Keselamatan warga Jakarta masih terancam. Pasalnya, pelajar yang tawuran sudah berani menggunakan bahan kimia. Perilaku ini bukan fenomena biasa yang menjadi cermin kualitas kenakalan remaja yang semakin meningkat. “Ini sudah persoalan kriminal yang dilakukan pelajar, tingkat kenakalannya sudah diluar batas pelajar, mulai dari cara melakukan sampai melarikan diri setelah menyiramkan air keras. Perbuatan itu seperti perilaku kriminal jalanan, kenakalan RN pelaku penyiraman bahan kimia pada pekan lalu lebih banyak disebabkan faktor diluar sekolah. Sebab, pihak sekolah tidak pernah mengajarkan kekerasan kepada siswanya”. Kata Kepala Dinas Pemprov DKI Jakarta Taufik Yudi Mulyanto, Senin (7/10), di Jakarta. Dan penggunaan soda api juga terjadi dalam tawuran warga di Jalan Intan Johar Baru , 15 September. Seorang polisi bernama Brigadir Sugito Aritonang (26) menjadi korban siraman soda api (Kompas 2013, Kenakalan remaja makin mencemaskan, diakses tanggal 9 November 2014).
Contoh kejadian di atas menandakan bahwa pola kenakalan remaja pada di
Jakarta semakin memprihatinkan, dan menjadi pukulan bagi pemerintah DKI
Jakarta khususnya di bidang pendidikan. Adapun rencana lain dari diberlakukan
Menurut Gubernur Joko Widodo, rencana Jam Wajib Malam ini demi memproteksi anak-anak dari bahaya luar lingkungan rumah, selain memastikan perlindungan untuk mereka dari lingkungan rumah sendiri. Apabila proteksi ganda ini diberlakukan, maka keamanan untuk mereka maka keamanan untuk mereka diyakini akan lebih maksimal. (Viva News 2014, Menangkal tabrakan maut aqj dengan jam malam efektifkah, diakses tanggal 14 Oktober 2014).
Landasan hukum dari pelaksanaan program Wajib Belajar Malam Hari
adalah berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2006
dalam Pasal 7 Ayat (3) yang menyebutkan:
“Orangtua berkewajiban untuk mendidik anaknya sesuai kemampuan dan minatnya serta menetapkan waktu belajar setiap hari dirumah bagi anaknya dari pukul 19.00 sampai dengan pukul 21.00 WIB”. Program ini bukan dimaknai bahwa seluruh masyarakat harus belajar pada jam tersebut, namun masyarakat diminta untuk menciptakan suasana yang kondusif untuk belajar anak dalam jangka waktu dua jam setiap hari.
Untuk menindak lanjuti ketentuan Pasal 7 Ayat (3) Peraturan Daerah
Nomor 8 Tahun 2006 tentang Sistem Pendidikan, Pemerintah DKI Jakarta
menetapkan Peraturan Gubernur Nomor 22 Tahun 2014 tentang Wajib Belajar
Malam Hari. Peraturan ini dimaksudkan sebagai pedoman pelaksanaan program
Wajib Belajar Malam Hari. Berdasarkan Peraturan Gubernur Nomor 22 Tahun
2014, Pasal 2 tujuan dari pelaksanaan Program Wajib Belajar Malam Hari
tersebut dimaksudkan:
“Sebagai acuan dalam pelaksanaan wajib belajar malam hari baik di rumah maupun di luar rumah dengan tujuan agar peserta didik dapat mencapai hasil belajar yang maksimal dan optimal sehingga dapat meningkatkan prestasi di bidang akademiknya”.
Dalam upaya mencapai tujuan tersebut Pemerintah Provinsi DKI melalui
Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta melaksanakan program Wajib Belajar
pilot project atau proyek percontohan pada tahap uji coba di beberapa wilayah
Jakarta. Apabila program tersebut berjalan baik dan efektif dalam meningkatkan
minat belajar dan prestasi anak, maka target Pemerintah DKI Jakarta akan
menerapkan program Wajib Belajar Malam Hari di seluruh wilayah DKI Jakarta.
Tabel di bawah ini menunjukan wilayah yang dijadikan pilot project program
Wajib Belajar Malam Hari:
Tabel 1.1
Lokasi Percontohan Program Wajib Belajar Malam Hari
No Wilayah RT RW Kelurahan Kecamatan
1 Jakarta Pusat 016 006 Pegangsaan Menteng
008 008 Pegangsaan Menteng
2 Jakarta Utara 007 005 Koja Koja
001 002 Semper Barat Cilincing
001 011 Lagoa Koja
3 Jakarta Barat 004 004 Meruya Utara Kembangan
002 003 Meruya Selatan Kembangan
001 010 Sukabumi Utara Kebon Jeruk
4 Jakarta Selatan 003 006 Jagakarsa Jagakarsa
005 005 Ragunan Pasar Minggu
5 Jakarta Timur 001 007 Jati Pulogadung
009 012 Klender Duren Sawit
6 Kep. Seribu - 005 Pulau Panggang Kep. Seribu Utara
- 004 Pulau Tidung Kep. Seribu Selatan
Sumber: Paparan Program Wajib Belajar Malam Hari Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta (2013:9)
Pemilihan wilayah yang dijadikan pilot project atau proyek percontohan
tersebut dilihat dari aspek tingkat partisipasi masyarakat pada masing-masing
wilayah. Berdasarkan hasil wawancara sementara peneliti (Ibu Rini staff seksi
sarana & prasarana sekolah dasar, Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta pada
Seperti yang ada di Kelurahan Pegangsaan, Kecamatan Menteng sudah menjalankan program ini, dan sama halnya dengan Kecamatan Koja yang sudah terlebih dahulu menerapkan program jam wajib malam. Dan wilayah-wilayah lain di Jakarta yang dianggap tingkat partisipasi masyarakatnya baik”.
