• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA

C. Evaluasi Peresepan

Ketika suatu terapi obat diberikan kepada pasien, maka tujuan utamanya adalah

untuk mengobati atau mencegah penyakit dan untuk mengurangi rasa sakit pasien,

dimana pasien menerima seminimal mungkin resiko dari reaksi sampingan obat dan

harga obat. Untuk mencapai tujuan ini, terapi obat yang diberikan haruslah

memenuhi prinsip-prinsip peresepan yang rasional. Pada kenyataannya, terapi obat

yang diberikan tidaklah selalu memenuhi prinsip-prinsip peresepan yang rasional,

bahkan tidak jarang pula terjadi suatu terapi yang tidak efektif dengan biaya yang

Dalam pandangan medis, masih menurut Santoso (1996), peresepan yang

rasional itu harus memenuhi beberapa kriteria, yaitu : tepat indikasi, tepat obat, tepat

pasien, tepat dosis (dosis, cara pemberian dan lamanya perawatan), tepat informasi,

serta tepat evaluasi dan tindak lanjut.

1. Tepat dosis

Masing-masing sediaan obat memiliki dosis rekomendasi tersendiri baik

untuk dewasa maupun anak-anak. Dalam sebagian besar kasus, adalah hal yang

bijaksana bila pemberian dosis diawali dari dosis efektif minimum terlebih dahulu.

Ada beberapa kondisi yang dapat menyebabkan modifikasi dosis menjadi sangat

diperlukan, seperti pada pasien dengan kerusakan hati atau renal, pada pasien lanjut

usia, dan pada pasien dengan masalah obesitas. Ada formula-formula obat yang

dapat digunakan untuk penyesuaian dosis, tetapi hanya pada penderita kerusakan

renal dan hanya pada beberapa obat yang dieksresikan melalui renal seperti

aminoglikosida, pada sebagian besar kasus, dosis pada dasarnya bersifat individual,

jika diperlukan, secara normal didasarkan pada keputusan klinis yang bergantung

pada respon pasien yang bersifat individual, apakah didasarkan pada respons

terapetik atau pada efek lain. Meskipun dengan penggunaan dosis yang

direkomendasikan, respon indvidual sangatlah berbeda untuk masing-masing orang,

dan monitoring terapetik serta penyesuaian dosis sangatlah dibutuhkan (Santoso,

1996).

2. Interaksi

Interaksi farmasetik terjadi di luar tubuh manusia pada saat sebelum

pemberian sediaan obat, dimana terjadi penggabungan obat-obat yang tidak dapat

dicampur (inkompatibel), sebagian besar dalam hal kelarutan, dan adanya sifat

inkompatibel diantara obat-obat tersebut. Beberapa sifat inkompatibel ini dapat

menyebabkan inaktivasi bagi obat bersangkutan secara in vitro, sebagai contoh

adalah inaktivasi karbenisilin oleh gentamisin ketika dicampurkan.

Mencampurkan obat terlebih dahulu sebelum pemberian adalah hal yang

sudah umum bagi pemberi resep di Indonesia, seperti mencampurkan analgesik

dipiron dengan antialergi difenhidramin, atau untuk pemberian secara injeksi, antara

antibakterial dengan antialergi. Khususnya untuk peresepan pada pediatrik, sering

sekali resep terdiri dari beberapa obat yang berbeda, yang digabungkan dan dicampur

bersamaan menjadi bentuk sediaan serbuk untuk pemberian secara oral. Meskipun

demikian, adanya kemungkinan interaksi yang merugikan tidak dapat

dikesampingkan (Santoso, 1997).

b. Interaksi farmakokinetik.

Menurut Setiawati (cit., Ganiswara, 1999) interaksi farmakokinetik terjadi

bila salah satu obat mempengaruhi absorpsi, distribusi, metabolisme atau ekskresi

obat kedua sehingga kadar plasma obat kedua meningkat atau menurun. Akibatnya,

terjadi peningkatan toksisitas atau penurunan efektivitas obat tersebut. Interaksi

farmakokinetik tidak dapat diekstrapolasikan ke obat lain yang segolongan dengan

obat yang berinteraksi, sekalipun struktur kimianya mirip, karena antar obat

c. Interaksi dalam absorpsi di saluran cerna.

Interaksi langsung, interaksi secara fisik atau kimiawi antar obat dalam lumen

saluran cerna sebelum absorpsi dapat mengganggu proses absorpsi. Interaksi ini

dapat dihindari bila obat yang berinteraksi diberikan dengan jarak waktu minimal 2

jam.

d. Interaksi dalam distribusi.

Dalam Setiawati (Ganiswara, 1999) interaksi dalam ikatan protein plasma,

banyak obat terikat pada protein plasma, obat yang bersifat asam terutama pada

albumin, sedangkan obat yang bersifat basa pada asam alpha 1-glikoprotein. Oleh

karena jumlah protein plasma terbatas, maka terjadi kompetisi antara obat bersifat

asam maupun antar obat bersifat basa untuk berikatan dengan protein yang sama.

