• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rangkaian akhir dalam komponen kerja sistem pendidikan yang terpenting adalah pengevaluasian. Pengevaluasian merupakan pengujian atas tingkat keberhasilan pada suatu tujuan yang ingin dicapai. Dalam hal pendidikan Islam evaluasi berarti merupakan langkah terakhir dalam suatu rangkaian kerja yang berkaitan dengan berhasil atau gagalkah suatu pendidikan dalam mencapai tujuan-tujuan pendidikan Islam. Dalam hal ini dapat dilihat dengan output yang dihasilkan oleh suatu lembaga pendidikan Islam. Jika output tersebut sesuai dengan tujuan program dapat dikatakan bahwa pendidikan tersebut berhasil ataupun sebaliknya.

Ada tiga istilah yang digunakan dan perlu disepakati pemakaiannya, sebelum disampaikan uraiannya lebih jauh tentang evaluasi program, yaitu

34

“evaluasi” (evaluation), “pengukuran” (measurement) dan “penilaian” (assessment).35

Istilah evaluasi berasal dari bahasa Inggris evaluation yang berarti tindakan atau proses untuk menentukan nilai sesuatu atau dapat diartikan sebagai tindakan atau proses untuk menentukan nilai segala sesuatu yang yang ada hubungannya dengan pendidikan.36

Evaluation is a process which determines the extent to which objectives have been achieved. Evaluasi merupakan proses yang menentukan kondisi, dimana suatu tujuan telah dapat tercapai. Defenisi ini menerangkan secara langsung hubungan evaluasi dengan tujuan suatu kegiatan yang mengukur derajat, dimana suatu tujuan dapat dicapai. Sebenarnya evaluasi juga merupakan proses memahami, memberi arti, mendapatkan, mengkomunikasikan suatu informasi bagi keperluan pengambil keputusan.37

Sebagaimana pendapat Suchman yang dikutip oleh Suharsimi Arikunto, memandang evaluasi sebagai sebuah proses menentukan hasil yang telah dicapai beberapa kegiatan yang direncanakan untuk mendukung tercapainya tujuan. Dan definisi lain yang dikemukakan oleh Worthen dan Sanders yang dikutip oleh Suharsimi Arikunto, mengatakan bahwa evaluasi adalah kegiatan mencari sesuatu yang berharga tentang sesuatu untuk mencapai tujuan yang sudah ditentukan.38

Dalam arti sempit, evaluasi dapat dikatakan suatu usaha untuk menguji keberhasilan pendidik dalam rangka mengetahui sejauh mana perkembangan peserta didik dalam memahami materi pelajaran yang diajarkan. Dalam arti luas, evaluasi dapat dikatakan suatu usaha menguji tingkat keberhasilan suatu sistem pendidikan yang berisikan komponen-komponen pendukung dalam pendidikan dalam mencapai tujuan yang ingin dicapai.

35

Suharsimi Arikunto dan Cepi Safrudin Abdul Jabar,Evaluasi Program Pendidikan, (Jakarta :

PT. Bumi Aksara, 2009), cet.2. h. 1. 36

Suharsimi Arikunto,Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 1993), h. 1.

37

Sukardi,Evaluasi Pendidikan Prinsip dan Operasionalnya, (Jakarta: PT.Bumi Aksara, 2011),

cet.5. h. 1. 38

Secara umum ada empat kegunaan evaluasi dalam pendidikan Islam. Pertama, dari segi pendidik, evaluasi berguna untuk mengetahui tingkat keberhasilan seorang pendidik dalam menjalankan tugas, Kedua, dari segi peserta didik, evaluasi berguna untuk mengetahui perubahan tingkah lakunya dari hasil pendidikan. Ketiga, dari segi ahli pemikir pendidikan Islam, evaluasi berguna untuk mengetahui kelemahan dan keunggulan teori-teori pendidikan yang ada dalam upaya meningkatkan pendidikan yang sesuai dengan tuntutan zaman. Keempat, dari segi pemerintah, evaluasi berguna untuk menentukan kebijakan-kebijakan pendidikan yang sesuai dengan perkembangan dan tuntutan masyarakat.39

Kesemua kegunaan evaluasi pendidikan Islam dimaksudkan untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan dari sebuah sistem pendidikan dari berbagai aspek (kurikulum, pendidik, materi dan metode) dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan pendidikan Islam di masa yang akan datang.