Pemerintah DKI Jakarta berharap pelaksanaan program Wajib Belajar
Malam Hari yang dilaksanakan di beberapa lokasi yang menjadi pilot project
tersebut akan berjalan efektif dalam meningkatkan prestasi anak di bidang
akademik. Sehingga akan diikuti oleh wilayah-wilayah lain di Provinsi DKI
Jakarta, karena pada dasarnya program tersebut merupakan program swadaya
yang dilakukan berdasarkan dari peran serta masyarakat yang peduli terhadap
pendidikan. Prinsip dari program tersebut berdasarkan petunjuk pelaksanaan jam
wajib belajar di malam hari dari paparan program Wajib Belajar Malam Hari
Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta (2013:2), yaitu :
1. Pelakasanaan jam belajar wajib di malam hari dalam rangka meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) atau peserta didik.
2. Berbasis pada masyarakat dan orangtua (community based development).
3. Prinsip utama dalam kebijakan program Jam Wajib Belajar Malam (JWBM), adalah : a. Edukasi bukan represi (bersifat mendidik bukan memaksa), b. Bottom Up bukan Top Down (di mulai atau diawali pada tingkat RT dan berkembang menjadi RW, Kelurahan, Kecamatan dan Wilayah serta Provinsi).
4. Melibatkan partisipasi masyarakat (orangtua, pemuda, karang taruna, mahasiwa) dunia usaha dan pemerintah (Lurah, Camat, Walikota, Dinas Pendidikan dan SKPD terkait).
5. Menciptakan dan membangun kesadaran masyarakat untuk peduli terhadap pendidikan anak-anak dan lingkungan.
Adapun yang menjadi peserta didik dalam program ini adalah anak yang
berada pada usia 5 (lima) sampai dengan 18 (delapan belas) tahun, yaitu berada
Menegah Atas (SMA). Kemudian untuk kegiatan program ini adalah peserta didik
belajar sesuai dengan kebutuhan masing-masing, dalam bentuk materi akademik
dan non akademik, misalanya: mengerjakan tugas atau pekerjaan rumah yang
diberikan oleh guru, mengulang/memperdalam materi pelajaran yang didapatkan
pada hari itu, dan materi pembelajaran di kelompokan sesuai dengan jenjang
pendidikan peserta didik.
Namun di sisi lain, banyak masyarakat yang beranggapan bahwa
pelaksanaan dari program Wajib Belajar Malam Hari, tidak akan berjalan dengan
baik dan efektif. Karena masih banyak terdapat kelemahan dalam pelaksanaan
program ini. Hal itu dapat dilihat dari waktu pelaksanaan program tersebut, waktu
belajar dilakukan dari pukul 19.00 sampai dengan pukul 21.00, dan setelah jam
belajar itu berakhir, tidak ada jaminan bahwa anak akan kembali berkeliaran di
luar rumah (Berita Satu 2013, Dampak Pemberlakuan Jam Wajib Belajar, diakses
tanggal 14 Oktober 2014).
Salah satu wilayah yang dijadikan pilot project untuk program Wajib
Belajar Malam Hari adalah di Kecamatan Menteng, Jakarta Pusat. Di Kecamatan
Menteng, program Wajib Belajar Malam Hari lebih dikenal dengan istilah Jam
Wajib Belajar Malam atau disingkat JWBM. Wilayah ini sudah menerapkan
program JWBM sejak tahun 2011, dan itu pun jauh sebelum Pemerintah DKI
Jakarta memberlakukan kebijakan program JWBM, artinya program ini sudah
berjalan selama tiga tahun sampai dengan 2014. Oleh karena itu, peneliti tertarik
Belajar Malam Hari Kecamatan Menteng, Jakarta Pusat pada 16 Oktober 2014,
menyatakan:
“Bahwa pemberlakuan kegiatan WBMH di Kelurahan Pegangsaan, Kecamatan Menteng sendiri sudah ada selama empat tahun, tepatnya mulai ada semenjak tahun 2011, berarti kita sudah menerapkan terlebih dulu program tersebut di sini”.
Adapun pertimbangan peneliti memilih Kecamatan Menteng menjadi
locus penelitian karena Kecamatan Menteng menjadi salah satu pilot project
implementasi Program JWBM di DKI Jakarta. Karena itu keberhasilan program
JWBM di wilayah ini akan menjadi indikator keberhasilan dari keseluruhan
wilayah di DKI Jakarta. Masyarakat di Kecamatan Menteng relatif masih banyak
yang memiliki respon positif dalam menanggapi berbagai kebijakan yang
dikeluarkan Pemerintah DKI Jakarta. Wilayah tersebut memiliki jumlah penduduk
yang padat dengan heterogenitas yang cukup tinggi, meliputi suku bangsa yang
beragam, diferensiasi pekerjaan/profesi, ragam status dan tingkat perekonomian
warga, tingkat pendidikan yang bermacam-macam dan lain-lain. Hal lainnya yang
menjadi kontradiksi dalam memacu sinergi Program WBMH di wilayah ini adalah
banyak munculnya sarana hiburan seperti rental Playstation (PS), warung internet
(warnet) game, kafe-kafe, dan lain-lain. Tempat-tempat seperti ini menjadi favorit
sebagian warga termasuk pelajar-pelajar sekolah. Kondisi ini akan menjadi
tantangan dalam upaya untuk mendorong keberhasilan program WBMH.
Tetapi dalam pelaksanaan program WBMH di Kecamatan Menteng,
Kelurahan Pegangsaan Jakarta Pusat masih terdapat beberapa masalah yang
dihadapi dalam menjalankan program tersebut. Berdasarkan dari hasil observasi
prasarana beserta kelengkapan belajar yang disediakan Pemerintah DKI Jakarta
untuk kegiatan Program Wajib Belajar Malam Hari di Kelurahan Pegangasaan,
Kecamatan Menteng. Sedangkan sarana dan prasarana yang ada, hanyalah pos
ronda kecil yang dibangun oleh masyarakat setempat, dan kelengkapan belajar
seperti buku, adalah hasil sumbangan masyarakat setempat. Berdasarkan
Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 22 Tahun 2014, Pasal 7:
“Bahwa sarana dan prasarana yang digunakan untuk wajib belajar malam hari meliputi:
a. Rumah tinggal; b. Balai warga;
c. Pusat kegiatan belajar masyarakat; d. Sarana ibadah; dan
e. Sarana lainnya yang memadai.
Namun, rumah tinggal yang seharusnya menjadi sarana untuk kegiatan
program JWBM tidak kondusif untuk anak atau peserta didik belajar dengan baik.