Tergantung dari kadar obat dan afinitasnya terhadap protein, maka suatu obat dapat

digeser dari ikatannya dengan protein oleh obat lain, dan peningkatan kadar obat

bebas menimbulkan peningkatan efek farmakologiknya. Akan tetapi keadaan ini

hanya berlangsung sementara karena peningkatan kadar obat bebas juga

meningkatkan eliminasinya sehingga akhirnya tercapai keadaan mantap yang baru

dimana kadar obat total menurun tetapi kadar obat bebas kembali seperti

sebelumnya.

Interaksi dalam ikatan protein ini, meskipun banyak terjadi, tetapi yang

menimbulkan masalah dalam klinik hanya yang menyangkut obat dengan sifat

sebagai berikut : (1) mempunyai ikatan yang kuat dengan protein plasma (minimal

85%) dan volume distribusi yang kecil sehingga sedikit saja obat yang dibebaskan

asam, karena kebanyakan obat bersifat basa volume distribusinya sangat luas; (2)

mempunyai batas keamanan yang sempit, sehinggga peningkatan kadar obat bebas

tersebut dapat mencapai kadar toksik; (3) efek toksik yang serius telah terjadi

sebelum kompensasi tersebut di atas terjadi, misalnya terjadi perdarahan pada

antikoagulan oral, hipoglikemia pada antidiabetik oral; dan (4) eliminasinya

mengalami kejenuhan, misalnya fenitoin, salisilat dan dikumarol, sehingga

peningkatan kadar obat bebas tidak disertai dengan peningkatan kecepatan

eliminasinya.

Interaksi dalam ikatan jaringan. Kompetisi untuk ikatan dalam jaringan

terjadi misalnya antara digoksin dan kuinidin, dengan akibat peningkatan kadar

plasma digoksin.

e. Interaksi dalam metabolisme.

Masih menurut Setiawati (cit., Ganiswara, 1999) metabolisme obat

dipercepat. Banyak obat yang larut dalam lemak dapat menginduksi sintesis enzim

mikrosom hati, misalnya fenobarbital, fenitoin, rifampisin, karbamazepin, etanol,

fenilbutazon, dan lain-lain. Tergantung dosis dan obatnya, induksi terjadi setelah 1-4

minggu. Waktu yang sama diperlukan untuk hilangnya efek induksi setelah obat

penginduksi dihentikan. Merokok dan makanan panggang arang menghasilkan

hidrokarbon polisiklik yang juga merupakan zat penginduksi enzim metabolisme.

Setiap reaksi metabolisme dikatalisis oleh enzim yang berbeda dalam

spesifisitas substratnya dan kemampuannya untuk diinduksi (ditentukan secara

penginduksi dapat mempercepat metabolisme beberapa obat tetapi tidak

mempengaruhi metabolisme obat-obat yang lain.

Bila metabolit hanya sedikit atau tidak mempunyai efek farmakologik, maka

zat penginduksi mengurangi efek obat. Sebaliknya, bila metabolit lebih aktif atau

merupakan zat yang toksik, maka zat penginduksi meningkatkan efek atau toksisitas

obat.

Metabolisme obat dihambat. Penghambatan metabolisme suatu obat

menyebabkan peningkatan kadar plasma obat tersebut sehingga meningkatkan efek

atau toksisitasnya. Kebanyakan interaksi demikian terjadi akibat kompetisi antar

substrat untuk enzim metabolisme yang sama.

f. Ekskresi.

Menurut Santoso (1997) sebagian besar interaksi termasuk ekskresi terjadi di

ginjal. Perubahan pH urine juga dapat mengurangi ekskresi beberapa obat. Sebagai

contoh, ekskresi dari obat seperti amfetamin yang dapat membahayakan jika urine

bersifat alkali, dan efeknya dapat diperpanjang.

g. Interaksi farmakodinamik.

Setiawati (cit., Ganiswara, 1999) menuliskan, interaksi farmakodinamik

adalah interaksi antara obat yang bekerja pada sistem reseptor, tempat kerja atau

sistem fisiologik yang sama sehingga terjadi efek yang adiktif, sinergistik atau

antagonistik. Interaksi farmakodinamik merupakan sebagian besar dari interaksi obat

yang penting dalam klinik. Berbeda dengan interaksi farmakokinetik, interaksi

farmakodinamik seringkali dapat diekstrapolasikan ke obat lain yang segolongan

persamaan efek farmakodinamiknya. Di samping itu, kebanyakan interaksi

farmakodinamik dapat diramalkan kejadiannya, karena itu dapat dihindarkan bila

dokter mengetahui mekanisme kerja obat yang bersangkutan.

