BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
C. Evaluasi Penggunaan Antibiotika dengan Metode Defined Daily Dose
Pada penelitian ini dilakukan evaluasi penggunaan antibiotika selama periode Februari sampai Juli 2013 dengan pendekatan kuantitatif menggunakan metode DDD (Defined Daily Dose) 100-patient days. Metode DDD (Defined Daily Dose) dipilih karena hasil penelitian dari penggunaan antibiotika menggunakan metode ini dapat dibandingkan dengan hasil penggunaan antibiotika antar bangsal, rumah sakit, kota, bahkan antar negara sekalipun (WHO, 2013).
83,8% 14,3%
1,9%
2 – 5 hari dengan jumlah = 181
6 – 10 hari dengan jumlah = 31
Hasil penelitian menunjukkan kuantitas antibiotika yang paling tinggi adalah amoksisilin yaitu sebesar 11,0 DDD 100 patient-days. Selanjutnya antibiotika sefotaksim sebesar 4,5 DDD 100 patient-days dan metronidazol sebesar 3,9 DDD 100 patient-days. Gambaran kuantitas penggunaan antibiotika menggunakan konsep DDD 100 patient-days dapat dilihat pada Tabel VI.
Tabel VI. Nilai DDD 100 patient-days untuk Masing-Masing Jenis Antibiotika di Bangsal Anak Rawat Inap Rumah Sakit Panti Nugroho Periode Februari-Juli 2013 beserta Kode ATC dan Standar DDD WHO
Golongan Antibiotika Jenis Antibiotika Kode ATC Nilai Standar DDD WHO (g) Nilai DDD Per Jenis Antibiotika Sefalosporin Sefotaksim (P) Sefiksim (O) Seftriakson (P) Seftazidim (P) Sefadroksil (O) J01DD01 J01DD08 J01DD04 J01DD02 J01DB05 4 0,4 2 4 2 4,5 2,6 3,4 0,1 0,03 Aminoglikosida Gentamisin (P) Gentamisin (Bead Chain) Amikasin (P) J01GB03 J01GB03 J01GB06 0,24 0,24 1 2,39 0,01 0,1 Penisilin Amoksisilin (O) Amoksisilin (P) Ampisilin (P) J01CA04 J01CA04 J01CA01 1 1 2 2,3 8,7 1,5 Imidazol Metronidazol (P) Metronidazol (O) J01XD01 P01AB01 1,5 2 3,3 0,6 Trimetoprim dan Sulfonamida Kotrimoksasol (P) J01EE01 1,92 0,8
Ampenikol Kloramfenikol (P) J01BA01 3 0,17
Kuinolon dan Flourokui- nolon Siprofloksasin (P) Siprofloksasin (O) J01MA02 J01MA02 1 0,5 0,1 0,08 Vankomisin Fosfomisin (P) J01XX01 8 0,2
Rifampin Rifampisin (P) J04AB02 0,6 0,03
Makrolida Azitromisin (O) J01FA10 0,3 0,2
Karbapenem Meropenem (P) J01DH02 2 0,1
TOTAL DDD 31,21
Kuantitas penggunaan antibiotika merupakan jumlah penggunaan antibiotika yang dapat diukur secara prospektif maupun retrospektif melalui studi validasi dengan memperhatikan ATC (Anatomical Therapeutic Chemical) dengan menggunakan metode Defined Daily Dose (DDD). DDD adalah asumsi dosis rata-rata per hari penggunaan antibiotika untuk indikasi tertentu pada orang dewasa (Kemenkes RI, 2011).
Pada penelitian ini terdapat 17 variasi jenis penggunaan antibiotika pada pasien anak yang teridentifikasi di Rumah Sakit Panti Nugroho pada periode Februari – Juli 2013 dengan total nilai 31,21DDD 100 patient-days. Berdasarkan nilai 31,21DDD 100 patient-days yang diperoleh dari penelitian ini dapat dinyatakan bahwa rata-rata penggunaan antibiotika setiap pasien anak per hari dari 100 pasien di bangsal anak Rumah Sakit Panti Nugroho periode Februari-Juli 2013 adalah 31,21 gram.
