• Tidak ada hasil yang ditemukan

Deskripsi Umum

Musholla Khoirus Subban berada di RT 03 RW 03 Desa Banjaran. Pada mulanya musholla ini lebih terkesan sebagai musholla keluarga, karena meskipun penggunaannya tidak terbatas pada sebuah keluarga, namun pengelolaan musholla tersebut dilakukan oleh sebuah keluarga. Keluarga tersebut adalah keluarga pendiri musholla tersebut, yaitu keluarga Kyai Bizi. Jamaah Musholla Khoirus Subban berasal dari sekitar musholla berjumlah dua puluh lima rumah tangga dengan jumlah rumah tangga rata-rata memiliki empat anggota rumah tangga. Adapun pekerjaan jamaah musholla adalah 40% sebagai buruh, 32% pedagang kecil, 12% penjahit, dan 16% PNS. Jamaah tersebut memiliki seorang tokoh agama dan tiga orang tokoh masyarakat pada tingkat desa.

Pada awalnya dana yang digunakan untuk mengelola musholla berasal dari hasil dari tanah sawah seluas 316 m2 yang diwakafkan oleh Kyai Bizi. Imam musholla setelah Kyai Bizi adalah Kyai Masduki Bizi, anak dari Kyai Bizi. Adapun pengurus musholla lama yang masih hidup hanya Kyai Masduki Bizi dan Masudi Bizi. Di dalam pengelolaan musholla tersebut, pengurus tidak diperbolehkan meminta sumbangan dari jamaah, hal tersebut sesuai dengan wasiat dari Kyai Bizi. Wasiat tersebut dibuat dengan alasan penarikan sumbangan dari jamaah dikhawatirkan akan memberatkan jamaah, sehingga jamaah menjadi enggan untuk beribadah di musholla tersebut. Model pengelolaan tersebut berlangsung sejak berdirinya musholla Tahun 1970 hingga sebelum rehab musholla ini.

Model pengelolaan seperti tersebut di atas menyebabkan dana yang diperoleh untuk pengelolaan musholla sangat terbatas, akibatnya musholla tampak kurang terpelihara. Jamaah sudah lama mengeluhkan keadaan musholla tersebut, namun mereka tidak berani menyampaikan kepada Kyai Masduki karena model pengelolaan tersebut, hingga pada bulan puasa (Oktober) 2005 jamaah berani untuk mengungkapkannya pada Kyai Masduki dan bermaksud untuk merehab musholla. Pada awalnya Kyai Masduki menolak dengan dasar wasiat ayahnya dan tidak ingin membebani jamaah, namun setelah diberi penjelasan bahwa keinginan tersebut benar- benar dari jamaah, maka Kyai Masduki pun mengijinkannya.

Pada bulan yang sama dibentuklah panitia rehab sekaligus restrukturisasi pengurus musholla oleh jamaah. Sumber dana yang direncanakan panitia untuk kegiatan rehab tersebut berasal dari sumbangan jamaah dan masyarakat Desa Banjaran, klentung (kotak amal) pada pelaksanaan Sholat Hari Raya dan pengajian rutin, hasil dari tanah wakaf, dan pengajuan proposal permohonan bantuan kepada Bupati Pemalang, namun proposal permohonan bantuan kepada Bupati Pemalang hingga pelaksanaan rehab musholla tidak membuahkan hasil, sehingga dana rehab musholla murni berasal dari masyarakat. Sumbangan masyarakat tidak hanya berupa uang, namun juga berupa material seperti semen, dan sumbangan tenaga.

Rehab musholla yang sudah terlaksana meliputi pengeramikan lantai, pelapisan dinding dengan keramik setinggi 60 cm, pemasangan kipas angin, penggantian pintu dan jendela, pemasangan lubang angin, serta pengecatan ulang dinding musholla. Pelaksanaan rehab berlangsung selama 20 hari secara gotong royong. Panitia hanya membayar tenaga profesional yaitu bagi tukang kayu dan tukang batu, sedangkan masyarakat yang membantu rehab hanya disediakan makanan kecil, minuman, dan rokok.

