• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

C. Evaluasi Penggunaan Antibiotika dengan Metode Gyssens

3. Evaluasi Penggunaan Antibiotika pada Kasus 4 dan 19 dengan Diagnosa Demam Tifoid

Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi akut yang biasanya terjadi di saluran cerna yang disebabkan oleh bakteri Salmonella dengan gejala berupa demam dan rasa nyeri yang sangat tinggi (Tan & Rahardja, 2007).

Hasil evaluasi peresepan antibiotika pada kasus demam tifoid akan dijelaskan sebagai berikut.

a) Kasus 4

Pasien anak dengan diagnosa demem tifoid menerima antibiotika berupa amoksisilin. Pasien diindikasikan mengalami infeksi bakteri, sehingga lolos kategori V (ada indikasi penyakit infeksi). Amoksisilin merupakan antibiotika yang efektif untuk infeksi Salmonella terbukti efektif karena kondisi pasien terbukti membaik sehingga lolos kategori IVA (tidak ada antibiotika yang lebih efektif). Tidak ditemukan interaksi merugikan dengan obat lain dan harganya juga termurah untuk antibiotika sejenis sehingga lolos kategori IVB (tidak ada indikasi merugikan dengan obat lain) dan IVC (tidak ada antibiotika sejenis yang lebih murah). Menurut Tan & Rahardja (2007) amoksisilin diketahui memiliki efektivitas yang tinggi terhadap Salmonella sehingga spesifik untuk penyakit ini. Berdasarkan hal tersebut penggunaan amoksisilin lolos kategori IVD (tidak ada antibiotika lain dengan spektrum lebih sempit). Menurut Lacy et al. (2011) durasi penggunaan amoksisilin untuk terapi anaerob adalah 7 sampai 10 hari. Pada kasus ini waktu penggunaannya selama rawat inap adalah 4 hari, kemudian pasien dinyatakan pulang dan terapi tetap dilanjutkan selama rawat jalan, sehingga tidak terlalu lama dan tidak terlalu singkat. Dengan demikian penggunaan amoksisilin pada kasus ini lolos kategori IIIA (penggunaan antibiotika tidak terlalu lama) dan IIIB (penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat). Untuk dosis dan

interval, menurut Lacy et al. (2011) dan Sukandar dkk. (2008) peresepan amoksisilin adalah 20 mg sampai 50 mg/kgBB/hari dalam 2 sampai 3 dosis terbagi yang diberikan setiap 8 sampai 12 jam sehari. Pasien dengan berat badan 10 kg menerima obat sebanyak 375 mg/hari dalam 3 dosis terbagi yang diberikan setiap 8 jam, hal ini sesuai kisaran dosis yang disarankan yaitu sebanyak 200 mg sampai 500 mg/hari, sehingga lolos kategori IIA (tepat dosis) dan IIB (tepat interval). Untuk cara pemberian adalah secara intravena dirasa paling efektif agar kondisi pasien segera kembali normal sehingga lolos kategori IIC (tepat cara pemberian). Waktu pemberian juga sudah tepat setiap harinya yaitu setiap pukul 8.00, 16.00, dan 24.00 sehingga lolos kategori I (tepat waktu pemberian). Berdasarkan keseluruhan evaluasi tersebut, penggunaan sefotaksim termasuk kategori 0 yaitu rasional.

b) Kasus 19

Pasien anak dengan diagnosa demam tifoid disertai vomitus menerima 7 jenis antibiotika berupa amoksisilin, gentamisin, metronidazol, sefotaksim, rifamisin, nistatin, dan meropenem. Amoksisilin dan metronidazol diberikan sejak pertama pasien dirawat. Kemudian setelah 6 hari agar penggunaannya tidak terlalu lama, amoksisilin digantikan dengan sefotaksim bersamaan dengan gentamisin, rifamisin, dan metronidazol. Setelah 5 hari penggunaan semua antibiotika kecuali metronidazol dihentikan penggunaannya dan digantikan dengan nistatin. Tidak diketahui alasan pasti penggantiannya, tetapi hal ini kemungkinan karena pada hasil uji hematologi,

