• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

C. Evaluasi Penggunaan Antibiotika dengan Metode Gyssens

2. Evaluasi Penggunaan Antibiotika Pada Kasus 2, 16, 18, dan 25 dengan Diagnosa Febris

Febris atau demam merupakan suatu keadaan meningkatnya suhu tubuh dari keadaan normal. Menurut IDI (1998), penatalaksanaan febris tidak memerlukan terapi antibiotika karena penyebab utama demam bukan akibat

infeksi bakteri, tetapi dapat disebabkan oleh virus atau merupakan gejala dari beberapa jenis penyakit lain. Dalam beberapa kasus febris, ditemukan adanya kenaikan jumlah leukosit dan hasil kultur bakteri yang mengindikasikan terjadinya infeksi akut pada pasien sehingga antibiotika dapat diresepkan pada pasien yang bersangkutan.

Pada penelitian ini selain sebagai penyakit penyerta, terdapat beberapa pasien dengan febris sebagai diagnosa utama pasien. Hasil evaluasinya akan dijelaskan sebagai berikut.

a) Kasus 2

Pasien anak dengan diagnosa febris menerima antibiotika berupa sefotaksim dan sefiksim. Tidak ditemukan adanya indikasi infeksi bakteri baik dari uji leukosit maupun hasil kultur. Jumlah leukosit pasien diketahui 10,430/µ L. Jumlah ini sesuai rujukan leukosit yaitu 4.000/µ L sampai 12.000/µ L. Menurut Sutedjo (2012), penurunan nilai leukosit mengindikasikan inveksi virus, bukan oleh bakteri. Persentase jumlah neutrofil diketahui 63%, masih dalam nilai normal yaitu 50% sampai 70%. Tidak ditemukan kenaikan jumlah leukosit ataupun jumlah neutrofil yang menunjukkan tidak adanya indikasi penyakit akibat infeksi bakteri, tetapi tetap diresepkan antibiotika. Dalam kasus ini, peresepan penggunaan kedua jenis antibiotika termasuk kategori termasuk kategori V, yaitu pemberian antibiotika tanpa indikasi infeksi bakteri.

b) Kasus 16

Pasien anak dengan diagnosa febris menerima antibiotika berupa amoksisilin. Pasien mengalami infeksi bakteri Salmonella dilihat dari hasil kultur bakteri. Hal ini menunjukkan pasien lolos kategori V (ada indikasi penyakit infeksi). Menurut Tan & Rahardja (2007) amoksisilin merupakan antibiotika yang efektif terhadap infeksi Salmonella dan terbukti efektif karena kondisi pasien terbukti membaik sehingga lolos kategori IVA (tidak ada antibiotika yang lebih efektif). Tidak ditemukan interaksi merugikan dengan obat lain dan tidak ditemukan antibiotika sejenis dengan harga lebih murah, sehingga lolos kategori IVB (tidak ada indikasi merugikan dengan obat lain) dan IVC (tidak ada antibiotika sejenis yang lebih murah). Amoksisilin juga memiliki efektivitas yang tinggi dan spesifik terhadap infeksi Salmonella seperti yang terjadi pada kasus ini, sehingga lolos kategori IVD (tidak ada antibiotika lain dengan spektrum lebih sempit). Menurut Lacy et al. (2011) durasi penggunaan amoksisilin untuk terapi anaerob adalah 7 sampai 10 hari. Pada kasus ini waktu penggunaannya selama rawat inap adalah 5 hari, kemudian pasien dinyatakan pulang dan terapi tetap dilanjutkan selama rawat jalan, sehingga tidak terlalu lama dan tidak terlalu singkat. Dengan demikian penggunaan amoksisilin pada kasus ini lolos kategori IIIA (penggunaan antibiotika tidak terlalu lama) dan IIIB (penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat). Untuk dosis dan interval, menurut Lacy et al. (2011) peresepan amoksisilin adalah 20 mg sampai 50 mg/kgBB/hari dalam 2 sampai

3 dosis terbagi yang diberikan setiap 8 sampai 12 jam sehari. Pasien dengan berat badan 8 kg menerima obat sebanyak 375 mg/hari dalam 3 dosis terbagi yang diberikan setiap 8 jam. Hal ini sesuai kisaran dosis yang disarankan, yaitu sebanyak 160 mg sampai 400 mg/hari sehingga lolos kategori IIA (tepat dosis) dan IIB (tepat interval). Untuk cara pemberian adalah secara intravena dirasa paling efektif agar kondisi pasien segera kembali normal sehingga lolos kategori IIC (tepat cara pemberian). Waktu pemberian juga sudah tepat setiap harinya yaitu setiap pukul 8.00, 16.00, dan 24.00 sehingga lolos kategori I (tepat waktu pemberian). Berdasarkan keseluruhan evaluasi tersebut, penggunaan sefotaksim termasuk kategori 0 yaitu rasional.