Panitia berdasarkan aspirasi dari jamaah juga bermaksud untuk merehab tempat wudu, namun karena dana yang ada sudah habis, maka untuk sementara kegiatan hanya sampai pada fisik musholla tersebut. Pada rehab fisik tersebut pun masih belum benar-benar selesai, kayu pada jendela dan pintu baru pada musholla tersebut belum bisa dicat, karena kendala dana tersebut. Namun demikian berdasarkan hasil wawancara, para jamaah merasa bombong (lega), kini mereka merasa nyaman untuk beribadah di Musholla Khoirus Subban tersebut, dan kenyamanan beribadah akan mempengaruhi kekhusuan dalam beribadah.

Pengembangan Ekonomi Masyarakat

Kegiatan rehab musholla tersebut tidak berkaitan langsung dengan pengembangan ekonomi masyarakat, sebab kegiatan tersebut tidak bernilai ekonomis namun bernilai sosial religi. Rehab musholla dimaksudkan agar para jamaah dapat melaksanakan ibadah dengan nyaman, sehingga ibadah dapat dilaksanakan dengan khusu. Di samping itu, dengan turut serta membantu rehab musholla, masyarakat mempunyai keyakinan dan dorongan religi untuk memperoleh pahala.

Meskipun kegiatan tersebut tidak secara langsung berhubungan dengan pengembangan ekonomi masyarakat, namun ada keyakinan religi yang menghubungkan dengan aspek ekonomi. Berdasarkan hasil wawancara mendalam, masyarakat meyakini bahwa dengan ibadah yang khusu maka akan mendekatkan diri mereka dengan Allah SWT, sehingga mereka yakin, dengan dekatnya mereka denga Allah SWT, maka mereka akan hidup berkecukupan. Kehidupan yang berkecukupan dalam hal ini mencakup dua aspek, yaitu cukup dalam arti secara material dicukupi oleh Allah SWT, dan cukup dalam arti apapun yang mereka dapatkan dan miliki terasa cukup.

Keyakinan religi telah mendorong masyarakat untuk rela memberikan sumbangan baik uang maupun tenaga, namun disayangkan pemanfaatan hal tersebut baru sebatas untuk fisik bangunan musholla, padahal sumbangan tersebut dapat dimanfaatkan dalam pengembangan ekonomi sebagaimana penjelasan Qardhawi (1995). Islam, sebagai agama yang dipeluk masyarakat tersebut mempunyai ajaran- ajaran mulia berupa kewajiban dan anjuran untuk menyisihkan harta untuk diberikan kepada pihak yang membutuhkan, yang disebut sebagai zakat, dan shodaqoh. Penggunaan sumbangan tersebut di dalam Islam tidak hanya berfungsi untuk membangun tempat ibadah, namun juga membangun ekonomi masyarakat.

Jadi kegiatan rehab tersebut memang tidak secara langsung berhubungan dengan pengembangan ekonomi masyarakat, namun keyakinan, motivasi, dan nilai religi yang ada dapat dipergunakan untuk mengembangkan ekonomi masyarakat. Keyakinan akan rasa cukup pada harta akan membendung sifat tamak, sehingga penggunaan cara-cara buruk untuk mendapatkan harta dapat dihindarkan. Dengan demikian melalui kegiatan musholla, ekonomi masyarakat agar dapat lebih diperhatikan.

Pengembangan Modal Sosial

Sumber-sumber daya yang dimiliki oleh masyarakat dalam rangka pemberdayaan masyarakat merupakan modal. Modal tersebut berupa modal manusia, modal fisik, modal finansial, dan modal yang disetarakan dengan modal-modal tersebut yaitu modal sosial, karena dapat dikelola menjadi suatu aktivitas gerakan sosial yang melibatkan sekelompok orang yang dicirikan oleh adanya kerjasama, tujuan yang tegas, serta kesadaran dan kesengajaan (Daryanto, 2004). Selanjutnya Daryanto menjelaskan bahwa pengelolaan modal sosial dapat menyumbang pada pembangunan ekonomi

karena adanya jaringan, norma, dan kepercayaan di dalamnya yang menjadi kolaborasi sosial untuk kepentingan bersama.

Modal sosial menurut Putnam (1993a) cenderung kepada ciri-ciri organisasi sosial, yaitu jaringan, norma-norma, dan kepercayaan. Struktur masyarakat juga merupakan bentuk modal sosial ( Dasgupta dan Ismail Serageldin, 2000). Fukuyama (2001) juga melihat gotong-royong sebagai modal sosial dengan alasan hal tersebut merupakan wujud kemampuan yang timbul dari rasa percaya masyarakat. Kerjasama dalam aktivitas gotong royong tersebut dilandasi oleh norma-norma informal dalam masyarakat.