Menurut Dadang ketua LMK RW 06 pada tanggal 16 Oktober 2014, mengatakan:
“Anak-anak atau peserta didik yang mengikuti kegiatan JWBM di rumah umumnya tidak dapat belajar dengan baik karena situasi di rumah itu sendiri tidak kondusif”. Salah satu faktornya adalah karena umumnya di setiap rumah ditempati oleh beberapa kepala keluarga, jadi kondisi yang ramai tersebut membuat konsentrasi anak terganggu, sehingga tidak dapat belajar dengan baik”.
Kecamatan Menteng merupakan salah satu wilayah padat penduduk di
DKI Jakarta, terutama di Kelurahan Pegangsaan. Tabel di bawah ini menunjukan
Tabel 1.2
Profil Kecamatan Menteng
No Kelurahan Luas (Km²) KK RT RW
1 Menteng 2,44 4.711 137 10
2 Pegangsaan 0,98 10.780 104 8
3 Cikini 0,82 2.258 66 5
4 Gondang Dia 1,46 1.320 40 5
5 Kebon Sirih 0,83 3.459 77 10
Total 6,53 22.528 424 38
Sumber: Kecamatan Menteng Dalam Angka 2012
Dari data di atas menunjukan bahwa Kelurahan Pegangsaan adalah
kelurahan dengan kepadatan tertinggi di Kecamatan Menteng, yaitu terdapat
10.780 Kepala Keluarga dan Kelurahan Gondang Dia adalah kelurahan dengan
kepadatan terendah yaitu 1.320 Kepala Keluarga. Dan Sarana dan prasarana lain
yang ada di Kelurahan Pegangsaan, Kecamatan Menteng guna kegiatan WBMH,
antara lain:
Tabel 1.3
Sarana dan prasarana umum Program Jam Wajib Belajar Malam di Kelurahan Pegangsaan, Kecamatan Menteng, Jakarta Pusat
No Sarana yang tersedia Jumlah Lokasi
1 Gardu Ilmu 2 RW 06 dan RW 08
2 Pendopo Ilmu 1 RW 06
3 Pos RW 2 RW 06 dan RW 08
Sumber: Diolah peneliti dari Kelurahan Pegangsaan 2013
Berdasarkan Peraturan Gubernur Nomor 22 tahun 2014, Pasal 7, gardu
ilmu, pendopo ilmu dan pos rw tergolong di dalam sarana dan prasaran lain yang
mendukung kegiatan program WBMH. Dari data di atas menunjukan bahwa
sarana dan prasarana yang ada di Kelurahan Pegangsaan, Kecamatan Menteng
wilayah ini, mengingat bahwa di Kelurahan Pegangsaan ini merupakan wilayah
padat penduduk.
Masalah kedua yang terlihat, rendahnya partisipasi peserta didik untuk
mengikuti program Wajib Belajar Malam Hari.
Tabel 1.4
Jumlah Peserta Didik Program Jam Wajib Belajar Malam di Kecamatan Menteng
No RW Jumlah Peserta Didik
1 006 39 anak
2 008 36 anak
Total 75 anak
Sumber: Diolah peneliti dari Kelurahan Pegangsaan 2014
Tabel di atas menunjukan jumlah seluruh peserta didik di Kecamatan
Menteng sedangkan, berdasarkan observasi awal pada tanggal 9 Oktober 2014,
dari sekian banyak anak yang menjadi peserta didik dalam program WBMH, di
Kelurahan Pegangsaan, tidak semua peserta didik datang untuk mengikuti
kegiatan WBMH, hanya nampak sekitar 20 anak di pos RW 06 yang mengikuti
program ini. Hal ini menunjukan rendahnya tingkat partisipasi peserta didik untuk
mengikuti program WBMH tersebut.
Masalah ketiga yaitu, kurangnya peran dari orangtua peserta didik untuk
mendukung dalam pelaksanakan program WBMH, terutama tugas orangtua
sebagai garda terdepan dalam mengawasi anak. Dalam menjalankan program ini,
pengawasan dilakukan secara bersama, baik itu orangtua maupun masyarakat
setempat. Peran dari masyarakat dan orangtua dalam program ini adalah sebagai
“Umumnya orangtua dari anak di daerah sini terkesan tidak peduli terhadap kegiatan jam malam ini. Apabila sudah mendekati jam tujuh malam orangtua tetap saja menyalakan tv sampai larut malam. Biasanya orangtua ini beralasan acara tv pada jam-jam tersebut adalah tontonan favoritnya”.
Hal tersebut bertentangan dengan tugas orangtua sebagai fasilitator dalam
program WBMH, sebagaimana terdapat dalam Peraturan Gubernur Provinsi DKI
Jakarta Nomor 22 Tahun 2014 tentang Wajib Belajar Malam Hari, Pasal 6
menyebutkan Ayat (2) :
“Tugas dan tanggung jawab fasilitator sebagaimana dimaksud pada ayat meliputi :
a. Memotivasi peserta didik; b. Mendampingi peserta didik;
c. Membimbing dalam mata pelajaran; dan d. Menyediakan sarana dan prasarana belajar.
Pelaksanaan program WBMH yang dilaksanakan di rumah diatur
berdasarkan Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 22 Tahun 2014
tentang Wajib Belajar Malam Hari Pasal, 8 Ayat(3):
“Bagi peserta didik yang belajar di rumah didampingi dan dibimbing oleh orangtua/wali dan/atau anggota keluarga lainya serta dilakukan tahapan sebagai berikut :
1. Menghentikan seluruh kegiatan yang menggangu pelaksanaan wajib belajar malam hari;
2. Mengkondisikan peserta didik untuk belajar; dan
3. Membantu peserta didik dalam menyelesaikan belajarnya.
Namun kurangnya peran serta dari orangtua peserta didik untuk ikut
melaksanakan dan mengawasi program ini, menjadi kendala besar untuk
keberhasilan program tersebut. Tentunya hal tersebut menjadi permasalahan yang
penting untuk dikaji, mengingat peran dari orangtua sebagai fasilitator, dan
bertugas untuk memotivasi semangat anak agar meningkatkan prestasi dalam
Apabila peran dari orangtua sendiri sudah tidak mendukung, maka tujuan
pelaksanaan program WBMH, yakni agar anak dapat memperoleh prestasi
akademik yang baik, akan sulit terwujud.