Penelitian serupa yang pernah dilakukan adalah penelitian di sebuah rumah rumah sakit anak di Belanda, tahun 1997-2001. Dari penelitian tersebut diperoleh total nilai DDD antibiotika pada tahun 1997 (47,2 DDD100 patient-days), tahun 1998 (47,7DDD100 patient-patient-days), tahun 1999 (50,0DDD100 patient-days,) tahun 2000 (52,1DDD100 patient-days), dan tahun 2001 (54,7DDD100 patient-days). Dari tahun 1997 sampai 2001 tersebut diperoleh hasil nilai golongan antibiotika penisilin selalu menunjukkan nilai DDD terbesar yaitu 14,4;14,3;15,6;15,9 dan 18,0 DDD 100 patient-days (Filius, et al, 2005). Jika melihat hasil penelitian tersebut dari tahun 1997-2001, maka nilai DDD di bangsal anak Rumah Sakit Panti Nugroho lebih kecil.
Penelitian serupa lainnya yang juga pernah dilakukan sebelumnya adalah penelitian di RSUP Dr. Kariadi Semarang, didapatkan nilai DDD sebesar 39,4 DDD/100 hari dengan nilai DDD tertinggi adalah jenis antibiotika seftriakson sebesar 10,6 (Febiana, 2012). Hasil penelitian ini apabila dibandingkan dengan nilai DDD di Bangsal Anak Rumah Sakit Panti Nugroho juga menunjukkan angka yang lebih besar.
Meskipun nilai DDD dalam penelitian ini lebih kecil daripada penelitian di RSUP Dr. Kariadi dan Rumah Sakit Anak di Belanda, namun dari nilai 31,21 DDD 100 patient-days ini, apabila dibandingkan dengan standar nilai DDD menurut WHO, ada beberapa jenis antibiotika yang nilainya melebihi standar yang ditetapkan oleh WHO. Jenis antibiotika itu adalah amoksisilin baik rute oral maupun parenteral, sefotaksim, metronidazol (parenteral), gentamisin (parenteral), seftriakson, dan sefiksim. Nilai beberapa jenis antibiotika yang lebih tinggi dari nilai standar DDD WHO ini sesuai dengan penggunaannya yang paling sering digunakan dalam penelitian ini, dimana urutan antibiotika yang paling sering digunakan berturut-turut adalah gentamisin, amoksisilin, sefotaksim, metronidazol, sefiksim, dan seftriakson. Hal ini membuktikan bahwa semakin sering antibiotika tersebut digunakan maka memungkinkan nilai DDD antibiotika itu akan semakin besar pula.
Apabila kuantitas penggunaan antibiotika memiliki nilai yang lebih tinggi daripada standar yang telah ditetapkan oleh WHO, maka kemungkinan menunjukkan bahwa penggunaan antibiotika pada pasien dinyatakan kurang selektif (Laras, 2012). Ketidakselektifan itu bisa disebabkan oleh bebrapa faktor
misalnya kemungkinan ketidaktepatan dalam indikasi sehingga akan berpengaruh pada kerasionalan penggunaan antibiotikanya. Berdasarkan tingginya nilai DDD beberapa jenis antibiotika yang melebihi nilai standar DDD WHO dalam penelitian ini menunjukkan kemungkinan masih terdapat ketidakrasionalan penggunaan antibiotika pasien rawat inap di bangsal anak Rumah Sakit Panti Nugroho pada periode Februari-Juli 2013 dilihat dari segi kuantitasnya.