Adapun tujuan evaluasi menurut ajaran Islam, berdasarkan pemahaman terhadap ayat-ayat al-Qur’an antara lain dapat disebutkan sebagai berikut:40 1. Untuk menguji daya kemampuan manusia beriman terhadap berbagai

macam problema kehidupan yang dialaminya.

2. Untuk mengetahui sampai dimana atau sejauh mana hasil pendidikan wahyu yang telah diterapkan Rasulullah SAW terhadap umatnya.

3. Untuk menentukan klasifikasi atau tingkat-tingkat hidup hidup keislaman atau keimanan manusia, sehingga diketahui manusia yang paling mulia di sisi Allah.

Untuk mengetahui sejauh mana kuatnya iman seseorang, Allah SWT terkadang mengevaluasinya melalui berbagai cobaan yang besar. Allah berfirman:                               

“Apakah manusia itu mengira, bahwa mereka akan dibiarkan (saja)

mengatakan “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji (dievaluasi)

lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum 39

Nizar,op. cit., h. 78.

40

mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta”. (Q.S. al-Ankabut, 29:2-3).

Pada ayat tersebut dengan jelas dinyatakan bahwa Allah SWT akan menguji kualitas keimanan seseorang dengan berbagai evaluasi atau cobaan. Dengan demikian dapat diketahui siapa saja yang benar-benar mantab imannya dan siapa saja yang imannya palsu.

Konsep evaluasi dalam pendidikan Islam bersifat menyeluruh, baik dalam hubungan manusia dengan Allah SWT sebagai pencipta, hubungan manusia dengan manusia yang lainnya, hubungan manusia dengan alam sekitarnya dan hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Paradigma pendidikan islam mengintegralkan semua ranah kognitif, afektif dan psikomotorik, sehingga terciptalah manusia yang paripurna yang dapat mengaktualisasikan keimanan, keilmuan dan amal shalihnya.41 Dari beberapa pendapat para pakar dapat disimpulkan, evaluasi adalah pengoreksian, pengawasan dan perefleksian terhadap komponen-komponen kurikulum dalam upaya mengetahui keberhasilan kurikulum. Evaluasi dalam pendidikan Islam adalah mengevaluasi tingkat keberhasilan peserta didik dalam ketaatan dan kepatuhan terhadap ajaran Islam.

F. Pendidikan Perspektif Muhammad Al-Naquib Al-Attas. 1. Pengertian Pendidikan

Definisi Pendidikan, menurut Al-Attas berasal dari kata ta’dib yang berartikan penyemaian dan penanaman adab dalam diri seseorang. Al-Qur’an menegaskan bahwa contoh ideal bagi orang yang beradab adalah Nabi Muhammad Saw, yang oleh kebanyakkan disebut dengan sebagai Manusia Sempurna atau Manusia Universal (al-insan al-kulliyy). Oleh karena itu, sistem pendidikan harus merefleksikan manusia sempurna.42

Pada Konferensi Dunia Pertama mengenai Pendidikan Islam yang diselenggarakan di Mekkah, pada April 1971. Al-Attas mengajukan agar 41

Samsul Nizar,op. cit., h. 83

42

Wan Mohd Nor Wan Daud,Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas,

definisi pendidikan Islam diganti menjadi penanaman adab dan istilah pendidikan dalam Islam menjadi ta’dib. Gagasan definisi pendidikan tersebut diterima sebagai istilah yang dikompromiskan dengan istilah

tarbiyah, ta’limdanta’dibyang dipakai secara bersamaan.43

Al-Attas yang tidak setuju dengan penerimaan yang kompromis ini kemudian menyatakan kembali argumentasinya dalam The Concept if Education in Islam yang disampaikannya pada Konferensi Dunia Kedua mengenai Pendidikan Islam yang diselenggarakan di Islamabad, pada 1980. Menurut Al-Attas, jika benar-benar dipahami dan dijelaskan dengan baik, konsep ta’dib adalah konsep yang paling tepat untuk pendidikan Islam, bukannyatarbiyahataupunta’limsebagaimana yang digunakan waktu itu.

