• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA

A. PENELAAHAN PUSTAK

3. Klasifikasi antibiotika berdasarkan mekanisme aksinya

a. Antibiotika yang menginhibisi atau merusak sintesis dinding sel bakteri. Contohnya : vankomisin, penisilin, dan sefalosporin (Rudolph, 2003).

1). Vankomisin

Vankomisin paling efektif digunakan melalui rute intravena (IV) dan hanya aktif pada bakteri gram positif, khususnya golongan kokus, karena indikasi utama obat ini adalah untuk septikimia atau streptokokus yang disebabkan oleh bakteri stafilokokus, streptokokus, atau enterokokus. Penggunaan vankomisin biasanya dipakai oleh penderita yang alergi penisllin dan sefalosporin karena vankomisin sifatnya yang lebih toksik. Efek samping obat ini bisa menyebabkan ketulian permanen dan uremia apabila diberikan pada dosis yang besar, pasien penderita gagal ginjal, dan pemejanan atau terapi yang lama. Selain itu juga dapat menyebabkan tromboflebitis pada pemejanan IV yang cukup lama. Efek samping yang paling sering terjadi adalah kemerahan (The red man syndrome) (Syarif dkk, 2007).

Contoh antibiotika golongan vankomisin adalah fosfomisin. Nilai DDD untuk fosfomisin rute parenteral menurut WHO adalah 8 gram. Untuk nilai DDD fosfomisin rute oral adalah 3 gram (WHO, 2006).

2). Penisilin

Antibiotika golongan penisilin adalah obat yang stabil dalam suasana asam dan diabsorbsi dengan cepat di saluran pencernaan serta tidak tergantung adanya makanan di lambung. Penisilin sangat efektif terhadap bakteri gram positif maupun negatif. Bakteri gram positif contohnya Enterokokus, dan bakteri gram negatif contohnya E. coli, salmonella, N. Meningitis, Diplokokus pneumonia. Indikasi dari obat ini adalah digunakan untuk infeksi saluran kemih, saluran pencernaan maupun saluran pernapasan yang disebabkan oleh bakteri gram positif dan negatif. Penggunaan pada wanita hamil harus sangat hati-hati. Efek samping yang sering terjadi adalah bercak kemerahan dan gatal, shock anafilaksis, mual, muntah serta diare (Junaidi, 2012).

Contoh antibiotika golongan penisilin adalah amoksisilin dan ampisilin. Nilai DDD amoksisilin untuk rute oral maupun parenteral adalah 1 gram. Nilai DDD untuk ampisilin baik oral maupun parenteral adalah 2 gram (WHO, 2006).

3). Sefalosporin

Sama halnya dengan antibiotika beta laktam lain, mekanisme kerja antibiotika sefalosporin adalah menghambat sisntesis dinding sel mikroba yaitu reaksi transpeptidase tahap ketiga dalam rangkaian reaksi pembentukan dinding sel.

a. Generasi I : aktif pada bakteri gram positif. Pada umumnya tidak tahan terhadap beta laktamase. Contohnya : sefalotin, sefazolin, sefradin, sefaleksin,

sefadroksil. Golongan ini digunakan secara oral pada infeksi saluran kemih ringan dan pada infeksi saluran pernapasan yang tidak serius.

b. Generasi II : lebih aktif terhadap kuman gram negatif dan lebih kuat terhadap beta laktamase. Contohnya : sefaklor, sefamandol, sefmetazol dan sefuroksim.

c. Generasi III : lebih aktif terhadap bakteri gram negatif daripada generasi I dan II, meliputi P.aeruginosa dan bacteriodes. Contohnya : sefotaksim, seftriakson, sefiksim, seftazidim digunakan secara parenteral. Standar DDD untuk antibiotika sefotaksim, sefiksim, seftriakson, dan seftazidim berturut-turut adalah 4 ; 0,4; 2 dan 4 gram (WHO, 2006).

d. Generasi IV : bersifat sangat resisten terhadap beta laktamase. Contohnya : sefpirom dan sefepim (Syarif dkk, 2007).

Efek samping dari penggunaan sefalosporin adalah urtikaria, demam, eosinofil, shock anafilaksis jarang terjadi, kenaikan SGOT, nekrosis tubulus, bahaya nefrotoksik juga jarang terjadi tetapi dapat menembus plasenta pada ibu hamil (Wattimena dkk, 1991).

e.Antibiotika yang menginhibisi atau mengganggu metabolisme asam nukleat bakteri. Contohnya : rifampin, kuinolon, dan metronidazol (Syarif dkk, 2007).