Masalah keempat yaitu, kurangnya guru pengajar sebagai pendamping
dalam kegiatan program WBMH. Guru pendamping yang ada hanya berjumlah 2
(dua) orang guru saja, yaitu bapak Zaky dan ibu Pipit. Menurut Zaky, salah
seorang guru RW 06 pada tanggal 16 Oktober 2014, mengatakan :
“Disini kita kekurangan tenaga pengajar dalam mendampingi anak-anak untuk belajar. Dari sekian banyak anak yang ikut program ini, hanya ada 2 orang guru pendamping saja untuk mendampingi mereka, yaitu saya dan ibu Pipit.”
Kurangnya tenaga pendidk menjadi salah satu permasalahan yang terdapat
dalam pelaksanaan program WBMH ini, karena guru berperan sebagai pemberi
utama materi kepada peserta didik dalam kegiatan program WBMH ini.
Masalah kelima yaitu, kurangnya peran dari pemerintah daerah setempat
dalam mengawasi dan pelaksanaan program WBMH. Pemerintah daerah sebagai
pembuat keputusan program pilot project ini sudah seharusnya berperan aktif
untuk mengawasi penyelenggaraan program WBMH. Menurut Dadang Ketua
LMK RW 06 pada tanggal 16 Oktober 2014, mengatakan:
Pernyataan tersebut menandakan bahwa kurangnya peran dari Pemerintah
DKI Jakarta dalam mengawasi pelaksanaan program WBMH di Kecamatan
Menteng, Jakarta Pusat.
Atas dasar latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka peneliti
tertarik untuk mengetahui permasalahan ini. Oleh karena itu peneliti memberi
judul “Evaluasi Peraturan Gubernur Nomor 22 Tahun 2014 Tentang Wajib
Belajar Malam Hari di Kecamatan Menteng Jakarta Pusat”.
1.2 Identifikasi Masalah
1. Tidak adanya fasilitas sarana dan prasarana beserta kelengkapan
belajar yang disediakan oleh Pemerintah DKI Jakarta untuk kegiatan
program Wajib Belajar Malam Hari di Kecamatan Menteng Jakarta
Pusat.
2. Rendahnya partisipasi peserta didik dalam mengikuti kegiatan program
Wajib Belajar Malam Hari.
3. Kurangnya peran dari orangtua peserta didik dan masyarakat di
Kecamatan Menteng untuk mendukung berlangsungnya kegiatan
Wajib Belajar Malam Hari.
4. Kurangnya tenaga pendidik sebagai pendamping dalam kegiatan
program Wajib Belajar Malam Hari.
5. Kurangnya peran dari Pemerintah DKI Jakarta untuk mengawasi
1.3 Batasan Masalah
Dalam penelitian ini, peneliti membatasi ruang lingkup permasalahan
pada: Evaluasi Peraturan Gubernur Nomor 22 Tahun 2014 Tentang Wajib Belajar
Malam Hari di Kecamatan Menteng Jakarta Pusat.
1.4 Rumusan Masalah
Dengan bertitik tolak pada latar belakang penelitian di atas, maka peneliti
mengangkat rumusan masalah dalam penelitian Evaluasi Program Jam Wajib
Belajar Malam (JWBM) di Kecamatan Menteng Jakarta Pusat, yaitu:
1. Bagaimana Evaluasi Peraturan Gubernur Nomor 22 Tahun 2014 Tentang
Wajib Belajar Malam Hari di Kecamatan Menteng Jakarta Pusat?
2. Bagaimana pelaksanaan program Wajib Belajar Malam Hari di Kecamatan
Menteng Jakarta Pusat?
1.5 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengevaluasi Peraturan Gubernur Nomor 22 Tahun 2014 Tentang
Wajib Belajar Malam Hari di Kecamatan Menteng Jakarta Pusat.
2. Mengidentifikasi masalah pelaksanaan program Wajib Belajar Malam
1.6 Manfaat Penelitian
a) Secara Teoritis
1. Untuk mengetahui hubungan antara teori dengan praktik yang ada
di lapangan.
2. Untuk dapat memberikan input atau masukan mengenai kebijakan
publik.
b) Secara Praktis
1. Bagi pemerintah, diharapkan dapat menjadi masukan bagi Dinas
Pendidikan Provinsi DKI Jakarta dan masyarakat untuk
mendukung dan mengawasi Program Wajib Belajar Malam Hari.
2. Bagi peneliti dapat memberikan input dan menambah pengetahuan
dan wawasan serta melatih kemampuan menganalisis khususnya di
bidang kebijakan publik.
3. Manfaat bagi masyarakat adalah membangun kesadaran masyarakat terutama dalam meningkatkan prestasi siswa di bidang akademik, sesuai dengan tujuan Program Wajib Belajar Malam Hari itu sendiri.
1.7 Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini menjelaskan tentang latar belakang dalam penelitian
penelitian tersebut, lalu identifikasi masalah, batasan penelitian, rumusan
BAB II DESKRIPSI TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR
Pada bab ini, peneliti memaparkan teori-teori dari beberapa ahli
yang relevan terhadap masalah dalam penelitian. Setelah memaparkan
teori, lalu membuat kerangka berpikir yang menggambarkan alur pikiran
peneliti sebagai kelanjutan dari deskripsi teori terhadap permasalahan yang
diteliti.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
Bab ini menjelaskan tentang metode apa yang akan digunakan
dalam penelitian. Selain itu dalam bab ini juga akan dijelaskan tentang
instrumen penelitian, teknik pengumpulan data, informan penelitian,
teknik analisis data, dan uji validitas.
BAB IV HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian mencangkup deskripsi objek penelitian yang
meliputi lokasi penelitian secara jelas, struktur organisasi dari objek yang
diteliti, serta hal lain yang berhubungan dengan objek penelitian. Selain itu
juga mencangkup deskripsi data yang menjelaskan hasil penelitian yang
telah diolah dengan menggunakan teknik analisa data yang relevan.