Dia mengatakan, “ struktur konsepta’dibsudah mencakup unsur ilmu (ilm),

instruksi (ta’lim) dan pembinaan yang baik (tarbiyah).44

Al-Attas berpendapat kata “tarbiyah” yang dalam bahasa latin ialah education. Tarbiyah adalah proses menghasilkan dan mengembangkan mengacu kepada segala sesuatu yang bersifat fisik dan material. Yang dituju dalam konsepsi pendidikan yang diturunkan dari konsep-konsep latin yang dikembangkan dari istilah-istilah tersebut di atas meliputi spesies hewan dan

tidak dibatasi pada “hewan berakal”45.

Pada dasarnyatarbiyahberarti mengasuh, menanggung, memberi makan, mengembangkan, memelihara, membuat, menjadikan bertambah dalam pertumbuhan, membesarkan, memproduksi hasil-hasil yang sudah matang dan menjinakkan. Penerapannya dalam bahasa Arab tidak hanya terbatas pada manusia saja dan medan-medan semantiknya meluas kepada spesies-spesies lain untuk mineral, tanaman dan hewan.46

Konsep tarbiyah bisa diterapkan untuk berbagai spesies dan tidak terbatas hanya untuk manusia, dengan demikian konsep tarbiyah tidak 43

Ibid., h.175. 44

Ibid., h.175. 45

Syed Muhammad Al-Naquib Al-Attas,Konsep Pendidikan Dalam Islam, Terj. dariThe

Concept of Education in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of Educationoleh Haidar Bagir, (Bandung: Mizan, 1984). h. 64.

46

cocok untuk menunjukkan pendidikan dalam arti Islam yang dimaksudkan hanya untuk manusia saja.47Selain itutarbiyahpada dasarnya juga mengacu kepada gagasan “pemilikan”, seperti pemilikan keturunan oleh orang tuanya dan biasanya para orang tua sebagai pemilik yang berhak mentarbiyahkan keturunannya. Pemilikan-pemilikan yang dimaksud adalah pemilikan yang berhubungan dengan relasional. Mengingat bahwa pemilikan yang sebenarnya ada pada Tuhan sebagai Sang Pencipta, Pemelihara, Penjaga, Pemberi, Pengurus dan Pemilik segala sesuatu, yang kesemuanya itu tercakup dalam istilah tunggal ar-Rabb. Jadi kata Rabba yang diturunkan kepadanya jika diterapka pada manusia dan hewan-hewan menunjukkan suatu “milik yang dipinjamkan”. Yang mereka kerjakan dengan milik yang dipinjam ini adalah tarbiyah jika yang mereka kerjakan adalah mengasuh, menanggung, memberi makan, mengembangkan, memelihara, membesarkan, menjadikan bertambah di dalam pertumbuhan dan sebagainya. Kesemuanya itu bukan pekerjaan pendidikan. Pendidikan adalah penanaman pengetahuan yang berkenaan dengan manusia saja dengan penggunaan intelektual manusia.48

Jika penyelenggaran tarbiyah digunakan sebagai pendidikan yang berhubungan dengan pertumbuhan dan kematangan material dan fisik saja akan menyebabkan pola pendidikan sekuler yang berprinsip utilitarian yang cenderung pada aspek-aspek fisik, material kehidupan sosial dan politis manusia.49

Konsep ta’dib adalah pendidikan yang menekankan pada adab yang mencakup amal dalam pendidikan dan proses pendidikan adalah untuk menjamin bahwasanya ilmu (ilm) dipergunakan secara baik di dalam masyarakat oleh karena inilah para pakar pendidikan dan para sarjana-sarjana terdahulu mengombinasikan ilm dengan amali dan adab. Dan menganggap kombinasi harmonis ketiganya sebagai pendidikan.50