c) Kasus 18

Pasien anak dengan diagnosa febris menerima antibiotika berupa amoksisilin. Pasien diindikasikan mengalami infeksi akut dilihat dari persentase jumlah neutrofil pasien yaitu 75,7% yang melebihi jumlah normal yaitu 50% sampai 70%. Hal ini menunjukkan pasien lolos kategori V (ada indikasi penyakit infeksi). Dalam kasus ini, peresepan amoksisilin terbukti efektif karena kondisi pasien terbukti membaik sehingga lolos kategori IVA (tidak ada antibiotika yang lebih efektif). Tidak ada interaksi merugikan dengan obat lain dan harganya juga termurah untuk antibiotika sejenis sehingga lolos kategori IVB (tidak ada indikasi merugikan dengan obat lain) dan IVC (tidak ada antibiotika sejenis yang lebih murah). Terapi diberikan secara empiris karena tidak diketahui jenis bakteri penginfeksi, sehingga

dipilih antibiotika dengan spektrum luas terhadap berbagai jenis bakteri. Menurut Tan dan Rahardja (2007) amoksisilin merupakan antibiotika dengan spektrum luas dan dapat digunakan sebagai terapi empiris, sehingga lolos kategori IVD (tidak ada antibiotika lain dengan spektrum lebih sempit). Durasi penggunaannya tidak terlalu lama atau terlalu singkat. Sesuai aturan Kemenkes (2011), Durasi penggunaan antibiotika dalam terapi empiris adalah 48 sampai 72 jam, kemudian harus dievaluasi dengan kondisi pasien. Terlihat dari rekam medis dan data uji hematologi pasien, kondisi pasien berangsur membaik sehingga antibiotika tetap dilanjutkan sampai 5 hari. Berdasarkan hal tersebut, antibiotika ini lolos kategori IIIA (penggunaan antibiotika tidak terlalu lama) dan IIIB (penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat). Untuk dosis dan interval, menurut Lacy et al. (2011), peresepan amoksisilin adalah 20 mg sampai 50 mg/kgBB/hari dalam 2 sampai 3 dosis terbagi yang diberikan setiap 8 sampai 12 jam sehari. Pasien dengan berat badan 59 kg menerima obat sebanyak 1500 mg/hari dalam 3 dosis terbagi yang diberikan setiap 8 jam, hal ini sesuai kisaran dosis yang disarankan yaitu sebanyak 1180 mg sampai 2950 mg/hari sehingga lolos kategori IIA (tepat dosis) dan IIB (tepat interval). Untuk cara pemberian adalah secara intravena dirasa paling efektif agar kondisi pasien segera kembali normal sehingga lolos kategori IIC (tepat cara pemberian). Waktu pemberian juga sudah tepat setiap harinya yaitu setiap pukul 8.00, 16.00, dan 24.00 sehingga lolos kategori I (tepat waktu

pemberian). Berdasarkan keseluruhan evaluasi tersebut, penggunaan sefotaksim termasuk kategori 0 yaitu rasional.

d)Kasus 25

Pasien anak dengan diagnosa febris disertai dehidrasi sedang menerima antibiotika berupa sefotaksim. Pasien diindikasikan mengalami infeksi bakteri dilihat dari jumlah leukosit yang diketahui berjumlah 14,790/µ L. Jumlah ini melebihi jumlah rujukan leukosit yaitu 4.000/µ L sampai 12.000/µL. Persentase jumlah neutrofil juga menunjukkan angka 92,1%, berada diatas jumlah normal yaitu 50% sampai 70% yang menandakan adanya infeksi akut yang dialami pasien. Hal ini menunjukkan pasien lolos kategori V (ada indikasi penyakit infeksi). Dalam kasus ini sefotaksmi terbukti efektif karena kondisi pasien terbukti membaik sehingga lolos kategori IVA (tidak ada antibiotika yang lebih efektif). Tidak ditemukan interaksi merugikan dengan obat lain dan harganya juga termurah untuk antibiotika sejenis sehingga lolos kategori IVB (tidak ada indikasi merugikan dengan obat lain) dan IVC (tidak ada antibiotika sejenis yang lebih murah). Terapi diberikan secara empiris karena tidak diketahui jenis bakteri penginfeksi, sehingga dipilih antibiotika dengan spektrum luas terhadap berbagai jenis bakteri. Menurut Tan & Rahardja (2007) sefotaksim merupakan antibiotika berspektrum luas, sehingga dapat diterapkan dalam terapi empiris. Berdasarkan hal tersebut, peresepan antibiotika ini lolos kategori IVD (tidak ada antibiotika lain dengan spektrum lebih sempit). Durasi penggunaan

selama 3 hari. Tidak terlalu lama dan tidak terlalu singkat. Sudah sesuai aturan Kemenkes (2011) yaitu 48 sampai 72 jam untuk terapi empiris sehingga lolos kategori IIIA (penggunaan antibiotika tidak terlalu lama) dan IIIB (penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat). Untuk dosis dan interval, menurut Lacy et al. (2011) dan Sukandar dkk. (2008), peresepan sefotaksim adalah 50 mg sampai 200 mg/kgBB/hari dalam 2 sampai 4 dosis terbagi yang diberikan setiap 6 sampai 12 jam sehari. Pasien dengan berat badan 17 kg menerima obat sebanyak 1600 mg/hari dalam 4 dosis terbagi yang diberikan setiap 6 jam. Hal ini sesuai kisaran dosis yang disarankan yaitu sebanyak 850 mg sampai 3400 mg/hari sehingga lolos kategori IIA (tepat dosis) dan IIB (tepat interval). Untuk cara pemberian adalah secara intravena dirasa paling efektif agar kondisi pasien segera kembali normal sehingga lolos kategori IIC (tepat cara pemberian). Waktu pemberian juga sudah tepat setiap harinya yaitu setiap pukul 6.00, 12.00, 18.00, dan 24.00 sehingga lolos kategori I (tepat waktu pemberian). Berdasarkan keseluruhan evaluasi tersebut, penggunaan sefotaksim termasuk kategori 0 yaitu rasional.

3. Evaluasi Penggunaan Antibiotika pada Kasus 4 dan 19 dengan Diagnosa