Kemudian dalam bab ini juga terdapat interpretasi hasil penelitian dan
BAB V PENUTUP
Bab ini terbagi ke dalam dua bagian yaitu bagian kesimpulan dan
saran. Dalam bab ini akan dikemukakan kesimpulan dari analisis dan
pembahasan yang dikemukakan sebelumnya. Sedangkan pada bagian
saran akan dikemukakan saran demi perbaikan sebagai hasil akhir dari
2.1 Deskripsi Teori
Deskripsi teori menjelaskan tentang teori atau konsep yang dipergunakan
dalam penelitian yang sifatnya utama di mana tidak tertutup kemungkinan untuk
bertambah seiring dengan pengambilan data dilapangan (Fuad & Nugroho 2012:56).
Deskripsi teori menjadi pedoman dalam penelitian ini untuk menjelaskan dengan
fenomena-fenomena sosial yang terjadi dalam penelitian. Teori yang relevan peneliti
kaji sesuai dengan masalah-masalah yang telah diuraikan pada bab sebelumnya.
Penelitian mengenai Evaluasi Peraturan Gubernur Nomor 22 Tahun 2014
Tentang Wajib Belajar Malam Hari Di Kecamatan Menteng Jakarta Pusat dikaji
dengan beberapa teori dalam ruang lingkup administrasi negara konsentrasi kebijakan
publik, yaitu: Evaluasi Program, Tujuan Evaluasi Program, Model Evaluasi, Wajib
Belajar Malam Hari dan untuk melengkapinya peneliti lampirkan penelitian terdahulu
2.2 Konsep Evaluasi Program
2.2.1 Pengertian Evaluasi
Evaluasi berasal dari kata bahasa Inggris “evaluation” yang diserap dalam
perbendaharaan istilah bahasa Indonesia dengan tujuan mempertahankan kata aslinya
dengan sedikit penyesuaian lafal Indonesia menjadi “evaluasi” yang dapat diartikan
memberikan penilaian dengan membandingkan sesuatu hal dengan satuan tertentu
sehingga bersifat kuantitatif.
Pengertian evaluasi yang bersumber dari kamus Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English evaluasi adalah to find out, decide the amount or value yang artinya suatu upaya untuk menentukan nilai atau jumlah. Selain arti berdasarkan terjemahan, kata-kata yang terkandung didalam definisi tersebut pun menunjukan bahwa kegiatan evaluasi harus dapat dilakukan secara hati-hati, bertanggung jawab, menggunakan strategi, dan dapat dipertanggungjawabkan. (Arikunto, 2007:1).
Anderson (dalam Arikunto 2004:1) memandang evaluasi sebagai sebuah
proses menentukan hasil yang telah dicapai beberapa kegiatan yang direncanakan
untuk mendukung tercapainya tujuan. Definisi lain dikemukakan oleh Worthen &
Sanders (dalam Arikunto 2004 :1), yang mengatakan bahwa evaluasi adalah kegiatan
mencari sesuatu yang berharga tentang sesuatu; dalam mencari sesuatu tersebut, juga
termasuk mencari informasi yang bermanfaat dalam menilai keberadaan suatu
program, produksi, prosedur, serta alternatif strategi yang diajukan untuk mencapai
tujuan yang sudah ditentukan. Seorang ahli yang terkenal dalam evaluasi program
bernama Stufflebeam (dalam Arikunto 2004:1) mengatakan bahwa evaluasi
merupakan proses penggambaran, pencarian, dan pemberian informasi yang sangat
Tyler (dalam Tayibnapis 2000:3) mendefinisikan bahwa evaluasi ialah proses yang
menetukan sampai sejauh mana tujuan pendidikan dapat dicapai. Selanjutnya, Stark
& Thomas (dalam Widyoko 2014:4) mengatakan bahwa, “evaluation is the process of
ascertaining the decision of concern, selecting appropriate information, and
collecting and analyzing information in order to report summary data useful to
decision makers in selecting among alternatives”. Evaluasi merupakan suatu proses
atau kegiatan pemilihan, pengumpulan, analisis dan penyajian informasi yang dapat
digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan serta penyusunan program
selanjutnya.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa evaluasi adalah
kegiatan untuk mengumpulkan informasi tentang bekerjanya sesuatu, yang
selanjutnya informasi tersebut digunakan untuk menentukan alternatif yang tepat
dalam mengambil sebuah keputusan.
2.2.2 Pengertian Program
Joan L. Herman (dalam Tayibnapis 2000:9) mengatakan, program ialah segala
sesuatu yang dicoba dengan harapan akan mendatangkan hasil atau pengaruh.
Kemudian Arikunto (2009:4) pengertian secara umum dapat diartikan bahwa
program adalah sebuah bentuk rencana yang akan dilakukan. Apabila program ini
kebijakan, berlangsung dalam proses yang berkesinambungan dan terjadi dalam suatu
organisasi yang melibatkan sekelompok orang. Menurut Arikunto (2009:4) ada tiga
pengertian penting yang perlu ditekankan dalam menentukan program, yaitu: (i)
program adalah realisasi atau implementasi dari suatu kebijakan; (ii) terjadi dalam
kurun waktu yang lama dan bukan kegiatan tunggal tetapi jamak berkesinambungan;
dan (iii) terjadi dalam organisasi yang melibatkan sekelompok orang.
Sebuah program bukan hanya kegiatan tunggal yang dapat diiselesaikan
dalam waktu singkat, tetapi merukan kegiatan yang berkesinambungan karena
melaksanakan suatu kebijakan. Oleh karena itu, sebuah program dapat berlangsung
dalam kurun waktu yang relatif lama. Pengertian program adalah suatu unit atau
kesatuan kegiatan, maka program merupakan sebuah sistem, yaitu rangkaian kegiatan
yang dilakukan bukan hanya satu kali tetapi berkesinambungan. Pelaksanaan program
selalu terjadi di dalam sebuah organisasi, yang artinya harus melibatkan sekelompok
orang.
2.2.3 Pengertian Evaluasi Program
Mugiadi (dalam Sudjana 2006:21) menjelaskan bahwa evaluasi program
adalah upaya pengumpulan informasi mengenai suatu program, kegiatan, atau
proyek. Informasi tersebut berguna bagi pengambilan keputusan, antara lain untuk
memperbaiki program, menyempurnakan kegiatan program lanjutan, menghentikan
kegiatan. Informasi yang dikumpulkan harus memenuhi persyaratan ilmiah, praktis,
tepat guna, dan sesuai dengan nilai yang mendasari dalam setiap pengambilan
keputusan.