Besarnya nilai DDD antibiotika yang melebihi standar DDD WHO ini juga dipengaruhi oleh besar dosis antibiotika yang digunakan. Dosis antibiotika dengan rute intravena tidak sama dengan rute oral. Seperti contoh antibiotika amoksisilin yang memiliki nilai DDD paling besar dalam penelitian ini. Dosis amoksisilin oral untuk anak >8 kg adalah 125-250 mg tiap 8 jam (maksimal 750 mg/hari). Sedangkan dosis amoksisilin rute IV untuk anak sampai dengan 100 mg/kgBB/hari (maksimal 800 mg/hari untuk anak usia 8 kg) (MIMS, 2012). Berdasarkan hal itu dapat terlihat bahwa antibiotika amoksisilin intravena memiliki dosis maksimum yang jauh lebih besar daripada amoksisilin oral. Jumlah (gram) penggunaan antibiotika yang semakin besar, kemungkinan akan menyebabkan nilai DDD akan menjadi semakin besar pula. Karena jumlah (gram) penggunaan antibiotika bergantung dari dosis yang digunakan, maka dosis disini akan mempengaruhi nilai DDD. Semakin besar dosis (kekuatan obat dan lama penggunaan antibiotika) akan menyababkan nilai DDD yang semakin besar pula. Dalam penelitian ini dapat ditunjukkan pada nilai DDD amoksisilin rute IV (rata-rata lama penggunaan 3-4 hari) jauh lebih besar nilai DDD nya daripada nilai DDD amoksisilin oral (rata-rata lama penggunaannya 2-3 hari). Nilai DDD
amoksisilin rute IV adalah 8,7 dan nilai DDD amoksisilin rute oral 2,3. Pada hal ini dapat terlihat bahwa semakin besar dosis (kekuatan obat dan lamanya penggunaan) akan menyebabkan nilai DDD yang semakin besar pula.
Begitu juga dengan bentuk sediaan yang paling banyak digunakan dalam penelitian ini adalah injeksi. Hal ini dikarenakan terkait penggunaannya sebagai bentuk sediaan untuk rute intravena yang merupakan rute yang paling banyak digunakan dalam penelitian ini dimana dosis rute intravena lebih besar daripada dosis oral. Sehingga besarnya dosis itu akan mempengaruhi besarnya nilai DDD yang dihasilkan.
Besar kecilnya nilai DDD juga dipengaruhi oleh total LOS. LOS dalam rumus DDD 100 patient-days adalah sebagai pembagi. Nilai DDD antibiotika akan mendekati standar DDD WHO apabila total jumlah (gram) penggunaannya diimbangi dengan total LOS nya. Jumlah (gram) dosis yang semakin besar apabila LOS nya juga tidak semakin besar akan memungkinkan diperoleh nilai DDD yang lebih besar dari nilai standar DDD dalam WHO.
Beberapa keterbasan dari metode DDD yang diindikasikan untuk pasien anak adalah metode DDD sebenarnya metode untuk mengevaluasi penggunaan antibiotika yang ditujukan untuk orang dewasa. Namun penggunaan metode DDD bisa ditujukan untuk pasien anak apabila tersedia dosis harian dan indikasi pada populasi anak tersebut. Selain itu, metode DDD ini hanya untuk mengukur perbandingan secara keseluruhan kemungkinan yang terjadi dari hasil nilai DDD dan bukan keadaan yang sebenarnya (WHO, 2013).
Pemberian dosis obat untuk pediatri harus disesuaikan dengan usia dan berat badan anak (WHO, 2013). Anak yang memiliki berat badan lebih besar akan menerima dosis yang lebih besar pula. Apabila dalam populasi anak menggambarkan keadaan yang obesitas, maka akan berpengaruh pada nilai DDD yang semakin tinggi pula.
Keterbatasan lain yang ditemukan dalam penelitian ini terkait penggunaan dari metode DDD adalah nilai total DDD tidak bisa digunakan untuk mengukur tingkat keselektifan penggunaan antibiotika keseluruhan maupun total antibiotika per golongan. Namun hanya bisa diukur per jenis antibiotika sesuai dengan standar DDD yang ditetapkan WHO
Keterbatasan lain dari penelitian ini adalah karena cara pengambilan datanya bersifat retrospektif, maka peneliti tidak dapat melihat langsung bagaimana keadaan kasus selama perawatan, dan hanya melihat catatan medik pasien pada periode atau masa lampau, maka didapatkan kesulitan dalam mengkonfirmasi tulisan yang tidak jelas mengenai data penggunaan antibiotika yang ada di catatan medik kepada klinisi yang bertugas.
Selain itu kesulitan lain yang dialami selama penelitian adalah ketidaksesuaian data penggunaan antibiotika yang ada di kartu pengobatan dengan catatan medik. Ketidaksesuaian yang dimaksud adalah di beberapa kartu pengobatan tertera bahwa pasien anak menerima terapi antibiotika namun setelah dicocokkan data pasien dan nomor catatan mediknya, pada catatan medik tidak ada data mengenai penggunaan antibiotikanya. Sehingga peneliti harus memasukkan data itu sebagai data eksklusi.