4). Rifampin

Rifampin menghambat pertumbuhan bakteri dengan cara mengikat secara kuat RNA polimerase yang bergantung pada DNA bakteri. Resistensi rifampin berkembang sebagai mutasi kromosom yang sangat cepat sehingga menyebabkan perubahan dalam RNA polimerase (Kasper and Fauci, 2010).

Efek samping dan toksisitas dari rifampin yang biasanya terjadi pada minggu pertama pengobatan adalah kadang-kadang muncul gangguan perut, rasa kaku pada kaki, nyeri pada otot dan persendian (Wattimena dkk, 1991).

Contoh antibiotika golongan rifampin adalah rifampisin. Rifampisin memiliki nilai DDD 0,6 gram untuk rute oral maupun parenteral dengan kode ATC J04AB02 (WHO, 2006).

5). Kuinolon dan Flourokuinolon

Semua obat golongan kuinolon dan flourokuinolon merupakan penghambat kuat sintesis asam nukleat. Obat ini menghambat kerja DNA girase, enzim yang bertanggung jawab pada terbuka dan tertutupnya lilitan DNA serta bersifat bakterisid. Kuinolon digolongkan menjadi :

a. Generasi I : digunakan pada infeksi saluran kemih tanpa komplikasi.Yang termasuk kelompok ini adalah asam nalidiksat dan pipemidat.

b. Generasi II : senyawa seperti fluorokuinolon, siprofloksasin, norfloksasin, pefloksasin, ofloksasin merupakan golongan obat dalam kelompok antibiotika ini. Spektrum kerjanya bersifat lebih luas meliputi gram positif dan dapat digunakan untuk infeksi sistemik lain (Syarif dkk, 2007).

Antibiotika golongan siprofloksasin baik oral maupun parenteral memiliki nilai DDD yang ditetapkan oleh WHO sebesar 0,6 gram. Sesuai dengan klasifikasi ATC, siprofloksasin baik oral maupun parenteral memiliki kode J01MA02 (WHO, 2006).

6). Metronidazol

Antibiotika metronidazol spesifik untuk bakteri yang bersifat anaerob, dan paling aktif terhadap bakteri gram positif dan negatif seperti : bacteroides dan fusobacterium yang umumnya memiliki konsentrasi hambat minimum (MIC) 3,12 mg/L. Metronidazol bisa digunakan melalui rute intravena, oral maupun secara rektal. Pasien yang menerima terapi metronidazol biasanya mengalami mual dan bau logam. Efek samping yang ditimbulkan adalah neuropati, enselopati, dan neutropenia. Untuk penyakit radang usus besar yang disebabkan karena C. difficile, metronidazol adalah pilihan yang tepat apabila dikombinasikan dengan vankomisin (Rudolph, 2003).

Metronidazol untuk pemberian rute oral dan rektal memiliki standar nilai DDD yang ditetapkan oleh WHO adalah 2 gram. Untuk metronidazol intravena memiliki nilai DDD 1,5 gram (WHO, 2006).

b. Antibiotika yang menginhibisi atau menghambat sintesis protein bakteri. Contohnya : aminoglikosida, tetrasiklin, kloramfenikol, eritromisin, dan klindamisin.

1). Aminoglikosida

Golongan aminoglikosida adalah golongan antibiotika yang digunakan untuk mengobati tuberkulosis, diare, amubiasis, infeksi mata, telinga, kulit dan sebagai antiinflamasi. Mekanisme kerjanya terikat pada subunit 30S dari ribosom sehingga tidak terbentuk sub unit 70S sehingga terjadi penghambatan sintesis protein bakteri.

Efek samping dari aminoglikosida yaitu dapat menyebabkan pendengaran hilang secara permanen, muncul gejala-gejaln pusing dan vertigo. Pada pasien usia lanjut sering terjadi efek samping nefrotoksisitas, terutama pada pasien yang mengalami gangguan fungsi ginjal (Wattimena dkk, 1991).

Contoh antibiotika golongan aminoglikosida adalah gentamisin dan amikasin. Standar nilai DDD yang ditetapkan oleh WHO untuk amikasin adalah 1 gram. Nilai DDD untuk gentamisin parenteral dan bead chain adalah 0,24 gram (WHO, 2006).

