• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

C. Evaluasi Penggunaan Antibiotika dengan Metode Gyssens

10. Evaluasi Penggunaan Antibiotika Pada Kasus 20, 7, Dan 13 Dengan Diagnosa Infeksi Saluran Kemih

Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan suatu keadaan adanya infeksi bakteri pada saluran kemih. Sebagian besar ISK disebabkan oleh bakteri aerob dari flora usus seperti E.coli. Gejala ISK antara lain sering kemih, kemih terasa sakit, nyeri pinggang, terdapat darah pada urin (hematuria), terdapat protein pada urin (Albuminuria), dan urin beraroma tidak wajar (Tan & Rahardja, 2007).

Evaluasi peresepan antibiotika pada ISK akan dijelaskan sebagai berikut.

a) Kasus 20

Pasien anak dengan diagnosa ISK disertai febris menerima antibiotika berupa sefotaksim. Pasien diindikasikan mengalami infeksi bakteri Salmonella dilihat dari hasil kultur pasien, sehingga pasien lolos kategori V (ada indikasi penyakit infeksi). Menurut Tan & Rahardja (2007) sefotaksim merupakan salah satu antibiotika yang memiliki efektivitas tinggi terhadap infeksi Salmonella dan dalam beberapa penyakit juga digunakan sebagai terapi lini pertama untuk infeksi Salmonella. Antibiotika ini terbukti efektif karena kondisi pasien terbukti membaik sehingga lolos kategori IVA (tidak ada antibiotika yang lebih efektif). Tidak ditemukan interaksi merugikan dengan obat lain sehingga lolos kategori IVB (tidak ada indikasi merugikan

dengan obat lain), tetapi ada antibiotika sejenis yang lebih murah. Dalam kasus ini, sefotaksim generik memiliki harga yang jauh lebih murah dari sefotaksim dengan merk dagang yang diberikan. Harga yang diketahui adalah dari apotek rumah sakit, karena obat yang digunakan didapatkan dari apotek rumah sakit sendiri. Berdasarkan hal ini, penggunaan sefotaksim pada kasus ini termasuk kategori IVC (ada antibiotika lain yang lebih murah).

b) Kasus 7

Pasien anak dengan diagnosa Obs. Proteinuria, hematuria, dan suspect sindrom nefrotik menerima antibiotika berupa amoksisilin dan metronidazol. Pasien diindikasikan mengalami infeksi bakteri sehingga lolos kategori V (ada indikasi penyakit infeksi). Dalam kasus ini, peresepan amoksisilin dan metronidazol terbukti efektif karena kondisi pasien terbukti membaik sehingga lolos kategori IVA (tidak ada antibiotika yang lebih efektif). Tidak ditemukan interaksi merugikan dengan obat lain dan harganya juga termurah untuk antibiotika sejenis sehingga lolos kategori IVB (tidak ada indikasi merugikan dengan obat lain) dan IVC (tidak ada antibiotika sejenis yang lebih murah). Terapi diberikan secara empiris karena tidak diketahui jenis bakteri penginfeksi, sehingga dipilih antibiotika dengan spektrum luas terhadap berbagai jenis bakteri. Menurut Tan & Rahardja (2007) amoksisilin dan metronidazol merupakan antibiotika berspektrum luas, sehingga dapat diterapkan dalam terapi empiris. Berdasarkan hal tersebut, peresepan antibiotika ini lolos kategori IVD (tidak ada antibiotika lain dengan spektrum