47 Ibid., h.67. 48 Ibid., h.68. 49 Ibid., h.69. 50 Ibid., h.62.

Adab adalah pengetahuan yang mencegah manusia dari kesalahan-kesalahan penilaian. Adab berarti pengenalan dan pengetahuan tentang hakikat bahwa pengetahuan dan wujud bersifat teratur secara hirarkis sesuai dengan berbagai-bagai tingkat dan derajat-tingkatan mereka dan tentang tempat seseorang yang tepat dalam hubungannya dengan hakikat itu serta dengan kapasitas dan potensi jasmaniah, intelektual maupun ruhaniah seseorang. 51 Oleh karena itu, Al-Attas menolak peristilahan tarbiyah dan

ta’limyang selama ini dianggap sebagai pengertian yang lengkap mengenai pendidikan. Al-Attas menolak tarbiyah sebab istilah tarbiyah hanya menyinggung aspek fisikal dan emosional dalam perkembangan manusia dan hewan. Ibn Miskawaih Sebagaimana dikutip Al-Attas, misalnya menggunakan istilah ta’dib untuk menunjukkan pendidikan intelektual, spiritual, dan sosial, baik anak muda maupun orang dewasa.52

Al-Attas memberikan contoh bagaimana adab hadir dalam pelbagai tingkat pengalaman manusia. Adab terhadap diri sendiri bermula ketika seseorang mengakui bahwa dirinya terdiri dari dua unsur, yaitu akal dan sifat kebinatangan. Ketika akal seseorang menguasai dan mengontrol sifat-sifat kebinatangannya, ia sudah meletakkan keduanya pada tempat yang semestinya dan karenanya ia telah meletakkan dirinya pada tempat yang benar adapun sebaliknya jika tidak, ia menjadi sesuatu yang tidak adil (zhulm al-nafs).53

Adab dalam konteks hubungan antara sesama manusia berarti norma-norma etika yang diterapkan dalam tata krama sosial sudah sepatutnya dilakukan dilingkungan keluarga dan masyarakat. Dalam hal ini, posisi

seseorang “bukanlah sesuatu yang ditentukan manusia berdasarkan kriteria

kekuatan, kekayaan ataupun keturunan, melainkan ditentukan oleh al-Qur’an berdasarkan kriteria terhadap ilmu pengetahuan, akal pikiran dan perbuatan yang mulia. Jika manusia tersebut melakukannya dengan tulus

51

Ibid., h.63. 52

Wan Daud,op. cit., h. 180.

53

ikhlas dan rendah hati, hal itu menunjukkan bahwa seseorang tersebut mengetahui tempat yang sebenarnya dalam hubungannya dengan mereka.

Dalam konteks ilmu, adab berarti disiplin intelektual yang mengenal dan mengakui adanya hirarki ilmu berdasarkan kriteria tingkat-tingkat keluhuran dan kemuliaan, yang memungkinkannya mengenal dan mengakui, bahwa seseorang yang pengetahuannya berdasarkan wahyu itu jauh lebih mulia dibandingkan mereka yang pengetahuannya berdasarkan akal. Adab terhadap ilmu pengetahuan akan menghasilkan cara-cara yang tepat dan benar dalam belajar pelbagai bidang sains yang berbeda. Dengan demikian, tujuan yang sebenarnya dalam upaya pencarian ilmu dan pendidikan adalah seseorang bisa mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Dalam kaitannya dengan alam, adab berarti pendisiplinan akal praktis dalam berhubungan dengan hirarki yang menjadi karakter alam semesta sehingga seseorang bisa membuat keputusan yang mengenai nilai-nilai dari segala sesuatu yang berkaitan dengan alam semesta dalam pengembangan jasmaniah dan ruhaniah manusia.