Tabel I. Interaksi yang kemungkinan terjadi dari pemberian kombinasi beberapa obat kardiovaskuler kepada pasien gagal jantung berdasarkan IONI 2000

No. Jenis obat Interaksi dengan Jenis interaksi

1. Diuretik kuat (furosemid)

Glikosida jantung (digoksin)

Meningkatkan toksisitas jika terjadi hipokalemia

2. Diuretik kuat Antagonis kalsium Meningkatkan efek hipotensif

3. Diuretik kuat Penghambat ACE

(kaptopril)

Meningkatkan efek hipotensif (bisa ekstrim)

4. Diuretik kuat Valsartan Meningkatkan efek hipotensif

(bisa ekstrim)

5. Diuretik kuat Antiaritmia Toksisitas jantung meningkat

apabila terjadi hipokalemia

6. Diuretik kuat Diuretik lainnya Mempertinggi resiko hipokalemia

7. Diuretik kuat Penyekat Meningkatkan efek hipotensif

8. Diuretik lainnya Antagonis kalsium Meningkatkan efek hipotensif 9. Diuretik lainnya Glikosida jantung Meningkatkan toksisitas jika

terjadi hipokalemia 10. Diuretik lainnya Antagonis reseptor

angiotensin II

Meningkatkan resiko hiperkalemia

11. Glikosida jantung Antiaritmia (amiodaron)

Menaikkan kadar plasma digoksin

12. Glikosida jantung Penghambat ACE Kaptopril mungkin menaikkan

kadar digoksin 13. Glikosida jantung Antagonis reseptor

angiotensin II

Meningkatkan kadar plasma digoksin

14. Glikosida jantung Antagonis kalsium Kadar plasma digoksin ditingkatkan

15. Antagonis kalsium

Antagonis reseptor angiotensin II

Meningkatkan efek hipotensif

16. Antagonis kalsium

Penyekat Meningkatkan terjadinya

hipotensif berat 17. Antagonis

kalsium

Penghambat ACE Meningkatkan efek hipotensif

18. Antagonis reseptor angiotensin II

3. Efek samping obat

Menurut definisi WHO (1970) efek samping obat adalah segala sesuatu

khasiat yang tidak diinginkan untuk tujuan terapi yang dimaksudkan pada dosis yang

dianjurkan.

Obat yang ideal hendaknya bekerja dengan cepat untuk waktu tertentu saja

dan secara selektif, artinya hanya berkhasiat terhadap keluhan atau gangguan tertentu

tanpa aktivitas lain. Semakin selektif kerja obat, semakin kurang efek sampingnya,

yaitu semua aktivitas yang tidak menjurus ke penyembuhan penyakit.

Kerja utama dan efek samping obat adalah pengertian yang sebetulnya tidak

mutlak. Kebanyakan obat memiliki lebih dari satu khasiat farmakologis, tergantung

dari tujuan penggunaannya, efek samping pada suatu saat mungkin merupakan kerja

utama yang diinginkan pada keadaan lain. Sebagai contoh adalah minoksidil dan

finasteride yang telah dipasarkan sebagai obat hipertensi dan obat hipertrof prostat.

Kedua obat menimbulkan pertumbuhan rambut sebagai efek sampingnya, maka

kemudan diluncurkan sebagai obat rambut.

Efek samping adakalanya tidak dapat dihindarkan, misalnya rasa mual pada

penggunaan digoksin, ergotamin atau estrogen dengan dosis yang melebihi dosis

normal. Kadang-kadang efek samping merupakan kelanjutan efek utama sampai

tingkat yang tidak diinginkan, misalnya rasa kantuk pada fenobarbital, bila

digunakan sebagai obat epilepsi. Bila efek samping terlalu hebat bisa dilawan dengan

Tabel II. Efek Samping yang mungkin ditimbulkan selama Penggunaan Obat Kardiovaskuler pada Pasien Gagal Jantung berdasarkan IONI 2000

No. Jenis obat Efek samping yang mungkin ditimbulkan

1. Digoksin Anoreksia, mual, muntah, diare, sakit kepala,

rasa capai, mengantuk, bingung.

2. Amiodaron Hipotiroidisme, hipertiroidisme, pneumonitis,

sukar tidur, rasa lelah, bradikardi.

3. Kaptopril Hipotensi, pusing, sakit kepala, letih,

gangguan ginjal, hiperkalemia, anemia aplastik.

4. Valsartan Hipotensi simtomatik dapat terjadi, terutama

pada pasien dengan deplesi cairan (misal pasien yang mendapat diuretik dengan dosis tinggi), gagal ginjal.

5. Isosorbit dinitrat Sakit kepala berdenyut, muka merah, pusing,

hipotensi postural.

6. Amlodipin bensilat Sakit kepala, edema, fatigue, mual, pusing,

hiperplasia gusi

7. Furosemid Hiponatremia, hipokalemia dan

hipomagnesemia, ekskresi kalsium meningkat, gangguan saluran cerna

8. Spironolakton Gangguan saluran cerna, gangguan darah,

menstruasi tidak teratur, bingung, sakit kepala

9. Asetosal Bronkospasme, perdarahan saluran cerna

10. Simvastatin Ruam kulit, pusing, depresi, hepatitis

11. Dopamin Mual muntah, hipotensi, hipertensi

12. Dobutamin Takikardi dan tekanan darah sangat

meningkat

13. Sinarizin Mengantuk, sakit kepala, letih, gangguan

Dokumen terkait