Ralp Tyler (dalam Arikunto 2009:5) mendefinisikan bahwa evaluasi program
adalah proses untuk mengetahui apakah tujuan program sudah dapat terealisasi.
Sedangkan Cronbach & Stufflebeam (dalam Arikunto 2009:5) evaluasi program
adalah upaya menyediakan informasi untuk disampaikan kepada pengambil
keputusan. Arikunto (2004:14) evaluasi program adalah proses penetapan secara
sistematis tentang nilai, tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Proses penetapan
keputusan itu didasarkan atas perbandingan secara hati-hati terhadap data yang
diobservasi dengan menggunakan standar tertentu yang telah dibakukan. Sedangkan
menurut Widyoko (2009:10), evaluasi program biasanya dilakukan untuk
kepentingan pengambilan keputusan dalam rangka menetukan kebijakan selanjutnya.
Melalui evaluasi suatu program dapat dilakukan penilaian secara sistematik, rinci dan
menggunakan prosedur yang sudah diuji secara cermat.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa evaluasi program
merupakan proses pengumpulan data atau informasi yang ilmiah yang hasilnya dapat
digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi pengambil keputusan dalam menunjukan
alternatif kebijakan. Dengan menggunakan metode tertentu akan diperoleh data yang
yang digunakan sebagai dasar pertimbangan tersebut adalah data yang tepat, baik dari
segi isi, cakupan, format, maupun tepat dari segi penyampaian.
2.3 Tujuan Evaluasi Program
Scriven (dalam Tayibnapis 2000:4) adalah orang pertama yang membedakan
antara evaluasi formatif dan evaluasi sumatif sebagai fungsi evaluasi. Kemudian
Stufflebeam (dalam Tayibnapis 2000:4) juga membedakan sesuai di atas yaitu
proactive evaluation untuk melayani pemegang keputusan, dan retroactive evaluation
untuk keperluan pertanggungjawaban. Evaluasi dapat mempunyai dua fungsi, yaitu
fungsi formatif, evaluasi dipakai untuk perbaikan dan pengembangan kegiatan yang
sedang berjalan, seperti: program, orang, produk, dan sebagainya. Dan fungsi
sumatif, evaluasi dipakai untuk pertanggungjawaban, keterangan, seleksi atau
lanjutan. Jadi evaluasi hendaknya membantu pengembangan, implementasi,
kebutuhan suatu program, perbaikan program, pertanggungjawaban, seleksi,
motivasi, menambah pengetahuan dan dukungan dari mereka yang terlibat.
Arikunto (2009:25), secara singkat evaluasi program merupakan upaya untuk
mengukur ketercapaian program, yaitu mengukur seberapa jauh sebuah kebijakan
dapat terimplementasikan. Seperti disebutkan oleh Sudjana (2006:48) tujuan khusus
evaluasi program terdapat enam hal, yaitu:
1.) Memberikan masukan bagi perencanaan program;
2.) Menyajikan masukan bagi pengambil keputusan yang berkaitan dengan tindak lanjut, perluasan atau penghentian program;
4.) Memberikan masukan yang berkenaan dengan faktor pendukung dan penghambat program;
5.) Memberi masukan untuk kegiatan motivasi dan pembinaan (pengawasan, supervisi, dan monitoring) bagi penyelenggara, pelaksana, dan pelaksana program;
6.) Menyajikan data tentang landasan keilmuan bagi evaluasi program pendidikan luar sekolah.
Dilihat dari tujuannya, yaitu ingin mengetahui kondisi sesuatu, maka evaluasi
program dapat dikatakan merupakan salah satu bentuk dari penelitian, yaitu
penelitian evaluatif. Oleh karena itu, dalam pembicaraan evaluasi program, pelaksana
berpikir yang menentukan langkah sebagaimana melaksanakan penelitian.
Menurut Arikunto (2009:7), terdapat perbedaan yang mencolok antara
penelitian dan evaluasi program, adalah sebagai berikut :
a. Dalam kegiatan penelitian, peneliti ingin mengetahui gambaran tentang sesuatu kemudian hasilnya dideskripsikan, sedangkan dalam evaluasi program pelaksana ingin mengetahui seberapa tinggi mutu atau kondisi sesuatu sebagai hasil pelaksanaan program, setelah data yang terkumpul dibandingkan dengan kriteria atau standar tertentu.
b. Dalam kegiatan penelitian, peneliti dituntut oleh rumusan masalah karena ingin mengetahui jawaban dari penelitiannya, sedangkan dalam evaluasi program pelaksana ingin mengetahui letak kekurangan itu dan apa sebabnya.
Dengan adanya uraian di atas, dapat dikatakan bahwa evaluasi program
merupakan penelitian evaluatif, dimaksudkan untuk mengetahui akhir dari adanya
kebijakan dalam rangka menentukan rekomendasi atas kebijakan yang lalu, yang
2.4 Model Evaluasi
2.4.1 Model Evaluasi UCLA
Alkin (dalam Tayibnapis 2000:15) menulis tentang kerangka kerja evaluasi
yang hampir sama dengan model CIPP. Alkin mendefinisikan evaluasi sebagai suatu
proses meyakinkan keputusan, memilih informasi yang tepat, mengumpulkan, dan
menganalisis informasi sehingga dapat melaporkan ringkasan data yang berguna bagi
pembuat keputuan dalam memilih beberapa alternatif. Ia mengemukakan lima macam
evaluasi, yakni:
a. System assessment, yang memberikan informasi tentang keadaan atau posisi
sitem.
b. Program planning, membantu pemilihan program tertentu yang mungkin akan
berhasil memenuhi kebutuhan program.
c. Program implementation, yang menyiapkan informasi apakah program sudah
diperkenalkan kepada kelompok tertentu yang tepat seperti yang
direncanakan?
d. Program improvement, yang memberikan informasi tentang bagaimana
program berfungsi, bagaimana program bekerja, atau berjalan? Apakah
menuju pencapaian tujuan, adalkah hal-hal atau masalah-masalah baru yang
muncul tak terduga?