Adab terhadap bahasa berarti pengenalan dan pengakuan adanya tempat yang benar dan tepat untuk setiap kata, baik dalam tulisan maupun percakapan sehingga tidak menimbulkan kerancuan dalam makna, bunyi dan konsep. Dalam Islam, kesustraan disebut dengan Adabiyah, semata-mata karena ia dianggap sebagai penjaga peradaban dan penghimpun ajaran dan pernyataan yang bisa mendidik jiwa manusia dan masyarakat dengan adab sehingga keduanya menduduki tempat yang tinggi sebagai manusia dan masyarakat yang beradab.

Untuk alam spiritual, adab berarti pengenalan dan pengakuan terhadap tingkat-tingkat keluhuran yang menjadi sifat alam spiritual; pengenalan dan pengakuan terhadap pelbagai maqam spiritual berdasarkan ibadah; pengenalan dan pengakuan terhadap disiplin spiritual yang dengan benar telah menyerahkan fisik atau jiwa kebinatangan pada spiritual ataupun akal.

Al-Attas memberikan kesimpulan mengenai pengertian adab sebagai berikut:

1. Suatu tindakan untuk mendisiplinkan jiwa dan pikiran. 2. Pencarian kualitas dan sifat-sifat jiwa dan pikiran yang baik.

3. Perilaku yang benar dan sesuai yang berlawanan dengan prilaku salah dan buruk.

4. Ilmu yang dapat menyelamatkan manusia dari kesalahan dalam mengambil keputusan dan sesuatu yang tidak terpuji.

5. Pengenalan dan pengakuan kedudukan (sesuatu) secara benar dan tepat. 6. Sebuah metode mengetahui yang mengaktualisasikan kedudukan sesuatu

secara benar dan tepat.

7. Realisasi keadilan sebagaimana direfleksikan oleh hikmah. Yang dimaksud Al-Attas adalah pendidikan berbeda dengan istilah pengajaran dan pelatihan. Pelatihan dan pengajaran dapat dilakukan pada manusia dan hewan, sedangkan pendidikan hanya diperuntukkan manusia.

Dengan menyintesiskan arti ilmu pengetahuan, makna dan arti adab, bisa dikatakan bahwa definisi pendidikan Islam yang lengkap adalah sebagaimana yang terkandung dalam konteks ta’dib, yang didalamnya terkandung tujuan, kandungan dan metode pendidikan yang sebenarnya: “Pengenalan dan pengakuan yang ditanam secara progresif dalam diri manusia mengenai tempat yang sebenarnya dari segala sesuatu dalam susunan penciptaan yang membimbing seseorang pada pengenalan dan pengakuan terhadap keberadaan Tuhan dalam tatanan wujud dan eksistensi.54

Dapat disimpulkan bahwa definisi pendidikan adalah sebuah proses penanaman akhlak dan adab dalam upaya menumbuhkan potensi peserta didik dalam domain kognitif, psikomotorik, afektif dan spiritual dalam upaya menjadikan manusia yang sempurna.

54

2. Kurikulum Pendidikan

Tujuan pendidikan dalam Islam, sebagaimana diuraikan secara mendalam oleh Al-Attas adalah menciptakan manusia yang baik, seorang manusia beradab dalam pengertian yang komprehensip. Dalam pembentukkan kurikulum al-Attas menekankan aspek adab. Menurutnya, adab mencakup suatu pengenalann dan pengakuan mengenai tempat sesuatu secara benar dan tepat. Dengan ilmu pengetahuan dan metode yang berasaskan adab agar dapat mengetahui yang benar dan mampu menjaga manusia dari kesalahan penilaian dan perbuatan sehingga dapat memosisikan dirinya pada tempat yang benar dan sesuai.55

Kurikulum pendidikan dalam Islam berlandaskan sumber-sumber yang jelas dan mapan, yang pemahaman, penafsiran dan penjelasannya membutuhkan ilmu pengetahuan yang otoritatif. Al-Attas mengatakan otoritas yang tertinggi dalam Islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang dilakukan oleh para sahabat Nabi. Dalam pengembangan kurikulum pendidikan Islam Al-Attas lebih menekankan keutamaan peranan guru. Guru memiliki peranan penting dalam proses pendidikan. Al-Attas menyarankan peserta didik dalam mencari guru untuk tidak tergesa-gesa belajar kepada guru yang sembarangan. Pentingnya mendapatkan guru yang memiliki reputasi tinggi untuk mencapai gelar tertentu.56