Masyarakat berpartisipasi aktif dalam kegiatan rehab tersebut. Partisipasi dilakukan secara sukarela oleh masyarakat. Penggalangan partisipasi tersebut dilakukan oleh masyarakat yang diamanahkan kepada panitia rehab. Kegiatan rehab musholla yang dilakukan oleh masyarakat Desa Banjaran merupakan kegiatan gotong royong yang secara otomatis mengandung modal sosial di dalamnya. Kerjasama antar warga terlihat dengan adanya partisipasi dari masyarakat dalam memberikan sumbangan baik uang, material , maupun tenaga, sedangkan secara operasional langsung dilaksanakan oleh panitia rehab yang juga berasal dari masyarakat.

Masyarakat melakukan rehab musolla karena merasa prihatin dengan keadaan musholla yang kurang terpelihara, dan adanya keinginan untuk melakukan ibadah dengan tenang dan khusu. Dengan demikian kegiatan rehab tersebut dilandasi oleh modal sosial berupa nilai-nilai solidaritas dan religi. Modal sosial tersebut telah terlembaga ke dalam organisasi sosial berupa jamaah musholla yang dilengkapi dengan pengurus musholla dan panitia rehab.

Modal sosial yang ada di masyarakat tersebut menunjukkan kuatnya ikatan intra komunitas dan tingginya modal sosial masyarakat. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya kegiatan rehab musholla tersebut yang digerakkan oleh modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat. Empat sumber dana yang direncanakan oleh panitia, namun hanya tiga sumber dana dari masyarakat dapat terealisasi, yaitu dari sumbangan jamaah dan masyarakat, klentung, dan hasil tanah wakaf, sedangkan proposal yang diajukan kepada Bupati Pemalang belum terealisasi. Modal sosial masyarakat tinggi sedangkan pemerintah kurang berfungsi, sehingga dalam kuadran dimensi modal sosial kegiatan tersebut berada pada kuadran coping. Dimensi integritas organisasional dan sinergitas antara tokoh agama dan pemerintah tidak berjalan dengan baik. Dimensi modal sosial dalam kegiatan tersebut dapat digambarkan dalam kuadran berikut :

Gambar 5. Kuadran Dimensi Modal Sosial Rehab Musholla Khoirus Subban

Selain solidaritas dan nilai religi, modal sosial yang ada di Desa Banjaran tersebut juga berupa kepemimpinan tokoh agama. Meskipun dalam kegiatan rehab tersebut ada semacam ”ketidak patuhan” jamaah pada kyai, namun hal tersebut hanya karena kesalahpahaman. Pada dasarnya masyarakat cukup patuh pada kyai, sehingga untuk mengutarakan maksud merehab musholla secara partisipatif tertunda sekian lama.

Gillin (dalam Soemardjan & Soemardi, 1964) menjelaskan bahwa kelembagaan dapat terdiri dari aksi, ide, kebiasaan, dan seperangkat adat. Berdasarkan pendapat Uphoff (1992), norma juga merupakan kelembagaan. Sementara itu berdasarkan Polak (1966) kelembagaan merupakan sebuah sistem peraturan-peraturan yang bertujuan mengatur pola hubungan antar manusia di dalam memenuhi kebutuhan pokoknya. Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, kegiatan rahab musholla tersebut mempunyai unsur kelembagaan. Kegiatan rehab tersebut merupakan aksi bersama yang mempunyai aturan-aturan dalam pola hubungan antar manusia.

Kelembagaan dalam kegiatan rehab tersebut sudah berwujud organisasi sosial, yaitu jamaah musholla yang mempunyai pengurus, dan membentuk kepanitiaan dalam melaksanakan rehab musholla tersebut. Kegiatan tersebut termasuk kategori kelembagaan participatory karena kelembagaan tersebut muncul dan dikelola oleh masyarakat secara partisipatif. Pelayanan dan peran serta dalam kegiatan rehab tersebut berjalan dengan seimbang, masyarakat berperan aktif dalam pelaksanaan