menunjukkan semua kadar leukosit ada di nilai normal dan terapi semua antibiotika tersebut sudah tidak diperlukan. Pada durasi penggunaan nistatin tidak diperoleh hasil uji lab pasien. Kemudian setelah 3 hari penggunaan nistatin kondisi pasien tidak membaik, antibiotika ini dihentikan dan digantikan dengan meropenem sampai pasien sembuh dan diperbolehkan pulang. Pasien diindikasikan mengalami infeksi akut dilihat dari hasil kultur yang positif terinfeksi bakteri Salmonella, sehingga hal ini menunjukkan pasien lolos kategori V (ada indikasi penyakit infeksi). Amoksisilin, metronidazol, dan sefotaksim merupakan terapi lini pertama untuk penyakit ini. Sedangkan meropenem cukup efektif terhadap Salmonella karena merupakan turunan dari antibiotika golongan sefalosporin sehingga memiliki sifat yang mirip dengan sefotaksim. Antibiotika-antibiotika ini terbukti efektif karena kondisi pasien terbukti membaik sehingga lolos kategori IVA (tidak ada antibiotika yang lebih efektif). Sedangkan gentamisin, rifampisin, dan nistatin tidak lolos kategori IVA karena bukan merupakan terapi lini pertama atau kedua penyakit ini sehingga ada antibiotika lini pertama lain yang lebih efektif. Ketiga jenis antibiotika ini diberikan saat hasil uji kultur terbaru pasien belum keluar, sehingga dirasa tidak efektif dan digantikan dengan antibiotika meropenem. Amoksisilin dan metronidazol yang digunakan bersamaan tidak ditemukan interaksi merugikan dengan obat lain. Demikian juga dengan sefotaksim dan meropenem. Harga keempat antibiotika ini juga termurah untuk antibiotika sejenis sehingga lolos kategori IVB (tidak ada

indikasi merugikan dengan obat lain) dan IVC (tidak ada antibiotika sejenis yang lebih murah). Seperti yang dijelaskan di atas menurut Tan & Rahardja (2007), amoksisilin dan sefotaksim merupakan antibiotika yang memiliki efektivitas tinggi terhadap infeksi Salmonella, meropenem memiliki sifat yang mirip dengan sefotaksim dan metronidazol spesifik terhadap amoeba yang juga terdapat pada hasil kultur, sehingga lolos kategori IVD (tidak ada antibiotika lain dengan spektrum lebih sempit). Durasi penggunaan amoksisilin dan sefotaksim adalah 7 dan 5 hari. Menurut Lacy et al. (2011), untuk terapi anaerob kedua jenis antibiotika ini memiliki durasi terapi maksimal sampai 10 hari, sehingga penggunaannya tidak terlalu lama atau terlalu singkat. Untuk meropenem digunakan selama 3 hari secara empiris sesuai Kemenkes (2011), untuk durasi terapi empiris adalah 48 sampai 72 jam. Ketiga antibiotika ini lolos kategori IIIA (penggunaan antibiotika tidak terlalu lama) dan IIIB (penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat). Untuk metronidazol, penggunannya berlangsung selama 12 hari, melebihi durasi terapi maksimum yaitu 10 hari, sehingga metronidazol tidak lolos kategori IIIA (penggunaan antibiotika terlalu lama). Untuk dosis dan interval. menurut Lacy et al. (2011) dan Sukandar dkk. (2008), peresepan sefotaksim adalah 50 mg sampai 200 mg/kgBB/hari dalam 2 sampai 4 dosis terbagi yang diberikan setiap 6 sampai 12 jam sehari. Pasien dengan berat badan 22 kg menerima obat sebanyak 2000 mg/hari dalam 4 dosis terbagi yang diberikan setiap 6 jam, hal ini sesuai kisaran dosis yang disarankan yaitu sebanyak 1100 mg

sampai 4400 mg/hari dalam 2 sampai 4 dosis terbagi yang diberikan setiap 6 sampai 12 jam. Untuk peresepan amoksisilin adalah 20 sampai 50 mg/kgBB/hari dalam 2 sampai 3 dosis terbagi yang diberikan setiap 8 sampai 12 jam sehari. Pasien mendapatkan amoksisilin dengan dosis sebanyak 1050 mg, sesuai kisaran dosis yang disarankan adalah 440 mg sampai 1100 mg mg/kgBB/hari dalam 3 dosis terbagi yang diberikan setiap 8 jam. Untuk peresepan meropenem yang disarankan adalah 30 mg sampai 120 mg/kgBB/hari dalam 3 dosis terbagi yang diberikan setiap 8 jam, atau bila dikalikan dengan berat badan pasien adalah 660 mg sampai 2640 mg/hari. Pasien mendapatkan 555 mg/hari dalam 3 dosis terbagi yang diberikan setiap 8 jam, sehingga kurang dari dosis yang disarankan. Dengan demikian, amoksisilin dan sefotaksim lolos kategori IIA (tepat dosis) dan IIB (tepat interval), sedangkan meropenem tidak lolos kategori IIA. Cara pemberian adalah secara intravena dirasa paling efektif agar kondisi pasien segera kembali normal sehingga lolos kategori IIC (tepat cara pemberian). Waktu pemberian juga sudah tepat setiap harinya yaitu sefotaksim setiap pukul setiap pukul 6.00, 12.00, 18.00, dan 24.00. Untuk amoksisilin diberikan setiap pukul 8.00, 16,00, dan 24.00 sehingga lolos kategori I (tepat waktu pemberian). Berdasarkan keseluruhan evaluasi tersebut, penggunaan amoksisilin dan sefotaksim termasuk kategori 0 yaitu rasional.

4. Evaluasi Penggunaan Antibiotika pada Kasus 5 dan 26 dengan Diagnosa