Al-Ghazali sebagaimana dikutip oleh Al-Attas, mengingatkan dan menekankan peserta didik untuk tidak sombong tetapi harus memperhatikan mereka yang membantunya dalam mencapai kebijaksanaan, kesuksesan dan kebahagiaan dan tidak hanya berlandaskan kepada mereka yang termasyhur atau terkenal.57 Praktik pendidikan Al-Attas, tidak bergantung pada kuantitas buku yang terlalu banyak, tetapi hanya bertumpu pada buku yang sudah disahkan. Hal ini bisa dilihat dari perpustakaan pribadinya yang relatif memiliki kuantitas buku terbatas.

55 Ibid., h.255. 56 Ibid., h.260. 57 Ibid., h.261.

Adab guru dan peserta didik dalam filsafat pendidikan Al-Attas tampaknya diilhami oleh Al-Ghazali. Pandangan Al-Ghazali mengenai tugas-tugas guru dan peserta didik yang saling memberi manfaat. Selain persiapan spiritual, seperti mengamalkan adab yaitu mendisiplinkan pikiran dan jiwa. Peserta didik harus menghormati dan percaya kepada guru; harus sabar dengan kekurangan gurunya dan menempatkannya dalam perspektif yang wajar. Guru pun dapat menerima nasihat yang datang dari peserta didik dan berproses sesuai dengan perkembangannya dan kemampuannya.58

Al-Attas dalam menjalankan sistem kurikulum pendidikan Islam mengacu kepada tradisi Islam dalam hal otoritas dan mengaplikasikan ide universal mereka secara kritis dan kreatif untuk menyelesaikan banyak permasalahan yang dihadapi. Al-Attas menginginkan kedisiplinan yang konsisten dari semua mahasiswanya untuk mengetahui hal-hal yang paling penting dan mengaplikasikannya secara tepat dalam kehidupan pribadi dan sosial. Memperhatikan dan memahami dengan benar isi dan pesan yang disampaikan oleh guru mereka.59

Dapat disimpulkan, kurikulum pendidikan Islam Al-Attas adalah

kurikulum yang menekankan konsep ta’dib. Sistem kurikulum

menitikberatkan peranan guru (teacher oriented) dan penggunaan sumber-sumber yang otoritatif dalam Islam (Al-Qur’an dan hadis).

3. Tujuan Pendidikan

Secara umum, ada dua pandangan teoritis mengenai tujuan pendidikan, masing-masing dengan tingkat keberagamannya tersendiri. Pandangan teoritis yang pertama berorientasi kemasyarakatan, yaitu pandangan yang menganggap pendidikan sebagai sarana utama dalam menciptakan rakyat yang baik, baik untuk sistem pemerintahan demokratis, oligarkis maupun

58

Ibid., h.263. 59

monarkis. Pandangan teoritiskedualebih berorientasi kepada individu, yang lebih memfokuskan diri pada kebutuhan, daya tampung dan minat pelajar.60

Berangkat dari asumsi bahwa manusia adalah hewan yang bermasyarakat (social animal) dan ilmu pengetahuan pada dasarnya dibina di atas dasar-dasar kehidupan bermasyarakat, mereka yang berpandangan kemasyarakatan berpendapat bahwa pendidikan bertujuan mempersiapkan manusia yang bisa berperan dan menyesuaikan diri dalam masyarakatnya masing-masing. Berdasarkan hal ini, tujuan dan target pendidikan dengan sendirinya diambil dari dan diupayakan untuk memperkuat kepercayaan, sikap, ilmu pengetahuan, dan sejumlah keahlian yang sudah diterima oleh sebuah masyarakat itu senantiasa berubah dengan itu pendidikan diharapkan dapat menyiapkan peserta didik yang mampu menghadapi segala bentuk perubahan yang ada.61