e. Program certification, yang memberi informasi tentang nilai atau guna
2.4.2 Model Evaluasi Brinkerhoff
Setiap desain evaluasi umumnya terdiri atas elemen-elemen yang sama, ada
banyak cara untuk menggabungkan elemen tersebut, masing-masing ahli atau
evaluator mempunyai konsep yang berbeda dalam hal ini. Brinkerhoff (dalam
Tayibnapis 2000:15-16) mengemukakan tiga golongan evaluasi yang disusun
berdasarkan penggabungan elemen-elemen yang sama, seperti evaluator-evaluator
lain, namun dalam komposisi dan versi mereka sendiri sebagai berikut:
a. Fixed vs Emergent Evaluation Design. Dapatkah masalah evaluasi dan kriteria
akhirnya dipertemukan? Apabila demikian, apakah itu suatu keharusan?
b. Formative vs Summative Evaluation. Apakah evaluasi akan dipakai untuk
perbaikan atau untuk melaporkan kegunaan atau manfaat suatu program? Atau
keduanya?
c. Experimental and Quasi Ecperimental Design vs Natural/ Unobtrusive
Inquiry. Apakah evaluasi akan melibatkan intervensi ke dalam kegiatan
program/memanipulasi kondisi, orang diperlakukan, variabel ddipengaruhi
dan sebagainya, atau hanya diamati, atau keduanya?
Jawaban untuk ketiga pertanyaan tersebut mungkin tidak terlalu tepat, namun
kategori-kategori yang dikemukakan oleh pembagian yang luas ini mencerminkan
Secara umum hal ini akan menolong dalam mengembangkan langkah awal yang membantu untuk menerangkan, memberi petunjuk, dan menilai tugas-tugas evaluasi.
2.4.3 Model Evaluasi Stake atau Model Countenance
Stake (dalam Tayibnapis 2000:21), analisis proses evaluasi yang dikemukakannya membawa dampak yang cukup besar dalam bidang ini, dan meletakan dasar yang sederhana namun merupakan konsep yang cukup kuat untuk perkembangan yang lebih jauh dalam bidang evaluasi. Stake menekankan adanya dua dasar kegiatan dalam evaluasi, ialah: Descriptions dan Judgement, dan membedakan adanya tiga tahap dalam program pendidikan, yaitu: Antecedents (Context),
Transaction (Process), dan Outcomes (Output).
Gambar 2.1 Model Evaluasi Stake
Matrix Description menunjukan Intens (Goals) dan Obsevations (Effect) atau yang sebenarnya terjadi. Judgements mempunyai dua aspek, yaitu Standard dan
RASIONAL INTENTS OBSERVATIONS STANDARDS JUDGEMENT
ANTECE-DENTS
TRANSA-CTIONS OUTCO-MES
DESCRIPTION MATRIX
Judgement. Stake (dalam Tayibnapis 2000:22) mengatakan, bahwa apabila kita
menilai suatu program pendidikan, kita melakukan perbandingan yang relatif antara
satu program dengan program lain, atau perbandingan yang absolut (satu program
dengan standard).
Penekanan yang umum atau hal yang penting dalam model ini ialah, bahwa
evaluator yang membuat penilaian tentang program yang dievaluasi. Stake (dalam
Tayibnapis 2000:22) mengatakan description di satu pihak berbeda dengan
judgement atau menilai. Dalam model ini, antecedents (masukan), transaction
(proses), dan outcomes (hasil) data dibandingkan tidak hanya untuk menentukan
apakah ada perbedaan tujuan dengan keadaan yang sebenarnya, tetapi juga
dibandingkan dengan standar yang absolute, untuk menilai manfaat program.
Sujdana (2006:51), berpendapat bahwa model evaluasi program dapat
dikelompokan dalam enam kategori, yaitu:
a. Model evaluasi terfokus pada pengambilan keputusan (jenis inilah yang terbanyak digunakan).
b. Model evaluasi terhadap unsur-unsur program. c. Model evaluasi terhadap jenis/tipe kegiatan program. d. Model evaluasi terhadap proses pelaksanaan program. e. Model evaluasi terhadap pencapaian tujuan program. f. Model evaluasi terhadap hasil dan pengaruh program.
Kegunaan utama model ini untuk mengkaji sejauhmana suatu lembaga
penyelenggara dan pengelola pelayanan program pendidikan kepada masyarakat telah
hasil-hasil program yang tidak tercapai, model ini awalnya dikembangkan untuk
mengevaluasi proyek-proyek pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM).
2.4.4 Model Evaluasi CIPP
Model ini menurut Stufflebeam (dalam Tayibnapis 2000:14) pendekatan yang
berorientasi pada pemegang keputusan (a decision oriented evaluation approach
structured) untuk menolong administrator dalam membuat keputusan. Ia
merumuskan evaluasi sebagai suatu proses menggambarkan, memperoleh, dann
menyediakan informasi yang berguna untuk menilai alternatif keputusan. Dia
membuat pedoman kerja untuk melayani para manajer dan administrator menghadapi
empat macam keputusan pendidikan, membagi evaluasi menjadi empat macam, yaitu:
a. Context evaluation to serve planning decision. Konteks evaluasi ini
membantu merencanakan keputusan, menentukan kebutuhan yang akan
dicapai oleh program, dan merumuskan tujuan program (Tayibnapis 2000:14).
Stufflebeam (dalam Hasan 2008:216) menyebutkan, tujuan evaluasi konteks
yang utama adalah untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan yang dimiliki evaluan,
dengan mengetahui kekuatan dan ini, evaluator akan dapat memberikan arah
perbaikan yang diperlukan. Arikunto (2004:29) menjelaskan bahwa, evaluasi konteks
adalah upaya untuk menggambarkan dan merinci lingkungan kebutuhan yang tidak
terpenuhi, populasi dan sampel yang dilayani, dan tujuan proyek. Dalam hal ini
Arikunto (2004:29) memberikan contoh evaluasi Program Makanan Tambahan Anak
saja yang belum terpenuhi oleh program, misalnya jenis makanan dan siswa yang
belum menerima?; (b) tujuan pengembangan apakah yang belum tercapai oleh
program, misalnya peningkatan kesehatan dan prestasi siswa karena adanya makanan
tambahan?; (c) tujuan pengembangan apakah yang dapat membantu megembangkan
masyarakat, misalnya kesadaran orangtua untuk memberikan makanan yang bergizi
kepada anaknya?; (d) tujuan-tujuan manakah yang paling mudah untuk dicapai,
misalnya pemerataan makanan, ketepatan penyediaan makanan?
b. Input evaluation, structuring decision. Evaluasi ini menolong mengatur
keputusan. Menentukan sumber-sumber yang ada, alternatif apa yang diambil,
apa rencana dan strategi untuk mencapai kebutuhan. Bagaimana prosedur
kerja untuk mencapainya (Tayibnapis 2000:14).