2). Tetrasiklin

Pengobatan tetrasiklin ditujukan untuk dewasa dan anak-anak yang berusia lebih dari 8 tahun dan mengalami infeksi yang disebabkan oleh M. pneumoniae, Q. fever, psittacosis, brucellosis, Spesies rickettsial, dan Lymphogranuloma venereum. Tetrasiklin juga bisa diindikasikan untuk pengobatan gonorrhea dan sifilis untuk pasien yang alergi terhadap penisilin namun tidak dalam kondisi hamil. Doksisiklin adalah salah satu obat golongan tetrasiklin yang efektif untuk mengobati diare yang disebabkan karena bakteri E. coli dan meningitis karena Neisseria meningitidis atau anthrax. Efek samping dan toksisitas tertrasiklin yang paling sering terjadi pada anak-anak adalah pengaruhnya pada jaringan berkapur. Anak yang menerima antibiotika tetrasiklin baik jangka panjang atau pendek akan menyebabkan gigi berwarna coklat kehitaman. Pengobatan dapat dilakukan apabila anak sudah berusia diatas 8 tahun. Efek samping lainnya adalah fototoksisitas, toksisitas pada hati, ginjal, dan reaksi

3). Kloramfenikol

Kloramfenikol bekerja dengan mengikat sub unit ribosom 50S dan menghambat peptidiltransferase dalam sintesis protein. Resistensi terhadap kloramfenikol umumnya karena inaktivasi antibiotika dari kloramfenikol asetiltransferase (Sosa et al, 2010).

Terapi dengan kloramfenikol harus dibatasi hanya pada infeksi yang hasil pengobatannya memiliki keuntungan yang lebih besar daripada resikonya seperti infeksi oleh salmonella, H. influenzae, B. fragilis, dan penyakit ISK. Kloramfenikol dikontraindikasikan pada penderita alergi, penyakit hati yang berat, pasien yang menerima kombinasi obat hematotoksik, gangguan ginjal, pada minggu terakhir kehamilan, setelah melahirkan dan bayi prematur (Wattimena dkk, 1991).

Standar nilai DDD yang ditetapkan oleh WHO untuk antibiotika kloramfenikol baik oral maupun parenteral adalah 3 gram dengan kode ATC J01BA01 (WHO, 2006).

4). Eritromisin

Eritromisin dihasilkan oleh suatu strain Streptomyces erytherus yang menghambat dengan cara mengikat ribosom 50S dan bersifat bakteriostatik serta aktif pada bakteri gram positif baik yang bersifat aerob maupun anaerob. Eritromisin adalah pilihan yang tepat sebagai pengganti penisilin untuk mengobati infeksi streptococcal dan pneumococcal. Eritromisin juga bisa untuk mengobati infeksi pernafasan seperti yang disebabkan oleh mycoplasma, chlamydia,

legionnaire, gonorrhea, atau syphilis selama kehamilan (Rudolph, 2003 dan Syarief dkk, 2007).

5).Klindamisin

Mekanisme kerja klindamisin sama seperti linkomisin, tetrasiklin, kloramfenikol, yang bekerja pada subunit 50S dari ribosom bakteri dan menekan sintesis protein. Resistensi terhadap klindamisin terjadi misalnya pada B. fragiis, yang mungkin disebabkan metilasi RNA bakteri dalam unit 50S tadi. Efek samping klindamisin sekitar 8% (2-20%) pasien mengeluh tentang terjadinya diare setelah pemberian klindamisin. Sejumlah pasien juga menderita kolitis pseudomembran (0,01-10%), yang ditandai dengan diare, nyeri abdomen, demam dan adanya mukus dan darah dalam feses. Klindamisin HCL untuk pemakaian oral sedangkan klindamisin fostas untuk intravena dan intramuskular (Wattimena dkk, 1991).

c. Antibiotika yang menginhibisi atau menghambat pembentukan asam folat bakteri. Contohnya : sulfonamid dan trimetoprim (Rudolph, 2003).

1). Sulfonamid dan Trimetoprim

Kombinasi antara sulfametaksasol dengan trimetropim menghasilkan kerja yang sifatnya sinergis dan bersifat bakterisida. Namun apabila masing-masing digunakan secara terpisah, masing-masing-masing-masing bersifat bakteriostatik. Indikasi dari kombinasi ini adalah mengobati infeksi pada saluran pencernaan terutama

yang disebabkan karena salmonella, shigella, maupun tifus, infeksi saluran kemih seperti pielonefritis dan pielitis (kecuali yang disebabkan oleh P. aeruginosa dan Neisseria sp), infeksi saluran pernapasan seperti bronkitis akut dan kronis, infeksi THT dan infeksi lain seperti toksoplasmosis. Kombinasi antara sulfametaksasol dengan trimetoprim dikontraindikasikan pada pasien yang peka terhadap sulfonamida, gangguan hati, gangguan ginjal berat, kelainan darah, kehamilan dan bayi baru lahir (Permenkes RI, 2011 dan Juniadi 2012).

Kotrimoksasol merupakan kombinasi antara sulfametoksasol dengan trimetoprim dengan perbandingan (5:1) baik untuk rute oral maupun parenteral. Nilai DDD kotrimoksasol baik oral maupun parenteral menurut standar yang ditetapkan oleh WHO adalah 1,92 gram dengan kode ATC J01EE01 (WHO, 2006).

Dokumen terkait