Terdapat perbedaan mengenai orientasi peranan pendidikan, ada beberapa tokoh yang mengatakan pendidikan memiliki peranan yang sangat penting dalam masyarakat dibandingkan peranan pendidikan atas individu. Pada 1987 Paolo Freire sebagaimana dikutip Al-Attas mengatakan bahwa “Saya tidak percaya dengan ide kebebasan individu. Kebebasan adalah tindakan sosial dan kebebasan dalam pendidikan adalah proses masyarakat

menuju pencerahan”.62 Praktik pendidikan cenderung berorientasikan

terhadap pemenuhan kebutuhan masyarakat terhadap pendidikan dibandingkan mengembangkan potensi dan minat peserta didik.

Sementara itu, pandangan teoritis pendidikan yang berorientasi pada individual terdiri dari dua aliran. Aliranpertama berpendapat bahwa tujuan utama pendidikan adalah mempersiapkan peserta didik agar bisa meraih kebahagiaan yang optimal melalui pencapaian kesuksesan kehidupan bermasyarakat dan ekonomi. Aliran kedua lebih menekankan peningkatan intelektual, kekayaan dan keseimbangan jiwa peserta didik. Berbeda dengan tujuan pendidikan Islam tradisional yang selalu menjadikan keberhasilan 60 Ibid., h.163. 61 Ibid., h.164. 62 Ibid., h.165.

individu dan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat sebagai cita-cita dan tujuan pendidikan.63

Namun tujuan pendidikan sekarang telah berubah cenderung berusaha meraih keberhasilan sosial-ekonomi bagi setiap peserta didik dengan harapan dapat memperkuat posisi penting dalam struktur sosial-ekonomi sehingga terjadi perubahan orientasi pendidikan dan menganggap pendidikan sebagai alat mobilisasi dalam menguasai posisi penting dalam struktur sosial-ekonomi dalam pemerintahan suatu negara. Dominasi sikap tersebut berdampak dengan munculnya penyakit diploma (diploma disease) yaitu usaha dalam meraih suatu gelar pendidikan bukan karena kepentingan pendidikan melainkan karena nilai-nilai pendidikan.64 Dengan pola pendidikan yang berorientasi sosial-ekonomi akan menyebabkan kebingungan intelektual dan hilangnya identitas kebudayaan yang disebabkan pengaruh sekularisasi Barat.

Al-Attas menjelaskan tujuan pendidikan menurut Islam bukanlah untuk menghasilkan warga negara dan pekerja yang baik, sebaliknya tujuan pendidikan Islam adalah menciptakan manusia yang baik. Tujuan mencari pengetahuan dalam Islam ialah menanamkan kebaikan dalam diri manusia sebagai manusia dan individu, bukan hanya sebagai seorang warga negara ataupun anggota masyarakat. Yang perlu ditekankan dalam pendidikan adalah nilai.

Al-Attas berpendapat, Dalam mengembangkan tujuan pendidikan Islam harus memperhatikan pengembangan individu dan masyarakat dalam persaudaraan kemanusiaan. Tujuan ilmu pengetahuan adalah melahirkan manusia yang baik, kami tidak bermaksud untuk melahirkan masyarakat yang baik. Karena masyarakat terdiri dari individu, melahirkan seseorang akan melahirkan masyarakat yang baik. Pendidikan adalah pembuat struktur masyarakat.65 63 Ibid., h.165. 64 Ibid., h.166. 65 Ibid., h.188.

Al-Attas menginginkan dalam tujuan pendidikan Islam adalah terciptanya manusia beradab (insan adabi). Manusia yang sadar akan individualitasnya dan hubungan yang tepat dengan diri, Tuhan, masyarakat dan alam yang tampak maupun yang gaib. Itulah sebabnya, dalam pandangan Islam, manusia yang baik adalah individu yang baik secara alami harus menjadi hamba yang baik bagi Tuhan-Nya, ayah yang baik bagi

Dokumen terkait