lebih sempit). Durasi penggunaannya tidak terlalu lama atau terlalu singkat. Pasien diberikan terapi selama 3 hari. Sesuai aturan Kemenkes (2011) durasi penggunaan antibiotika dalam terapi empiris adalah 48 sampai 72 jam, kemudian harus dievaluasi dengan kondisi pasien. Berdasarkan hal tersebut, antibiotika ini lolos kategori IIIA (penggunaan antibiotika tidak terlalu lama) dan IIIB (penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat). Untuk dosis dan interval, menurut Lacy et al. (2011) peresepan amoksisilin adalah 20 sampai 50 mg/kgBB/hari dalam 2 sampai 3 dosis terbagi yang diberikan setiap 8 sampai 12 jam sehari, sedangkan metronidazol adalah 30 sampai 50 mg/kgBB/hari. Pasien dengan berat badan 12 kg menerima obat masing-masing sebanyak 600 mg/hari dalam 3 dosis terbagi yang diberikan setiap 8 jam, hal ini sesuai kisaran dosis amoksisilin yang disarankan yaitu 240 mg sampai 600 mg/hari dalam 3 dosis terbagi setiap 8 hingga 12 jam dan metronidazol sebanyak 300 sampai 600 mg/hari dalam 3 dosis terbagi setiap 8 jam, sehingga kedua antibiotika lolos kategori IIA (tepat dosis) dan IIB (tepat interval). Untuk cara pemberian adalah secara intravena dirasa paling efektif agar kondisi pasien segera kembali normal sehingga lolos kategori IIC (tepat cara pemberian). Waktu pemberian juga sudah tepat setiap harinya yaitu setiap pukul 8.00, 16.00, dan 24.00 sehingga lolos kategori I (tepat waktu pemberian). Berdasarkan keseluruhan evaluasi tersebut, penggunaan sefotaksim termasuk kategori 0 yaitu rasional.

c) Kasus 13

Pasien anak dengan diagnosa hematuri, albuminuria, dan colic abdomen menerima antibiotika berupa amoksisilin dan sefiksim. Pasien diindikasikan mengalami infeksi bakteri sehingga lolos kategori V (ada indikasi penyakit infeksi). Dalam kasus ini, peresepan amoksisilin dan sefiksim terbukti efektif karena kondisi pasien terbukti membaik sehingga lolos kategori IVA (tidak ada antibiotika yang lebih efektif). Tidak ditemukan interaksi merugikan dengan obat lain dan harganya juga termurah untuk antibiotika sejenis sehingga lolos kategori IVB (tidak ada indikasi merugikan dengan obat lain) dan IVC (tidak ada antibiotika sejenis yang lebih murah). Terapi diberikan secara empiris karena tidak diketahui jenis bakteri penginfeksi, sehingga dipilih antibiotika dengan spektrum luas terhadap berbagai jenis bakteri seperti amoksisilin dan sefiksim. Menurut Tan & Rahardja (2007) kedua antibiotika ini merupakan antibiotika berspektrum luas, sehingga dapat diterapkan dalam terapi empiris. Berdasarkan hal tersebut, peresepan antibiotika ini lolos kategori IVD (tidak ada antibiotika lain dengan spektrum lebih sempit). Amoksisilin hanya diberikan satu hari, kemudian penggunaannya dihentikan. Berdasarkan hal ini, penggunaan amoksisilin tidak lolos kategori IIIB (penggunaan antibiotika terlalu singkat). Untuk sefiksim, durasi penggunaannya tidak terlalu lama atau terlalu singkat. Pasien diberikan terapi selama 3 hari. Sesuai aturan Kemenkes (2011), durasi penggunaan antibiotika dalam terapi empiris adalah 48 sampai 72 jam,

kemudian harus dievaluasi dengan kondisi pasien. Diketahu kondisi pasien berangsur membaik, sehingga penggunaan sefiksim terus diberikan. Berdasarkan hal tersebut, antibiotika ini lolos kategori IIIA (penggunaan antibiotika tidak terlalu lama) dan IIIB (penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat). Untuk dosis dan interval, menurut Lacy et al. (2011) dosis sefiksim untuk anak adalah 200 mg dalam 2 sampai 4 dosis terbagi yang diberikan setiap 6 sampai 12 jam sehari. Hal ini sesuai dengan yang diberikan kepada pasien yaitu 200 mg dalam 2 dosis terbagi yang diberikan setiap 12 jam dalam sehari, sehingga dalam kasus ini sefiksim lolos kategori IIA (tepat dosis) dan IIB (tepat interval). Untuk cara pemberian adalah secara oral, karena pasien masih memungkinkan untuk diberikan terapi melalui, sehingga lolos kategori IIC (tepat cara pemberian). Waktu pemberian juga sudah tepat setiap harinya yaitu setiap pukul 6.00 dan 18.00, sehingga lolos kategori I (tepat waktu pemberian). Berdasarkan keseluruhan evaluasi tersebut, penggunaan sefotaksim termasuk kategori 0 yaitu rasional.

11.Evaluasi Penggunaan Antibiotika Pada Kasus 6 Dan 17 Dengan Diagnosa