Tahap kedua dari model CIPP adalah evaluasi input, atau evaluasi masukan.
Menurut Widyoko (2014:182), evaluasi masukan membantu mengatur keputusan,
menentukan sumber-sumber yang ada, alternatif apa yang diambil, apa rencana dan
strategi untuk mencapai tujuan, dan bagaimana prosedur kerja untuk mencapainya.
Komponen evaluasi masukan meliputi: (1) Sumber Daya Manusia (SDM); (2) saran
dan peralatan yang pendukung; (3) dana atau anggaran; dan (4) berbagai prosedur dan
aturan yang diperlukan. Suharsimi (2004:30) memberikan contoh
pertanyaan-pertanyaan evaluasi PMTAS yang dapat diajukan pada tahap evaluasi masukan ini:
atas makanan tambahan itu?; (3) bagaimana reaksi siswa terhadap pelajaran setelah
menerima makanan tambahan?; (4) seberapa tinggi tingkat kenaikan nilai siswa
setelah menerima makanan tambahan?
c. Process evaluation, to serve implementing decision. Evaluasi proses untuk
membantu mengimplementasikan keputusan. Sampai sejauh mana rencana
yang telah diterapkan? Apa yang harus direvisi? Begitu pertanyaan tersebut
terjawab, prosedur dapat dimonitor, dikontrol, dan diperbaiki (Tayibnapis
2000:14).
Worthen & Sanders (dalam Widyoko 2014:182) menjelaskan bahwa, evaluasi
proses menekankan pada tiga tujuan: (1) do detect or predict in procedural design or
its implementation stage; (2) to provide information for programmed decision; and
(3) to maintain a record of the procedure as it occurs. Evaluasi proses digunakan
untuk mendeteksi atau memprediksi rancangan prosedur atau rancangan
implementasi selama tahap implementasi, menyediakan informasi untuk keputusan
program dan sebagai rekaman atau arsip prosedur yang telah terjadi. Evaluasi proses
meliputi koleksi data penilaian yang telah ditentukan dan diterapkan dalam praktik
pelaksanaan program. Pada dasarnya evaluasi proses untuk mengetahui sampai sejauh
mana rencana telah diterapkan dan komponen apa yang perlu diperbaiki. Sedangkan
menurut Suharsimi (2004:30), evaluasi proses dalam model CIPP menunjuk pada
“apa” (what) kegiatan yang dilakukan dalam program, “siapa” (who) oramg yamg
Dalam model CIPP, evaluasi proses di arahkan pada seberapa jauh kegiatan yang
dilaksanakan di dalam program sudah terlaksana sesuai dengan rencana. Stuflebeam
(dalam Arikunto 2004:30) mengusulkan pertanyaan-pertanyaan untuk evaluasi
proses, sebagai berikut: (1) apakah pelaksana program sesuai dengan jadwal?; (2)
apakah staf yang terlibat di dalam pelaksanaan program akan sanggup menangani
kegiatan selama program berlangsung dan kemudian jika dilanjutkan?; (3) apakah
sarana dan prasarana yang di sediakan dimanfaatkan secara maksimal?; (4)
hambatan-hambatan apa saja yang yang di jumpai selama pelaksanaan program dan
kemunginan jika program dilanjutkan?
d. Product evaluation, to serve recycling decision. Evaluasi produk untuk
menolong keputusan selanjutnya. Apa hasil yang telah dicapai? Apa yang
dilakukan setelah program berjalan? Huruf pertama dari konteks evaluasi
dijadikan ringkasan CIPP, model ini terkenal dengan nama CIPP oleh
Stufflebeam (Tayibnapis 2000:14).
Sax (dalam Widyoko 2014:183) memberikan pengertian evaluasi produk atau
hasil adalah “to allow to project director (or teacher) to make decision of program”.
Dari evaluasi proses diharapakan dapat membantu pimpinan proyek atau guru untuk
membuat keputusan yang berkenaan dengan kelanjutan, akhir, maupun modifikasi
program. Dari pendapat tersebut maka dapat di tarik kesimpulan bahwa, evaluasi
sebelumnya. Pada tahap evaluasi inilah seorang evaluator dapat menentukan atau
memberikan rekomendasi kepada evaluan, apakah suatu program dapat dilanjutkan,
di kembangkan/modifikasi, atau bahkan di hentikan. Pada tahap evaluasi ini Arikunto
(2004:31) memberi contoh pertanyaan evaluasi PMTAS, sebagai berikut: (1) apakah
tujuan-tujuan yang ditetapkan sudah tercapai?; (2) pernyataan-pernyataan apakah
yang mungkin di rumuskan berkaitan antara rincian proses dalam pencapaian tujuan?;
(3) dalam hal apakah berbagai kebutuhan siswa sudah dapat di penuhi selama proses
pemberian makanan tambahan, misalnya variasi makanan, banyaknya ukuran
makanan, dan ketepatan waktu pemberian?; dan (4) apakah dampak yang di peroleh
siswa dalam waktu yang relatif panjang dengan adanya program makanan tambahan
ini?
Model evaluasi ini dikembangkan oleh Daniel Stufflebeam (1967) di Ohio
State University. Evaluasi ini pada awalnya digunakan untuk mengevaluasi ESEA
(the Elementary and Secondary Education Act). CIPP merupakan singkatan dari,
context evaluation (evaluasi terhadap konteks), input evaluation (evaluasi terhadap
proses), process evaluation (evaluasi terhadap proses), dan product evaluation
(evaluasi terhadap hasil). Keempat singkatan dari CIPP itulah yang menjadi
komponen evaluasi. Model CIPP berorientasi pada suatu keputusan. Menurut
Stufflebeam (dalam Widyoko 2014:181) mengungkapakan bahwa, “the CIPP
approach is based on the view that the moest important purpose of evaluation is not